Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

7.12.10

Memahami Ketelitian

Penanggalan Jawa




Hari ini tanggal 7 Desember 2010, bila dikonversi ke penaggalan Jawa sebenarnya masih tanggal 30 Besar 1943S merupakan tahun Dal. Apabila pembaca mengerti benar tentang sejarah penanggalan Jawa ini, hal di atas sebenarnya terasa janggal, tetapi itulah yang sudah digariskan oleh para leluhur bangsa Jawa ini.

Penanggalan/kalender Jawa ini mulai diterapkan secara resmi oleh Raja Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1625 Masehi, yang bertepatan dengan tahun 1035 Hijriyah atau tahun 1457 Saka. Inilah istimewanya Kalender Jawa ini, dimana sebenarnya kalender tahun Saka adalah merupakan kelender asli orang India. Tetapi kemudian tahun 1457 Saka terus ditetapkan sebagai awal penghitungan penanggalan Jawa tersebut. Sedangkan sebenarnya tahun Saka itu sendiri menganut sistim peredaran matahari dan penanggalan Jawa menganut sistim peredaran bulan seperti tahun Hijriah. 

Bila diperhatikan secara seksama pada ringkasan gambar diatas, maka ada perbedaan yang sangat tajam antara sistem penanggalan Jawa dibandingkan dengan kalender Masehi, Hijjriah maupun Saka. Pada kalender Masehi ada satuan waktu yang namanya Abad yaitu seratus tahun, di kalender Saka dan Hijriyah tidak diketahui, tetapi di sistim penanggalan Jawa ada satuan waktu yang namanya Windu yang lamanya 8 tahun dan Kurup yang lamanya 15 Windu atau sama dengan 120 tahun. Sedemikian detailnya penanggalan Jawa ini sehingga setiap waktu dan satuannya mempunyai nama sendiri-sendiri dan ciri khas yang berbeda-beda pula.

Belakangan ini kita kadang-kala mendengar Kurup Aboge (Alip Rebo Wage) masih disebut-sebut untuk menghitung awal tahun Alip, sedangkan Kurup waktu itu sudah berakhir pada 23 Maret 1936 (30 Besar 1866 tahun Jawa/Saka). Kurup sekarang yang berlaku adalah Kurup Asapon yang akan berakhir nanti pada tanggal 25 Agustus 2052 (30 Besar 1986 tahun Jawa/Saka). Jadi sebagai patokan perhitungan yang benar pada saat ini adalah awal tahun Alip selalu jatuh pada hari Sloso Pon (Alip Sloso Pon). 

Perhitungan seperti diatas adalah jauh lebih teliti dibandingkan dengan perhitungan tahun Masehi yang hanya menggunakan tahun kabisat, dengan menambah satu hari untuk setiap 4 tahun. Yang mestinya juga harus dikoreksi dengan mengurangi satu hari lagi untuk setiap empat ratus tahun. Bandingkan dengan kalender Hijriah yang selalu kebingungan untuk menetapkan tanggal 1 setiap bulannya, karena harus benar-benar bayangan bulan itu bisa dilihat secara langsung.

Untuk penjelasan pada nama tahun dan bulan yang dibelakangnya ada angka-angkanya adalah sebagai berikut. Angka yang terdapat dibelakang nama tahun adalah jumlah hari dalam satu tahun pada nama tahun tersebut. Angka-angka yang terdapat dibelakang nama bulan adalah jumlah hari pada nama bulan tersebut kecuali yang dibelakangnya ada dua angka (29/30). Penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu adalah, untuk bulan Sapar dan Jim Akhir pada tahun Dal maka jumlah hari 30 dan pada tahun yang lainnya 29 hari. Untuk bulan Jumadi Awal pada tahun Dal jumlah hari 29 dan pada tahun lain-lainnya 30 hari. Dan khusus bulan Besar, maka jumlah hari adalah 30 apabila pada tahun itu merupakan tahun panjang (355 hari) dan jumlah hari adalah 29 untuk tahun-tahun pendek (354 hari), dan tentu saja juga ketika berubah Kurupnya.

Sebenarnya masih banyak nama-nama lain untuk satuan waktu tertentu yang sifatnya sebagai pelengkap saja. Misalnya ada wuku yang jumlahnya 30. Setiap wuku mempunyai satuan waktu 210 hari. Ada pringkelan yang hanya 6 hari, padewan yang hanya 8 hari, dan padangon 9 hari. Tiga yang saya sebutkan terakhir adalah mirip dengan pasaran (nama hari yang jumlahnya 5) dan padinan (nama hari yang jumlahnya 7). Tabel tambahan tersebut bisa dilihat di bawah ini:























Meskipun demikian Kalender Saka masih tetap sangat berpengaruh di Tanah Jawa ini. Ini adalah semata-mata karena masalah agraris, dimana untuk menentukan kapan harus mulai suatu kegiatan di dalam bercocok-tanam harus memperhatikan musim yang ada. Musim adalah kaitannya dengan Kalender yang menggunakan sistim peredaran matahari, salah satunya kalender Saka. Namun demikian kalender ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga yang terbaca hanyalah sebuah musin. Contohnya ketigo, adalah musim dimana curah hujan menjadi sangat sedikit sehingga pertanian hampir-hampir tidak dapat dilaksanakan. Musim kapat, diasumsikam dengan musim dimana binantang-binatang piaraan banyak melangsungkan perkawinannya. Musim kasongo, adalah dimana musim hujan mulai datang sehingga guruh dan halilintar akan menggelegar tak henti-hentinya. Secara keseluruhan musim-musim yang dikonversikan dari bulan-bulan pada kelender Saka bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

21.11.10

Belajar Hidup

Bersama Bakteri
By: Lemah Kuning


Ini bukan curhat tetapi merupakan pengalaman saya dalam bekerja, yang mungkin bisa digunakan untuk referensi dalam masalah-masalah yang lain. Sebenarnya sudah lama saya ingin menuliskan pengalaman saya disini, tetapi kendala terasa cukup banyak, dan naskah inipun akhirnya muncul tanpa konsep yang jelas karena saya hanya menuliskan langsung dari keyboard ke blog secara langsung. Namun demikian saya akan tetap mengeditnya apabila nanti banyak kejanggalan-kejanggalan yang timbul.

Baiklah saya mulai ceritanya. Background saya adalah scient murni dalam ilmu kimia, dan pekerjaan saya sehari-hari adalah sebagai pengendali sebuah unit pengolahan limbah cair (UPLC) sistim kimia-fisika. Mungkin ini sebuah pekerjaan yang sangat klop dengan backgroud saya tadi. Ya memang, karena saya tidak perlu dengan teori yang muluk-muluk untuk menuntaskan pekerjaan, cukup dengan ilmu-ilmu yang diperoleh di SMA dulu, katakanlah dengan teori penggaraman 1 hingga 10 sudah cukup meskipun toh akhirnya harus dimantapkan dengan teori-teori redoks.

Beberapa tahun belakangan ini pekerjaan saya nambah, dengan juga harus bertanggung-jawab untuk unit pengolahan limbah cair dengan sistim biologi. Yaah, saya nggak ngerti biologi. Di mata-kuliah yang saya terima dulu tidak ada biologi, karena memang Fakultas saya tidak menjadi satu dengan Fakultas Biologi, meskipun kami semua diberi mata-kuliah dasar yang sama untuk matematika, fisika dan kimia, tetapi tidak untuk biologi. Artinya pengetahuan biologi saya hanya didapatan dari pelajaran sekolah di SMA dulu, ya seperti itulah vermes (cacing) yang terpaksa teman-teman saya dulu memberi julukan untuk guru biologi waktu itu. Atau paramaecium untuk binatang sandalnya, mungkin juga amoeba yang bisa menyebabkan penyakit, si flagelatta yang mempunyai kaki semu. Pekerjaan saya ini mestinya dikerjakan oleh lulusan teknik lingkungan yang memang dipersiapkan sekali untuk hal-hal seperti ini.

