Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

8.9.12

Nostalgia

S M A


Naskah ini adalan merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul Gestapu, tetapi karena di dalam naskah lanjutan ini sudah tidak ada korelasinya, maka saya terbitkan dengan judul lain. Kepada yang bersangkutan mohon maaf adanya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya juga melakukan sedikit editting agar tulisan ini dapat dinikmati sepenuhnya. Akhirnya selamat membaca dan terimakasih untuk meluangkan waktunya.




Mendaftar ke SMA

Ijazah sudah ditebus, bangga juga dengan nilai-nilai yang tertera dalam ijazah, 9 untuk Pendidikan Warga Negara dan Sejarah, 8 untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Indonesia. Namun kegalauan ada di hati, apakah bisa melanjutkan ke SMA atau tidak? Melihat wajah Bapak yang muram kelihatan tambah tua, tak berani saya ngomong apa-apa selain berkhayal dan berkhayal. Tetapi kembaran saya kelihatannya tidak demikian, dia biasa-biasa saja dan kelihatan tak ada lagi keinginan untuk meneruskan sekolah. Mungkin juga karena melihat ketidakmampuan orang tua. Bapak juga tidak pernah mengutarakan sesuatupun tentang sekolahku tetapi karena melihat kemuraman anaknya, sampai pada suatu saat terlontar kata-kata “Apa saya harus mati kalau kamu pada ngambek!” Aku terharu juga dan akhirnya hanya pasrah dan pasrah.

Dan tanpa bilang terlebih dahulu ternyata sepetak sawah yang merupakan warisan dari mbah Kaji telah digadaikan untuk membeli sepeda yang harganya Rp3.500,- dibeli dari lek Rejo, dan anehnya, yang pada saat itu saya belum bisa naik sepeda, dengan penuh percaya diri untuk belajar, belum sampai satu bulan saya sudah bisa menaikinya. Dengan sepeda itulah nantinya yang saya gunakan untuk ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 kilo meter.

Pada hari yang telah disepakati dengan seorang teman dekat, yaitu Karpul, dimana kami berteman sejak SD kemudian SMP dan berlanjut terus saapai ke SMA, kukayuh sepeda tuaku dengan hanya berbekal uang Rp200,- untuk biaya pendaftaran. Saya mendaftar dan diterima di SMA Harapan Kutoarjo yang kelak berubah menjadi SMA Panca Marga Bhakti di Kutoarjo. Pada waktu saya masuk tahun 1972 belum memiliki gedung sendiri tetapi masih menumpang pada empat Sekolah Dasar di sebelah Timur alun-alun Kutoarjo yaitu SD Prajuritan, SD Kutoarjo I dan SD Wironatan serta yang satu lagi saya lupa namanya, yang ternyata tempat itu adalah tempat yang digunakan untuk Ujian SMP tempo hari. Yang tidak dapat saya lupakan adalah pada hari itu sebenarnya tetangga saya yaitu Siwo Aminah yang dianggap ada gangguan jiwa, oleh anak-anaknya dimasukkan ke dalam blumbang, mungkin maksudnya biar sembuh, tetapi malah maut yang menjemputnya dan tidak ada proses lebih lanjt dari kepolisian mungkin tidak dilaporkan atau laporannya lain, saya tidak tahu persisnya dan ternyata saya tiba di rumah jenazahnya sudah dimakamkan.

Mengingat Siwo Aminah, maka ada juga kejadian yang lucu tetapi nyata. Pada waktu itu lagi ramai-ramainya musim judi, istilah pada waktu itu buntutan, pada suatu malam saya bermimpi ditemui oleh alamarhumah Siwo Aminah dan dalam mimpi saya dia memberi nomor kepada saya 235 dan diulang, tetapi tidak jelas. Dengan uang sepuluh rupiah yang saya punya, saya belikan uang nomor buntut 235, tanpa berpikir untuk membolak-balikkan angka hanya berharap mudah-mudahan Rp7.000,- akan menjadi keberuntungan saya, eh ternyata yang keluaranomor 325. Kecewa sih tidak, tetapi berandai-andai tentunya boleh. Seandainya saja saya mampu mengartikan pengulangan yang disampaikan almarhumah Siwo Aminah tentunya uang sepuluh rupiah akan saya bagi dua, lima rupiah untuk nomor 235 dan lima rupiah lagi untuk nomor 325 tentunya saya akan mengantongi Rp3.500,- tanpa PPh. Tapi biarlah itu toh hanya sebagai bumbunya cerita dan ternyata undian sangat diharamkan oleh Agama Islam, agama yang saya anut sejak saya lahir ke dunia.



Hari Pertama Menjadi Pelajar SMA

Tibalah saatnya untuk masuk sekolah, hari Senin jam 11.00 saya sudah lupa tanggalnya. Setelah mandi dan pakai baju serta celana pendek minus sepatu (karena memang belum memiliki) kukayuh sepeda untuk menghampiri Karpul dan tentunya melewati juga rumah Suminto sepupu saya karena bapaknya yaitu Lek Bandi adalah adiknya Simbok tetapi lain bapak yang juga merupakan teman seperjuangan sejak Sekolah Dasar, ternyata mendaftar juga disekolah yang sama dengan saya. Hari pertama hanya pengarahan dan pembagian kelas, pada waktu itu SMA Harapan mendapatkan siswa tiga kelas, yaitu kelasa I1, I2 dan I3, saya ditempatkan dikelas I1. Menurut cerita, yang ditempatkan di kelas I1 adalah pilihan, tetapi kenyataanya tidak demikian karena ternyata Gunawan yang merupakan juara I di SMP Grabag ada di Kelas I2. Banyak juga teman-teman lain yang juga dari SMP Grabag yang sekolah di situ, kalau tidak salah ada lebih dari lima belas anak.

Pengarahan diberikan oleh Direktur SMA Harapan yaitu Bapak Agus Trihadi, BA, orangnya tinggi besar dan rambutnya botak dan kalau pagi beliau mengajar di SMA Negeri Purworejo (pada waktu itu di Purworejo SMA Negeri hanya satu), dalam pengarahnnya beliau mengatakan bahwa belajar di SMA sangat berbeda dengan di SMP. Yang saya ingat betul waktu itu kalau beliau lagi bicara tentang policy yang pasti aku tak tahu artinya apa tetapi karena sering diulang-ulang ya hafal juga.

Mulailah kujalani hidup sebagai pelajar SMA, walaupun miskin tetapi merasa gagah dan yakin, fasilitas pas-pasan tetapi penuh harapan dan angan-angan. Kalau tidak salah ingat sewaktu di kelas 1, murid-muridnya berasal dari beberapa SMP, yaitu SMP Grabag, SMP Sore Kutoarjo, SMP Kemiri, SMP Pituruh, SMP Butuh dan beberapa dari SMP 1 Kutoarjo, yang membedakan adalah kalau yang dari SMP Kota sudah pakai sepatu walaupun belum memakai celana panjang tetapi yang dari ndeso seperti saya masih nyeker alias tidak pakai sepatu apalagi celana panjang, yah karena memang belum punya, namun demikian tidak mengurangi semangat untuk belajar dan belajar.

