Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

24.4.10

Sejarah Berinteraksi

PENJABARAN SESAJI DELAPAN WARNA DALAM
JONGKO JOYOBOYO

 

 
Banyak versi cerita tentang Jongko Joyoboyo, dari berbentuk tembang mocopat maupun yang sudah disadur sedemikian rupa. Bentuk tembang memang sangat populer saat itu mengingat penyebaran dalam bentuk yang lain hampir tidak memungkinkan. Dimana belum banyak orang mengenal baca tulis maupun sarana untuk menulis yang sangat sukar diketemukan. Boleh dikata hanya daun tal saja yang bisa digunakan untuk sarana menulis sebuah naskah, dan orang yang menuliskan naskah biasanya adalah seorang pujangga (sastrawan). Jadi hampir tidak mungkin seorang raja menuliskan sendiri apa yang ingin dikatakannya pada sebuah daun tal. Kemudian saya memilih versi ini untuk saya terjemahkan disini tentu saja dengan maksud agar banyak orang yang tidak mengerti bahasa Jawa menjadi lebih mengerti tentang hal ini. Sebelumnya saya mohon maaf tentu karena terjemahan ini yang masih jauh dari sempurna. Sekian pengantar dari saya, dan salam damai negriku.
 
Diceritakan di sebuah Negri Kediri ada seorang Raja yang agung bijaksana bergelar Prabu Joyoboyo. Pada suatu hari yang bukan merupakan hari pertemuan, sang Raja Kedatangan seorang tamu Raja Pandito yang berasal dari Negri Rum (Persia) yang bernama Sjekh Maulana ‘Ali Syamsudin.

 
Kemudian mereka berdua saling bertukar pendapat, membahas mengenai ilmu-ilmu yang terdapat dalam Kitab Musasar. Setelah selesai membahas mengenai ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu, kemudian Prabu Jayabaya memohon kepada tamunya itu untuk menguraiakan “siapa jatidirinya” itu.

 
Raja Pandito kemudian membuka wilayah ghaib-nya, ternyata bahwa Prabu Jayabaya itu adalah titisan Sang Hyang Wisnu. Sang Hyang Wisnu masih akan menitis dua kali lagi, semua masih keturunan Prabu Joyoboyo. Sesudah semuanya terbaca, kemudian Prabu Joyoboyo menyatakan tunduk dan menganggap guru kepada Raja Pandito, kemudian Prabu Jayaboyo diberi ilmu Cipto-Sasmito. Tetapi setelah wejangan ilmu Cipto-Sasmito selesai Raja Pandito menghilang begitu saja.

 
Kurang lebih sebulan setelah kedatangan tamu Raja Pandito itu, Prabu Joyoboyo memanggil putranya yang juga telah menjadi Penguasa di Kota Pagedongan dengan gelar Prabu Joyomijoyo untuk menemaninya bertandang ke Padepokan Ajar Soebroto di Wukir Padang. Ternyata Ki Ajar Soebroto juga sudah mendapatkan ilmu Cipto-Sasmito dari Raja Pandito Syekh Maulana ‘Ali Syamsudin.

 
Bergantilah kemudian cerita ini untuk melihat apa yang terjadi di Padepokan Wukir Padang tempat Ki Ajar Soebroto. Saat itu Ki Ajar Soebroto sedang bercengkerama dihadapan para murid-muridnya; cantrik-cantrik, wasi janggan, ulu guntung dan endang. Kemudian, Ki Ajar memberikan khabar kepada murid-muridnya apabila Padepokan Wukir Padang akan kedatangan Raja Agung dari Kediri Prabu Joyoboyo yang disertai oleh Raja Pagedongan Prabu Joyamijoyo. Cantrik-cantrik dan semua murid-muridnya diperintahkannya untuk bersih-bersih dan menyiapkan penyambutan atas kedatangan kedua tamu agung tersebut.

 
Tidak berapa lama kemudian Prabu Joyoboyo dan Prabu Joyoamijoyo datang di Padepokan Wukir Padang. Ki Ajar Soebroto membagikan kedatangan Prabu Jayaboyo, dan murid-muridnya, cantrik-cantrik dan wasi janggan semuanya jongkok sambil mengelu-elukan kedatangan raja-raja agung tersebut.

 
Kedua raja agung tersebut memasuki tempat penyambutannya dan duduk di tempat yang telah disediakan. Namun Ki Ajar Soebroto yang menghadap raja agung tersebut hanya duduk bersimpuh di tanah saja. Sesudah memberikan kata-kata sambutannya kemudian Ki Ajar memberikan aba-aba kepada endang agar mengeluarkan jamuan. Jamuan itu datang dengan cara dipanggul di atas kepala para endang.

 
Adapun tujuh macam sesaji, delapan beserta endangnya barang yang disesajikan itu:
1. Kunyit serampang,
2. Uli setakir,
3. Bunga Melati secontong,
4. Kajar sepohon,
5. Bawang putih setalam,
6. Darah sepitrah,
7. Endang (pelayan yang membawa jamuan = sesaji)
8. Bunga Seruni.

 
Prabu Joyoboyo mengetahui apa yang disajikan itu, seketika itu juga merasa ingin marah meslipun hanya dalam hati, karena sebenarnya sudah mengetahui apa-apa yang tersirat dibalik jamuan-jamuan itu. Meskipun demikian beliau tetap sabar dan kemudian memanggil dan menanyakan kepada Ki Ajar Soebroto, apa maksudnya dengan menyajikan sesuatu yang penuh teka-teki. Jawab Ki Ajar: “Karena paduka telah diberi wisik ilmu Cipto-Sasmito oleh Sang Raja Pandito Syekh Maulana ‘Ali Syamsudin, maka selayaknya paduka menjawab teka-teki itu sendiri.”

 
Mendengar jawaban dari Ki Ajar Soebroto yang demikian itu, Prabu Joyoboyo merasa sangat terpukul, dengan dada berdegub keras seakan terbakar membara, kemudian beliau ingat atas kekuasaannya maka seketika itu juga menghunus senjatanya dan ditusukkannya kepada Ki Ajar Soebroto dan seketika itu juga tewas.

 
Seandainya toh bisa bicara Prabu Jayoamijoyo, menyaksikan kejadian yang seperti itu sangat heran dan sedih sekali meskipun hanya dalam hati. Tetapi terbawa dari rasa hormat yang sangat kepada raja junjungannya, maka ketakutanlah yang ada untuk menegurnya.

 
Prabu Joyoboyo kemudian meninggalkan Padepokan Wukir Padang untuk pulang ke Kediri dengan disertai putranya. Karena sangat gundah-gulananya rasa di kalbu maka mereka tidak saling berbicara di jalan.

 
Diceritakan, setelah Prabu Joyoboyo dan putranya sampai di Keraton Kediri, maka kemudian Prabu Joyoboyo memanggil dan menanyakan kepada putranya apakah mengerti tentang jamuan yang penuh teka-teki tadi.

 
Prabu Joyoamijoyo mengatakan apa yang sebaliknya, sehingga akhirnya Prabu Joyoboyo memberikan wejangannya.
“Apa yang kuketahui hai anakku, sehingga akhirnya aku terpaksa menganiaya Ajar Soebroto karena dia telah melakukan dua dosa sekaligus. Yang pertama adalah dosa terhadap Raja, dan yang kedua adalah dosa terhadap Guru. Lalu apakah dosanya terhadap Raja, karena Ajar Soebroto punya pemikiran yang salah dengan meringkas raja-raja yang berkuasa di Tanah Jawa ini. Kemudian dosanya terhadap guru adalah karena dia punya watak angkuh, karena berani-beraninya membuka tabir ghaib yang masih menjadi rahasianya Hyang Sukma, dengan menjabarkan ilmu sandi yang diwisikkan guruku waktu itu. Yang begitu itu anakku, makanya Ajar Soebroto wajib menerima hukuman dari Hyang Sukma harus dibunuh.”

