Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

30.5.10

Nusantara di mata orang India

Proyek Dharmawangsa
Raja terkenal dari Ishanawangsa, Sri Dharmavansha Anantavikramo ttungadeva (991 - 1007) adalah raja selanjutnya yang menterjemah-kan ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab Hindu-Veda, yaitu Purana dan Itihasa, ke dalam bahasa Kawi. Saudara perempuannya menikah dengan Udayana (Sri Dharmodayana Varmadeva), raja Varmadeva dari pulau Bali. Nama wanita itu adalah Mahendradatta, tapi setelah pernikahannya ia bergelar sebagai Maharani Sri Gunapriya Dharmapatni, ada kuil peringatan yang masih dipertahankan dengan baik di bukit Burwan, Bali. Dia bersatu dengan Sang Istadevi dalam bentuk Mahisamardhini Durga. Pernikahan ini membawa pengaruh penting dalam sejarah kelangsungan peradaban Hindu Jawa dan juga untuk melegitimasi otoritas hokum-hukum dinasti Varmadeva dan aturan-aturan hak di Bali di masa depan.

Suatu prasasti mengatakan: “.... sira ta Sri Dharmavansha Anantavikramottungadeva ngaranira, umilwa manggalaning mangjawakna Byasamata... mwang parampara karengo tekeng anagatakala...,Yang Mulia bernama Sri Dharmavansha Anantavikramottungadeva, memberikan perintah dengan penuh harapan untuk menerjemahkan karya-karya suci Vyasadeva ke dalam bahasa Jawa (mangjawaken Byasamata), ... sehingga kekayaan berharga dari para pengemban amanah dewa (parampara) akan berjalan terus untuk waktu yang tak terbatas di masa depan (anagatakala)

Dari 18 parwa asli yang ada di Mahabharata, dapat ditemukan yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Jawa (Kawi) Adi Parwa, Sabha Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Ashramawasa Parwa, Mausala Parwa, Prasthanika Parwa, Swargarohana Parwa dan sebagian Wana Parwa juga tersedia dalam bahasa Kawi. Karya sastra lain yang juga kebetulan diterjemahkan dan disusun di bawah perlindungan Sri Dharmavansha, seperti Uttara Kanda (Ramayana), Arjuna Wijaya, Astika-sraya (cerita mengenai Resi Astika yang menyelamatkan ras dari penghancuran total oleh pengorbanan upacara Maharaja Janamejaya), Parthayana atau Subadra WiWaha (pernikahan Subadra dan Arjuna), Rama Kanda (ringkasan Ramayana), Hari-sraya, dan Hari Wijaya (keduanya tentang Krishna di masa lalu seperti Kamsawadha, dll).

Tidak ditemukan adanya penyimpangan atau perbedaan yang signifikan antara cerita Mahabharata yang asli dengan terjemahan bahasa Jawa dari beberapa Parwa ini. Tetapi apabila membaca yang lebih tua Yogiswara Ramayana ada sesuatu hal yang mengejutkan. Ada beberapa perbedaan dengan Ramayana Walmiki asli, meskipun itu tidak begitu penting. Tapi ketika membaca Ramayana Jawa, ada hal yang aneh, bahwa dewa-dewa dimasa lalu itu adanya di Jawa sendiri bukan di India. Juga ditemukan kasus yang sama dengan Ramakien (Ramakhyan) dari Siam atau Thai Ramayana yang dikatakan oleh beberapa cendekiawan didasarkan pada Yogiswara Jawa Ramayana. Baik Siam dan Jawa merasa Ramayana adalah bagian dari sejarah mitologi mereka sendiri. Ide-ide seperti ini tidak ditemukan dalam terjemahan asli dari Parwa-parwa Mahabharata yang berasal dari pemerintahan Sri Dharmawangsa. Penyimpangan itu malah dengan mudah ditemukan sekarang ini dalam acara wayang, atau drama kehidupan yang berasal dari interpolasi yang lebih baru dan berbeda dari terjemahan asli Parwa-parwa itu, yang disebut dengan nama Wayang Purwa. Berikut ini dapat dilihat beberapa bagian dari Parwa versi Jawa (disebut sebgai Proyek Dharmawangsa) yang memuliakan Tuhan.

Dalam Udyoga Parwa, Duryodana meminta Sanjaya untuk mengungkapkan identitas sesungguhnya dari Krishna dan Arjuna. Vedavyasa muncul dan mengatakan kepada Sanjaya untuk mengatakan kebenaran, “aywa gigu mujarakena satuhunya (jangan takut untuk mengatakan sebuah kebenaran)” Sanjaya kemudian berkata, “Sajna haji, kadi ling patik haji nguni, tar keneng upalaksana kamahatmyan i sang Pandava, apan hana Maharaja Krishna ri sira. Maharaja Krishna ngaranira saksat Hari-murti, wenang sakala jagat wyapaka, siddha gawe wigraha. Icca nira ngkana ktang Triloka Mandala, mwang manahanakna. Sira humyang ing Bhur Bhuwah Swah. Sira suming ing catur yuga. Paramarthanya, sira wasitwa pramana ring sarwajanma, ndya ta marga sang Pandava tan lewiha?