Tidak ada kesulitan yang berarti bagi saya mengikuti pelajaran di SMA, mata pelajaran baru yang selama di SMP belum pernah saya dapatkan ternyata mengasyikkan, misalnya Kimia, Mekanika, Goneometri, Aljabar Analit serta Stereometri. Saya langsung jatuh cinta pada mata pelajaran Kimia, sehingga setiap ulangan nilainya tidak pernah kurang dari 8 bahkan untuk Goneometri (ilmu ukur sudut) juga tidak kalah menariknya sehingga waktu ulangan umum untuk kenaikan ke kelas 2 saya mendapat nilai sempurna 10. Ada juga mata pelajaran tambahan yang juga sangat menyenangkan yaitu pelajaran prakarya, Bahasa Jerman yang diajarkan oleh Bapak Martubi, BA, yang kemudian digantikan oleh Bapak Warsito, BA, asli Kaliwatubumi. Untuk Bahasa Jerman boleh dikata saya sangat menguasai dibanding teman-teman yang lain, kelak sampai dengan kelas 3 hanya Bambang Susetyolah (kini beliau menjadi Dosen di Universitas Bengkulu dan bergelar Doktor Bidang Linguistik) yang selalu bersaing dengan saya dalam nilai. Bahkan di ijazah SMA saya nilai untuk Bahasa Jerman 8, yang pasti tanpa reka yasa.

Kegiatan saya selain sekolah pada waktu itu adalah bantu-bantu orang tua, kerja apa saja termasuk buruh mencangkul di sawah orang, ndaut, matun, potong padi, mencari ikan, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang ada di desa sudah pernah saya jalani, namun demikian tak sekalipun kesempatan untuk belajar saya sia-siakan. Perasaan minder dan malu ada tetapi saya buang jauh-jauh karena memang demikianlah keadaannya. Sepeda bututku yang nilainya cuma Rp3.500,- saya rawat dengan sebaik-baiknya, body-nya saya semir dengan semir sepatu sehingga mengkilap dan kelihatan kempling, dan bersih. Setiap hari kukayuh 18 kilo meter pulang pergi selama tiga tahun, kalau dihitung mungkin sudah keliling dunia.



Kenaikan Kelas

Setelah belajar satu tahun kemudian dievaluasi melalui ulangan umum yang pelaksanaannya dicampur antara klas 1 dan 2, tibalah saatnya pengumuman kenaikan kelas, dan ternyata nilai saya untuk mata pelajaran Ilmu Pasti yang meliputi Fisika, Biologi, Kimia, Mekanika, Aljabar, Aljabar Analit, Goneometri dan Stereometri nilainya di atas 7 dan tentunya saya tanpa harus memilih, nilai saya memenuhi syarat untuk Jurusan Paspal atau kalau sekarang tentunya jurusan IPA. Bangga bercampur aduk menjadi satu, karena untuk jurusan Paspal identik dengan disiplin dan kompak serta pandai. Mata pelajaran Kimia, Aljabar Analit serta Bahasa Jerman tentunya disamping Bahasa Inggris masih tetap menarik. Apalagi Bahasa Inggris, gurunya cantik kaya bintang film Hongkong karena kebetulan keturunan Cina yaitu Ibu Lianawati putri Bapak Yahya Guru Kesenian, dengan logat bicara yang fasih karena memang alumni IKIP Sanata Dharma Jurusan Sastra Inggris dan juga ramah dan murah senyum sehingga enak untuk diikuti. Pada waktu itu belum ada murid sekolah yang berani kurang ajar sama gurunya, sehingga aman-aman sajalah beliau.

Awalnya lancar-lancar saja saya mengikuti pelajaran di kelas 2 Paspal, namun ternyata ada mata pelajaran Menggambar yang membutuhkan banyak biaya baik itu kertasnya maupun alatnya. Pelajaran Menggambar di Jurusan Paspal adalah menggambar arsir, perspektif dan proyeksi yang harus memakai alat yaitu trek pen. Pada waktu itu nama yang cukup terkenal adalah Bova yang harganya cukup mahal sehingga tidak semua siswa bisa memilikinya dan akhirnya hanya bisa pinjam ke teman dan pasti hasilnya tidaklah maksimal.

Itulah yang menyebabkan semangat belajar menurun, dan untuk catur wulan pertama untuk mata pelajaran Fisika, Mekanika dan Stereometri mendapat nilai merah yaitu 5 alhamdulillah untuk catur wulan yang berikutnya bisa saya perbaiki dan angka merahnya sudah tidak ada sampai kenaikan ke kelas III. Banyak kejadian-kejadian yang sulit untuk saya lupakan selama duduk di kelas II, pertama kepedulian saudara kembarku sangat tinggi kepada saya, dengan penghasilannya sebagai buruh kasar di Cocacola dia masih mampu menyisihkan sebagian upahnya dan mengirimkannya kepada saya sebanyak Rp 7.000,- (tujh ribu rupiah) dan dengan uang itu saya bisa membeli alat gambar (paser dan trek pen) yang harganya Rp4.000,- walaupun bukan merek terkenal tetapi cukuplah untuk mengerjakan pekerjaan menggambar, Rp1.500 saya belikan bahan celana famatex warna coklat muda dan sisanya sama Bapak. Yang lucu lagi adalah untuk mencairkan wesel ke Kantor Pos pun saya belum tahu caranya dan terpaksa berdua dengan Bapak. Kemudian ada cerita lain yang berkenaan tugas-tugas pekerjaan rumah. Waktu itu Pak Asmito sebagai guru Fisika dan Mekanika memberikan pekerjaan rumah Mekanika yaitu tentang Gerak Melingkar Beraturan dan sayalah yang ditunjuk untuk mengerjakan di papan tulis tetapi sebelumnya saya disuruh keluar karena baju tidak dimasukkan, setelah baju saya masukkan saya dipersilahkan untuk mengerjakannya (dulu tidak memasukkan baju adalah sesuatu yang tabu, tetapi kalau sekarang kelihatnnya aneh melihat anak SLA bajunya dimasukkan). Dengan optimis dan kepercyaan diri yang tinggi mulailah bla-bla-bla disertai gambar dan perhitungan-perhitungan seolah-olah betul padahal saya sendiri tidak yakin kalau itu betul, setelah selesai beliau langsung mengatakan yak tul dan diamini oleh semua teman-teman kecuali Gunawan yang berani mengoreksi bahwa pekerjaan saya salah mungkin hanya benar di gambarnya saja dan hitungannya salah. Tetapi bangga juga lho, soalnya gurunya sudah menyatakan yak tul, walaupun akhirnya saya akui juga bahwa saya salah dan Gunawanlah yang benar.

Ada juga kejadian lainnya yang menyebabkan saya dianggap anak pandai. Pada waktu itu Pak Erwanto guru Aljabar Analit memberikan PR beberapa soal, tetapi pada minggu berikutnya begitu masuk kelas beliau langsung bilang bahwa soal nomor satu dikerjakan dan dianggap sebagai ulangan, tanpa buang waktu langsung saya salin saja PR yang sudah saya kerjakan pada kertas ulangan (kertas ulangan jaman dulu cukup merobek beberapa lembar dari buku kemudian dikasih nama dan nomor urut absen, tidak menggunakan kertas khusus yang disediakan sekolah seperti saat ini) dan tidak membutuhkan waktu lebih dari 5 menit sudah selesai dan saya serahkan kepada Pak Erwanto dan langsung diberi nilai 10. Soal yang saya kerjakan sebenarnya tidak terlalu sulit hanya perlu pemahaman yaitu tentang persamaan garis yang mempunyai titik singgung dan tegak lurus pada sebuah lingkaran, dari kejadian itu akhirnya saya dianggap murid yang pandai, sehingga setiap ada pertanyaan dari beliaua setelah satu kelas tidak ada yang tahu pasti pertanyaan itu sebelum ke Gunawan pasti ke saya lebih dulu.