 
Prabu Joyoamijoyo bersimpuh dihadapan Rajanya, kemudian Prabu Joyoboyo berkata lagi.”Dan karena itu maka engkau aku kasih tahu, sebenarnya saya ini adalah titisan Sang Hyang Wisnu Murti. Penitisannya hanya tinggal dua kali lagi, dan yang ketiga itu adalah aku sendiri. Setelah itu saya sudah tidak menitis lagi, dan kemudian akan ada negara Jenggala. Dan itu aku beri lambang: Catur Noto, dengan sandi segoro asat (laut kering). Arti dari ke-empat negri itu adalah: Jenggolo, Kediri, Ngurawan dan Singosari. Raja deri keempat negri itu masih membutuhkannya untuk memelihara bumi, agar tetap sentosa. Aku masih akan membantu untuk memerangi para angkara murka yang lamanya hingga seratus tahun, kemudian akan berganti zaman. Disitu aku sudah tidak berhak untuk ikut campur karena sudah terpisah dari leluhur-leluhurku. Dan tempat tinggal saya kelak secara ghaib adalah arah datangnya guruku.

 
Anakku, mengertilah apa-apa yang akan terjadi kelak setelah saya tinggalkan, akan ada Jaman yang bisa digolongkan menjadi tujuh. Kepadamu aku wajibkan untuk memberikan pengetahuan ini kepada anak-turunmu. Karena sesaji yang diberikan Ki Ajar Soebroto ada sejumlah tujuh macam, dan yang kedelapan adalah endang, maka itu akan menjadi pertanda jaman.

 
Dan yang pertama-tama adalah: Kunyit satu rampang. Itu adalah pertanda Jaman Anderpati Koloseso, yaitu permulaan jaman. Rajanya diberi lambang: Gondo kenthir pendekatannya liman pepeko. Negarannya dinamakan Pakrama Pajajaran, panglimaperang (manggalayuda) yang tidak berbakti, penghasilan buminya uang emas. Hanya sampai seratus tahun kemudian menghilang karena perang antar saudara.

 
Yang kedua adalah: Uli satu takir. Itu adalah pertanda Jaman Anderpati Kolowisoyo. Rajanya diberi lambang: Sri kolo rojopati dewonoto. Negaranya bernama Majalengka (Majapahit). Lamanya sepuluh windu. Penghasilan bumi permata, dengan lambang: Bebasahan datan kongsi tutug kaselak kampuhe bedah.

 
Yang ketiga adalah: Bunga Melati satu contong. Itu adalah pertanda Jaman Kolowiseso. Rajanya berkedudukan di Glagahwangi, negaranya Demak. Kemudian pindah agama. Rajanya yang mendunia, diperintah oleh Ratu Adil, dan ada Ratu Pandito yang mengajarkan agama Islam.

 
Sebatang pohon Kajar. Itu adalah pertanda Jaman Kolojonggo. Rajanya bodoh yang diberi lambang Lungo perang putung watange. Beribukota di Pajang. Ketatanegaraannya mencontoh Demak. Penghasilan buminya permata dan pakaian. Lama pemerintahan empat windu lebih empat bulan dan menghilang.

 
Bawang putih setalam. Itu adalah pertanda Jaman Kolosakti. Rajanya berkedudukan di kota Mataram. Raja yang pertama diberi lambang: Serakah pendekatannya lintang sinipat, dengan panglima perang Jadug. Dengan lambang: Kalpo sru kenoko putung. Kemudian berganti lambang: Kembang sempal pendekatannya lebu kekethu. Rajanya kayaraya, suka berperang, sangat disegani balatentara dan musuh-musuhnya. Sangat ditakuti oleh para guru, pendito, wali, nujum, yang semua terkumpul menjadi satu. Raja yang sakti, adil dan bijaksana.
Penghasilan buminya bumi uang emas. Disana ada nahkoda (orang asing yang menyandarkan kapal) untuk berdagang di Jawa. Yang kemudian berbakti kepada raja dan diberi tanah yang sedikit, lama-lama bisa ikut berperang dan ternyata selalu menang dan terkenal hingga seluruh Jawa.

 
Darah sepitrah. Itu menandakan Jaman Duporo. Rajanya berkedudukan di kota Wanakarta. Yang pertama diberi lambang: layon keli pendekatannya satrio bronto. Rajanya mempunyai tentara para berandal, disegani di seluruh dunia, tetapi keturunannya tidak bisa menjadi raja. Dan yang menjadi raja berasal dari kerabat. Kemudian berganti lambang: Gunung kendeng pendekatannya kenyo nusoni. Kemudian berganti lambang lagi: gajah meto, pendekatannya tengu lelaken. Penghasilan buminya agraris dan uang. Makin lama negara makin menjadi-jadi, hilang berkah dari bumi, kerusuhan terjadi pada pemerintahan, orang kecil banyak yang makin sengsara, kecelakaan dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Rajanya tidak perduli dan hanya bersenang-senang saja. Para pembantu pemerintahan sangat kebingungan, para pembantu raja tidak karuan, dan masyarakat sangat kocar-kacir dimana-mana.

 
Endang. Itu pertanda Jaman Kutilo. Rajanya angkara murka, pemerintahan berpindah ke Solo. Dilambangkan dengan: panji loro pendekatannya Pajang Mataram. Orang asing ikut berperan dalam pemerintahan, dan menjadi kaya-raya sehingga merasa angkuh. Orang-orang pinter yang punya kedudukan banyak berkorupsi. Orang-orang masyarakat bawah sangat terlunta-lunta karena tergusur oleh berbagai proyek raksasa. Dan orang-orang asing yang ada di pemerintahan benar-benar sangat angkuhnya sehingga lupa dan mengingkari akan siapa dirinya yang sebenarnya hanya numpang saja yang akhirnya hanya menimbulkan kesengsaraan. Panji lörö sirno, nuli roro ngangsu, rondo lörö nututi pijer tukaran. (Dua anak laki-laki yang menghilang kemudian perawan yang mencari tahu, akhirnya dua orang janda yang ikut mencari akhirnya bertengkar). Penghasilan negara berupa uang, yang sedikit-sedikit harus membayar pajak, dan apabila petani sedang panen hasilnya tak cukup untuk kebutuhan hidupnya. Para pendusta dan pembohong sangat merajalela, orang-orang kaya sangat menyia-nyiakan pekerjanya. Dan setiap tahun ada saja musibah yang menimpa negara. Keadilan hukum dan prajurit-prajurit negara sudah tidak lagi mempunyai arti untuk kebenaran. Tatacara pemerintahan berganti-ganti, orang yang jujur akhirnya tersingkir, orang yang ngotot bisa menang, dan orang yang benar-benar bener malah keblinger. Dan benar-benar tidak ada wahyu yang nyata, iblis laknat yang berpura-pura menjadi wahyu.

 
Banyak yang melupakan saudara dan lebih-lebih tidak mengabdi pada orang tua lagi. Dan kesucian wanita sudah tidak ada gunanya lagi, orang meninggalpun tidak bermakna apa-apa. Negara sangat rentan dan banyak kejadian-kejadian aneh, hujan yang tidak pada musimnya, kedudukan pangkat yang bermacam-macam, dan tontonan yang berganti-ganti. Sering terjadi gempa bumi dan gerhana untuk menutup tahun 1881. Yang bisa selamat hanya orang-orang yang berbudi baik.

 
Bunga Sruni. Itu tandanya Jaman Kolosubo. Dengan lambangnya: Ratu Tunjung Putih yang umurnya pudak sinumpet. Artinya pudak itu terbalik. Sudah kehendak Hyang Sukma yang sudah membuat bumi terbalik, dan menurunkan raja yang bijaksana (Ratu Adil) bernama Raden Amisan dengan gelar Sultan Herucokro, berkedudukan di kota Katangga Petik, yang pengangkatannya tanpa menggunakan syarat apapun. Itulah permulaan adanya pengampunan dosa (berjamaah), yang kemudian baru berakhirlah musibah-musibah yang sering terjadi di Jawa. Raja tersebut mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk kebutuhan semuanya dengan suka cita juga terhadap para prajurit. Kemudian orang-orang asing tadi merasa terlunta-lunta dan akhirnya ikut membela negara dengan nyata.