~ Baiklah tuanku, sebagai guru saya berkata sebelumnya, sebenarnya saya tidak bisa mendeskripsikan dengan benar kebesaran (kamahatmyan) dari keturunan Pandu. Sejak Raja dari semua raja Kresna di sisi mereka. Sesungguhnya, Krishna adalah Bentuk Ketuhanan sendiri (saksat Hari-Murti), Dia adalah maha (wyapaka), dan segala sesuatu terjadi hanya karena sanksinya. Dengan akan sematanya, Dia menciptakan seluruh tiga dunia dan juga menghancurkannya. Dewa Yang Agung, disembah oleh penduduk Bhur, bhuvah, dan Suvah (atas, tengah, dan sistem planet yang lebih rendah). Dia adalah orang yang hanya dimuliakan dalam empat Yuga. Dia adalah tujuan tertinggi (Parama-artha), oleh siapa yang (wasitwa) semua makhluk akan lahir. Jadi, siapa yang bisa lebih baik dari Pandawa?

Ada juga ditemukan tangis Drupadi, “pundarikaksah trahi mam, tatan Hana Sarana-asrayaning hulun waneh tabeda, sangke Parameswara
~ Lindungilah hamba ini ya Tuanku, karena hamba ini tak punya tempat lain untuk menyerah (sarana) dan tempat tinggal (asraya), memang Tuankulah sesungguhnya Tuhan Agung itu sendiri.
Di tempat lain, ada Kunti dengan do’anya: “Aum kaki Maharaja Krishna, kadina waneh mahanubhawaka, bheda saka ri tanayanku laki. Tvam dharma tvam tapo mahat. Kita marika dharma kita marika tapa. Tvam trata tvat parabrahma. Kita rakwasih satata. Kita nitya pinakatma mantra. Kalingannya tulusaken ta asih ta laki ri sanghulun kabeh.”
~ Maharaja Kresna anakku, tidak ada yang lebih murah hati dari pada engkau (Sebenarnya) engkau berbeda dengan anak saya yang lain (bheda saka ri tanayanku). Engkau adalah dharma dan tapa terbesar. Engkau adalah pemelihara dari seluruh ciptaan dan segala Kebenaran. Engkau selalu mencintai kita. Meskipun engkau adalah sebuah kekekalan (nitya) dan jiwa dari semua mantra. Harap tidak pernah berhenti untuk memberikan cinta dan kasih sayang terhadap kita semua.

Dalam Bhisma Parwa ada ajaran Dronacharya, ketika Yudhistira mendekatinya pada awal Perang Besar. Drona berkata, “Apa yan wibhrama dateng kari bapa? Tan enget karika kita? Yato dharmas tatha krishnas, yatah krishnas tatho jayah. Gengning punyantamarika an hana Maharaja Krishna iri kita. Hana ta Maharaja Krishna byakta hana ring kawijayan ri kita”
~Kebingungan apakah (wibhrama) yang membawamu untuk mencariku anakku? Apakah engkau sudah melupakannya? Sebuah kebajikan yang mahabesar yang engkau miliki ketika Krishna ada di sisimu. Dimanapun kebenaran (dharma) itu berada, maka Tuhan akan ada di sana. Dimanapun Tuhan ada, maka kemenangan tertinggi adalah jaminannya

Di tempat lain. Ketika Bhisma dipaksa untuk mengambil senjata dan melanggar sumpahnya untuk tidak melibatkan sama sekali dalam perang ini, kecuali untuk memberi masukan dan menjadi sais kereta Arjuna. Untuk melindungan kesayangannya Arjuna, Tuhan bergegas ke Bhisma dan menyerangnya dengan roda kereta yang rusak. Dalam suasana kebahagiaan Bhisma menerima nasibnya dengan menawarkan kepada kemuliaan Tuhan, “tan wyabhicara keta sembahku ri kita, apan kita dewaning dewa, kita parameya…
~ Hamba menyembah dengan tanpa ragu-ragu, kuharap dapat menerima penghormatanku Ya Tuhan, Engkaulah Tuhan dari segala Tuhan, Yang Maha Esa.

Di bawah perlindungan Sri Dharmawangsa, Srimad Ramayana bagian dari Uttara Kanda juga diterjemahkan sekali lagi dengan bahasa Jawa Kawi, dan sangat diuraikan jalan penyerahan diri (saranagati), inti ajaran Vaishnavite. Yang dikatakan sebagai, “umilwa manggalya sarana-asrayaning ma sangkatha Sri Ramayana carita.”