Wali Kelas klas II Paspal waktu itu adalah Pak Asmito, BA, beliau mempunyai keinginan bahwa pada saat kelas III nanti akan mengadakan kunjungan Darmawisata ke Lab. Fisika di UGM (beliau alumni UGM) oleh karena itu kita diwajibkan menabung setiap bulan Rp25,- (dua puluh lima rupiah) sebenarnya tidak berat tetapi sulit juga untuk mendapatkannya, upah kerja disawah pada waktu itu Rp 50,- setengah hari namun pekerjaan itu tidak setiap saat ada, tetapi Alhamdulillah saya tidak pernah melalaikan kewajiban itu, ada saja rezeki yang tak disangka-sangka dan akhirnya saya jug adapt ikut serta. Selama kelas II untuk menghemat sepatu agar tidak termakan pedal sepeda Bapak membelikan sepatu bekas di tukang loak di pasar Kutoarjo. Sepatu bot bekas polisi yang tingginya sebatas mata kaki dengan bahan sebagian kulit sebagian kain terpal dengan asesorisnya paku bulat yang terpasang di bawah masing-masing 3 dibagian depan dan 3 di bagian belakang. Yang pasti kalau buat menginjak kaki orang pasti akan kesakitan dan ternyata sampai kenaikan ke kelas III sepatu itu masih bisa dipakai, ya memang karena tidak ada gantinya. Karena sering kehujanan warna hitamnya lama-lama pudar, untuk mengatasi hal tersebut setelah sepatu habis dijemur, bagian kainnnya saya olesi dengan tinta bak (tinta gambar warna hitam) kemudian bagian kulitnya diolesi dengan bunga sepatu (Hibiscus schizopetalus) eh ternyata bisa kempling juga dan tidak kelihatan leceknya, yah itulah sepatu yang menyelimuti kakiku selama satu tahun.


Satu Bulan Mengurus Simbah

Tahun 1973 bulan Juni saat saya duduk di kelas II, Bapak dan Simbok serta adik saya yang terkecil ke Jakarta. Karena kakak saya sedang membangun rumah dan tentunya membawa tukang dari desa yang tak lain adalah adik-adiknya simbok yakni Lek Kemin dan Lek Senot, dengan pertimbangan karena beliau-beliau biasa menjadi tukang.

Karena itulah saya sendirian di rumah dan mempunyai tugas tambahan untuk mengurus mbah Kaji yang memang sudah sedikit pikun dan pendengarannya sudah sangat terganggu, sendirian juga di rumah yang lain, karena mbah Kecik ikut di rumah Lek Mariyah di desa Jetak (Sumberjo), jadi praktis sayalah yang mengurusnya mulai dari mencuci sarung dan pakaiannya sampai menyiapkan makanan siang dan sorenya khususnya kalau hari libur. Tetapi kalau hari-hari biasa, biasanya makan sorenya minta tolong Lek Minten untuk menyiapkannya.

Karena terbatsanya anggaran yang tersedia, dan memang Bapak tidak banyak meninggalkan uang hanya ala kadarnya, yang pasti saya sangat berhemat untuk pengeluarannya. Saya ingat betul bahwa selama lebih dari satu bulan menu makanan yang dapat saya sajikan buat mbah Kaji boleh dikata tidak pernah berubah, yaitu nasi, sambal daun tales dan sayur bening batang tales. Setiap menanak nasi di atasnya saya kukus cabe dan kelapa parut dibungkus daun tales, batangnya saya sayur bening dengan bumbu yang sangat sederhana, yaitu dengan menambah sedikt garam dan gula merah. Itulah menu sehari-hari, walaupun sesekali pernah juga ganti kalau kebetulan saya sambatan di sawah sehingga yang mengirimi nasi Lek Minten, itulah sedikit kebanggaan bagi saya ternyata saya adalah satu-satunya cucu mbah Kaji Dulmungin yang pernah mengurusnya, karena walaupun cucunya banyak tetapi kesempatan untuk itu barang kali tidak mereka miliki, mudah-mudahan apa yang saya lakukan dapat menjadikan tambahan ibadah saya.



Kelas III SMA

Jumlah siswa yang dinyatakan naik ke kelas III sebanyak 33 orang dan yang dinyatakan tidak naik hanya 1 orang. Saya lupa namanya yang saya ingat bahwa yang tidak naik ke kalas III adalah perempuan dan memang kurang pandai dan kelihatnnya telmi. Dari 33 orang tersebut perempuannya ada 3 orang yaitu Mintarti, Sri Sugati dan satu lagi Daryati. Namun hanya satu yang sampai lulus dan mendapat Ijazah yaitu Sri Sugati, sedangkan Mintarti (berteman dengan saya sejak SMP) dan Daryanti keburu ada yang melamar dan akhirnya menikah sebelum lulus SMA. Saya tidak tahu lagi mereka ini dimana sekarang. Ada kejadian yang juga saya tidak mungkin saya lupakan yaitu pada waktu Mintarti menikah, dari seluruh siswa kelas III yang tidak diundang hanya saya, pertimbangannya muadah-mudahan saya tidak salah sangka karena diundangpun pasti tidak datang, lah mau nyumbang pake apa, untuk membayar uang sekolah yang hanya Rp300,- pun tersendat walaupun tidak nunggak juga. Kalau jaman sekerang mungkin banyak pilihan, tidak bisa nyumbang dengan uang paling tidak bisa nyumbang lagu diiringi Organ Tunggal, beres to. Tetapi waktu itu Organ Tunggal belum dikenal, biasanya orang hajatan ya kalau yang berduit akan nanggap wayang ataupun Orkes Melayu sedangkan yang biasa-biasa saja hanya cukup nanggap Tape Recorder sebagai hiburan,

Ibu guru Bahasa Inggris yang cantik, Ibu Lianawati hanya sempat mengajar beberapa bulan dan tanpa memberitahu alasannya tahu-tahu sudah digantikan oleh orang lain. Pak siapa ya saya lupa namanya. Waktu itu konon katanya Ibu Lin menikah dengan seorang dokter dan mengikuti suaminya ke Jakarta. Walikelas kalas III Paspal, Pak Anton Suharjito, BA, merupakan walikelas abadi karena selalu menjadi Walikelasa III Paspal, beliau mengajar Ilmu Kimia karena memang sesuai dengan bidang yang beliau miliki. Beliau alumni IKIP Yogyakarta orangnya tegas dan pandai serta tepat waktu. Pada waktu itu beliau juga masih muda enerjik dan berwibawa.

Tahun 1974 bulan Januari terjadi Malari di Jakarta, gerakan mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman Siregar, itupun hanya kata koran bekas yang sudah kubuat sampul buku, saya lupa dapat korannya dari mana, tetapi yang menarik masih saja banyak teman-teman yang kepengin membacabya salah satunya adalah Mudakir sahabat saya dari Pituruh yang mirip Londo (Belanda) karena kulitnya putih dan rambutynya pirang. Itulah kenyataan yang ada pada waktu itu semangat membaca tinggi tetapi kemampuan untuk membeli bahan bacaan sangat rendah, sehingga apapun wujudnya tetap dibaca, yang tentunya sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang dimana murid-murid sekolah lanjutan, khususnya tingkat atas (SLTA) kurang dalam hal minat bacanya, sehingga banyak bahan ajar yang hanya diambil intisarinya saja yang menyebabkan pemahaman yang lebih mendalam menjadi berkurang.