 
Yang masih suka ngambek (demo) akhirnya berhenti. Sultan Herucokro itu masih keturunan Waliyullah, dengan kesaktian yang luar biasa. Penghasilan negara adalah uang, orang kecil merasa enak karena pajak dikurangi 90%. Sebagai contoh sawah seanjung hanya membayar satu dinar. Rajanya sangat dermawan, makan dan buat kehidupan sehari-hari hanya dijatah tujuh ribu real untuk kebutuhan setahun, apabila lebih dianggap haram. Banyak negara-negara tetangga yang takluk. Karena rajanya sangat adil dan bijaksana sehingga tentara dan rakyat semua sangat hormat tulus lahir dan batin.

 
Jika saatnya nanti Jawa ini sudah berumur samapai 1901 tahun, raja sekalian istana (keraton) akan hilang lenyap karena Sang Hyang Sukma. Kemudian Hyang Sukma akan menurunkan raja lagi dari keturunan Waliyullah, yang istananya ada di Katonggo yang terjepit diantara Karangbaya, yang kurang lebih ada di sebelah Timur Laut gunung Prahu, sebelah barat tempuran. Raja itu sangat menghargai buminya, dan karenanya negara menjadi lebih maju sampai akhirnya tanah Jawa genap berusia 1909.

 
Setelah raja itu tidak berkuasa lagi maka negara akan rusuh lagi. Di Jawa ini tatanan yang tidak karoan, banyak para pembantu pemerintahan yang hanya bersenang-senang pergi keluar negri. Sang Hyang Sukma kemudian menurunkan raja lagi yang mempunyai sebutan Sang Asmoro Kingkin. Masih muda dan gagah, sangat disegani oleh prajurit, dengan istananya di Kediri dan Medura, dan negara menjadi makmur dan tentram. Saat itu Jawa sudah berumur 1999 dan sesudahnya istana musnah lagi.

 
Setelah raja tidak berkuasa lagi, maka keadaan rusuh kembali. Kemudian negara Jawa ini kedatangan musuh dari Nuso Prenggi. Raja dari Negeri Rum memberikan bantuan untuk mengusir orang-orang dari Nusa Prenggi itu. Terjadilah perang yang dahsyat dan banyak orang yang saling curi-mencuri. Karena kerusakan yang dahsyat tadi maka banyak sekali perusuh. Kemudian utusan dari Negeri Rum itu membuat Raja Boneka yang bisa dikatakan Ratu Adil dengan istananya di Ketonggo Petik, tetapi masih kecil dan sangat mengiba dan hanya sebagai penggembala ternak saja. Penobatan raja dilakukan di Waringin Rubuh yang merupakan tempat rahasia, dan negaranya diberi nama ‘Amartoloyo.

 
Ketika itu Jawa umurnya sudah 2042 tahun. Jaman itu diberi lambang: Gandrung-gandrung pinggir marga andulu gelung kekendon, artinya banyak wanita yang ngasin turasing kakung. Kala itu sudah tidak ada perang lagi, sudah tidak ada yang menggunakan keris sebagai tosan aji. Apabila nanti Jawa sudah berumur 2100 tahun, itu berarti sudah dekat waktunya dengan kiamat qubro, pulau Jawa tenggelam oleh air menjadi lautan.

 
Ya putraku, sudah selesailah semua apa yang ingin aku sampaikan kepadamu, dalam penjabaran sesaji yang delapan macam itu yang diberikan oleh Ki Ajar Soebroto kepadaku.

 
Catatan:
  1. wukir = gunung.
  2. windu = 8 tahun.
  3. layon keli = mayat terhanyut.
  4. satrio bronto = satrya yang kesusahan.
  5. kenyo nusoni = perawan yang menyusui.
  6. gajah meto = gajah putih.
  7. tengu lelaken = binatang kecil berwarna merah yang suka menyelip dekat kemaluan yang sedang kawin.
  8. tempuran = pertemuan dua buah sungai.

16.4.10

Mengungkap Misteri

Kanjeng Ratu Kidul


Sudah sejak lama, banyak teman-teman atau kerabat dekat maupun jauh yang menanyakan hal ini kepada saya, namun saya sangat sulit untuk menjawabnya. Saya tahu hanya sedikit sekali. Dan mau mencari referensi sangat sukar untuk diketemukan. Dengan saya ketemukan tulisan ini maka aku beranikan diri untuk memasangnya di sini. Untuk sementara ini saya menganggap tulisan berikut adalah yang paling bijaksana di dalam mengungkap kebenaran tersebut. Mungkin bila saya ketemukan yang lebih bijaksana dari ini aku akan gantai tulisan ini. Terimakasih.


Untuk mengurangi kontroversi dan kesimpangsiuran, sejenak Sabdalangit mengulas tentang sejatinya Kanjeng Ratu Kidul. Beliau entitasnya sebagaimana manusia adalah tetap sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Beliau sangat religius, arif bijaksana, juga menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beliau bukan jin, bukan siluman, bukan sebangsa setan. Kanjeng Ratu Kidul adalah titisan dari bidadari yang diizinkan Tuhan menjadi ratu jagad maya pesisir selatan. Tuhan menciptakan entitas Ratu Kidul supaya menjadi bandul keseimbangan antara alam gaib dan alam nyata. Semestinya antara manusia dengan makhluk gaib, membangun sinergisme; dengan saling “silaturahmi”, menghargai, memiliki hubungan simbiosis mutual, serasi dan harmoni dalam bahu membahu menjaga alam semesta dari kerusakan. Manusia dengan makhluk gaib pada arasnya dapat saling melengkapi, saling mengisi kelemahan masing-masing. Tetapi manusia sering takabur, merasa sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna sehingga lebih suka menyia-nyiakan, menghina, aniaya, dan merendahkan, terhadap makhluk gaib (yang juga ciptaan Tuhan) secara pukul rata. Padahal kesempurnaan manusia hanya tergantung akalnya saja. Bila akal digunakan untuk mendukung kejahatan bukankah manusia tidak lebih mulia daripada binatang yang paling hina sekalipun.

Tidak seluruh makhluk gaib itu berkarakter jahat, seperti halnya manusia ada yang berkarakter jahat, suka mengganggu, tetapi ada yang berkarakter baik pula. Tetapi makhluk gaib terlanjur sering menjadi kambing hitam, oleh manusia-manusia “jahat” agar dapat berkilah bahwa mereka melakukan kejahatan karena ulah “si setan”. Bukankah, manusia akan menjadi lebih bijaksana jika mengatakan bahwa manusia melakukan kejahatan karena menuruti hawa nafsunya (NAR/api/ke-aku-an) sendiri yang menjelma menjadi ’setan’. Pembaca yang budiman dapat saksikan sendiri, bilamana bulan suci tiba, setan-setan dibelenggu, tapi kenapa pada bulan puasa tetap saja banyak kasus korupsi, pembunuhan, maling, rampok, penggendam, penipuan, bahkan pernah saya melihat ada orang kesurupan, pernah pula melihat ‘penampakan’!? Mungkin manusia salah mengartikan, setan yang dibelenggu tidak lain adalah nafsu negatif kita sendiri. Dan yang membelenggu hawa nafsu negatif (NAR) tidak lain menjadi tugas kita sendiri, dengan borgol berujud jiwa yang suci (NUR) atau an nafsul mutmainah, dengan artikulasi akal dan budi pekerti yang luhur.

