Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

21.6.09

Sebuah Komunikasi


Di sebuah kampung di Jawa Tengah, sebutlah Kutojaya ada sebuah rumah tua. Rumah dudur dengan konstruksi limas yang sudah diperbaruhi, dan sudah menjadi rumah modern dengan listrik dan segla perabotannya. Tentunya termasuk TV berwarna. Penghuninya sebuah keluarga sederhana dengan dua orang anak dan neneknya.
Pada suatau hari, tetangganya kedatangan tamu dari Jakarta. Tetangga ini masih ada hubungan saudara, katakanlah kakak. Tamu ini sebenarnya bukan siapa-siapa karena memang aslinya adalah orang sini. Yang lahir di desa ini, besar di desa ini hanya saja harus mencari kerja di rantau. Jadi boleh dikatakan sedang pulang kampung meskipun bukan hari lebaran ataupun hari libur, hari besar ataupun lainnya. Pendek kata pulang.
Kedatangan orang dari Jakarta ini ternyata tidak sendiri seperti biasanya, tetapi dia membawa serta pembantunya, sebutlah Bik Minah sudah agak tua tetapi masih sehat dan sangat sigap untuk bekerja. Pembantunya ini akan ikut pergi kemanapun tuannya pergi. Karena memang seperti itulah perjanjiannya. Memang ada waktu dimana mereka tidak bersama ketika pembantunya sedang dipanggil oleh "penyalur pembantu" dimana dia dulu melamar kerja.
Sang tetangga ini, sebut saja Pak Hadi memang paling suka untuk bertandang ke rumah tua tersebut, disanalah Pak Hadi menghabiskan masa kecilnya. Mungkin Pak Hadi memang sedang mengingat masa-masa kecilnya dahulu. Semacam bernostalgia begitulah. Dan tentu saja Bik Minah selalu ikut, paling tidak untuk diperkenalkan. (Angel le arek crito bagian perkenalan.)
Dalam kesantaian (karepe leyeh-leyeh, ngglosor sinambi rokok-merokok) tiba-tiba Bik Minah melihat seorang laki-laki anak tanggung (11~14 tahun) yang kelihatannya kok tidak seperti biasanya anak seusia itu.


Teruse:
"Den mas, kae bocahe sopo?" Bik Minah biasa memanggil Pak Hadi seperti itu. "Sing endi bik?" "Kae sing lagi dolanan mobil-mobilan soko lempung!" "Ooo.. kae Thole." semua orang di sana memanggilnya demikian. "Lha anak-e sopo?" "Wis raduwe bopo ibu bik, ditinggal lungo awit cilik." "Lha njuk manggone nang ngendi?" "Yo nang kene bik, tapi wis ra sekolah. Mung tekan klas 2 thok." "Njuk saiki kegiatane opo?" "Yo ngono kae bik, wong isih cilik arep kerjo opo. Sok-sok melu wong nang kutho. Mbiyen lagi okeh kebo yo angon kebo barang. Tapi saiki wis raono. Nek mluku sawah wis dho nganggo traktor kabeh."
"Nek ditakoni njawab ora?" "Cobo wae!" Bik Minah terus beranjak ke tempat anak tadi bermain. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi nampaknya akrab dan tidak menunjukkan hal-hal yang seperti bermusuhan.
Cukup lama mereka berbicara, tetapi tetap saja Thole asyik bermain dengan mobil-mobilan dari tanah liat.
Akhirnya Bik Minah menemui Pak Hadi. "Mesakke Thole ya den?" "Lha kok iyo to Bik!" "Ono ing jaman komputer utowo internet saiki iki ijih ono bocah sing ora ngerti opo-opo" "Lha bik Minah takon opo wae si? Terus Thole wis crito opo karo bik Minah?" "Yo werno-werno. Thole si le crito ora pati okeh, tapi rak aku ngerti soko jawaban-jawaban sing soko Thole mau."
Beberapa saat lamanya Pak Hadi dan bik Minah tidak berbicara apa-apa. Tetapi akhirnya bik Minah mendahului unjuk bicara.
"Den!...." "Ono opo bik?" "Nek Thole dijak nang Jakarta pripun?" "Lho, kok ngono bik? Opo ra engko malah mung ngrepoti bik Minah?" "Yo ora lah den! Bibik kan dewean wae, ra ono sing ngancani. Terus nek den lungo-lungo bibik mlongo!" "Nanging Thole kuwi rodok nakal lho! Njuk opo Thole gelem dijak nang Jakarta?" "Thole iku rak ijih cilik, nakal lan orane bocah iku rak gari sing tuwo carane ngopeni to den!" "Opo Thole gelem dijak no Jakarta? Deweke rak wis duwe remenan dhewe, banjur ketoke deweke ke wis krasan manggon ono kene."
"Kan durung ditakoni!" "Yo wis cobo kono kon mrene, lagi ditakoni!" Bik Minah buru-buru menghampiri Thole yang memang dari tadi masih asyik bermain sendirian. Kemudian mengajaknya ke tempat Pak Hadi berada.
"Le, opo kowe gelem melu pak lik nyang Jakarta?" Pak Hadi bertanya, tetapi Thole hanya diam saja. Sambil asyik tetap bermain, hanya sedikit reaksi yang diperlihatkan. Tetapi nampaknya dia sedang berpikir.
"Lik, opo nang Jakarta ono rokok sing koyo ngene?" Thole bertanya sambil menunjukkan sebatang rokok menyan kesukaannya. "Lho, durung-durung kok sing ditakokke ro.....", Pak Hadi tidak melanjutkan perkataannya karena bik Minah menyenggol, memberi isyarat untuk berkata yang lain saja.