Ada juga sebuah kenangan ketika saya sedang membantu buruh memetik padi (derep) yang tempatnya cukup jauh karena sampai ke kecamatan lain. Waktu itu saya bertemu dengan teman SMP yang kebetulan tinggal di wilayah itu, namanya Mahmudi. Dia melanjutkan ke SMEA Negeri Kutoarjo, tanpa ada perasaan malu atau bagaiamana tetap saja pekerjaan itu saya lakukan demi membantu simbok. Dalam hal pergaulan dengan teman yah biasa saja namun kalau dengan teman-teman yang perempuan ada sedikit minder dan cenderung menutup diri, tetapi ada sedikit kebanggaan juga apabila ada pekerjaan rumah, ada saja yang kepingin nyontek dan saya tidak pernah pelit kareana mempunyai prinsip semakin sering diconteki akan semakin memacu untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh bapak guru, dan saya juga banyak salahnya khususnya kepada sepupu saya Suminto, karena tidak pernah saya kasih tahu cara atau jalannya tetapi langsung saya conteki yang sudah selesai untuk itu maaf saudaraku.




Nanggap wayang : Tontonan hiburan dengan pergelaran wayang kulit sehari-semalam dengan jeda waktu.
Ndaut                  : Mencabut bibit padi dari tempat persemaian. 
Matun                  : Menyiangi tanaman padi.

12.8.12

T R U S T

Judul tulisan kali ini nampaknya akan kontroversial bila dibandingkan dengan judul-judul yang lain, demikian pula isinya. Saya tidak bisa menjamin bahwa setelah membaca tulisan ini anda akan mengerti tentang isi yang saya maksudkan sebenarnya. Katakanlah anda mempunyai pemahaman yang sangat tinggi tentang berbagai hal sekalipun.

Cerita ini akan saya mulai ketika dulu sekali (pertengahan 80an). Waktu itu saya datang atau mendatangi tetapi bukan karena undangan ke sebuah keluarga, katakanlah saudara tetapi bukan sebuah hubungan yang dekat dan harmonis. Lebih bisa dikatakan sebagai saudara jauh, meskipun dekat adanya. Di keluarga itu ada beberapa yang sudah menikah dan mempunyai anak, tetapi karena keluarga sederhana ya tetap saja masih menjadi satu dengan ibu/bapaknya. Pendek kata keluarga kurang mampu. Konon cerita punya cerita, ada anak laki-laki kecil yaitu anak dari yang sudah menikah tadi. Seperti biasa saya mendahulukan untuk berhubungan dengan anak itu. Setelah agak lama di rumah itu maka anak itupun merasa mengenal saya dan bisa bergaul ataupun mendekat dan berkomunikasi. Saat itulah kemudian tidak aku sia-siakan. Aku ajak anak itu dengan aku gendong untuk sekedar berkeliling ke tempat-tempat tertentu di luar rumah dan agak jauh dari rumah (lingkungan sekitar, namun tidak masuk ke salah satu rumah manapun). Pertama aku menggedongnya terasa berat, tetapi tetap kulanjutkan saja. Pada suatu ketika maka harus berhenti karena ada sesuatu, maka aku turunkan anak itu. Setelah semua selesai maka harus berpindah ke tempat lain, dan harus kugendong kembali. Disinilah aku merasakan perbedaannya, ternyata anak yang sama dengan kondisi berbeda maka ketika aku gendong menjadi sangat enteng.

Cerita ke-dua terjadi belum terlalu lama, terjadi sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu. Ketika itu aku harus menginap di salah satu temanku yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Dan pagi-pagi sekali aku harus pergi untuk bekerja agar tidak terlambat. Tempat itu agak jauh dijangkau dengan kendaraan umum, sementara kendaraan yang ada (roda dua) cukup terbatas dan harus dipakai. Maka agar semua dapat berjalan dengan baik, saya harus berangkat kerja bersamaan dengan anaknya yang perempuan untuk berangkat sekolah. Anak sekolah perempuan di Jakarta tentu harus mengenakan rok. Waktu itu saya memang belum mempunyai kendaraan roda dua sendiri, tetapi bukan berarti saya tidak dapat mengendarainya. Kendaraan roda dua jenis apapun aku sudah mencoba dan bisa, bahkan sepeda motor jenis scoter yang mempunyai oper gigi di tangan aku bisa. Jadi ketika saya harus memboncengkan anak tersebut kok jadi aneh, lantaran di Jakarta tidak ada anak perempuan dengan rok sekalipun yang memboceng kendaraan roda dua dengan kedua kaki di sisi yang sama. Maka ketika lain hari saya bertemu ayahnya (temanku), maka dia bilang bahwasanya saya tidak dapat mengendarai kendaraan roda dua dengan baik. Memang sih, saya tidak suka kebut-kebutan atau mengendarai kendaran roda dua dengan saling mendahului seperti kebanyakan, saya lebih suka untuk mengalah dan memberi jalan untuk yang lain.

Cerita ke-tiga masih tentang kendaraan roda dua, yaitu ketika kakak saya yang tertua datang kerumah, dan saya harus mengantarnya dengan menggunakan roda dua milik saya sendiri yang sudah kurang lebih satu tahun aku miliki. Masa sih harus seberat itu untuk membawa seorang penumpang? Lalu bagaimana ceritanya seorang tukang ojek yang tiap hari harus mengantar orang yang berbeda-beda, berganti-ganti, ada yang gemuk ada yang kurus!

Cerita ke-empat adalah tentang kerjaan. Sebuah sistem atau perangkat management yang harus diaudit. Masa sih, sudah sepuluh tahun lebih mengelola sebuah sistem tetap saja masih kebobolan dua buah minus?

Dari ke-empat masalah diatas semuanya adalah tentang trust, yang artinya kurang lebih sebuah kepercayaan. Dari cerita pertama, seorang anak yang digendong terasa berat, sebenarnya anak itu awalnya memang enggan untuk digendong karena belum memberikan kepercayaan yang penuh terhadap orang yang mau menggendongnya. Maka setelah kepercayaan itu seluruhnya diberikan maka semuanya akan menjadi sangat baik dan harmonis untuk dijalankan. Sama juga dengan cerita yang ke-dua. Itu bisa kita terapkan/umpamakan kepada diri sendiri. Seandainya kita mau membonceng teman atau siapapun, tetapi kita tidak yakin akan kemampuan, bisa juga jaminan keselamatan yang akan diberikan kepada kita, maka kita tidak akan nyaman sepanjang perjalanan, dan itu sangat berpengaruh terhadap pengendara. Tetapi bila kita menyerahkan sepenuhnya baik itu kemampuan maupun keselamatan kepada yang akan kita tumpangi layaknya seorang tukang ojek, pasti hasilnya sangat beda. Dan begitu pula untuk cerita yang ke-tiga maupun yang ke-empat.

Lalu bagaimana dengan keyakinan yang pada umumnya kita anut? Saya pikir hukum-hukum diatas berlaku juga disini. Kemudian menjadi sangat janggal apabila ketika keyakinan itu kurang maka tetap harus dipaksakan, dan yang menjadi sangat janggal toh keyakinan nanti akan semakin bertambah seiring dengan kedekatan kita terhadap kepercayaan yang kita anut, terlebih lagi apabila kita mau memupuknya dengan ritual-ritual tertentu yang pasti akan membangkitkan semangat kita dalam memupuk keyakinan. Kalau saya analogikan dengan pengendara kendaraan roda dua dan yang memboceng, bukankah hal ini akan menjadi sangat memberatkan buat ke-dua belah pihak. Tolong direnungkan!