Mahapralaya

Mari kita kembali ke sejarah sekali lagi. Dari pernikahan Mahendradatta dengan raja Varmadeva di Bali, tiga anak laki-laki lahir. Mereka Airlangga, Marakata, dan yang disebut sebagai Anak Wungsu. Sri Dharmawangsa yang tidak memiliki ahli waris laki-laki dan seorang resi Mpu Barada yang bijak dan besar diminta untuk pergi ke Bali, di mana kakaknya, Mpu Kuturan, menjadi Acharya dari Varmadeva Udayana memerintah. Pertapa itu membawa permohonan Sri Dharmavansha untuk menawarkan putrinya untuk menikah dengan Airlangga dan menunjuk dia untuk menjadi pewaris tahta berikutnya atas Kerajaan Jawa. Airlangga Muda (16 tahun) kemudian datang ke Jawa. Sayangnya ketika perayaan pernikahan besar dilakukan dan seluruh kerajaan dalam suasana hati bahagia, raja Wurawari, seorang pengikut Kerajaan Sriwijaya menyerang Dharmavansha dengan dukungan penuh dari Sriwijaya. Kerajaan Tidak siap dan menderita kekalahan total dan kehancuran. Sri Dharmawangsa yang agung sendiri tewas dalam pertempuran. Menteri yang setia bernama Narottama, mengamankan Sang Pewaris Tahta ke hutan. Kejadian yang sangat memilukan ini dikenal sebagai “Mahapralaya”. Sriwijaya yang mencoba untuk menjadi kekuatan pengendali tunggal Nusantara berada di balik serangan ini.

Sang Pewaris Tahta hidup sebagai pertapa di hutan dan Airlangga sendiri mempunya hubungan yang erat dengan banyak para pertapa dan resi yang bijak. Yang paling dihormati di antara mereka adalah Mpu Barada, yang diterima oleh Airlangga sebagai Acharyanya sendiri atau pembimbing rohani. Mpu Barada dan kakaknya, Kuturan (atau Rajakritha) menemani sang Resi muda. Mitos silsilah mereka (yang disebut Babad Bali) mengatakan bahwa kedua bersaudara itu anak seorang Brahmana Waisnawa besar yang disebut Rishi Hyang Wisnu Sunyamurti dan Brahmani Indirakiranadevi. (Babad-babad lainnya mengatakan ayah mereka adalah Bhatara Danghyang Agnijaya) Sebutan Hyang menunjukkan kebesarannya, nama yang sama digunakan hanya untuk mendekati Dewa yang paling dihormati. Resi Kuturan pergi ke Bali dan menjadi penasihat utama, Acharya, dan Rajaguru Sri Dharmodayana Varmadeva dan anak-anaknya. Kedua orang bijak ini mencapai kesempurnaan atau siddhi dalam ajaran Weda yang banyak rahasia dan tantranya. Mpu Barada Rishi tampaknya tidak hanya menjadi otoritas di Vaishnavism tetapi juga sekte lain juga, bahkan praktek yang paling rahasia Buddha Mahayana-Vajrayana.

Negarakretagama, buku hukum dan kronik kemudian Kekaisaran Bilvatikta, dan disusun oleh pemuka kerajaan agama Buddha (Mpu Kasugatan) dan konselor bernama Prapancha, menggubah secara rumit resi Mpu Barada. “Suatu ketika ada pertapa Mahayana besar, yang sudah memahami semua yoga-yoga dan tantra-tantra. Tinggal di tanah kuburan Lemah Citra, adalah wali dunia kita. Tiba di Bali dengan berjalan di permukaan air laut. Namanya Mpu Barada, yang Maha Mengetahui masa lalu, sekarang, dan masa depan. Berkenan untuk melimpahkan rahmatnya dengan membagi tanah. Dibuat garis mereka membatasi dari kendi air hujan itu, kamandala (adalah yang dikatakan sebagai manifestasi yang sekarang dikenal sebagai Sungai Porong di Jawa Timur). Dari Barat, ke Timur, dan akhirnya mencapai laut. Di situlah Kerajaan Jawa dipisahkan. Utara dan Selatan menjadi berpisah selebar laut. Pada pohon asam akhirnya ia berhenti dan turun dari langit. Di desa Palungan ia meletakkan kamandala pemurni dunia. Kain-nya tersangkut pada cabang. Kemudian dia mengutuk pohon asam sehingga tidak akan tumbuh lagi disana”.

Seorang Buddha Vajrayana orang Jawa, menerimanya sebagai pembimbing. Mereka mengatakan sebagai orang bijak yang dihormati dan mencapai keabadian (vajrakaya, mukso) dan begitu juga putri satu-satunya yang disebut Vedavati. Setelah keberangkatan muridnya, Airlangga, mereka tinggal di Vidyadharaloka (pemegang bidang pengetahuan mistik), menghilang dari pandangan biasa, tapi tetap melindungi orang Jawa. Orang Jawa tradisional (non muslim, tidak terkonfirmasi untuk orang Hindu) kadang menarik baginya dan memanggilnya Hyang Barada. (Hyang bisa berarti dewa, leluhur didewakan, atau kepribadian yang besar. Istilah berubah menjadi Eyang, istilah Jawa modern untuk panggilan kakek / nenek, dan juga makhluk gaib yang dihormati).