Jangan mengeluh, lakukan saja semua tugas yang diberikan, nanti jalan keluar pasti akan datang. Dengan dibekali dengan sebuah mikroskop dengan perbesaran hingga 1000 (meskipun yang sering saya pakai hanya sampai perbesaran 100 saja) dan tentunya dengan peralatan laboratorium sederhana yang juga digunakan untuk pengecekan limbah UPLC kimia-fisika dan sebuah unit alat untuk pengecekan BOD (Biological Oxygen Demand) yang akhirnyapun saya terlantarkan saja, karena tidak sederhananya cara pengujian dan lamanya memperoleh hasil. Toh parameter limbah BOD ini yang semestinya menjadikan parameter utama dalam proses pengolahan limbah sistem biologi bisa dikonversikan langsung dengan parameter COD (Chemical Oxygen Demand) yang cara pengujiannya sangat sederhana, cukup dengan memasukkan 3cc sample kedalam tabung reaksi yang sudah diberi pereaksi (agent) dan kemudian di-refluck secara tertutup selama 2 jam (meskipun sebenarnya tidak harus 2 jam, cukup sampai semua bahan terdakwa bisa bereaksi sempurna) kemudian setelah dingin bisa dicek langsung dengan alat Spektrofotometer UV. Bandingkan dengan pengecekan BOD yang memerlukan waktu minimal 5 hari, denga hasil yang jauh dari akurat dan proses yang berbelit-belit.

Pertamakali menggunakan mikroskup dengan menggunakan preparat langsung dari lumpur yang berasal dari proses pengolahan limbah secara biologi benar-benar sangat terkejut dan surprise. Bagaimana tidak, selama tiga tahun sekolah di SMA hanya dua kali memegang mikroskup dan itupun menggunakan preparat mati yang sudah mengering di dalam kaca preparat, sedangakan disini begitu lumpur ditempatkan pada kaca preparat dan dipasangkan langsung pada mikroskup cukup dengan perbesaran yang paling kecil (100 kali) tiba-tiba setelah fokus diarahkan ada makhluk-makhluk kecil aneh yang bergerak-gerak, ada yang lambat terkesan pemalas, ada yang cepat seperti orang tidak sabaran, ada yang super lincah hampir tak tertangkap oleh mata karena selalu bergerak dengan cepat. Sampai kemudian ketika supervisor dari pemborong unit pengolahan limbah itu yang orang Malaysia ikut melihat, dan dia menunjukkan ke saya ada makhluk kecil sekali tetapi bergerak dan hanya melingkar bunder terus-menerus, makhluk misterius apalagi yang seperti itu? Lalu bagaimana dengan makhluk-makhluk yang dulu dipelajari di SMA, vermes, flagelatta, amoeba, yang mana ya?

Berikut ini adalah gambar-gambar makhluk-makhluk kecil yang sering saya lihat dengan menggunakan mikroskup, tetapi ini bukan gambar saya sendiri, saya peroleh dari web:

1. Bristle Worm














2. Ciliates Paramecium














3. Daphnia














4. Filamentos














5. Free Swimmer












6. Rotifer














7. Suctoria

Dalam melakukan proses sehari-hari hampir saya tidak menggunakan satu literaturpun, karena literatur-literatur yang adapun susah untuk dipahami, dengan rumus-rumus yang bolak-balik dan teori-teori yang membikin pusing serta parameter-parameter yang tidak mudah untuk diperoleh. Sebut saja sludge volume index (SVI), mix liquor suspended solid (MLSS), mix liqour volatile suspended solid (MLVSS), mean cell retention time (MCRT), dan lain sebagainya. Lalu besaran-besaran itu untuk apa sih? Katakanlah SVI dimana saya menggunakan dasar 30 menit (SV30) sesuai dengan petunjuk dari kontraktornya. Besaran ini adalah yang paling mudah untuk didapatkan karena hanya tinggal menuang limbah yang ada di dalam aeration tank kedalam sebuah bejana sebanyak 1 liter dan ditunggu sampai 30 menit. Berapa persen (volume) endapan yang didapat itulah besaran yang dicari. Tetapi kemudian berapa nilai yang bagus untuk SV30 ini. 20%, 30% atau 40%? Yah sekitar-sekitar itu. Belum lagi apabila terjadi kondisi yang tidak menguntungkan dengar terjadinya pengendapan yang sangat lambat karena ada faktor-faktor lain yang tidak diketahui. Haah! Ya kalau sudah diketahui penyebabnya tinggal diselesaikan.

Menurut literatur, kejadian diatas itu biasanya karena kehadiran makhluk-makhluk kecil lain yang sifatnya mengganggu. Darimanakah dia, mengapa tiba-tiba ada disini sedangkan kita tidak mengundangnya? Emangnya gue pikirin. Jawabnya kok enak amat ya! Memang pada akhirnya aku menggunakan sebuah literatur meskipun bukan sebuah buku tebal yang harganya ratusan ribu rupiah. Literatur itu hanya sebuah diagram alir (flow chart) dalam bahasa Inggris (Amerika), bisa ditebak pasti kata-katanya ngalor-ngidul nggak karuan, tidak ketahuan kemana arahnya. Dan sebenarnya diagram itu disertai dengan sebuah buku kecil/tipis dan sebenarnya buku ini sudah dibuang aku pungut lagi dan aku bersihkan. Tentu saja buku itu sudah tidak lengkap, ada bebera halaman dari total kurang dari seratus halaman yang tidak ada. Dari diagram dan buku itu aku banyak mendapatkan petuah sederhana namun sangat bermakna untuk memahami bagaimana menjalani hidup bersama makhluk-makhluk kecil yang kadang kala harus diberi nama bakteri.

Gambar paling atas di halaman ini adalah menunjukkan diagram design awal dari proses pengolahan limbah secara biologi itu. Yah karena pada akhirnya harus banyak aku lakukan modifikasi agar didapatkan hasil yang optimal untuk pengolahan semacam itu. P1, P2 dan P3 adalah pompa-pompa yang akan mengalirkan limbah dari sumbernya yaitu: canteen, merupakan tempat makan seluruh karyawan; limbah yang dihasilkan merupakan air bekas cucian alat makan; kitchen merupakan dapur tempat masak dan limbahnya tentunya merupakan air-air bekas pencucian makanan; kemudian production, karena limbah proses produksi sudah diolah ditempat lain maka limbah ini merupakan limbah dari MCK tanpa limbah padatnya. 

Semua limbah-limbahnya akan ditampung pada sebuah bak raksasa equalization. Disini limbah distabilkan dulu pH-nya sekitar pH normal, namun demikian hanya disediakan larutan soda api (NaOH) yang artinya hanya jika pH equalization turun dratis dibawah nilai yang ditentukan, dimana P5 akan mengalirkan larutan sodanya. Berarti pompa P5 ini kerjanya dikendalikan oleh alat pemantau pH yang terpasang pada bak equalization. Udara bergolak di bak equalization juga berfungsi sebagai pengaduk untuk meratakan bahan kimia. Pompa P4 akan mengalirkan limbah dari bak equalization ke bak aeration.

Di bak aeration inilah makhluk-makhluk kecil itu sengaja ditanamkan dan dibiakkan. Merekalah yang mempunyai jasa paling banyak dalam hal pengolahan limbah cair ini. Merekalah pahlawan yang tidak pernah membutuhkan pengakuan dari siapapun. Dengan kadar oksigen yang cukup yang dihembuskan dari mesin Mixing Blower maka makhluk-makhluk kecil ini akan sangat rakus menyantap makanan (biarpun hanya sisa-sisa orang yang tidak mau menghabiskan makanannya) dengan rakusnya. Alhasil merekapun berkembang biak dengan baik dan kotoran-kotoran yang ada di air limbah menjadi berkurang sangat banyak. Tidak kemana-mana hanya akan menggumpal menjadi sekumpulan materi yang dinamakan lumpur aktif. Pada dasarnyalah mereka sangat suka berkubang di dalam lumpur seperti kerbau.