29.7.12

G U D H E G

Made in Jakarta


 Gambar diatas diambil dari sebuah penginapan balkon lantai atas di Yogyakarta tahun 2006, beberapa bulan setelah terjadi gempa. Sangat jelas di situ terlihat suasana Yogya sehari-hari pada waktu itu. Nah, gambaran seperti itulah Gudheg Jogja yang sangat aku rindukan. Ternyata kerinduan itu tinggalah sebuah kerinduan yang tak akan habis dinantikan dan tak akan pernah kunjung tiba lagi. Pasalnya gudheg sudah bukan lagi menjadi icon kota Yogyakarta, dan sekarang gudheg tumbuh subur di ibukota NKRI tercinta, Jakarta.

Sebelum saya membahas lebih banyak gudheg made in Jakarta ini, terlebih dahulu saya akan flash back ke Gudheg Jogja dahulu. Gambar diatas tersebut adalah mengiringi perjalananku dengan seorang teman yang bernama Leonardus Seran Berek. Dia adalah teman kerjaku, namun sekarang sudah tidak bekerja lagi bersama saya dan kembali ke kampung halamannya, seperti namanya pasti bukan orang Jawa. Dia orang Timor, yang dulunya bernama Timor Timur tetapi tinggal di perbatasan, sehingga ketika merdeka keluarganya memilih untuk meninggalkan Timor Leste dan memilih untuk tinggal di Atambua, jadi masih masuk NKRI yang berada di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika itu ia berada di Jakarta karena sebuah program dari pemerintah waktu itu, yang menginginkan agar para pemudanya untuk menyebar ke seluruh wilayah NKRI sehingga diharapkan tidak akan membuat masalah, paling tidak akan mengurangi masalah politik waktu itu.

Ketika bertemu saya ia selalu bercerita atas kebanggan dengan negrinya ini. Dia sudah menyaksikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dia sudah bisa menikmati Tugu Monas, dia sudah menikmati Taman Impian Jaya Ancol, yang waktu sebelumnya dia hanya bisa melihatnya lewat layar kaca. Namun ada beberapa hal yang mengganjal, dia belum melihat sebuah dari ke-7 keajaiban dunia yang tentunya ada di Jawa ini, Borobudur. Apa salahnya aku membawanya ke tempat itu, yang menjadikan masalah adalah waktu. Dan sebenarnya dia ingin sekali ikut pulang ketika lebaran tahun 2006, namun karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sehingga tidak jadi. Akhirnya waktu tersebut didapatkan dengan memanfatkan libur akhir pekan Sabtu dan Minggu. Berangkat dari Jatinegara menumpang kereta Ekonomi, samapai di Purworejo (st. Kutoarjo) masih jam 6:10. Perjalanan dilanjutkan ke terminal bus Purworejo dan menumpang bus jurusan Magelang turun di Salaman. Dari Salaman ke Borobudur dengan bus dari Magelang. Sampailah di Borobudur.

Sebelum menuju puncak Borobudur saya sempat berputar-putar di terminal Borobudur, ternyata makanan khas Jogja itu sudah terlihat mewarnai terminal itu. Sampai di puncak Borobudur masih jam 8:45, masih cukup pagi dan tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga semuanya dapat dilakukan dengan mudah. Acara berkunjung ke Borobudur disudahi pukul 9:30. Perjalanan selanjutnya adalah menuju Candi Prambanan.

Singkat cerita sehabis perjalanan ke Candi Prambanan yang ada hanyalah kecapekan, maka hal yang paling penting dilakukan adalah mencari tempat untuk istirahat yang layak. Didapatkan dekat dengan Malioboro, itu sangat menguntungkan, dan acara melepas lelahpun tidak perlu diperlama lagi. Sudah pukul setengah empat sore. Malam harinya dipergunakan untuk menikmati Malioboro dan sampai ke alun-alun Utara. Bagi saya itu adalah sebuah perjalanan yang biasa, tetapi bagi dirinya itu sangat luar biasa. Di alun-alun itu dia sempat menghabiskan dua mangkok wedang rondhe, dan ketika dia menanyakan dimanakah Keraton Yogyakarta, maka saya suruh dia untuk memandang ke belakang berbalik arah. "Oo itu to yang namanya Keraton!"

Sesampainya di penginapan kembali, karena saya ingin menikmati gudheg maka saya suruh dia untuk mencarikan, karena saya sudah tak sanggup berjalan (ada masalah di kakiku). Dengan uang secukupnya yang aku berikan ternyata hanya dapat satu porsi, itupun . . . . . . .    Aku tahu ia mendapatkannya di lesehan Malioboro. Tetapi ketika pagi hari menjelang ia aku suruh untuk mencarikan sarapan, saya tunggu kok lama. Sekembalinya dia menenteng bungkusan sambil ketawa: "Ini to yang namanya gudheg Jogja!" Ternyata dia sudah menghabiskan satu porsi besar, karena harganya yang miring. Dan ia mendapatkannya tepat di depan penginapan seperti foto diatas.

Aku kembali rindu akan gudheg Jogja dan wedang rondhe itu, maka aku sering melakukan perjalanan ke Yogyakarta meski tanpa seorang teman. Entah perjalanan yang ke-berapa sudah aku lakukan, singkat cerita aku terdampar lagi di kota Yogyakarta. Namun kali ini agak membuat hati terkoyak, pasalnya semua tempat yang dekat dengan Malioboro sudah penuh, dan aku dapatkan tempat yang cukup jauh, yaitu di Jl. Parang Tritis, sebelah Selatan Plengkung Gading. Dari pada tidak dapat istirahat dengan terpaksa aku ambil juga. Saya lupa tepatnya kejadian ini kapan karena tidak ada dokumentasi sama sekali, yang saya ingat adalah setelah terjadi Gunung Merapi meletus dan meyemburkan abu yang sangat banyak hingga kemana-mana. Tetapi saya datang ke Yogyakarta kondisi sudah aman terkendali dan terbukti para turis sudah sangat banyak dan memenuhi semua tempat penginapan di kota Yogyakarta.

Setelah acara melepas penat selesai, aku mencoba untuk mencari makanan yang menjadi icon kota Yogyakarta tersebut, paling tidak mendapatkan wedang rondhe atau yang mirip adalah wedang jahe ala angkringan. Sudah sekian jam aku melangkah, sudah beratus-ratus meter aku lalui jalanan sepi, apapun yang aku inginkan tidak kunjung ketemu. Aku menyerah, dan memilih pulang ke penginapan dengan hasil segelas teh manis ala angkringan. Dan aku rasa semua angkringan di Yogyakarta juga sudah berubah wujudnya, menjadi sekedar tempat untuk nongkrong menghabiskan malam atau sekedar mengisi perut yang keroncongan. Sangat berbeda dengan angkringan yang dulu aku kenal, dengan menyajikan semua menu dengan lengkap.

Ketika pagi hari menjelang, sebelum aku kehabisan waktu ataupun mangsa buruanku maka aku kembali melangkahkan kaki menyusuri jalan sepi, dari satu gang ke lain gang dan berharap akan menemukan gudheg di sebuah sudut jalan. Juga tanpa hasil. Akhirnya aku ketemu seorang penjual kue dengan roda dua, saya tanyakan dimana bisa kutemukan gudheg di pagi seperti ini. Jawabnya singkat, di Jogja sudah tidak ada orang jual gudheg semenjak gunung Merapi meletus. Jawaban itu sangat mengusik lubuk hatiku yang paling dalam, terus kalau orang Jogja sudah tidak mau jualan gudheg, sudah tidak mampu membuat gudheg, sudah tidak mau jualan wedang rondhe, jualan angkringan asal-asalan, lalu apakah masih perlu disebut sebagai Yogyakarta?