Kerajaan Hindu-Buddha dan Vaishnavism

Di Indonesia, Vaishnavism sudah berusia berabad-abad. Tapi bentuk murni hanya dilakukan oleh keluarga bangsawan atau Brahmana. Konsep teologis Weda, pikiran rohani, dan pandangan cara hidup adalah adat-istiadat paling asli yang berakar di bumi alam Indonesia, tapi jelas terlihat bahwa bentuk peradaban Weda atau Hindu saat ini hanya ditemukan di Bali atau beberapa bagian di Jawa. Denominasi lain seperti Saivism, Sakta, Ganapatya, Saura, dll juga memiliki eksistensinya sejak awal berdirinya Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, Bali, dan Sumatera.

Sejarah paling awal yang tercatat adalah tentang Mulawarman dari Kutai yang terkenal di Kalimantan. Dia menyumbangkan ribuan sapi kepada Brahmana Agnihotri dan melakukan Yagna terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Ramayana dan juga beberapa karya Sansekerta, yang saat ini Kalimantan disebut sebagai Barhina-dvipa, yang kemudian menjadi Borneo. Mestinya pada jaman Mulawarman, India seharusnya menjadikan Nusantara sebagai bagian dari Kalinga Besar. Jadi, dengan kinerja yang besar dari Mulawarman, berupa upacara pengorbanan besar, kerajaannya dapat disebut sebagai Kalingottamam, kata itu mungkin berubah menjadi Kalimantan yang kita kenal sekarang ini. Menurut beberapa sejarawan, kata Vaprakeshwara ditemukan pada prasasti Mulawarman mempunyai hubungan dengan Dewa Siwa, dan kemudian mereka menyimpulkan bahwa Mulawarman dan rakyatnya adalah penganut Syiwa. Tetapi bentuk dari Yagna-nya adalah Weda. Yang nampaknya tidak melibatkan unsur-unsur Agama maupun Tantra dalam bentuk apapun. Kurangnya arkeologi atau sisa-sisa penyembahan kuil dari jaman Mulawarman ini, hanya bisa menjadikannya sebagai probabilitas.

Lalu tersebutlah Purnawarman di Jawa Barat. Dia meninggalkan prasasti di atas batu dengan gambar Vishnupada (Lotus Feet Wisnu) yang diukir di atasnya. Nama kerajaannya Tarumanagara, yang mengingatkan kita dengan Dewa Wishnu. Taruma dalam bahasa Jawa kuno adalah nama lain dari Tulasi, daun basil suci, yang dicintai Wisnu. Beberapa bentuk ibadah Agama dan Pauranic Vaishnavism adalah gaya mereka mendapatkan kemuliaan. Setelah pertumbuhan yang luar biasa agama Buddha di Sumatra, pengaruh Tarumanagara dan Vaishnavism itu berkurang. Di India, khususnya di daerah Selatan, pertumbuhan Buddha sebagai agama publik disaingi oleh meningkatnya pertumbuhan sekolah-sekolah Agama dari Vaishnavism dan Saivism. Buddha sendiri menjadi begitu Tantra dalam penampilan. Kalinga dan kerajaan-kerajaan lain di India Selatan seperti Pallava dan Chola dengan segala bentuk Vaishnavism, Saivism, dan Buddha memberikan pengaruhnya untuk kehidupan spiritual di Nusantara.

Sailendra di Sumatra (Sriwijaya) dan Jawa Tengah adalah penganut Tantra-Mahayana Buddha. Raja Sailendra ini sama saja dengan Sailodbhavas Buddha dari Kalinga, yang terpinggirkan oleh kekuatan yang muncul dari Saivite Bhaumakaras. Wangsa Sanjaya di Jawa Tengah bisa jadi adalah keturunan bangsawan Tarumanagara sebelumnya. Ada kompetisi tak terkatakan dari dua dinasti yang memerintah di Sailendra dan Sanjaya, baik dalam ranah rohani dan politik. Kedua dinasti ini kemudian masing-masing saling menggurui dalam bentuk Buddha Mahayana-Vajrayana dan Vaishnavism & Saivism dari India Selatan. Setelah ada pernikahan antara sang pangeran Pikatan dari Sanjaya dan putri Pramodavardhani dari Sailendra, maka agama-agama tersebut kemudian memiliki hubungan yang harmonis. Pada periode ini Saivism memperoleh popularitas yang lebih dalam kehidupan keagamaan di masyarakat. Vaishnavism sendiri tetap sebagai agama aristokrasi di kalangan kelas atas. Lalu keduanya menemukan tempat mereka dalam ibadah Trinatha, sebuah kepemimpinan yang unik, Kalinga kembali ke alamnya, sama halnya seperti Jagannath-dharma dari Orissa. Pada saat itu, Buddha adalah dipengaruhi Kalinga dengan ajaran Tantrisme atau Vajrayananya, dengan pemujaan Tara yang di kuil Kalasha (candi Kalasan), Manjushri di kuil Manjushri-griha (candi Sewu), Mahavairochana di Mendut, dan Vajradhatu-mandala Borobudur yang terkenal di dunia. Demikian juga, Hindu juga memiliki reformasi yang sama, dengan ibadah Trinatha atas Parambrahman Temple (candi Prambanan), secara jelas dan nyata Kalinga kembali ke alam dan asli. Ini adalah waktu kemuliaan bagi Nusantara.