Secara gravitasi, atau apabila ada aliran air dari pompa P4 maka akan mengalir pula sebagian limbah dari bak aeration ke bak clarifier. Di bak ini makhluk-makhluk kecil itu dipersilahkan istirahat untuk sementara, karena nanti dengan segera setelah lumpur yang membawanya sampai didasar bak akan disedot oleh pompa P6 yang akan mengembalikannya ke bak aeration. Sedangkan air jernih hasil olahan akan mengalir ke bak outlet. Namun demikian air hasil olahan ini tidak serta merta aman, ternyata walaupun dengan mikroskup yang tidak satupun diketemukan makhluk hidup, apabila dianalisa oleh laboratorium yang cukup modern masih banyak diketemukan makhluh hidup, yang sering adalah bakteri Escherichia coli. Meskipun jenis bakteri ini banyak, dan banyak pula yang tidak berbahaya bahkan bersahabat dengan manusia, tetapi karena orang awam terlanjur menuduhnya sebagai binatang jahat yang suka membuat sakit di perut, ya harus dimusnahkan, maka diberinyalah kaporit (NaOCl). 

Tinggal satu proses lagi yang belum saya jalaskan, yaitu apabila lumpur semakin hari semakin banyak, artinya banyak pula makhluk-makhluk hidup itu disana, harus dilakukan pengurangan dengan cara mengalirkan kelebihan lumpurnya (exceed sludge) ke bak lumpur. Nah yang jadi masalah terus lumpur ini harus dikemanakan? Jawabnya nunggu pesan sponsor lewat!






(belum selesai)

7.10.10

Dibalik Kesakralan

Tari Bedaya Ketawang

 
Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau budi. Dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya. Penggunaan istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses olah fikir dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari kraton, sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para penarinya sangat pelan.

Tari Bedhaya Ketawang dipercaya merupakan reaktualisasi percintaan Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati (raja pertama Dinasti Mataram Islam). Konon, tari ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul bersama Panembahan Senopati. Setelah Panembahan Senopati mengikat janji dengan Kanjeng Ratu Kidul, ia meminta Kanjeng Ratu Kidul datang ke Kraton Mataram untuk mengajarkan tari Bedhaya Ketawang kepada penari-penari kesayangan Panembahan Senapati. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi permintaan tersebut dan setiap hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) ia hadir di Kraton Mataram untuk mengajarkan tarian tersebut. Selain itu busana dan tata rias penari Bedhaya Ketawang pun diyakini sebagai ciptaan Kanjeng Ratu Kidul.

Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka ketika tari Bedhaya Ketawang hendak dipagelarkan harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai pemilik tari. Untuk itu dilaksanakan ritual caos dhahar, yang merupakan manifestasi suatu kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan roh halus atau dunia gaib. Caos dhahar dilaksanakan 5 kali, yaitu pertama menghadap ke selatan ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul, lalu menghadap ke utara untuk Bathari Durga, menghadap ke barat untuk Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, dan terakhir kembali menghadap ke selatan untuk berpamitan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Ritual tersebut dilakukan dengan harapan Kanjeng Ratu Kidul akan berkenan hadir dan turut terlibat baik dalam latihan maupun pagelaran yang akan dilaksanakan.

Raja-raja Dinasti Mataram Islam terutama Panembahan Senopati dan Sultan Agung sering dihubungkan dengan Kanjeng Ratu Kidul, baik dalam bentuk cerita lisan maupun babad. Hal tersebut tidak lepas dari upaya legitimasi kekuasaan para raja tersebut. Dengan menghubungkan diri dengan tokoh mistik yang sangat dihormati, maka seorang raja akan memperoleh legitimasi yang kuat dan meminimalkan kemungkinan adanya pemberontakan.

Oleh karena itu, ketika Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Surakarta meminta tari Bedhaya Ketawang sebagai pertunjukan sakral istana. Sedangkan kraton Yogyakarta, mencipta bedhaya Semang. Bedhaya Ketawang dibawakan oleh 9 penari wanita dan dianggap sebagai induk munculnya jenis tari Bedhaya lainnya. Kesembilan penari tersebut memiliki posisi masing-masing yang disebut sebagai batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu, dhadha, serta boncit. Masing-masing posisi merupakan suatu simbol, yaitu:

Apit mburi: melambangkan lengan kiri
Apit ngarep: melambangkan lengan kanan
Apit meneng: melambangkan kaki kiri
Batak: mewujudkan jiwa dan pikiran
Buncit: mewujudkan organ seks
Dadha: melambangkan dada
Endhel ajeg: mewujudkan nafsu atau keinginan hati
Endhel weton: melambangkan kaki kanan
Jangga (gulu): melambangkan leher

Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9 dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.

Sebagai tarian yang sangat sacral, maka para penari Bedhaya Ketawang haruslah seorang gadis yang suci dan tidak sedang haid. Apabila sang penari sedang memperoleh haid, ia tetap diperbolehkan menari dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, harus dilakukan caos dhahar di Panggung Sanggabuwana, suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan. Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak dibawa ke Laut Selatan.
Sebagai penyempurna tampilan para penari, maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri.

Sementara itu busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi.

Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.

Kata bangun tulak berasal dari kata bango dan tulak. Bango merupakan nama sejenis burung yang dipercaya memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu tulak berarti mencegah bala atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah gadhung mlathi yang memiliki lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna gadhung dan lapisan tengah berwarna putih sebagaimana warna bunga melati. Kain tersebut dikenakan sebagai bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul, karena dipercaya beliau sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan simbol kemakmuran, ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot tersebut dihiasi dengan motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini berkaitan dengan elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu penggambaran seisi belantara yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan, yaitu:

a. Ragam hias garuda
Dalam batik motif semen, motif garuda merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya di antara motif lain. Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.

b. Ragam hias kura-kura
Kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan penjelmaan Wisnu yang diharapkan akan dapat menjalankan tugasnya menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.

c. Ragam hias ular
Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi. Watak tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri. Dalam pengertian simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni.

d. Ragam hias burung
Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya. Penggunaan ragam hias burung melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta.

e. Ragam hias Meru
Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, ragam hias meru menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah.

f. Ragam hias Pohon Hayat
Melambangkan kesatuan dan ke-Esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta

g. Ragam hias Ayam Jantan
Di Indonesia dipandang sebagai symbol keberanian dan tanggung jawab

h. Ragam hias kijang
Kijang adalah lambang kelincahan dan kebijaksanaan yang menyimbolkan kelincahan dalam berfikir dan mengambil tindakan serta keputusan.

i. Ragam hias gajah
Merupakan lambang kendaraan raja yang melambangkan kedudukan luhur, mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.

j. Ragam hias burung bangau
Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai ratusan tahun. Ia dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang.

k. Ragam hias harimau
Melambangkan keindahan yang disertai wibawa dan tangguh dalam menghadapi lawan

l. Ragam hias motif kawung
Motif ini tersusun atas bentuk elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunganya yang sedang mekar. Bunga ini melambangkan umur panjang dan kesucian. Dewa juga dilambangkan dengan bunga teratai. Berdasarkan hal tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja sebagai pusat kekuasaan mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makrokosmos.

Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen yang digambarkan pada lembaran kain tersebut.

Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif Cakaran berwarna merah.

Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah, ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas.

Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan baik karena sedang membawakan tari pusaka.

Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya Ketawang, maka wajah para penari tersebut juga dirias selayaknya pengantin. Untuk itu pada bagian dahi dilukiskan beberapa bentuk, yaitu:

  1. Gajahan, bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-tengah dahi ± 3 cm di atas kedua pangkal alis dengan lebar pada pangkal dahi ± 4 cm. apabila ditarik garis lurus pada ujungnya secara vertical tepat pada ujung hidung. Merupakan lambang kendaraan raja yang menyimbolkan kedudukan luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.
  2. Pengapit, berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil. Bentuk ini terletak pada dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung pengapit jika ditarik dengan garis lurus akan bertemu di suatu titik antara kedua pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari semua unsur bentuk paes dan disebut cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm. Merupakan pendamping kiri-kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi manusia sempurna harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping kanan sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap kuat dan teguh imannya.
  3. Penitis, berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung. Bentuk ini mempunyai ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti halnya pengapit, bentuk ini terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke ujung alis. Merupakan symbol kearifan dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
  4. Godheg, berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran mirip dengan pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri. Pembuatan godheg dimulai dari atas telinga turun melengkung sampai di depan telinga. Melambangkan bahwa manusia harus mengetahui asal usul dari mana ia datang dan ke mana harus pergi. Manusia diharapkan dapat kembali ke asal dengan sempurna.
  5. Alis, penari berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut menjangan ranggah. Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala serangan buruk dari beberapa arah harus selalu waspada dan bijaksana atau “tanggap ing sasmita”.

Bentuk-bentuk tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang dibuat dari campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada jaman dahulu ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun dhandhang gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang gendhis.

Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup dengan rajutan melati dan dihias dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul, garuda mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.

Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

17.9.10

Menelaah Makna

Gunungan
By: Triwidodo
Secara umum Gunungan menggambarkan bentuk gunung, profil lapisan permukaan bumi yang menonjol. Gunung mempunyai sifat alamiah yang stabil. Gunung menggambarkan tempat yang tinggi, sejuk, oksigen yang tipis, lereng yang curam penuh hutan belukar, pada kaki gunung biasanya terdapat dataran yang subur. Daerah pegunungan cocok sebagai tempat peristirahatan, tempat mencari kedamaian batin. Pemandangan yang indah dan alami di pegunungan membangkitkan rasa terdalam dalam diri seseorang.

Oksigen yang tipis di pegunungan mengakibatkan seseorang kurang bicara, dan mudah mendapatkan inspirasi. Otak kita mendapat masukan energi dari sari-sari makanan dan oksigen. Pasokan oksigen yang tipis di tempat pegunungan yang tinggi, membuat pikiran seseorang berkurang keaktifannya, berkurang keliarannya dan menjadikannya lebih meditatif.

Para leluhur kita menempatkan gunung sebagai tempat pertapaan orang-orang suci. Beberapa wilayah gunung dikeramatkan, dijadikan tempat suci, ada yang dinamakan Dieng dari kata dhyang, ada yang disebut Parahiyangan, tempat para Hyang, Kahyangan, tempat para makhluk suci. Nama tempat suci Himalaya, Mahameru, Kailasa bahkan Gua Hira semuanya berada di atas Gunung.

Dari gunung kelihatan pemandangan yang luas di bawah. Semakin ke atas semakin luas batas cakrawala yang nampak. Semakin ke atas kesadaran seseorang, dia akan melihat secara general, umum dan tidak lagi terfokus pada detail yang rinci. Semakin tinggi kesadaran seseorang, pandangannya menjadi semakin holistik.

Seseorang yang pandangannya terfokus ke atas, ke puncak, hanya melihat fokus tujuannya saja. Itulah sebabnya seseorang yang terfokus pada pencapaian kesadaran tinggi, sering tidak peduli dengan kondisi masyarakat sekitar, sering alpa dalam memahami kondisi negerinya. Para leluhur kita menyebut seseorang yang dapat menjelaskan segala sesuatu secara alami, secara natural sebagai Resi. Seseorang yang telah mencapai puncak kesadaran, selanjutnya dari puncak akan melihat ketidak benaran, ketidak adilan di bawah dengan jelas, sehingga dia akan memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Seorang Master, seorang Bhagawan, begitu para leluhur menyebutnya, akan peduli dengan nasib tetangga. Seseorang belum menjadi orang yang baik bila ada tetangganya yang tidak dapat tidur dengan perut keroncongan. Leluhur kita menyebut contoh Resi Drona yang pemahamannya tentang alam luar biasa, tetapi membela kaum Kurawa yang jahat yang telah memberi kehidupan dan kehormatan bagi dirinya. Lain halnya dengan Bhagawan Abiyasa, leluhur Pandawa, seorang pertapa sederhana tempat Arjuna menanyakan segala sesuatu.

Bangunan Candi, seperti halnya bangunan Piramid, juga bermaksud menggambarkan sebuah gunung. Dari jauh Candi Borobudur nampak seperti bukit dengan sawah yang bertingkat-tingkat. Candi megah ini terletak di pusat Pulau Jawa, dikelilingi oleh perbukitan Menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat dan juga oleh berbagai gunung-gunung berapi seperti Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, dan Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah Barat. Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini disebut stupa karena berhubungan dengan agama Buddha walaupun sentuhan Hindunya nampak kental sekali. Inilah budaya khas Nusantara yang menghormati semua kepercayaan yang ada.

Terdapat tiga bagian dari Candi Borobudur yang merupakan simbol Tiga Alam yaitu: Kamadhatu-Rupadhatu-Arupadhatu, alam bawah, alam tengah (antara) dan alam atas, suatu perwujudan antar hubungan mikrokosmos dan makrokosmos. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu, keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan alam antara yang memisahkan alam bawah (kamadhatu) dengan alam atas (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu alam atas atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, dan tidak berrelief.

Dalam kehidupan sehari-hari bentuk gunung diwujudkan para leluhur kita dalam berbagai peralatan. Diantaranya adalah caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa. Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut, dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.

Gunungan berbentuk simetris di sebelah kiri dan kanan. Semakin ke bawah jarak antara kiri dan kanan melebar. Semakin ke atas sifat dualistis tersebut semakin kecil dan pada akhir, ujungnya terlampauilah sifat dualistis.


Penjelasan Makna Gunungan
Berikut ini adalah penjelasan Gunungan oleh Drs. R. Soetarno AK, Ensiklopedia Wayang, Dahara Prize, Cetakan Keempat, 1994.
Gunungan adalah wayang berbentuk gambar gunung beserta isinya. Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai. Itu melambangkan pintu gerbang istana, dan pada waktu dimainkan Gunungan dipergunakan sebagai istana. Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor ular naga. Dalam Gunungan tersebut terdapat juga gambar berbagai binatang hutan. Gambar secara keseluruhan menggambarkan keadaan di dalam hutan belantara.

Gunungan melambangkan keadaan dunia beserta isinya. Sebelum wayang dimainkan, Gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan.

Gunungan dipakai juga sebagai tanda akan bergantinya lakon (tahapan cerita). Untuk itu Gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri. Selain itu Gunungan digunakan juga untuk melambangkan api atau angin. Dalam hal ini Gunungan dibalik, di sebaliknya hanya terdapat cat merah-merah, dan warna inilah yang melambangkan api.

Gunungan juga dipergunakan untuk melambangkan hutan rimba, dan dimainkan pada waktu adegan rampogan, tentara yang siap siaga dengan bermacam senjata. Dalam hal ini Gunungan bisa berperan sebagai tanah, hutan rimba, jalanan dan sebagainya, yakni mengikuti dialog dari Dalang. Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.

Gunungan ada dua macam, yaitu Gunungan Gapuran dan Gunungan Blumbangan. Gunungan Blumbangan digubah oleh Sunan Kalijaga dalam zaman Kerajaan Demak. Kemudia pada zaman Kartasura digubah lagi dengan adanya Gunungan Gapuran. Gunungan dalam istilah pewayangan disebut Kayon. Kayon berasal dari kata Kayun. Gunungan mengandung ajaran filsafat yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan. Semua itu mengandung makna bahwa lakon dalam wayang berisikan pelajaran yang tinggi nilainya. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang juga berisi pertunjukan wayang juga berisi ajaran filsafat yang tinggi.

Interpretasi Simbolisme dalam Gunungan
Dalam tradisi leluhur, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pemantap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga memberi makna bahasa alam yang dipercaya sebagai bentuk isyarat akan kehendak Gusti Kang Murbeng Gesang, Pemberi Kehidupan. Leluhur kita merasa lebih mantap jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja, melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat.