Agak lama pak Hadi terdiam, mencari jawaban apa yang harus diberikan padha Thole. "Le, nang Jakarta kuwi opo-opo ono. Sak kabehe merek rokok nang kono ono. Panganan sing kowe durung tau mangan yo pirang-pirang. Wis tau mangan Es krim le? Nek hamburger ngerti ora le?" Thole agak lama menjawab pertanyaan pak Hadi.
"Jarene lik Sari, sing wis tau nang Jakarta, rokok sing koyo ngene mau raono lik!" "Yo pancen raono le, kuwi rak rokok gawean ndeso. Tapi nang kono rak ono rokok menyan sing meh koyo kuwe." Pak Hadi diam sejenak. Dan mengira-ira perkataan apa lagi yang mesti diberikan kepada Thole untuk menggoyahkan pemahamannya tentang Jakarta. "Ngono wae le, pak lik engko tak tuku rokok sing koyo kuwi rodo akeh. Loro opo telung pak. Iku nggo kowe thok nek kowe kepengin banget rokok sing podho persis. Piye le?"
Kelihatannya roman muka Thole agak berubah. Tetapi tetap saja dia belum mau berbicara. "Gelem pak lik, tapi sisan yo lik, ditukokke apem opo sengkulun." "Yo engko to le nek isih ono sing adol." Nampaknya komunikasi nyambung. Pak Hadi tentunya memikirkan untuk siap-siap berbelanja ke pasar. Tentu saja bik Minah ikut.
"Lik, le arep mangkate kapan to?" "Mengko sore le, numpak kreto. Mulane kono gek siap-siap ojo mung dolanan wae." Thole kemudian beranjak pergi untuk bebenah dirinya sendiri dan tentunya barang-barangnya yang akan dibawa.
Ada bagian yang menarik ketika Pak Hadi dan bik Minah pergi ke pasar untuk berbelanja keperluan Thole. Ternyata bik Minah sangat takut dengan sapi, kebetulan waktu sedang jalan menuju pasar bik Minah melihat sapi yang sedang digembala.
"Ono opo to bik kok gondhelan kenceng?" "Kuwi den ono sapi." "Lah, mung sapi wae kok wedi." "Lha kuwi den sapine nglirak-nglirik!" "Wong ono sing angon, la mbok bene!" "Bik Minah si, klambine ndarani Matador." "Kuwi den sapine marani arep nyruduk!" Bik Minah pegangannya makin erat. "Wis menengo wae nang mburiku!" Kemudian pak Hadi menghadap ke arah datangnya sapi, sementara bik Minah ada dibelakangnya. Kemudian pak Hadi mengangkat tangannya, sapinya berbalik arah dan menjauhi mereka.
"Kok iso yo den, diapakno sapine?" "Sapine rak raweruh kowe, weruhe aku, dadi ora sido nyruduk." "Ngono to den!" Pak Hadi diam saja tidak menjawab. Akhirnya bik Minah ngomong lagi: "Den, mulihe engko ojo lewat kene yo den?"
"Ora, engko mulihe lewat dalan gedhe kono, numpak becak."
Akhirnya sampailah pak Hadi dan bik Minah di pasar. Yang dibeli pertama kali adalah keperluannya Thole, rokok menyan 2pak. Kemudian bik Minah mencari makanan, dapatnya kue apem bijian dan lapis legit.
"Opo kuwi engko Thole doyan?" Pak Hadi bertanya. "Yo wis ben, ben rodo nguthani. Sing wigati blonjone pokok wis entuk." "Njuk bik Minah arep tuku opo?" "Aku mono sak-sake den. Sing wigati wareg, biasane yo mung nang warteg den!" "Nang kene ora ono warteg bik!" "Sak anane, kuwi mau aku weruh warung sego. Nang kono yo rapopo." Pak Hadi dan bik Minah makan dulu sebelum pulang. Akhirnya mereka pulang dengan naik becak berdua.