Tak ada ruang di jagad Nusantara ini, meskipun konsep non-teistik pernah diterima, bahkan nyaris Buddha Nusantara memperlihatkan kepercayaan non-teistik dari Theravada. Kepercayaan spiritual di seluruh Indonesia pada saat itu adalah diterimanya konsep Dewa Agung Satu (Sang Hyang Tunggal), meskipun disebut dengan nama yang berbeda-beda, dan dipahami oleh berbagai pandangan teologis dan filosofis. Konsep ini hanya ditemukan di Jagannath-dharma dari Orissa sekarang. Agama kepercayaan dari Indonesia, sekali lagi adalah Kalinga yang alami.

Penyembahan Trinatha sebagai bentuk wujud dari Parabrahman ditemukan dalam bentuk yang paling sempurna dalam kultus Jagannath, Balabhadra, dan Subadra. Berikut adalah Jagannath yang mewakili Wisnu, Balabhadra-Siva, dan Subadra-Brahma. Kepercayaan Subadra sebagai Brahma ini dalam bentuk terselubung digambarkan oleh penyair-pemuja Dewa, Sri Yasobanta Das. Dia telah disajikan dalam sambungan dalam Premabhakti Brahma Gita-nya bahwa Brahma adalah ketika membuat sebuah rencana untuk menciptakan alam semesta, Ibu Bumi, dengan kekuatan Yogamaya Shakti yang dahsyat, yang ingin memiliki kesatuan dengan dia untuk tujuan di atas dan sesuai pendekatan terhadap Brahma dengan daya tarik yang kuat dalam hal ini. Brahma cemas dengan kemunculan Ibu Bumi. Ia menolak tawaran itu. Setelah semuanya, Dewa Bumi, sebagai replika Yogamaya Shakti, memiliki status ibu dalam hubungannya dengan Brahma. Bagaimana mungkin ia bisa menerima penawaran yang tidak biasa itu? Dengan memikirkan fenomena seperti di atas mungkin adalah sebuah dosa. Namun Dewa Bumi silang pendapat dengan Brahma untuk penyangkalan diakuinya. Dia mengutuk Brahma dengan mengatakan: “Wahai pencipta alam semesta! Dengan ketidak-setujuan untuk alasan suci, engkau harus ditampilkan dengan tidak dihormati sepenuhnya di kelas-perempuan pada umumnya. Jadi, sebagai konsekwensi dari tindakan yang tidak diinginkan, engkau akan turun di alam semesta dalam bentuk seorang wanita.”

Brahma sangat tercengang, seperti tidak pernah mengharapkan bencana menimpanya untuk tindakan yang sah dari pihaknya. Namun Wisnu muncul di depannya pada tahap ini untuk mengatakan bahwa penampilannya di bumi adalah ditambatkan untuk suatu tujuan. Wisnu berkata, “Di Kali Yuga, ketika saya akan muncul dalam bentuk Jagannath, engkau akan disembah disisi saya sebagai Subadra. Orang tidak akan tahu bahwa engkau Brahma dalam bentuk Subadra.” Inilah rahasia tentang tampilan Subadra sebagai Brahma di Kuil Ratnavedi Grand.

Ketiga denominasi Waisnawa, Syiwa, dan Sakta juga menemukan harmoni dalam bentuk Trimurti sebagai Jagannath adalah Dewa Agung Waisnawa, Balabhadra adalah Syiwa, dan Subadra adalah Sakta. Lalu Buddha Vajrayana, secara historis berasal dari Indrabhuti dari Sambhala (Sambalpur) di Orissa, adalah penjelmaan Trimurti sebagai Tri Ratna, Buddha, Dharma, dan Sangha. Jnanasiddhi dari Indrabhuti jelas menunjukkan bahwa Jagannath adalah Original (Adi) Buddha yang disembah oleh sekte Buddha Vajrayana. Konsep Adi Buddha ini, ditemukan di Mantrayana-Vajrayana, difokuskan pada Jagannath-Buddha. Kemudian Jagannath-Buddha Vajrayana dari Orissa menemukan jalan untuk menuju Nusantara sebagai kultus Mahavairochana, sebelum mencapai Cina, Korea, dan akhirnya Jepang. Risalah Mahavairochana-sutra dan ikonografi dari Sarvatathagatasara-samgraha yang berasal dari Orissa. Nusantara sangat dipengaruhi oleh bentuk Buddha. Mahakarunagarbhodbhava-mandala dan Vajradhatu-mandala yang berpusat pada Jagannath-Buddha-Mahavairochana diwujudkan sebagai Candi Borobudur yang besar di Indonesia. Konsep sinkretisme dari Sang Buddha yang Agung (Jagannath) dan hubungannya dengan Trinatha Brahma, Wisnu, Syiwa, ditemukan untuk pertama kalinya di Jawa Tengah. Kemudian konsep ini lebih lanjut dirumuskan dalam periode awal Kerajaan Jawa Timur Ishanawamsa dalam bentuk tutur Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah katekismus Buddha klasik Jawa.