Dalam Gunungan terdapat gambaran tentang air, api, angin dan tanah. Gunungan mewakili lima unsur alam, yaitu tanah, air, api, angin dan ruang. Semua benda di alam ini merupakan kombinasi dari kelima unsur tersebut. Pada saat pagelaran wayang, sebelumnya hanya ada layar putih saja dengan Gunungan yang berada di tengah-tengahnya. Setelah Gunungan dimainkan dan kelima unsur tersebut membentuk alam, maka dimulailah cerita kehidupan di alam ini. Karena cerita berfokus pada istana, maka Gunungan Blumbangan gubahan Sunan Kalijaga pada waktu Kerajaan Demak diubah menjadi Gunungan Gapuran pada waktu Kerajaan berpusat di Kartasura. Pada setiap babak yang biasanya diawali dengan penggambaran suasana istana, maka Gunungan dimainkan. Demikian pula pada saat terjadi keributan misalnya amukan api atau gelombang samudera, Gunungan dengan posisi disebaliknya dimainkan. Setelah selesai maka Gunungan kembali diletakkan di tengah layar. Setelah pralaya maka setiap orang akan kembali kepada unsur-unsur alaminya.

Dalam setiap babak kehidupan mulai dari lahir sampai mati para leluhur mengingatkan perlunya kesadaan untuk memahami sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan. Manusia ini asalnya dari Gusti Kang Murbeng Gesang, Yang Maha Pemberi Kehidupan, melalui lima unsur alami dan akhirnya kembali juga kepada lima unsur alami dan bersatu dengan Yang Maha Kuasa. Itulah mengapa setiap babak selalu diawali dan diakhiri dengan dimainkannya Gunungan oleh sang Dalang. Segala sesuatu diawali dengan kelahiran, kemudian jagad gumelar, dunia terkembang dan diakhiri dengan jagad ginulung, dunia tergulung dan musnah. Di dunia ini tidak ada yang abadi.

Dalam pagelaran wayang yang tidak kalah penting adalah alunan suara gamelan. Suara gamelan menyentuh rasa yang terdalam diri manusia yang sudah halus rasanya. Suara Gong: Hooongggg. Ataupun suluk Dalang: Hooongggg.. kocap kacarita……. dan seterusnya adalah doa untuk ingat kepada Yang Maha Kuasa. Suara Pranawa Aum, Om oleh leluhur kita terdengar seperti oleh bangsa Tibet: Huuungggg, dan leluhur kita membuat suara alat musik yang disebut gong. Itulah mengapa upacara seremonial memakai gong, sehingga tanpa sadar kita sudah berdoa dan ingat jatidiri manusia.



Penjaga Gerbang Istana Dua Raksasa Dwarapala
Dua penjaga Raksasa Dwarapala di depan istana dalam Gunungan, juga selalu terdapat dalam dua sosok arca di depan gerbang istana. Dua raksasa yang bernama Jaya dan Wijaya juga diabadikan sebagai nama pegunungan di Papua sebagai pintu gerbang Indonesia dari sebelah timur.

Mereka adalah penjaga gerbang setia di Vaikuntha, Istana Wisnu. Dikisahkan Wisnu ingin suasana tak terganggu saat berdua dengan istrinya Lakshmi. Jaya dan Wijaya diinstruksikan untuk tidak mengizinkan semua pengunjung masuk. Empat tamu telah mempunyai janji untuk bertemu dengan Wisnu, akan tetapi Jaya dan Wijaya menolak mereka masuk ke dalam istana. Ke empat tamu tersebut marah dan memberi kutukan bahwa ke dua raksasa penjaga tersebut akan turun di dunia dan lahir dua belas kali sebagai musuh Wisnu.

Setelah selesai kejadian, Wisnu datang dan mengatakan bahwa mereka cukup lahir tiga kali sebagai musuh Wisnu dan akan kembali lagi bersama Wisnu. Jalan yang biasa ditempuh manusia untuk Jumbuh Kawula Gusti, bertemu dengan Gusti adalah dengan jalan berbuat kebaikan, dharma. Jalan Jaya dan Wijaya adalah jalan pintas tercepat, setiap saat dalam kehidupannya di dunia mereka hanya berpikir tentang musuhnya yaitu Wisnu, tak ada waktu senggangpun tanpa berpikir tentang Wisnu musuhnya.

Jaya dan Wijaya pertama kali lahir sebagai saudara kembar iblis, Hiranyaksha dan Hiranyakashipu yang dibunuh oleh Prahlada sebagai titisan Wisnu. Jaya dan Wijaya kemudian mengambil kelahiran kedua sebagai Rahwana dan Kumbhakarna, yang terbunuh oleh Sri Rama sebagai titisan Wisnu juga. Akhirnya, Jaya dan Wijaya lahir sebagai Shishupal dan Dantavakra dan dibunuh oleh Wisnu yang menitis sebagai Sri Krishna.

Hutan tanaman dan binatang adalah berbagai sifat dan tabiat manusia. Dalam Gunungan terdapat gambaran tentang hutan tanaman dan binatang. Jutaan tahun sebelum manusia hadir, bumi telah dipersiapkan melalui mekanisme alam semesta. Bumi terpilih sebagai lokasi yang ideal untuk kehadiran berbagai tumbuh-tumbuhan, fauna-flora dan manusia serta makhluk-makhluk yang kita tidak mengetahuinya.

Di mulai dengan tumbuh-tumbuhan yang bersel satu sedikit demi sedikit pertumbuhan tanam-tanaman berevolusi ke wujud-wujud yang lebih sempurna, baru kemudian hadir fauna, dan jutaan tahun kemudian hadir manusia dari suatu ekosistem yang saling menunjang, saling membutuhkan, semuanya lestari, berkesinambungan, yang kita sebut dengan suatu kesatuan.

Suatu teknologi yang sangat menakjubkan, setiap bentuk warna, dari suatu tumbuh-tumbuhan bermanfaat berbeda suatu dengan yang lainnya. Juga berbagai cabang, ranting, akar, umbi-umbian dari sesuatu tanamanpun berbeda-beda manfaatnya. Diperlukakan kurun waktu yang panjang untuk mempelajari semuanya. Leluhur kita bahkan menyimbulkan berbagai buah-buahan sebagai persembahan yang sakral bagi Yang Maha Kuasa. Kekuatan tanaman disebut Sri (Yang Maha Agung), agar umat manusia mau mengikuti hukum alam dengan menyantap tanaman sebagai sumber energi, obat-obatan, gizi, protein, vitamin dan lain-lainnya.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa kata sayur dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Sansekerta ayur yang berarti tumbuh-tumbuhan yang menyehatkan atau yang bermanfaat bagi umat manusia. Ilmu mengenai kesehatan yang dihasilkan oleh berbagai tumbuh-tumbuhan ini sudah hadir ribuan tahun yang lalu dengan nama Ayur-veda. Para ahli kesehatan meneliti berbagai manfaat dari berbagai tumbuh-tumbahan yang hadir di berbagai belahan bumi, dan berbagai topografi dan iklim yang berbeda-beda.

Manusia perlu sadar bahwa di dalam dirinya masih tersisa nafsu kebinatangan. Kebutuhan makan-minum, kenyamanan dan seks dalam diri binatang juga masih ada dalam diri manusia. Manusia harus meningkatkan harkat dirinya dengan sifat kasih dan ketidak terikatan terhadap dunia. Hidupnya hanya untuk berbakti dan melayani sesama. Alam semesta ini juga tidak mempunyai pamrih kecuali sekedar berbakti dan melayani makhluk hidup.