Pertama kali aku merasakan gudheg made in Jakarta sudah lama sekali, sepuluh s/d limabelas tahun yang lalu, tepatnya di Pondok Indah. Mungkin tempatnya sekarang sudah berubah menjadi bangunan yang lain. Rasanya cukup meyakinkan bahwa itu gudheg beneran, bukan asal nangka muda matang dan berwarna merah. Tetapi waktu itu saya rasa masih cukup mahal, tetapi karena saya hanya dibayari teman saya, nggak ada komplin dan tidak perlu untuk mengulang kembali. Kemudian beberapa kali ketemu di tempat lain meskipun rasanya belum seperti gudheg asli Jogja.

Setahun terakhir ini orang berjualan gudheg di Jakarta mulai menjamur. Mungkin saya tidak terkejut bila tidak ada embel-embelnya di belakang. Adalah Gudeg Tugu, pasti akan mengingatkanku ketika aku dulu selalu menyantap gudheg malam-malam di depan toko buku Gunung Agung (sekarang menjadi dialer motor) persis di salah satu sudut bangunan tugu yang ada ditengah persimpangan jalan itu. Ketika aku membelinya maka aku dengarkan bahasa Jawa halus yang digunakan, cuma aku tidak menjawab dan pura-pura tidak tahu tentang itu. Dia paham dan kemudian menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun aku orang Jawa asli tetapi potonganku sama sekali tidak memperlihatkan ke arah itu, baik bahasa maupun raut muka wajahku adalah lebih mirip orang Batak. Mungkin aku dikira orang baru penggemar gudheg.

Ternyata cerita tentang gudheg made in Jakarta hanya sampai disini saja, samapi ketemu dengan cerita-cerita yang lain. Salam!










11.7.12

Mempelajari

Naluri Binatang



















Sudah sejak lama saya menginginkan untuk memposting tentang ini, namun baru kesampaian sekarang ini, tak apalah! Seperti gambar di atas, tentu saja binatang yang aku maksud adalah kucing.

Saya mulai cerita ini ketika kucing itu datang pertama-kali ke rumahku adalah sekitar setahun yang lalu. Banyak memang kucing yang datang pergi ke rumahku tetapi tidak mempunyai kebiasaan/kelakuan seperti kucing tersebut. Pada awal kedatangan kucing tersebut sangat liar, karena sama sekali tidak berkomunikasi dengan saya. Dia datang untuk menempati dan langsung tidur (kapanpun dia datang) di suatu tempat yang sulit dijangkau. Kadang-kadang malam hari tetapi juga tidak jarang siang hari. Saya memang tidak mengusir kucing itu dan membiarkan kucing itu untuk menempati tempat yang dia pilih sendiri.

Setelah agak lama dia tinggal dan keluar masuk ke tempat itu (kurang lebih seminggu), dia memberanikan diri untuk mendekatiku (tanpa bersuara) terutama ketika saya sedang makan, saya tahu dia sedang mengharapkan sisa makanan dariku yang biasanya tulang ikan atau ayam, dan juga daging. Kalau memang ada sisa makanan dari ketiga jenis itu saya memang suka memberikannya dengan menaruh di suatu tempat yang agak jauh, dan saya tidak mencoba untuk memberikan nasi yang dicampurkan atau yang lainnya, biarkan tetap sebagai fitrahnya bahwa kucing adalah pemakan daging karena mempunyai gigi taring yang cukup untuk itu.

Beberapa kali aku memberikan sisa makanan membuat kucing itu agak jinak kepada saya, mulailah mengeluarkan suara ketika saya sedang makan. Dan memang kadang-kadang saya makan tanpa menggunakan ketiga jenis makanan di atas (daging, ikan atau ayam), jadi tidak ada sisa makanan yang bisa saya berikan kepadanya. Namanya kucing ya tidak bisa menuntut apa-apa.

Suatu ketika setelah kucing itu benar-benar mulai akrab dengan saya, karena saya mulai mengajak bercanda dengan menyentuh beberapa bagian tubuhnya, maka suaranya makin mulai nyata meskipun kadang-kadang menunjukkan kemarahannya. Cuma yang saya heran kalau dia marah tidak menggunakan cakarnya untuk menyerang tetapi menggunkan mulutnya dengan keinginan untuk menggigit. Ketika itu pula (melalui mimpi) aku diberi petunjuk bahwa binatang itu hanya kucing tetangga yang sedang main.

Keakraban dengan binatang itu makin bertambah ketika dia tidak lagi menempati tempatnya semula untuk istirahat atau tidur. Dia lebih suka untuk tidur dekat saya, ataupun kalau saya mengusirnya ia hanya cukup untuk tidur dekat kaki saya. Dan menjadi lebih sering untuk selalu tidur disana. Bahkan ketika dia merasa cukup kenyang, karena kadang-kadang saya memang menjaga agar ketika makan menggunkan lauk seperti ketiga jenis di atas tadi dengan maksud gar ada sisa makanan yang bisa saya berikan. Saya juga berpikir, saya manusia bisa makan apa saja, tetapi kucing hanya akan makan daging, ikan atau ayam, jadi lebih baik saya makan yang lainnya, sedangkan daging, ikan atau ayam saya berikan untuk kucing itu.

Karena saya sendirian, jadi lebih sering saya tidak membawa makanan ke rumah, artinya kucing itupun lebih sering untuk tidak makan alias kelaparan. Meskipun ketika benar-benar dia merasa kenyang dengan tanda dia tidak menghabiskan makanan yang aku berikan, maka saya melihatnya bahwa dia benar-benar merasa nyaman dan aman. Tanda itu juga terlihat ketika sedang tidur, bila kucing itu kenyang dan merasa aman maka tidurnya akan miring dan menjulurkan ke-empat kakinya, sedangkan kalau dia tidak kenyang atau tidak merasa aman maka akan tidur dengan bertumpu pada ke-empat kakinya (nderum).

Sebelumnya saya tidak mengetahui jenis kelamin dari kucing itu, karena tubuhnya yang tetap kecil, tidak besar dan gemuk seperti pada umumnya kucing-kucing liar yang ada di jalanan. Sampai pada suatu waktu aku dikejutkan dengan kehadiran anak-anak kucing kecil yang ada di kebun belakang rumahku. Hamilpun aku tidak tahu, kok tiba-tiba mempunyai anak. Yang menjadi sangat heran dimanakah kucing itu beranak? Karena anak kucing yang baru dilahirkan belum bisa mengeong apalagi berjalan, sedangkan anak-anak kucing itu (hanya sepasang) sudah pandai berlompat-lompatan. Memang pada waktu itu aku sempat merasakan kok kucing itu jarang kelihatan, bukan berarti tidak kelihatan sama-sekali. Apakah karena aku menjadi jarang untuk pulang dengan membawa nasi bungkus yang ada lauknya ikan?

Saya memang cukup senang dengan kehadiran anak-anak kucing itu, tetapi lama-lama menjadi cukup terganggu dengan kehadiran anak-anak kucing itu, pasalnya anak-anak kucing itu tidak sekedar bermain-main lompat-lompatan di lantai. Tetapi sampai menyusup-nyusup ke peralatan elektronika saya yang memang semuanya dalam kondisi terbuka dan banyak ruangan-ruangan menyempil yang bisa dimasuki anak kucing. Kalau terjadi sesuatu sehingga short itu akan sangat merugikan saya. Sehingga sayapun mulai mengusir apabila anak-anak kucing itu merambah samapai ke tempat itu, tetapi dasar anak kucing, sedangkan yang anak manusiapun belum tentu bisa dengan pelarangan yang seperti itu.