Jadi, Waishnawisme, Syiwaisme, dan Buddha di Indonesia menemukan jalannya ke masyarakat umum dalam bentuk ibadah Trinatha, sejak Waishnawisme terus Narayana sebagai sumber Trinatha, Syiwaisme kemudian Paramasiwa sebagai sumber mereka, dan Buddha yang memegang Adi Buddha. Narayana, Paramasiwa, dan Adi Buddha yang sebenarnya satu dalam identitas dengan Dewa Jagannath di Orissa. Kuil besar yang disebut Parambrahman (candi Prambanan) di Jawa Tengah adalah mewujudkan konsep teologis dari Nusantara. Ini kuil besar dan juga Borobudur, tiga dimensi Vajradhatu-Buddha mandala, yang dimuliakan sebagai kemuliaan, rumah asli.

Setelah pemerintahan Raka i Wawa atau Sri Vijayalokanathottunga (924-929), pusat peradaban dan kerajaan besar Hindu Jawa dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok atau Ishanottungadewa, yang wamsakarta dari Ishanawamsa. Nusantara pun mendatangi bentuk unik dari Weda dan budaya berbasis Agamis dan juga mendapat bentuknya yang dipengaruhi oleh Buddha. Praktek murni Waishnawisme, Syiwaisme, dan Tantra Buddha hanya menemukan tempat mereka terutama di kalangan aristokrasi. Orang-orang umum lebih memilih bentuk yang lebih liberal sinkretis mereka. Dengan kepercayaan atau dengan tali darah, bangsawan Jawa dan brahmana tersebut dihubungkan dengan nenek moyang mereka Waisnawa di India, sehingga agak sulit bagi mereka untuk meninggalkan praktek, tidak seperti masyarakat umum.

Tibalah di akhir Ishanawamsa, selama pemerintahan Kretajaya dari Kediri. Kretajaya dikalahkan oleh Ranggarajasa, sebagai pengikutnya, seorang raja yang berasal dari perkawinan seorang gadis pribumi dengan Brahmana (Ken Arok). Dia kemudian menjadi wamsakarta marga Rajasa baru dan membangun Kerajaan Singhasari. Jadi akhir pengaruh besar Waisnawa Raja-Raja dari Varman Kalimantan dan Jawa Barat, Sanjaya, dan Ishana. Ranggarajasa mungkin memiliki kecenderungan lebih ke arah Syiwaisme atau Buddha daripada Waishnawisme, ia menyebut dirinya Girisha-Atmaja (Anak Syiwa). Rajasa menikah Ken Dedes, putri Guru Buddha terkenal, Mpu Purva dari Panawijen (mungkin dari kata Prajnabija, Biji Bijaksana). Mpu Purva adalah seorang Buddha sejati. Ia mendapatkan kesempurnaan dalam praktek Buddha Rahim Prajnaparamita dan juga ditularkan kepada putrinya. Dia dipaksa menikah dengan seorang raja Tumapel sebelum dibunuhnya, kemudian Rajasa ini mengambil dia sebagai pasangannya. Kata Girisha ini juga bisa memiliki arti yang sama dengan Sailendra. Apakah Rajasa sebenarnya keturunan Sailendrawamsa? Apakah itu berarti ia ingin membangkitkan darah murni Sailendrawamsa, setelah penguasa besar Jawa? Kami tidak memiliki informasi lain selain sekedar spekulasi. Tetapi keturunan yang terbesar, Kretanagara sedang memuja penuh Buddha Tantra mungkin Kalachakrayana, adalah cara yang sama yang dilindungi oleh raja-raja Sailendra.

Sebelumnya, Kretanagara mencoba mengikuti perkawinan sebagai sebuah politik antara Pikatan-Pramodavardhani dari Sailendrawamsa dan Sanjayawamsa, untuk keperluan stabilitas kekuasaan. Meskipun Kediri setelah dikalahkan oleh Rajasa, tetapi keturunan Ishanawansa-Sanjayawamsa dilanjutkan oleh raja Kediri, yang kini berbalik menjadi pengikut Singhasari. Jadi Kretanagara, yang tidak mempunyai anak laki-laki, anak-anak perempuannya menikah dengan dua pangeran. Seorang dengan Raden Wijaya dari Rajasawansa sendiri dan yang lainnya dengan Pengeran Ardharaja dari Kediri, putra Jayakathwang, dari Ishanawamsa. Suatu hari pemberontakan Kediri yang terorganisir terhadap Singhasari dan mencoba lagi menduduki kekuasaan yang berdaulat dari seluruh Jawa dengan perang. Kretanagara tewas dalam istana tanpa mengetahui apa pun sebelumnya tentang serangan Kediri. Adalah sejarah, Bilwatikta, Negarakretagama, yang menggambarkan raja yang sedang melakukan Ganachakra-puja pada saat itu. Tetapi itu tidak butuh waktu lama untuk Raden Wijaya, dengan strategi perang yang jenius, untuk mengambil takhta selamanya dari Jayakathwang. Hampir terkalahkan sempurna, yang menyapu pengaruh strategis Ishanawansa dari Nusantara. Jadi itu adalah merupan akhir dari dinasti yang besar raja Waisnawa di Indonesia.