Alam bersifat memberi dan tidak membeda-bedakan

Pada hakikatnya Gunungan memuat ajaran agar manusia meneladani alam dan bertindak selaras dengan alam. Ajaran Astabrata dari Rama kepada Wibisana pada hakikatnya adalah pelajaran bagi manusia agar meneladani tindakan alam. Rama memberi nasehat kepada Wibisana, agar meniru sifat: Matahari, Bulan, Bintang, Awan, Bumi, Samudera, Api dan Angin. Ke delapan unsur alam tersebut semuanya bertindak sesuai kodratnya. Mereka hanya sibuk bekerja menjalankan tugas dari Yang Maha Kuasa saja. Inilah contoh dari alam semesta yang bersifat kasih, hanya memberi, tanpa membeda-bedakan, dan tanpa pamrih sedikit pun juga.

Tanaman dan hewanpun memberikan banyak persembahan kepada makhluk lainnya. Lebah membuat madu jauh melebihi kebutuhannya untuk makan di luar musim bunga. Bahkan lebah menjaga kemurnian madunya yang sebagian besar justru dipersembahkan kepada manusia. Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya. Pohon mangga juga menghasilkan buah mangga yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengembangkan jenisnya. Pohon singkong memberikan pucuk daunnya untuk dimakan manusia, akar ubinya pun juga dipersembahkan, mereka menumbuhkan singkong generasi baru dari sisa batang yang dibuang. Sifat alami alam adalah penuh kasih dan ebih banyak memberi kepada makhluk lainnya.

Penutup
Semoga tulisan yang merupakan ramuan dari berbagai sumber ini semakin membuat kita mencintai budaya kita. Mereka yang tidak mengapresiasi budaya sendiri adalah orang-orang tanpa budaya. Olesan bedak tebal budaya asing tidak pernah mempercantik wajah kita. Kenalilah budaya sendiri untuk menemukan jati diri. Terima kasih Guru.

November 2008.


Tambahan dari Dickens
Dalam setiap pergelaran wayang baik wayang golek maupun wayang kulit selalu ditampilkan gunungan. Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon.

Gunungan bagian muka menyajikan lukisan bumi, gapura dengan dua raksasa, halilintar, hawa atau udara, dan yang asli ada gambar pria dan wanita. Tempat kunci atau umpak gapura bergambarkan bunga teratai, sedang diatas gapura digambarkan pepohonan yang banyak cabangnya dengan dedaunan dan buah- buahan. Di kanan-kiri pepohonan terlihat gambar harimau, banteng, kera, burung merak, dan burung lainnya. Di tengah-tengah pepohonan terdapat gambar makara atau banaspati (wajah raksasa dari depan).

Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.

Fungsi dari gunungan ada 3 yakni:
  1. Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
  2. Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
  3. Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
Kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni:

  1. Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
  2. Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
  3. Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang Hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.

Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.

Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-sethan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).

Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat makanan utamanya.

Makna kayon adalah hidup yang melalui mati, atau hidup di alam fana. Kayon dapat pula diartikan pohon hidup atau pohon budhi tempat Sang Budha bertapa. Kayon dapat disamakan dengan pohon kalpataru atau pohon pengharapan. Dapat pula disebut bukit atau gunung yang melambangkan sumber hidup dan penghidupan.


 
Cak SISMANTO

Wayang kulit salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan, karena kesenian tersebut masih memiliki banyak penggemar. Hal itu tidak mengherankan jika wayang kulit memiliki berbagai nilai. Salah satu cara menentukan nilai atau bobot dalam kesenian wayang kulit dengan mendeskripsikan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Adalah salah besar jika kita sebagai pemilik kebudayaan wayang, tidak mengerti wayang sama sekali, atau dalam pepatah Jawa Wong Jawa ora ngerti jawane. Agar kita tidak dikatakan sebagai orang yang tidak tahu akan diri kita sendiri, maka peneliti akan mencoba mengupas simbolisme ukiran gunungan atau kayon pada wayang kulit.

Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT. Gambar pohon dalam gunungan melambangkan kehidupan manusia di dunia ini, bahwa Allah SWT telah memberikan pengayoman dan perlindungan kepada umatnya yang hidup di dunia ini. Beberapa jenis hewan yang berada didalamnya melambangkan sifat, tingkah laku dan watak yang dimiliki oleh setiap orang. Gambar kepala raksasa itu melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan. Gambar ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia. Gambar samudra dalam gunungan kayon pada wayang kulit melambangkan pikiran manusia. Gambar Cingkoro Bolo-bolo Upoto memegang tameng dan godho dapat diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang. gambar rumah joglo melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia. Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan. Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.

30.8.10

Museum Negeri Champa

Di kota Da Nang yaitu sebuah kota yang cukup ramai yang terletak di teluk Thanh Binh, (muara sungai Han) Vietnam ada sebuah museum yang menyimpan benda-benda bersejarah. Musium itu dikenal dengan nama Museum Champa Sculpture. Musium ini dibangun pada tahun 1915 dengan motif arsitektur gaya Champa. Negeri Champa sendiri adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada tahun 192 M dengan dinasti pertamanya yang memerintah adalah Sri Mara. Kerajaan Champa ini bertahan hingga tahun 1832 M dengan dinasti terakhir yang memerintah adalah dinasti ke-17, Po.


Saat ini museum tersebut menampung 297 karya patung batu dan terakota yang dibuat antara abad ke-7 dan abad ke-15. Berikut adalah beberapa gambar dari koleksi-koleksinya. For someone that maybe your picture was in here, forgive me please!

 
 
 
 

 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 




Berikut ini adalah peta kota Da Nang:





14.8.10

Bilangan JOU

Angka Decimal

Sistem bilangan desimal, juga disebut bilangan berbasis sepuluh dan kadang-kadang hanya desimal saja, adalah mengunakan sepuluh sebagai dasarnya. Semua orang (yang tidak buta angka) mengenal angka ini.

Saya tidak akan berpanjang lebar dalam desimal ini singkatnya:
1 (=satu), 2 (=dua), 1000 (=seribu), 1.000.000 (sejuta). Yang terakhir karena terlalu banyak 0 (=nol) maka sering ditulis 1 X 10^6 atau 10^6 saja.

Sepersepuluh ditulis 0,1 (id) atau 0.1 (en), dan sepersejuta ditulis 0,000.001. Sekali lagi karena kebanyakan menulis 0 maka disingkat menjadi 10^-6


Angka Romawi
Angka Romawi adalah sistem angka dari peradaban Romawi Kuno yang menggunakan lambang bilangan huruf/abjad, yang dikombinasikan untuk menunjukkan jumlah atau selisih dari nilai-nilainya. mereka. Sepuluh angka yang pertamanya: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, dan X.

Ternyata (menurut referensi) angka Romawi ini sudah mengalami perubahan dari system aslinya. Perubahan terjadi pada abad pertengahan.

Secara keseluruhan lambang bilangan angka Romawi adalah: I (satu), V (lima), X (sepuluh), L (limapuluh), C (seratus), D (limaratus) dan M (seribu). Praktis dengan angka Romawi ini akan kesulitan (bahkan tidak bisa) untuk menuliskan angka-angka yang besar (sejuta ke-atas).

IL mempunyai makna limapuluh kurang satu atau empatpuluh sembilan (49), tetapi menulis angka seperti itu adalah salah, yang bener XLIX. Sedangkan LI adalah melambangkan limapuluh ditambah satu (51). Maka XM adalah seribu dikurangi sepuluh dan XMI adalah seribu dikurangi sepuluh ditambah satu (?) XL lambang bilangan untuk empatpuluh (bukan ukuran baju saya). MCD = Sirno Ilang Kertaning Bumi.

Kesimpulannya: angka Romawi nyusahin untuk menulis angka yang besar, apalagi untuk perhitungan.


Angka Biner
Sistem bilangan biner, atau bilangan dengan dasar dua (2), merupakan nilai numerik dengan menggunakan dua symbol (lambang bilangan) 1 dan 0, dalam bahasa mesin kemudian diterjemahkan sebagai “on” dan “off”. Lebih spesifik lagi, bilangan berbasis-2 ini adalah merupakan penulisan posisional dengan radix dua, yang langsung dapat diimplementasi pada sirkuit elektronik digital menggunakan gerbang logika. Sistem biner ini telah digunakan secara internal oleh semua komputer.