Memang benar ketika induknya datang dia tidak akan main-main ke tempat itu. Pada suatu waktu ketika induknya sedang pergi, dan saya sudah kehabisan akal untuk menghalau anak kucing itu, maka saya upayakan agar kucing itu tetap berada di kebun dan tidak masuk ke dalam rumah (malam hari). Tetapi ternyata saya menjadi tidak betah karena suasana menjadi panas. (Sehari-hari saya selalu membuka pintu belakang, dan hanya menutupnya sedikit ketika tidur, jadi tetap ada aliran udara dari luar.) Hal inipun aku tetap mengakali dengan membuat penghalang agar anak kucing itu tudak bisa masuk, tetapi aliran udara tetap ada. Artinya anak kucing itu tetap melihat bahwa pintu masih terbuka dan ingin berusaha masuk, dengan mengeong dan melompat-lompat ke arah penghalang itu. Selamat sampai pagi.

Tragedi itu terjadi ketika pagi hari menjelang siang (kurang lebih jam 5:30). Induk kucing datang, dan induk kucing itu tahu kalau anak-anaknya telah membuat masalah, maka dia harus memindahkan anak-anaknya ke tempat lain. Kucing akan memindahkan anak-anaknya secara paksa dengan menggendong (menggigit bagian tengkuk anak kucing), tetapi jalan satu-satunya harus melompat tembok setinggi 2 meter. Dalam kondisi sendirian tanpa menggendong anaknya kucing itu telah terbiasa, tetapi ketika harus menggendong anaknya yang sudah besar (lihat gambar di atas), maka selalu gagal. Hal itupun sudah dicoba berulang-kali. Akhirnya aku memberikan jalan dengan cara membukakan pintu depan rumah. (Hari masih gelap jadi, saya belum membuka pintu maupun jendela, dan sayapun harus pergi kerja sehingga jendela tidak saya buka.) Akhirnya kucing itu dengan anak-anaknya pergi melenggang melewati pintu depan rumah.

Hari-hari berikutnya kucing dewasa tetap datang untuk minta makan (kalau ada) dan tanpa membawa anak-anaknya. Dan kucing dewasa itupun tetap dengan kebiasaan ketika belum mempunyai anak. Yang saya hampir tidak percaya adalah ketika melihat bahwa kucing itu menangkap tikus yang cukup besar (segede anaknya) di depan mata saya, karena saya selama ini beranggapan bahwa kucing di Jakarta ini tidak akan pernah menangkap tikus. Untuk apa susah-susah menangkap tikus, makanan melimpah dimana-mana.

Malam hari kemarin (sekitar pukul 0:00 WIB), kucing itu kembali datang dengan membawa anak-anaknya tetap melalui tembok belakang, dengan meninggalkan anak kucing itu di atas tembok dan diharuskan melompat turun sendiri. Akhirnya mereka semua masuk ke dalam rumah. Dalam 24 jam terakhir ini banyak terjadi perubahan-perubahan. Ternyata anak-anak kucing itu tidak seliar ketika pertama kali berkunjung ke rumah waktu itu. Dan ternyata kadang-kadang induk kucing itu juga marah terhadap anak-anaknya apabila anak-anaknya melakukan kesalahan, dan induk kucing itu juga marah ketika anaknya aku ganggu di depannya.

Sekarang ini, ketika aku sedang menuliskan cerita ini, kucing dan anak-anaknya itu telah pergi tanpa aku ketahui (mungkin aku ketiduran). Tetapi terlebih dahulu anak kucing itu (bukan kucing dewasa) telah meninggalkan kotorannya diatas tempat dimana biasanya aku tidur. Mungkin kucing itu tahu, kalau mereka tidak segera pergi maka anak kucing itu akan aku rebus.      


3.3.12

Mengenal Secara Kimiawi

BATU PERMATA

Gambar diatas bukanlah gambar emas sungguhan, tetapi gambar emas palsu yang terbuat dari kuningan. Sedikit cerita mengenai bagaimana barang itu kudapatkan, adalah ketika suatu sore tiba-tiba seorang temanku (yang paling aneh dari sekian temanku) datang kerumah, kurang lebih setelah matahari terbenam. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari kedatangannya itu sebenarnya masih misterius sampai kini. Untuk tidak lebih menambah misterius dari cerita ini maka tiba-tiba (urut-urutan kejadian aku lupa) ia mengeluarkan sebongkah barang yang hanya dibungkus dengan kertas koran/majalah. Yah barang itulah yang dikeluarkan sambil berkata apakah mungkin barang itu dapat digunakan sebagai jaminan (biasanya untuk beberapa lembar gambar pahlawan).

Saya sangat terkesima dengan barang itu, lalu aku mulai menanyakan ini-itu. Sementara ia menjawab dengan perasaan bingung, karena nggak tahu juga mau diapakan barang seperti itu. Aku mulai menanyakan barang itu didapat dari mana, maka jawabnya adalah dari seorang teman yang menyebut dirinya cah angon dan tidak ada nama lain selain itu. Saya juga tanyakan berapa lama kamu mengenal orang itu, jawabnya sudah lama tetapi sudah lama juga tidak ketemu. Temannya itu tidak punya tempat tinggal atau akan tinggal dimana saja. HP nggak punya dan jangan mencoba untuk mencari keberadaannya, tetapi kalau dia ingin maka ia akan datang sendiri. Suatu cerita yang sangat aneh. Sebenarnya yang banyak diceritakan adalah kejadian yang baru saja meninpa dirinya dan hampir merengut nyanwa. Dan cerita itu tentu saja menambah misterinya senja itu.

Aku mulai menimang-nimang barang itu yang kurang lebih total mempunyai berat 1,5 kg. Bila benar itu emas maka akan mempunyai nilai berapa? Uang itu cukup untuk membuat aku tidak perlu bekerja lagi. Tetapi yang sangat mengganggu pikiranku adalah asal dari barang itu dan wujudnya sendiri. Ketiganya ada tulisan Soekarno tercetak miring dan tanda tangan. Seperti tertera digambar maka ada gambar timbul dan juga tulisan 24K. Yang paling kecil ada gambar pedang dan sangkur, sedang yang lainnya ada tulisan LONDON, angka 999.9, LM dan gambar padi kapas. Dari kondisi barang seperti itu aku mulai berpikir siapa gerangan cah angon itu? Aku tidak pernah berpikir seandainya benar barang itu asli maka akan segera aku jual untuk mendapatkan uang.

Sebelum temanku pulang aku mengatakan kepadanya apabila barang itu emas asli maka harus ada sertifikatnya, padahal aku sama sekali nggak ngerti tentang yang seperti itu. Malam harinya (sampai jam 12) aku mulai browsing untuk mendapatkan keterangan tentang barang-barang itu. Yang pertama aku cari adalah gambar emas yang ada gambarnya seperti itu. Susah sekali aku dapatkan meskipun akhirnya aku dapat dan itupun tidak meyakinkan. Akhirnya aku mencari berbagai artikel tentang emas batangan, ternyata banyak yang palsu dan banyak pula yang memalsukan. Terakhir aku mencari keterangan bagaimana cara menguji emas. Mencari maghnit di rumahkupun tidak ketemu, dan menggunakan maghnit buatan dari batere malah kesetrum. Akhirnya uji yang bisa kulakukan hanya menjatuhkan di keramik dan mendengarkan bunyinya serta dengan menggores-goreskan ujungnya pada kaca ataupun keramik.