Akhirnya sampailah pak Hadi dan bik Minah di pasar. Yang dibeli pertama kali adalah keperluannya Thole, rokok menyan 2pak. Kemudian bik Minah mencari makanan, dapatnya kue apem bijian dan lapis legit.
"Opo kuwi engko Thole doyan?" Pak Hadi bertanya. "Yo wis ben, ben rodo nguthani. Sing wigati blonjone pokok wis entuk." "Njuk bik Minah arep tuku opo?" "Aku mono sak-sake den. Sing wigati wareg, biasane yo mung nang warteg den!" "Nang kene ora ono warteg bik!" "Sak anane, kuwi mau aku weruh warung sego. Nang kono yo rapopo." Pak Hadi dan bik Minah makan dulu sebelum pulang. Akhirnya mereka pulang dengan naik becak berdua.
Sampai di rumah Thole sudah rapi. Meskipun tidak kelihatan sangat gembira seperti anak biasa yang seusianya ketika mau diajak pergi. Thole nampak biasa-biasa saja, hanya tidak kumuh seperti biasanya.
"Gawanmu opo Le?" Pak Hadi membuka pembicaraan sekedar menunggu waktu untuk berangkat. "Iki thok pak Lik." Thole menunjukkan subuah tas ransel hijau tentara satu-satunya yang dimilikinya. "Bik Minah, Thole, opo wis siap kabeh? Barange ono sing ketinggalan ora?" "Ora den, wis tak teliti kabeh!" "Yo wis, ayo gek mangkat!" Mereka bertiga berangkat dengan naik becak, satu-satunya becak yang ada di kampung itu, untuk menuju ke pasar dan dilanjutkan dengan naik mobel angkutan desa ke stasiun kereta. Thole sudah hafal benar naik mobil itu dan seperti biasanya dia memilih duduk di belakang sopir.
"Kowe lungguh kono Le?" Pak Hadi masih suka berkomentar kepada Thole, sedangkan bik Minah memang lebih suka untuk diam saja sambil menikmati pemandangan yang memang hanya baru sekali itu dia lewati.
"Iyo pak Lik, ben ngerti carane nyopir." Memang cita-cita Thole kalau besar nanti hanya ingin jadi sopir. Karena memang hanya itu satu-satunya kerjaan yang mungkin untuk anak dengan latar belakang seperti dia.
Tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke stasiun kereta. Di stasiun meskipun hanya dengan diam saja Thole lebih banyak meneliti setiap sudut stasiun, dan mengamati berbagai hal yang memang semuanya masih baru baginya. Memang baru kali ini Thole pergi untuk naik kereta. Kemudian pak Hadi membeli karcis langsung (tanpa memesan lebih dahulu) untuk tiga orang.