Berbeda dengan konsep Kanjeng Ratu Kidul, adalah Betara Kala disebut-sebut raja makhluk gaib dari ‘dunia kegelapan’. Sebutan itu muncul karena Betara Kala mencari korbannya yakni manusia. Tetapi seyogyanya jangan terburu-buru pada kesimpulan bahwa Betara Kala merupakan makhluk jahat dari dunia gaib yang ‘hitam’. Karakter ‘jahat’nya, karena Betara Kala hanya menjalankan titah atau kodrat Tuhan, sebagai eksekutor/algojo bagi orang-orang yang melawan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan termasuk eksekutor bagi orang yang melanggar paugeran dan wewaler. Peranan Betara Kala sama halnya dengan Kanjeng Ratu Kidul sebagai penyeimbang antara jagad kecil dan jagad besar. Membangun sinergisme antara dunia manusia dengan dunia makhluk gaib. Jika manusia mempercayai peran-peran tersebut, manfaatnya dalam kehidupan kita sehari-hari justru membangun sikap religius, kita menjadi lebih hati-hati dalam menjalankan roda kehidupan yang penuh “ranjau”. Manusia selalu menjaga diri dengan sikap eling lan waspada. Semakin banyak orang lupa diri; tidak eling waspada, suka melanggar wewaler, maka cepat atau lambat Tuhan pasti memberikan azab, baik dalam bentuk bencana kemanusiaan maupun bencana alam di bumi nusantara.

Sekalipun saat ini semakin banyak orang-orang yang tampak sangat religius, mengaku sebagai pahlawan agama, jago ceramah, namun banyak pula di antara mereka yang sesungguhnya amat dangkal pengetahuannya, ilmunya sebatas “kulit”. Golongan ini tak menyadari jika sedang kekenyangan makan ‘kulit’(syari’at) saja. Selanjutnya muncul gejala semakin gencar manusia tampil sebagai pembela agama baik dengan menghalalkan cara-cara kekerasan maupun pedagog verbal. Semakin banyak jumlah orang-orang yang seolah-olah soleh-solehah, giat pergi ke tempat ibadah, tetapi semakin banyak pula mereka terbukti melakukan perbuatan keji, korupsi, selingkuh, merampok hak orang lain, memperkosa, mencuri, menipu, mencelakai orang, pagar makan tanaman. Tentusaja mereka melakukannya dengan kesadaran sambil mencari-cari dalil yang mengada-ada sebagai alasan pembenar. Kesalahan kecil dibesar-besarkan, namun jelas-jelas kejahatan besar tidak dihiraukan.


Mohon beribu-ribu maaf! Penjelasan tambahan dari Tumenggung Wirosobo untuk sementara saya singkirkan terlebih dahulu. Dan untuk penggantinya berikut ini saya dapatkan dari facebook. Trimakasih!


Meluruskan Citra Eyang Nyai Roro Kidul
By: Johannes Nugroho Onggo Sanusi

Saya merasa prihatin bahwa Nyai Roro Kidul sering digambarkan dalam budaya Indonesia sekarang sebagai ratu jin ataupun setan dengan semua embel-embel syirik. Media Indonesia melalui acara-acara yang kurang mendidik juga sering menggambarkan Nyai Roro Kidul sebagai jin wanita yang jahat.

Sebenernya dalam tatanan kepercayaan Jawa kuno, Nyai Roro Kidul adalah seorang Dewi, bahkan mungkin merupakan Dewi Agung bangsa Jawa. Hampir semua bangsa di dunia punya paling tidak seorang Dewi Agung. Bangsa Yunani Kuno mempunyai Gaia (Ibu Bumi), Mesir Dewi Isis, Jepang Dewi Amaterasu, Irlandia Dewi Morrigan, Tibet Dewi Tara, China Dewi Kwan Im dan Jawa Nyai Roro Kidul.

Menurut almarhum Kanjeng Sultan Hamengkubuwono IX, sosok Nyai Roro Kidul bukanlah sebuah imaginasi. Kanjeng Prabu bersedia memberi testimoni bahwa beliau pernah melihat sang Dewi. Sang Sultan juga berujar bahwa gelar Nyai Roro Kidul di dalam istana lautannya adalah "Retna Dewati". Melihat gelar tersebut, bisa disimpulkan bahwa Nyai Roro Kidul adalah Dewi Bulan karena Retna berarti terang bulan. Kanjeng Sultan juga menyebutkan bahwa sang Nyai berubah wujud menurut umur bulan. Jika bulan sedang berumur muda, Nyai Roro Kidul berwujud sebagai gadis remaja; jika bulan purnama, Dia berwujud wanita dewasa dan bila bulan sabit, Nyai Roro Kidul berwujud nenek tua.

Penjelasan Sultan mengingatkan saya pada 3 Dewi Nasib bangsa Yunani yang disebut sebagai The Three Fates; Clotho sang gadis muda; Lachesis sang wanita dewasa dan Atrophos, nenek tua yang bertugas memotong tali kehidupan seseorang jiwa awalnya tiba.

Nah dalam kapasitasnya hanya sebagai Dewi Bulan, bagaimana Nyai Roro Kidul juga dapat dikatakan sebagai Dewi Agung?

Kita yang pernah membaca khasanah Nyai Roro Kidul dalam Babad Tanah Jawi mungkin pernah tahu bahwa beliau juga dikenal dengan nama Dewi Srenggeng, di mana Srenggeng berarti Matahari.

Para petani Jawa juga mengetahui bahwa hewan ular adalah utusan Nyai Roro Kidul. Dalam hal ini Nyai Roro Kidul bertindak senagai Dewi Pertanian atau Dewi Sri.

Fakta bahwa semua raja Mataram keturunan Panembahan Senopati harus secara ritual "kawin" dengan Nyai Roro Kidul juga menunjukkan bahwa kedaulatan Tanah Jawa secara metafisik berada di tangan Nyai Roro Kidul. Sesungguhnya tidak akan ada Raja Jawa yang sah menduduki tahta tanpa kawin dengan sang Nyai.

Bagaimana pula kita menyikapi hal ini? Apa benar bahwa para raja-raja Mataram kawin secara harfiah dengan san Dewi?

Tentu kita harus mengartikan perkawinan tersebut dari segi simbologis. Nyai Roro Kidul adalah lambang tanah Jawa beserta semua laut yang mengelilinginya, jadi pada saat bertahtanya seorang raja Jawa, beliau secara spiritual mengawini tanah Jawa, yang disimbolkan sebagai seorang Dewi.

Tata cara spiritual ini sebenarnya juga dipraktekkan bangsa lain di dunia. Pemimpin spiritual Tibet Sang Dalai Lama juga menanggap Dewi Tara sebagai Dewi Pelindung bangsa Tibet. Dan setiap Dalai Lama baru harus memberi hormat pada Tara yang dikatakan bersemayan di sebuah danau suci di Tibet.

Jika memang Nyai Roro Kidul adalah Dewi Agung Tanah Jawa, apa relevansi semua itu bagi bangsa Indonesia, terutama penganut Kejawen?

Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang mengutamakan keseimbangan. Kita semua tahu bahwa keseimbangan dalam seseorang akan tercapai jika unsur maskulin (yang) dan feminin (yin) bekerja selaras dan hamonis.

Demikian juga spiritualitas kita. Selama ini hampir semua agama di Indonesia menggambarkan Tuhan sebagai laki-laki. Akibat dari penggambaran tersebut kaum wanita tersingkir dari posisi kuat dalam agamanya sendiri. Kaum wanita masih ditabukan menjadi imam bagi kaum pria, sementara kaum pria merasa pantas mengimami kaum wanita karena mereka merasa Tuhan adalah maskulin, dan dengan otomatis wakil Tuhan harus maskulin juga.

Hal ini ironis sekali mengingat bahwa kita semua lahir dari rahim wanita. Kalaupun Pencipta kita semua Pria, mengapa Wanita diberi posisi kunci dalam proses prokreasi?

Kalau kita dapat melihat Tuhan sebagai Bapa kita semua, kenapa kita merasa aneh jika Tuhan dapat juga menjadi Bunda bagi kita semua?

Jika kita jujur, Tuhan mungkin seorang Bapa dan Bunda sekaligus juga. Penggambaran iliahi sebgai sosok Bunda juga tidak dapat dihilangkan dari memori bawah sadar kita. Itu sebabnya Nyai Roro Kidul, seorang dewi kuno bangsa ini, masih juga survive sampai pada masa kita.