Sistem bilangan biner modern ini ditemukan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz pada abad ke-17. Sistem bilangan ini merupakan dasar dari semua sistem bilangan berbasis digital. Dari sistem biner, kita dapat mengkonversinya ke sistem bilangan Oktal atau Hexadesimal. Sistem ini juga dapat kita sebut dengan istilah bit, atau Binary Digit. Pengelompokan biner dalam komputer selalu berjumlah 8, dengan istilah 1 Byte/bita. Dalam istilah komputer, 1 Byte = 8 bit. Kode-kode rancang bangun komputer, seperti ASCII (American Standard Code for Information Interchange) menggunakan sistem peng-kode-an 1 Byte. 2^0=1, 2^1=2, 2^2=4, 2^3=8, 2^4=16, 2^5=32, 2^6=64, dst

Komputer pertama lahir adalah sebagai komputer generasi 8 bit, maksudnya adalah sbb:
0 = 0000 0000, 1 = 0000 0001, 2 = 0000 0010, 3 = 0000 0011, 10 = 0000 1010, 15 = 0000 1111, 16 = 0001 0000, 253 = 1111 1100 dan 256 = 1111 1111.

Perhitungan dalam biner mirip dengan menghitung dalam sistem bilangan lain. Dimulai dengan angka pertama, dan angka selanjutnya. Dalam sistem bilangan desimal, perhitungan mnggunakan angka 0 hingga 9, sedangkan dalam biner hanya menggunakan angka 0 dan 1.

Contoh: mengubah bilangan desimal menjadi biner:

desimal:  10 = 8 + 0 + 2 + 0
                   = (1 x 2^3) + (0 x 2^2) + (1 x 2^1) + (0 x 2^0).

dari perhitungan di atas bilangan biner dari 10 adalah 1010


Hexadecimal
Dalam matematika dan ilmu komputer, heksadesimal adalah bilangan berbasis-16 yaitu merupakan sistem bilangan posisional dengan radix-16. Menggunakan enam belas simbol yang berbeda, yaitu 0 s/d 9 ditambah abjat A, B, C, D, E dan F (kadang-kadang boleh ditulis dengan huruf kecil a, b, c, d, e dan f)

Sebagai contoh 2AF3 heksadesimal adalah sama dengan (2 × 16^3) + (10 × 16^2) + (15 × 16^1) + (3 × 16^0), atau 10.995.

Setiap digit heksadesimal mewakili empat digit biner (bit) (juga disebut "nibble"), dan penggunaan penulisan bilangan heksadesimal utama adalah untuk mempermudah manusia (human-frienly) dalam melihat nilai-nilai kode biner dalam komputer dan elektronika-elektronika digital lainnya. Misalnya, nilai byte dapat berkisar 0-255 (desimal) tetapi mungkin lebih mudah direpresentasikan sebagai dua digit heksadesimal dalam kisaran 00 sampai FF. Heksadesimal juga biasa digunakan untuk mewakili alamat memori komputer.

Dari bilangan biner ke bilangan hexa kemudian ke bilangan desimal, maka kemudian kita mengenal nilai-nilai berikut ini:
Satu (1) Byte sama dengan delapan (8) bit: 1 Byte = 8 bit, 1KB = 1000 Bytes. Huruf B (besar) sebagai simbol Byte dan huruf b (kecil) sebagai simbol bit. Sehingga kita berlangganan internet dengan kecepatan 400 Kbps (kilo bit per second) adalah bukan kecepatan yang kita inginkan sebagai 400 KBps (kilo Byte per second). Sehingga akhirnya satuan memory (baik dalam HD, RAM maupun ROM) yang terkecil biasanya (yang masih terdengar hingga hari ini) 1KB, 2KB, 4KB, 8KB, 16KB, 32KB, 64KB, 128KB, 256KB, 512KB, 1024KB=1MB, 2048KB=2MB, 4MB, 8MB, 16MB, 32MB, 64MB, 128MB, 256MB, 512MB, 1024MB=1GB, 2GB, 4GB, 8GB, 16GB, 32GB, 64GB, 128GB(sering dikenal sebagai 120GB saja). Satuan selanjutnya adalah Tera.

Angkanya Bangsa Maya
Angka bangsa Maya adalah angka yang menggunakan basis-20 (vigesimal) dan telah digunakan oleh peradaban Maya pada era Pra Columbus (Amerika kuno). Angka-angkanya terdiri dari tiga simbol (lambang bilangan); nol (seperti mata), titik dan garis lurus. Sebagai contoh, sembilan belas (19) ditulis sebagai empat titik berbaris horisontal di atas tiga garis horizontal yang ditumpuk satu sama lain.

Bilangan setelah sembilanbelas ditulis vertikal ke-atas dalam kwadrat dua puluh. Sebagai contoh, tiga puluh tiga akan ditulis sebagai satu titik di atas tiga titik, yang terdapat di atas dua garis. Titik pertama merupakan satu “dua puluhan” atau (1 × 20), yang akan ditambahkan pada tiga titik dan dua garis, atau tigabelas. Oleh karena itu, (1 × 20) + 13 = 33. Setelah mencapai 20^2 atau 400, baris lain dimulai. Empatratus duapuluh sembilan (429) akan ditulis sebagai sebuah titik di-atas satu titik, di-atas empat titik dan satu garis, atau (1 × 20^2) + (1 × 20^1) + 9 = 429.

Menambah dan mengurangi angka di bawah 20 menggunakan angka Maya sangat sederhana. Penambahan dilakukan dengan menggabungkan simbol numerik pada tiap tingkat. Jika lima atau lebih titik hasil dari kombinasi, lima titik akan dihapus dan diganti dengan sebuah garis. Jika ada empat atau dari garis, empat garis akan dihapus dan sebuah titik akan ditambahkan ke kolom berikutnya yang lebih tinggi. Mirip simpoa alat hitung dari bangsa China.

Sexagesimal
Sexagesimal adalah sistem bilangan dengan basis-60. Ini berasal dari Sumeria kuno di milenium ke-3 SM, saat ini masih digunakan dalam bentuk yang sudah diubah, yaitu untuk mengukur waktu, sudut, dan koordinat geografis. Angka 60, adalah angka yang sangat kompromis, mempunyai dua belas faktor, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, 30 dan 60 dimana dua, tiga, dan lima adalah faktor utamanya. Dengan begitu banyak faktor, banyak fraksi yang melibatkan angka sexagesimal. Misalnya, satu jam dapat dibagi secara merata ke bagian-bagian dari 30 menit, 20 menit, 15 menit, 12 menit, 10 menit, enam menit, lima menit, dll. Enam puluh adalah jumlah terkecil yang habis dibagi semua bilangan dari satu sampai enam. Hal ini karena 60 = 2 x 2 x 3 x 5.

Sayangnya sexagesimal ini mempunyai lambang bilangan yang sangat rumit. Dalam artikel ini, semua angka sexagesimal direpresentasikan sebagai angka desimal, kecuali jika dinyatakan lain. Sebagai contoh, 10 berarti sepuluh dan 60 berarti enam puluh.



Bilangan sexagesimal dalam era modern, sebagai bilangan yang hanya digunakan dalam mengukur sudut, koordinat geografis, dan waktu saja, maka bisa dilihat contohnya sebagai berikut. Satu jam waktu dibagi menjadi 60 menit, dan satu menit dibagi menjadi 60 detik. Jadi, pengukuran waktu seperti “03:23:17” mempunyai arti tiga jam, 23 menit, dan 17 detik, bisa ditafsirkan sebagai angka sexagesimal, yang berarti 3 × 60^2 + 23 × 60^1 + 17 × 60^0 detik atau 3 x 60^0 + 23 x 60^-1 + 17 x 60^-2 jam. Sebuah lingkaran dapat dibagi mejadi 360 derajat, setiap derajat masih bisa dibagi menjadi 60 menit, dan setiap menitnya masih dapat pula dibagi menjadi 60 detik. Cara ini adalah sangat teliti sekali untuk menentukan koordinat suatu tempat di muka bumi, ataupun menentukan koordinat benda langit. Untuk menuliskan angka pecahan sangat rumit saya tidak mempelajarinya.