Raden Wijaya kemudian memindahkan ibukota Jawa dari Singhasari, ayah mertuanya kemudian membuangnya ke hutan Tarik, malah disana akhirnya dia membangun kerajaan yang megah Bilvatikta atau Majapahit. Ini adalah awal dari sebuah kerajaan terbesar di Nusantara dan Swarnabhumi. Bilvatikta tumbuh sebagai kekuatan pemersatu indah di wilayah Asia Tenggara di bawah pemerintahan Rajasanagara (Hayam Wuruk) dan perdana menteri, Mahapatih Gajahmada. Sebagai bangsa yang besar, Bilvatikta merumuskan agama negara. Ini adalah sinkretisme dari Syiwaisme dan Buddhaisme Tantra, yang disebut Agama Siwa Buddha. Pada saat kemuliaan murni dan jatuh di bawah kekuatan Islam, Agama Siwa Buddha menjadi agama nasional Bilvatikta. Karya sastra dari sistem keagamaan adalah buku Sutasoma. Kata-kata dalam buku ini tentang kesatuan Syiwaisme dan Buddhaisme, yang juga berlaku untuk perbedaan lain, menjadi slogan nasional Republik Indonesia. Yaitu: jinatva-sivatva tunggal, bhinneka tunggal ika, tan Hana Dharma mangrwa. (Buddha dan Siwa adalah satu, meskipun berbeda tetapi tetap satu jua, dan tidak ada dualisme dalam dharma). Prasa: bhinneka tunggal ika: Itu berbeda (bhinna). Itu adalah satu (tunggal). Itu adalah kesatuan dalam keragaman.

Jadi, Nusantara adalah tanah para raja besar dan brahmana Weda. Dia seperti warisan rohani yang indah. Bali dan Jawa sangat dipengaruhi oleh Weda-dharma, dan setiap kebiasaan setempat, upacara, etika sosial, adalah Hindu dengan sifat dan asal Weda. Dia telah mengembangkan cara yang paling halus Weda hidup dan membuatnya menjadi budaya sendiri. Apa saja non Weda sebenarnya asing baginya.

Setelah jatuhnya Bilvatikta besar, penganut Hindu Jawa dan masyarakat Brahmana melarikan diri ke Bali. Bali sebelumnya adalah sebuah negara yang merdeka, dengan penguasa independen, tapi dalam pemerintahan Kretanagara dari Singhasari dan kemudian Rajasanagara - Gajahmada dari Bilwatikta, Bali pendiam. Bali adalah dinasti sendiri yang berkuasa selama berabad-abad, terpisah dari Jawa, meskipun ada hubungan yang sangat mendalam antara dua pulau.

Sementara Tarumanagara adalah sebuah kerajaan Hindu di Jawa Barat, ada juga salah satu kerajaan Kalinganagara di Jawa Tengah. Dengan nama kita bisa menebak ini adalah sebuah kerajaan yang dibangun oleh penganut Orissa tertentu. Kerajaan diperintah oleh Maharani bernama Simha. Kerajaan ini mungkin bergeser ke Jawa Timur dengan kekuatan tumbuh Sailendra dan Sanjaya. Ada di Jawa Timur kami menemukan tulisan tentang Kerajaan Kanjuruhan Dinaya. Kemudian pada masa pemerintahan Sri Iswarakesawotsawatunga atau Dyah Balitung (Raka i Watukura) dari Sanjaya, baik Tengah dan Jawa Timur berada di bawah kendalinya. Mungkin Kanjuruhan lagi aristokrasi bergeser ke pulau tetangga Bali. Kami menemukan kesamaan antara awal Kerajaan Kanjuruhan dan Bali.