Itu pula sebabnya Bunda Maria dalam ajaran Katolik begitu dimuliakan. Dan itu pula sebabnya putri Nabi Muhamad Fatima begitu dimuliakan oleh kaum Muslim dan oleh sang Nabi. Begitu pula kedudukan Dewi Kwan Im dalam agama Buddha.

Dewasa ini kita melihat kerusakan yang hebat terhadap lingkungan dan bumi kita. Manusia seakan -akan tanpa peduli mengeksploitasi bumi demi uang dan kekuasaan tanpa memikirkan semua luka yang kita hujamkan pada alam.

Seandainya kita mengganggap bahwa alam adalah Dewi Bumi, Ibu kita semua dan tanah Jawa ini adalah Dewi Ratu Kidul, akankah kita tega atau berani merusaknya? Ketidakpedulian manusia terhadap alam banyak disebabkan oleh hilangnya sosok feminin dalam ketuhanan kita.

Seorang Ibu biasanya mencintai semua anaknya, tidak peduli ada anaknya itu jelek, elok, bodoh ataupun jahat sekalipun. Semua adalah anaknya. Semua berhak menyusu padanya pada waktu kecil. Semua dibesarkan di rahimnya, jelek ataupun rupawan. Inilah filosofi ketuhanan sosok Bunda.

Akhir-akhir ini kita juga melihat bentuk-betuk kekerasan yang diakibatkan oleh tidak adanya toleransi bagi sesuatu yang lain. Saudara kita yang berkeyakina Ahmadiyah telah melihat dengan kepala mata mereka sendiri kebebasan mereka beribadat dinistakan. Merak dianggap bidah karena keyakinan mereka berbeda.

Kaum gay and lesbian juga diteror oleh kelompok fanatik agama ketika hendak mengadakan pertemuan internasional di Surabaya. Padahal selama ini banyak juga di antara kita yang mengenal kaum liyan ini sabagai anggota masyarakat yang baik, sebagai warga negara yang taat. Cuma karena urusan ranjang mereka harus dibedakan dan disisihkan.

Inilah akibat dari ketuhanan maskulin yang kaku. Seorang Ayah yang malu akan anaknya mungkin tega mengusir anak tersebut tetapi seorang Ibu mungkin merasa malu juga tetapi kemungkinan besar akan tetap mencintai anak tersebut karena bagaimanapun anak itu juga pernah besar di rahimnya.

Teman-teman sekalian, bumi kita sedang meraung karena hujaman kita anak-anaknya. Salahkan Dia jika harus protes keras dengan banjir besar di mana-mana yang merupakan peringatanNya pada kita? Marilah kita mennyembuhkan luka Ibu kita dengan lebih bertanggung-jawab akan alam, dengan lebih toleran terhadap orang lain dan mengingat bahwa surga berada di telapak kaki Ibu kita yang surgawi!


Tanggapan:
KS:
Mencoba untuk mengungkapkan Pendapat :
Sosok seorang Nyai Roro Kidul, kalo menurut pendapat saya ada perbedaan dengan seorang sosok IBU RATU KIDUL, karena menurut cerita yg saya dapat dari seseorang, sosok seorang IBU RATU KIDUL adalah seorang Ibu yang Menjadi Pengayom Tanah Jawa, sedangkan Nyai Roro Kidul merupakan Abdi Dalem Ibu Ratu Kidul. Kalo ada kelirunya mohon di koreksi dan diwedarkan kembali.suwun

NOS:
Mas KS, ini juga ada benarnya, mas, mungkin cuma masalah penamaan, karena sosok penguasa Ratu Selatan dipanggil dengan banyak nama; Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul, Mbok Ratu Kidul, dsb. Pendapat Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa Segara Kidul sedangkan Nyai Roro Kidul abdi dalemnya juga bisa dibenarkan.

Kemungkinan besar nama-nam tersebut merepresentasikan sosok yang sama dengan persona yang beragam. Kanjeng Sultan HB IX pernah berucap bahwa penampilan Ratu Kidul berubah sesuai umur bulan, jadi semua variasi name tersebut Nyai ataupun Mbok bisa merupakan nama-nama sosok yang sama.

Perbandinganya dapat ditemukan di mitologi bangsa lain. Dewi Rhea bangsa Yunani yang merupakan Dewi Bumi juga bisa disamakan dengan Dewi Hera yang menurut cerita malah semestinya putri Dewi Rhea. Tapi secara esensi dewi-dewi tsb merupakan sosok yang sama. Gaia, Rhea, Hera semua dewi bumi, bahkan di Efesus Rhea disebut sebagai Artemis.

Di Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Ratu Kidul dulunya seorang putri raja yang terkena penyakit kulit akibat diguna-guna. Menurut saya cerita ini telah diedit pada jaman penulisan buku tersebit, sehingga hanya sekelumit informasi yang dapat diperoleh. Seorang peneliti Belanda Roy E. Jordan berargumen bahwa cerita penyakit kulit tersebut dapat diartikan bahwa Ratu Kidul merupakan seorang nagini (dewi ular), yang memiliki kulit bersisik.
http://ccbs.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-EPT/roy.htm

Saya rasa semua cerita-cerita kuno dahulu sebelum ditulis dalam bahasa selalu diabadikan berupa gambar, biasanya secara relief di bangunan seperti yang kita temui di candi-candi. Pada waktu gambar-gambar tersebut diterjemahkan ke dalam tulisan, kadang-kadang bisa terjadi kesalahpahaman. Bila seorang dewi digambar memiliki kulit bersisik karena dia dewi ular, bisa jadi disalahartikan dia punya penyakit kulit.

KS:
Memang mungkin begitu menurut cerita, tetapi sosok seorang IBU dan seekor NAGA, adalah gambaran tentang DUNIA atau keduniawian, karena IBU di dalam istilah kejawen adalah Isen-isening Buwono, yang berarti semua yang ada di dunia ini juga sudah terdapat di dalam diri manusia.

JNOS:
Jika Ratu Kidul memang nagini, maka ini normal-normal saja menurut mitologi karena Ratu Kidul juga bisa disebut dewi bumi, semacam Dewi Sri. Kebanyakan dewi bumi memang dihubungkan denga ular.

Kalau masalah ajaran Kejawen, saya rasa tidak dapat dipungkiri Kejawen jaman sekarang merukapan sinkretisme dari semua sejarah keberadaannya. Kejawen pasti sudah ada sejak sebelum Hindu masuk tanah Jawa, dan kita benar-benar tidak mengetahui pada jama itu Kejawen itu seperti apa. Kemungkinan besar Ratu Kidul berasal dari masa ini.

Ketika Hindu masuk, kemungkinan juga ajaran Hindu berpengaruh terhadap Kejawen. Seperti yang Mas sebutkan masalah keduniawian. Konsep ini sangat Hindu sekali karena dalam ajaran Hindu untuk mendekatkan diri pada dewata, penyangkalan diri sangat diperlukan, makanya kita mengenal konsep bertapa & berpuasa.

Ketika agama Islam masuk pun, saya rasa Kejawen juga pasti terkena pengaruh Islam juga, apalagi keratin-keraton Islam se Jawa mempraktekkan Islam & Kejawen secara bersamaan. Saya rasa kita harus bisa membedakan konsep moral dalam Kejawen yang telah terakulturasi dan yang belum.