Sistim bilangan angan-angan saya.
Saya menganngan-angankan sistim bilangan ini sudah sejak 15 s/d 20 tahun yang lalu, dan sudah pula aku mencoba menuliskannya dalam bentuk dokumen berwujud cerpen. (Lho kok aneh?). Sistim bilangan yang saya angan-angankan ini adalah sistim bilangan berbasis-25 yang menggunkan lambang bilangan huruf dari a s/d z, dimana u = v (agar lengkap semuanya duapuluh lima, dan alasan lain penulisan huruf u sering tertukar dengan huruf v). Penulisan boleh menggunakan huruf besar (capital letter) maupun huruf kecil (small letter). Huruf a mewakili satu (1), b mewakili dua (2), c mewakili tiga (3) dan seterusnya sampai akhirnya z mewakili zero (nol).

Dengan ini mudah sekali untuk menuliskan angka duapuluh lima (25) yaitu : az, atau dengan huruf besar AZ. Selanjutnya BZ = limapuluh (50), DZ = seratus (100). Kemudian XYZ sama dengan berapa?

Hitung saja:

X = 23 x 25^2 = 23 x 625 = 14375
Y = 24 x 25^1 = 24 x 25 = 600
Z = 0

Jadi XYZ = 14375 + 600 = 14975. Kemudian sistim bilangan ini saya namakan Bilangan JOU. Saya memang belum mengutak-atik nama-nama maupun untuk keperluan apa saja dengan bilangan ini. Kerabat paling dekat dengan sistim bilangan ini adalah bilangan dengan basis-24. Sistim bilangan yang terakhir saya sebutkan mungkin ada hubungannya dengan: umbu-ungu, kokali, tokapu talu atau tokapu-tokapu.

10.8.10

Candra Sengkala

Sapto Layon Ngesti Aji
(Sumber asli: KASKUS)


Sebenarnya judul asli naskah ini adalah “Lawon Sapto Ngesti Aji”, yaitu merupakan sengkalan (Candra Sengkala) yang terdapat dalam naskah Ramalan Sabdo Palon. Namanya juga ramalan (prakiraan), jadi seandainya hal yang sebenarnya terjadi tidak tepat dengan waktunya, atau mungkin kata-katanya dari ramalan tadi yang kurang tepat, hal itu adalah biasa. Terlepas dari siapa sesungguhnya yang membuat ramalan itu, tetapi sangatlah nyata bahwa ramalan itu benar-benar terjadi. Berikut ini adalah penjelasannya.

Disini saya hanya akan menjelaskan penjabarannya saja. Sapto adalah angka tujuh (7) dalam sansekerta, dan layon adalah jasad yang sudah meninggal, dan mengungkapkan makna delapan (8) dalam candrasengkala. Ngesti juga berarti delapan (8) dan aji berarti satu (1). Kalau dibalik seluruh rangkaian angka maka menjadi seribu-delapanratus-delapanpuluh-tujuh (1887). Itu adalah tahun Saka yang jika dikonversi ke Masehi menjadi tahun seribu-sembilanratus-enampuluh-lima (1965).

Semua orang Indonesia tentu tahu pada tahun itu ada peristiwa apa. Tujuh Layon yang dimasukkan kedalam Satu lubang Sumur. Orang orde baru menyebutnya sebagai G30S/PKI.


Berikut adalah petikan dari naskah tersebut:

1. Pada sira ngelingana, carita ing nguni-nguni, kang kocap ing serat babad, babad nagri Mojopahit. Nalika duking nguni, sang-a Brawijaya Prabu, pan samya pepanggihan, kaliyan Njeng Sunan Kali, Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

2. Sang-a Prabu Brawijaya, sabdanira arum manis, nuntun dhateng punakawan, Sabda Palon paran karsi, “Jenengsun sapuniki, wus ngrasuk agama Rosul. Heh ta kakang manira, meluwa agama suci, luwih becik iki agama kang mulya.”

3. Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, ngrasuka agama Islam, wit kula puniki yekti, ratuning Dang Hyang Jawi, momong marang anak putu, sagung kang para Nata, kang jurneneng Tanah Jawi, wus pinasthi sayekti kula pisahan.”

4. “Klawan Paduka sang Nata, wangsul maring sunya ruri. Mung kula matur petungna, ing benjang sakpungkur mami, yen wus prapta kang wanci, jangkep gangsal atus tahun, wit ing dinten punika, kula gantos kang agami, gama Buda kula sebar tanah Jawa.”

5. “Sinten tan purun nganggeya, yekti kula rusak sami. Sun sajekken putu kula, berkasakan rupi-rupi, dereng lega kang ati, yen durung lebur atempur. Kula damel pratandha, pratandha tembayan mami, hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.”

6. “Ngidul ngilen purugira, ngganda banger ingkang warih, nggih punika medal kula, wus nyebar agama budi, Merapi janji mami. Anggereng jagad satuhu, karsanireng Jawata, sadaya gilir gumanti, boten kenging kalamunta kaowahan.”

7. “Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji. Upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone ngelebne jalmi, kathah sirna manungsa prapteng pralaya.”

8. “Bebaya ingkang tumeka, warata sa Tanah Jawi, ginawe kang paring gesang, tan kenging dipun singgahi, wit ing donya puniki, wonten ing sakwasanipun, sedaya pra Jawata, kinarya amertandhani, jagad iki yekti ana kang akarya.”

9. “Warna-warna kang bebaya, angrusaken Tanah Jawi. Sagung tiyang nambut karya, pamedal boten nyekapi, priyayi keh beranti, sudagar tuna sadarum, wong glidhik ora mingsra, wong tani ora nyukupi, pametune akeh sirna aneng wana.”

10. “Bumi ilang berkatira, ama kathah kang ndhatengi, kayu kathah ingkang ilang, cinolong dening sujanmi, pan risaknya nglangkungi, karana rebut rinebut, risak tataning janma, yen dalu grimis keh maling, yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.”

11. “Heru-hara sakeh janma, rebutan ngupaya bukti, tan ngetang anggering praja, tan tahan perihing ati, katungka praptaneki, pageblug ingkang linangkung, lelara ngambra-ambra, waradin saktanah Jawi, enjing sakit sorenya sampun pralaya.”

12. “Kesandung wohing pralaya, kaselak banjir ngemasi, udan barat salah mangsa, angin gung anggegirisi, kayu gung brasta sami, tinempuhing angin agung, kathah rebah amblasah, lepen-lepen samya banjir, lamun tinon pan kados samodra bena.”

13. “Lun minggah ing daratan, karya rusak tepis wiring, kang dumunung kering kanan, kajeng akeh ingkang keli, kang tumuwuh apinggir, samya kentir trusing laut, seia geng sami brasta, kabalebeg katut keli, gumalundhung-gumludhug suwaranira.”

14. “Hardi agung-agung samya, huru-hara nggegirisi, gumleger suwaranira, lahar wutah kanan kering, ambleber angelebi, nrajang wana lan desagung, manungsanya keh brasta, kebo sapi samya gusis, sirna gempang tan wonten mangga puliha.”

15. “Lindu ping pitu sedina, karya sisahing sujanmi, sitinipun samya nela, brekasakan kang ngelesi, anyeret sagung janmi. Manungsa pating galuruh, kathah kang nandhang roga, warna-warna ingkang sakit, awis waras akeh kang prapteng pralaya.”

16. Sabda Palon nulya mukswa, sakedhap boten kaeksi, wangsul ing jaman limunan. Langkung ngungun Sri Bupati, njegreg tan bisa angling, ing manah langkung gegetun, keduwung lepatira, mupus karsaning Dewadi, kodrat iku sayekti tan kena owah.

Link: Kaskus