Setelah kekuatan maritim Sriwijaya yang berkembang di Sumatra, Bali juga berada di bawah kekuasaan mereka. Dan ada pula keluarga yang berkuasa Bali memiliki nama yang sama dengan penguasa Sriwijaya yaitu Varma Deva. Varma Deva kemudian menjadi penguasa tunggal di Bali. Agama Buddha Mahayana-Vajrayana juga diperkenalkan ke Bali untuk pertama kalinya. Jadi Bali pada waktu itu menerapkan praktek-praktek agama yang sama seperti di Jawa Tengah, sebuah sistem keagamaan yang mirip dengan budaya Jagannath Kalinga. Weda dalam pemikiran tetapi Agamis atau Tantra dalam praktek, dalam bentuk ibadah Trinatha. Bentuk Syiwaisme pada waktu itu sesuai dengan Weda Waishnavisme. Mereka menyembah Syiwa sebagai representasi langsung dari Hyang Agung di dalam dunia materi. Karena menyembah Wisnu pada waktu itu memiliki konsep Niskala-Sakala, mirip dengan sistem Vaikhanasa sekarang. Pemujaan Vaikhanasa Mula-bheram sebagai aspek Niskala dari Narayana dan Utsava-bheram sebagai Sakala. Demikian pula, orang Bali pada waktu itu menyembah Narayana sebagai Niskala dan Syiwa sebagai Sakala. Jadi ini adalah kepercayaan yang sangat unik! Bisakah Anda membayangkan Syiwa dianggap oleh mereka sebagai aspek Sakala Narayana? Jadi pemujaan Syiwa Narayana dan tidak dibedakan oleh mereka. Mereka menyembah Narayana sebagai Paramatma dari Syiwa dan Matahari sebagai tercantum dalam Sirah Atharwaweda. Prinsip ini diyakini sebagai dikhotbahkan oleh garis keturunan resi Agasthiya dari Selatan, guru-mula dari Nusantara dan dikembangkan di Dieng, Jawa Tengah, oleh Resi Siddha dari garis keturunan Agasthiya. Salah satu dari mereka yang disebut Markandeya (tidak mungkin orang yang sama dengan Rishi Markandeya dari Purana) datang ke Jawa Timur dan mengorganisir pertapaan di Rawang. Dari tempat ini ia datang ke Bali dan asal-usul masyarakat Bali kuno Brahmana, imamat kerajaan dari Varma Deva berkuasa. Hingga sekarang, keturunannya menyebut diri mereka Waisnawa brahmana dan tetap meneruskan ajaran-ajaran spiritual. Praktek-praktek ibadah mereka dan konsep-konsep teologisnya mengingatkan begitu banyak dengan Waisnawa Vaikhanasa dari India Selatan, bukannya Waisnawa Pancaratrika lebih luas. Sekte-sekte lain Syiwaisme, Buddha, dll dipraktekkan secara independen untuk mengajar dan juga dilindungi oleh raja-raja Varmadeva yang sama.

Dengan invasi Singhasari di bawah rombongan Kretanagara, para Kalachakrayana menjalar ke Bali. Lalu saat datang invasi Bilvatikta. Agama-agama Bilvatikta dari Saiva-Buddha juga menjadi meluas di Bali. Dengan kedatangan pemimpin besar Syiwa dari Bilvatikta, Dwijendra, setelah jatuhnya Jawa Hindu, bentuk baru Syiwisme mencapai prestasi puncaknya. Penganut-penganut dari Bilvatikta mencoba untuk melestarikan segala yang mereka miliki di Bali, untuk menyelamatkan mereka dari pengaruh Islam. Kepercayaan dan budaya spiritual di Bali pada saat ini dibentuk oleh berbagai bentuk Weda dan pikiran Buddha melalui proses evolusi panjang.

Bali dan beberapa bagian terpencil di Jawa masih melestarikan kepercayaan Hindu-nya. Banyak literatur Hindu dan ajaran Buddha dari abad yang lalu dipelajari oleh kaum intelek Bali dan beberapa keluarga aristokrat. Tapi seluruh agama Bali, adalah praktik dalam dua cara yang berbeda. Tantra Agama Syiwa Buddha dari Bilvatikta yang terbatas pada garis keturunan Brahmini oleh adanya perpindahan-perpindahan penduduk Bilvatikta. Sebagai masyarakat asal terakhir Jawa di Bali, mereka terutama menjadi bangsawan Bali sebagai penganut agama elit sekarang ini. Praktek-praktek Agama Saiva Buddha dalam bentuknya yang murni hanya terbatas pada mereka saja. Pemimpin tertinggi Keturunan Syiwa Brahmana yang disebut Brahmana Buddha, yang memuja Vajrayana dan Saivite dipengaruhi Tantra, adalah yang berwewenang memimpin mereka. Di tempat lain adalah agama yang dianut masyarakat umum. Serupa dengan bentuk yang lebih tua dari Kalinga yang dipengaruhi Hindu-Jawa di Bali. Mereka mempunyai pemuka yang berasal dari masyarakat umum, untuk administrasi urusan kuil, meskipun dianggap lebih rendah dari Syiwa Buddha namun ditahbiskan sebagai pemimpin tinggi, yang sebenarnya lebih berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di masyarakat. Para pendatang Jawa sebelumnya adalah keturunan Brahmana dari Markandeya dan merupakan pengikutnya. Mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat umum di Bali, tinggal terpisah dari pendatang baru Bilvatikta. Pemimpin mereka memuja Tantra Waishnawisme dan melestarikan literatur mereka sendiri yang unik. Tapi mereka telah mempengaruhi satu sama lainnya begitu mendalam selama berabad-abad. Akhirnya hanya dengan pengamatan yang dangkal, kita hanya bisa melihat seluruh bentuk yang unik dan berbeda dari Hindu Bali.