HP:
Semua makhluk adalah termasuk makhluk yang tampak maupun tidak tampak, meminjam istilah karena alam beda frekuensi. Masalah umur seekor nyamuk umurnya cuma 1 sampai 2 hari bandingkan dengan manusia, bagaimanakah nyamuk melihat manusia? Ada alam bahagia (surga yang paling rendah dekat dengan frekuensi manusia, sehari semalam disana adalah 20 tahun di dunia manusia (tetapi untuk membuktikan ini memang perlu syarat khusus) bagaimana dengan alam yang lebih tinggi lagi ada yang sehari semalem didunia 80ribu tahun, dan sehingga kadang makhluk yang mendiami alam tersebut sampai merasa dirinya kekal. Nyi Roro Kidul adalah makhluk, jadi klo sampai sekarang masih hidup yah jangan heran, kematian suatu makhluk akan menjadi kelahiran bagi makhluk baru, entah di alam mana sebab alam ini banyak. Jadi nggak usah diambil pusing wong Nyi Roro Kidul juga makhluk seperti kita. Kalau kelakuan kita baik kita juga bisa lahir kembali di alam bahagia yang mungkin umurnya bisa ribuan tahun, begitu menurut saya. Yang terucap hanya semoga semua makhluk berbahagia baik yang tampak maupun tak tampak. Jangan mengharapkan makhluk lain celaka sekalipun makhluk itu menjadi musuh kita.

JNOS:
Mas HP, terimakasih ikut berdiskusi ya. Saya sebenarnya membicarakan Kanjeng Ratu Kidul (ada yg sebut Nyai Roro Kidul) sebagai sebuah metafora atau simbol, jadi bukan secara harfiah bahwa Dia sebuah mahluk. Yang saya tekankan nilau beliau sebagai sebuah simbol mitografik & arti dari simbol tersebut.

HP:
Benar sekali, maaf kalau mungkin kurang dimengerti. Tetapi intinya saya cuma menjelaskan bahwa semua makhluk hidup itu adalah juga bisa jadi simbol dan metafor bagi makhluk lain, cuma perbedaan disini mungkin Kanjeng Ratu Kidul bisa diibaratkan artis (tetapi jangan lupa semua makluk juga berpotensi jadi artis). Jadi wajarlah cerita-ceritanya bisa jadi gossip. Seperti sejarahlah, 2 orang mengalami kejadian secara bersamaan pasti ceritanya tidak serupa benar antara 2 orang itu kalau disuruh menceritakan, salam pripun! Semoga semua makhluk berbahagia..

JNOS:
Iya, benar, mas HP. Semua mahluk sama esensinya, baik roh, manusia, hewan ataupun tumbuhan. Energy signature nya sama-sama milik Dewi Bumi. Saya tertarik ke Kanjeng Ratu Kidul karena beliau adalah kristalisasi kepercayaan Jawa kuno, bahkan sebelum Hindu. Salam damai & berkat selalu untuk anda & keluarga.

DE:
Menilik dari kitab injil (kisah para raja - salomo dan ratu sheba, lukas klo g salah 11) Ratu Sheba, ratu selatan yg datang dr matahari terbit (Salomo di Yaman) yg membawa harta kekayaan dan akhrnya mendapatkan hikmat (ilmu) Salomo, sedangkan di Lukas disebutkan kurang lebih "akan datang mendahului aku Ratu dari selatan yang mendapatkan hikmat dari Salomo akan mendahului aku dan akan menghukum angkatan yang meragukan akan aku" (baik dlm muslim, kristen meyakini kalau nabi Isa akan datang di jaman akhir).

Kanjeng Ratu Kidul memiliki wilayah yg hampir 1/3 bumi mulai dari lautan hindia (dibawah kendali kanjeng ratu Andorosari yg bermarkas di pulau christmas), benua afrika sampai mesir (dibawah kekuasaan kanjeng ratu koloyuwati bermarkas di mesir) dan wilayah kepulauan nusantara samp daratan cina (dibawah kuasa kanjeng ratu Kenconosari (dewi kwan im?) bermarkas di Gua langse). Ketiganya mempertanggung jawabkan kepada Kanjeng Ratu Kencono wungu yg letak kratonnya kira-ktra 40km dari pantai parang tritis tetapi pusat pemerintahannya ada di Gunung Lawu dengan kepala pemerntahan Kanjeng Sunan Lawu sepuh putra Kanjeng Ratu Kencono wungu. Dari ke-3 wilayah itu memiliki simbol budaya yg hampir sama yakni ular (ular kobra, naga, liong).

Memang benar Kanjeng Ratu Kidul adalah mahkluk seperti halnya manusia, jin, roh suci bahkan malaikat tapi kita harus mengakui juga adanya tingkatan dimensi di alam ini. Maaf jika pemahaman saya salahm, salam damai selalu!

JNOS:
Terimakaish Mas DE untuk kontribusinya, sangat informatif. Saya rasa dalam hal ini tidak ada yang benar atau salah. Salam damai.

GN:
Nderek rembug Mas, setahu saya kanjeng RATU KIDUL dgn nyi Roro kidul itu berbeda, sama-sama ada dalam alam gaib, kalau Kanjeng Ratu Kidul seorang ratu kerajaan gaib, di wilayah sekitar setengah pulau Jawa ke selatan wilayah kerajaannya, dan yang menjabat sekarang NIMAS AYU PUJI PAGEDONGAN ratu ke 12. Sedangkan nyi Roro Kidul ratu siluman ular yg keberadaanya di pesisir laut kidul.ini yang sering ditemui orang -orang dlm mencari pesugihan. Ini saja informasinya, jika ada yg keliru yg saya sampaikan biar Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul klarifikasi ke saya.

GS:
Sepengetahuan saya Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasanya sedang Nyai Roro Kidul adalah abdinya semacam perdana mentrinya. Nyai Roro Kidul lah yg menjalankan pemerintahan sehari-hari kerajaan gaib Kanjeng Ratu Kidul.

YRGH:
Saya sependapat dengan mas JNOS, menurut saya. Nyi roro Kidul merupakan penggambaran Tuhan dalam versi feminim. Jika dibahasa Indonesiakan Nonya Perawan Selatan, dalam pengartian saya ini merupakan seorang perempuan yang masih perawan (polos dan suci lahir dan bathin) yang berasal dari selatan yang mendapat rahmat dari Tuhan untuk turut serta sebagai perantara manusia ke Tuhan (dalam hal ini Tuhan di andaikan Bapa) Karena sama seperti sebuah keluarga, seorang anak terkadang takut untuk meminta dan merengek langsung kepada ayahnya, lalu si anak tersebut merengek kepada ibunya untuk menjadi perantara permintaan anak ke ayah.

Ini saya terpikirkan karena jarang sekali saya melihat orang jawa yang langsung meminta kepada Tuhan sang pencipta karena bagi orang jawa Tuhan begitu jauh dan sangat dihormati dan disegani, manusia hanya patut menyembah dan bersyukur kepada Dia, (kecuali kalau kepepet) namun mereka pasti meminta kepada leluhur atau apapun sebagai perantara ke Tuhan. (Maaf jika salah.) Kemudian ada yang mengganjal dalam diri saya. Apa pendapat itu benar? Selain itu, apakah sebutan Tuhan yang maskulin bagi orang kejawen? Terima kasih, Berkah Dalem Gusti.

GN:
Urun rembug lagi; begini setrukturnya Gaib mulai dari "Tuhan" sang pencipta berada di luar Alam semesta, 4 unsur, 7 bintang {malaikat, para malaikat), 6 pilar (Ki Bodronoyo, Dewi kwan Im, Yesus, Para Budha, Tri Murti, Dalai Lama), Para Raja, orang*sakti, Dahnyang*, Iblis, jin dan lain-lain, manusia. Kembali kepada Ibu Ratu Kidul berada setara dalam gol Para Raja. Mulai dari 4 unsur sampai jiwa manusia adalah anak anak Tuhan.dalam berinteraksi selama ini manusia hanya sampai pada tingkat 6 pilar, hanya Tuhan memberikan kewenangan kepada 6 pilar dan yang lainnya pada level menurun untuk ngurusin manusia.

GS:
@YRGH: Nyi Roro Kidul bukanlah Tuhan dalam versi feminim. Nyi Roro Kidul dulunya adalah manusia seperti kita. Setelah meninggal meskipun ilmu kerohaniannya tinggi tapi dia belum bisa mencapai tingkat kesempurnaan. Jadinya dia jadi mahkluk gaib yang bergentayangan namun tidak lagi melalui proses reinkarnasi selama dia tidak menginginkannya. Kalau dia ingin mencapai kesempurnaan, maka dia harus berreinkarnasi menjadi manusia lagi dan mulai berlatih utk bersatu dengan Tuhan.

@GN: Menurut saya, Tuhan tidaklah berada di luar alam semesta. Kita semua dan alam semesta kasar maupun halus berada di dalam Tuhan, Tuhan melingkupi kita semua. Tuhan seperti lautan dan kita adalah isi lautan. Air laut bukan hanya ada di luar badan penghuni laut tapi juga dalam badannya.

Tuhan tidak pernah memberi kewenangan pada siapapun untuk mengurusi manusia kalau misalnya Dewi Kwan Im atau Nyi Roro Kidul atau siapapun mahkluk gaib kemudian membantu manusia itu mau mereka sendiri karena manusia meminta bantuan mereka. Mereka semua mahkluk gaib itu adalah pengangguran semua yang tidak punya kebutuhan apapun. Mereka tdk memerlukan makan, minum, tidur dll. Dengan waktu mereka yg tdk terbatas, mereka kebanyakan juga tdk tau mau berbuat apa di alam gaib. Jadi kalo ada manusia yg memuja dan memanggil mereka minta bantuan, mereka sebenarnya senang sekali. Coba saja rasakan sendiri kalo sudah mati nanti, bagaimana rasanya hanya mempunyai tubuh roh tanpa jasmani. Beberapa hari setelah kematian perasaan lapar, haus, capek masih ada krn umumnya orang belum menyadari bahwa sebagai roh dia tdk memerlukan semua itu. Namun lama-kelamaan jadi sadar bahwa sebagai roh,dia tdk memerlukan apapun. Sebagai roh, orang hidup dengan hanya pikiran dan perasaannya sendiri. Krn itu orang yg selalu membiasakan pikiran dan perasaannya welas asih, enak kepenak, ayem tentrem akan mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian ketika tubuh jasmaninya hancur dan dia hanya tinggal roh saja.

Ada alam 2 surga & neraka yg diciptakan oleh manusia-manusia jaman dulu yg mempunyai kemampuan batin yg tinggi. Manusia-manusia yang percaya, merasa seolah-seolah mereka bersenang-senang di surga atau tersiksa di neraka, padahal itu adalah ciptaaan pikirannya sendiri.

YRGH:
Mas GS: Oya mas, terima kasih atas penjelasannya, maaf kemarin salah!

JNOS:
Makasih teman-eman atas sumbangsihnya. Sosok Kanjeng Ratu Kidul bisa disikapi dengan banyak cara, termasuk diidentifikasi dengan DIVINE FEMININE. Ini juga tidak salah karena sosok beliau jelas menunjukkan bahwa wanita di masa lampau sudah setara dengan pria.

Saya berkata demikian karena Kanjeng Ratu Kidul ternyata hidup 15ribu tahun yg lalu, ketika Nusantara masih bernama Atlantis. Beliau adalah putri bungsu dari Prabu Sri Aji Jayabaya yang nama kecilnya Nimas Pagedongan, Nimas Angin-angin & Nimas Gilang Kencana, kaputrennya di Wonocatur Kediri.

Beliau memerintah bagain kidul Atlantis, dibantu mahapatih Nyi Roro Kiidul. Jadi ini dua sosok yg tidak sama, meski sekarang banyak dicampur aduk. Beliau MOKSA di Candi Tara & setelah tenggelamnya Atlantis, tetap memrintah dari Kraton Kidul di dasar samudra.

Beliau sendirilah yg menenggelamkan Atlantis menggunakan ilmu TRIWIKRAMA atau membesarkan diri. Hampir semua leluhur Nusantara yg sakti mumpuni dlm ilmu ini. Bekas tapa suci beliau bisa dilihat di http://maps.google.com/maps?

Maaf posting saya tadi banyak salah eja, harap maklum karena buru-buru ketiknya. Yang perlu ditambah Kanjeng Ratu Kidul tidak berpakaian warna hijau. Beliau berpakaian warna emas. Mahapatih beliau Nyi Roro Kidul yang berpakaian hijau.

YRGH:
Tidak apa-apa mas, terima kasih sekali lagi, karena saya juga sedang tertarik mempelajari budaya jawa kuno.

GN:
Yang saya sampaikan informasi dari yg bersangkutan yg tertulis dalam tulisan saya tersebut termasuk dari Tuhan sendiri, mohon maaf bila berbeda dgn pengetahuan saudara semua, percaya ataupun tidak terserah pada anda, bagi saya tidaklah sulit menemui beliau yg ada dalam tulisan saya ini semua, terimakasih.

DSD:
Ibu ratu kidul penguasa lautan!
Kanjeng Panembahan senopati penguasa daratan!
Dua sejodoh yang tak terpisahkan, ada pepatah mengatakan:
"Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli "
"Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman"
"Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka, Sing Was-was Tiwas "
"Aja Adigang, Adigung, Adiguna"
"Sing Resik Uripe Bakal Mulya"
"Urip Iku Urup"
"Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti"
"Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara"
Terimakasih. Rahayu

GN:
Saya hanya bertujuan menyampaikan keterangan yang saya peroleh dari interaksi dengan beliau yang bersankutan, tak ada tujuan untuk "adigang, adigung, adiguno". Sudah hal yg biasa bagi kami berinteraksi dgn mereka semua.buat mas GS: saya sampaikan keberadaan Tuhan diluar alam semesta ya karena Tuhan sendiri yg memberitahukannya.mungkin terasa aneh bagaimana bisa berdialog dgn Tuhan semudah itu.itulah yg terjadi dgn kami, bahkan Tuhan juga mengatakan kalau selama ini gak ngurusin kehidupan manusia, yang ngurusin ya para gaib yg diberi wewenang masing-masing.kecuali nantinya setelah turun sebagai manusia baru ngurusin kehidupan manusia. Kepada kami diberitahukan banyak rahasia yg selama ini menjadi misteri bagi manusia, kepada kami banyak hal suadah bukan misteri lagi. Percaya atau tidak yg terjadi ya begitu, saya tetap menghargai pendapat anda ya silahkan yakini apa yg telah anda yakini. Sekali lagi saya hanya berbagi, tak ada keinginan ataupun paksaan dari saya agar keterangan atau tulisan saya dijadikan acuan kebenarannya. Sekali lagi tanpa mengurangi hormat saya terhadap manusia, saya sampaikan juga hal yg pernah diperingatkan kepada kami dari Tuhan "ndandani menungso kuwi angel". Jika mengacu kepada peringatan tersebut sebenarnya saya enggan berbagi pengetahuan yg kami dapatkan.karena sekarang ini sudah tidak jamannya dandani.






Sebagai tambahan berikut saya lampiran halaman print screen dari sebuah situs facebook:

















































































































14.4.10

Petaka perkawinan

Cinta Yang Terlambat
By: Azharrohmana (kaskus addict)

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu. “Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho. Asli!” Kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta. Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.

Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan ke-empat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, ”Tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.” Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’. “Kenapa mas memanggilku mbak? Aku kan istrimu? Apa mas sudah tidak mencintaiku?” Tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya.

Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku. “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya? Kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba denagn penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa?” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih.” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe.” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ”Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa? Pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas.”
”Biasanya dikerokin,” jawabku lirih.
”Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin!” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Qur’an dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis. Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ”Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku tujuh aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ”Maafkan aku mas, membuat mas kurang suka, tetapi mas belum sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

”Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielu-elukan keluarga tidak dating.” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ”Maaf, maaf jika mengganggu mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ”Mbak! Eh maaf, maksudku d..din..dinda Hana!”, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.
”Ya mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar.
“Te..terima kasih, di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ”Terima kasih mas, ibu kita pasti senang. Mau pakai baju yang mana mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya!” Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh-tak-acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. ‘Bah, lelaki macam apa aku ini’, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tetapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru pada lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.

“Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” Sambut Yu Imah yang disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ”Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu.” kata ibuku. ”Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.

Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya “Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ”Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ”Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, nomer pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tetapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.

“Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.
“Alhamdulillah, sudah” jawabku.
”Dengan orang mana? Orang Jawa?”.
”Pasti orang yang baik ya, iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
”Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”.
”Kenapa dengan Bapak?”
”Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
”Bagaimana itu bisa terjadi?”.
”Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini. Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab.

Pada pandangan pertama, saya jatuh cinta. Saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini: “Sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab? Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya.” Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik ayah, saya jual untuk modal.

Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah. Dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia. Aku minta kau ceraikan aku. Aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”, kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang di mataku. Tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim. Aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi! Ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-mu. Lakal hamdu ya rabb. Telah muliakan hamba dengan Al-Qur’an. Kalaulah bukan karena karunia-mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis raihana. Dalam akhir tulisannya raihana berdoa:

”Ya Allah inilah hamba-mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintuMu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya? Masih kurang apa kesetiaanku padanya? Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, engkau maha tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Yuhan yang layak disembah kecuali Engkau. Maha suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

”Mana Raihana bu?” Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.
” Raihana, istrimu, istrimu dan anakmu yang dikandungnya!” .
”Ada apa dengan dia?”
”Dia telah tiada!”.
”Ibu berkata apa?”.
”Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .
Hatiku bergetar hebat.

”Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.
”Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih. Jadi maafkanlah kami!”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua …



THE END

10.4.10

Menguak kebenaran

Jangan Mencari Benarnya Sendiri
Artikel asli: OJO REBUT BENER



Seluruh Nabi dan Rasul (pencetus sebuah agama) pasti menggunakan kitab-kitabnya yang terdapat petunjuk-petunjuk terhadap kebaikan, dimana masing-masing mempunyai daya-tariknya sendiri-sendiri. Kalau kita sebagai orang Nasrani maka pasti akan mengunggulkan golongannya, apabila melihat seorang pastur maka pastilah dalam hati akan timbul rasa hormat, tetapi jangan sampai kita meninggalkan siapa sebenarnya kita ini, begitu pula apabila kita mengaku Muslim (agama Islam) pasti akan sangat mencintai sesamanya, tetapi ya itu tadi jangan lupa kalo kita ini orang Indonesia negara yang subur makmur (gampang menanam tanpa banyak hambatan).

Apabila kita seorang pakem Wedha (wayang) pastilah akan mencintai Pulau Jawa yang menjadi pusat dari negara Indonesia, dan bila bertemu dengan para sesepuh dan pastilah akan menghormatinya (dari rasa yang terdalam) kemudian akan meniru tingkah satria dari ‘Amarta para Pendawa yang suka bertapa agar bisa berkuasa. Begitu pula bila kita membaca buku “Roman” maka pastilah kan terpengaruh isi Roman itu dan mengganggu pikiran sehingga menjadi tidak tentram, dengan pikiran yang menggelayut tidak karuan akhirnya lupa diri dan bila berlanjut pastilah akan sangat merugi.

Petunjuk-petunjuk yang ada dalam kitab-kitab Injil, Qur’an, Wedha, itu sejalan dengan kemajuan jaman akhirnya terpecah-pecah menjadi bermacam-macam kepercayaan (bagian dari sebuah agama). Qur’an kemudian menjadi N.U, Muhammadiyah, Islamiyah dan lain-lain.. Injil menjadi Pantekosta, Katolik, Protestan dan lain-lain. Demikian pula Wedha. Semenjak masih jaman Budha, dan semua kitab-kitab itu masih berada di tempat kelahirannya masing-masing. Negara-negara lain (yang bukan merupakan kelahiran kitab-kitab itu) masih rukun-rukun saja. Kemudian kitab-kitab itu dibawa oleh para saudagar yang angkara (mempunyai watak kurang baik), yang menginginkan agar negaranya bisa kaya-raya dan termashur. Maka bila dihitung agama yang ada di tanah air kita kira-kira hampir ada 72 macam, itu sebenarnya sama saja isinya, hanya berbeda bahasa, seperti halnya menyebut nama Tuhan (Gusti Kang Maha Kuwasa, Jawa), bahasa Inggris God. Bahasa Cina Dhi Kong, bahasa Arab Allah, dan ada juga yang menyebut Sang Hyang Utipati, atau Sang Hyang Latawal Ujwa. Itu semua benar adanya asalkan mengerti apa makna yang diinginkannya. Tetapi kemudian orang Jawa itu selalu menyederhanakan kata-kata, kalau orang Jawa mau menyebut Wahid jadinya Nga-ad, kalau mau bilang gulden jadinya segelo. Maka dari itu hampir semua hal yang bukan aslinya jarang yang mengerti apa arti sesungguhnya. Maka jadinya saling menjelekkan, dan dirinya sendiri selalu dianggep paling bener, mengaku dirinya paling suci, kemudian menganggap sudah diberi wahyu, yang tanda-tandanya apabila sudah tidak berlaku nyasar dari garis-garis petunjuk yang diberikanNya, kemudian tanpa makan dan tanpa tidur, adil dan bijaksana. Kita menirunya agar tidak saling bertengkar, untuk mencari kebenarannya sendiri dan akhirnya tidak sempat mencari makan karena tidak mau lagi tukar pendapat. Maka dari itu nontolah wayang, dalang yang sedang memberikan petuah-petuah itu semua akan ada buahnya, jangan hanya kulitnya saja. Seperti keris yang Cuma rangkanya saja yang digosok-gosok, tetapi dalemnya (berkarat) tidak pernah dibersihkan.

Maka dari itu Nabi dan Wali bila bersabda akan menjadi kenyataan, karena memang tajam kebatinannya. Selau bertindak sabar suka berderma dan punya rasa belas kasihan. Maka akan benar-benar dianggap mendapat wahyu apabila benar-benar bisa berlaku seperti para Nabi dan Wali. Ada 72 macam pemahaman (kepercayaan) dan bila ini bisa bersatu akan jadilah rukun. Seperti misalnya seorang anak yang ingin berbakti kepada orang-tuanya maka akan mempunyai caranya sendiri-sendiri, bisa dengan cara orang Eropa atau dengan cara orang Arab, itu semuanya adalah benar buat orang-orang yang ada disana di tanah-airnya masing-masing, dan mestinya tidak akan saling bertengkar.

Beginilah wejangan dari orang-tua:
Ngger (anak-anakku)…………!!! Semua anak-anakku, kalian semua berguyup-rukunlah agar menjadi contoh bangsa-bangsa lain, dan kalian saling bantu-membantu untuk membangun rumah dan ladang ini, agar janganlah berhitung jam (mencari makan), sembari mengupayakan laku prihatin, agar secepatnya dapat terselesaikan, jangan berebut kekuasaan, yang nantinya kalau sudah selesai semuanya bisa untuk tempat-tinggal dan sama-sama untuk ditempati bersama anak-cucu. Dan apabila kalian semua masih berantem, itu artinya kamu berbakti hanya sampai di tengah jalan saja, dan bila sampai ada yang dipenjara maka orang-tuamu sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena sudah ada bagiannya masing-masing. Jadi saya hanya Maha Pengasih, senang dan susah, surga dan neraka, kemulyaan dan kehinaan itu ada jalannya sendiri-sendiri. Bangsa ini akan makmur kalau kalian semua bisa guyup-rukun, kalian bisa guyup-rukun apabila kalian bisa akur. Kalian semua akan dapat guyup- rukun itu apabila kalian semua kaya akan pengetahuan dan pengalaman, akan dapat kaya pengalaman apabila mempunyai banyak pergaulan terhadap orang-orang yang berpengalaman. Kalau hanya punya pemahaman yang hanya satu itu sangat merugi. Maka dari itu salinglah bertanya, tetapi jangan samapai menjadikan kerugian pada pihak lain, yang diinginkan adalah turunnya anak-cucu yang merasa saling bersaudara, karena adanya saling harga-menghargai.