Pagi harinya aku bawa ke tempat kerja dan di lab langsung aku dekatkan dengan sebuah maghnit, ternyata punya reaksi meskipun tidak sedahsyat besi. Siang harinya aku mencoba membawa ke laboratorium yang lebih canggih (masih di tempat kerja) yaitu dengan sinar-X. Hasilnya, logam itu terdiri dari 52% tembaga (Cu), 46% seng (Zn) dan ada 1% timah (Sn). Sisanya tidak dominan ada besi dan logam jarang lainnya.

Terus terang, saya menuliskan artikel ini karena diilhami acara TV Hitam Putih, yang menghadirkan seorang tamu dimana setiap kali dari matanya akan mengeluarkan permata. Lalu ada seorang pakar (ahli) dalam hal hal batu permata yang ternyata batu-batu itu bukanlah batu-batu permata yang mempunyai nilai jual tinggi. Cuma tidak bisa dikatakan batu permata itu asli atau bukan. Maksudnya asli adalah terbentuk secara alamiah, dan imitasi adalah sengaja dibuat oleh manusia dari bahan tertentu.

Emas (Au) adalah satu-satunya unsur kimia yang dianggap sebagai logam mulia. Meskipun ada unsur yang lain seperti emas putih (Pt), perak (Ag). Tembaga (Cu) sering juga disebut sebagai perunggu. Sedangkan satu-satunya batu permata yang bukan dari logam adalah intan karena tersusun dari unsur karbon murni (C). Meskipun granit juga merupakan batuan yang tersusun dari unsur karbon murni tetap berbeda dengan intan, dan yang membedakan adalah jenis ikatan antar unsur karbon itu sendiri. Intan mempunyai 100% ikatan jenuh dari setiap unsur penyusunnya sehingga secara kimia atom ikatannya dinamakan SP3, dan granit adalah batuan dari karbon yang unsur-unsurnya banyak mengandung ikatan tak jenuh (50%) sehingga secara kimia atom jenis ikatannya dinamakan SP2.

Jenis ikatan SP3 adalah yang bisa kita bayangkan (tiga dimensi) sebagai suatu pusat (atom) dan mempunyai 4 tangan dan semuanya mempunyai sudut yang sama sehingga ketika semuanya saling mengikat maka akan memenuhi ruangan, dan ini akan menyebabkan kepadatan yang sangat tinggi (tidak ada ruang sedikitpun tersisa) dan juga kekerasannya. Beda dengan jenis ikatan SP2, maka bila kita bayangkan hanya sebuah pusat (atom) yang mempunyai 3 tangan, sehingga dalam keseimbangan hanya merupakan segitiga datar. Maka ketika saling mengikat hanya akan membentuk segi enam yang sangat lebar (seperti konblok), tentu saja sangat mudah mencari ruang kosong dan kekerasannyapun tidak tinggi.

Batuan lain yang aku mengerti adalah silikat (SiO2). Batuan ini dalam keadaan murni akan berwarna putih saja, tentu saja makin murni maka kekerasannya makin tinggi. Dalam produksi alamiah maka akan menjadi batuan yang mahal apalagi bila berkolaborasi dengan unsur-unsur lain yang menyebabkan batuan ini berwarna-warni dan sangat menawan. Bila batuan ini dibuat oleh manusia maka dinamakan kaca. Tetapi saya pernah terkecoh oleh sebuah batuan yang mengkilap ketika sedang berkunjung ke daerah pegunungan. Ternyata batuan yang mengkilap dan berwarna putih bersih itu hanya CaO alias batu kapur.


29.1.12

MELURUSKAN SEJARAH

MAJAPAHIT (WILWATIKTA)





Pengantar! Sebenarnya judul diatas terlalu mengada-ada, sebenarnya saya sama sekali bukan sejarawan ataupun orang yang mengerti banyak tentang ilmu-ilmu sosial. Disini saya hanya ingin melengkapi saja cerita tentang Kerajaan Majapahit yang telah diterbitkan sebelumnya dalam "Sejarah Berkata". Tentu saja agar tidak menjadikan preseden buruk tentang sejarah itu sendiri. Marilah kita mengkaji sejarah dengan benar, dan legowo, tidaklah perlu bersikukuh dengan pendirian sendiri yang kesemuanya belum tentu benar. Hormatilah pendapat orang, sebagaimana orang lain juga akan menghormati pendapat kita. Naskah ini saya edit dari sumber-sumber di web juga, namun karena mereka tidak menyebutkan jati dirinya maka saya tidak mencantumkan pula disini. Dan akhirnya saya ucapkan selamat membaca. 



Majapahit atau Wilwatikta, adalah sebuah kerajaan besar di Nusantara yang berusia hingga lebih kurang 300 tahun (1293 ~1500 M), yang didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya atau Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya). Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sri Rajasanegara (Hayam Wuruk) yang memerintah antara tahun 1350 M s/d 1389 M, dengan dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan yang beragama resmi Hindu Syiwa dan Budha (Indonesia pada waktu merdeka mengakui ada 6 agama resmi) ini wilayahnya mencakup seluruh Nusantara membentang mulai Pulau Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan hingga ke wilayah Timur, karenanya dianggap sebagai salah satu Kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.


Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan fisik dari kerajaan ini, meskipun tidak bisa utuh kesemuanya yang disebabkan oleh peperangan, bencana alam, dan lain sebagainya yang kesemuanya mengarah kepada kehancuran bukti-bukti sejarah kejayaannya. Sumber-sumber sejarah tertulis utama antara lain: Kitab Pararaton, Kidung Harsawijaya dan Kitab Negarakretagama yang judul aslinya Desawarnana dan dinyatakan sebagai memori dunia oleh UNESCO. Banyak juga prasasti-prasasti bertuliskan Jawa Kuno serta catatan-catatan sejarah dari negara-negara lain. Meskipun umurnya masih sangat muda namun demikian dapat digunkan sebagai catatan, terutama untuk mengungkap kejadian sebenarnya di akhir masa kejayaan Majapahit, misalnya Serat Darmogandhul dan Babad Tanah Jawa (ingat: Negarakretagama ditulis jauh sebelum peristiwa ”Sirno Ilang Kretaning Bumi’).




PENDIRIAN

Kerajaan Majapahit didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Bhre Wijaya (Raden Wijaya) pada tahun 1293 M. Beliau adalah seorang keturunan Singhasari dari Dyah Lembu Tal dan cucu Narasinghamurti (Mahisa Campaka), jadi beliau masih keturunan Ken Arok. Oleh karenanya saat menjadi raja beliau mengambil nama Abhiseka Sri Rajasa Jayawarddhana. Bhre Wijaya ini juga merupakan menantu dari raja Singhasari terakhir Prabu Kertanegara. Pendirian kerajaan Majapahit ini diawali dari keruntuhan kerajaan Singhasari akibat serangan Jayakatwang dari Gelang-gelang. Bhre Wijaya ditunjuk untuk menghadapi serangan Jayakatwang ini yang datang dari sebelah Utara

Setelah raja Kertanegara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang dan berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari. Salah seorang keturunan penguasa/bangsawan Singhasari yaitu Wijaya, kemudian berusaha untuk dapat merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang. Raden Wijaya masih keponakan raja Kertanegara, dan juga sebagai menantu yang dinikahkan dengan puterinya. Cerita tentang pendirian Kerajaan Majapahit ini telah disadur dengan baik dan diangkat menjadi sandiwara radio dengan judul ”Tutur Tinular” oleh S. Tidjab pada era akhir 80an dan kemudian juga divisualisasikan untuk bisa ditonton dalam layar kaca pada era 90an.


Pada saat pasukan Jayakatwang dari Kadiri menyerang Singhasari, R. Wijaya ditunjuk oleh raja Kertanegara untuk memimpin pasukan Singhasari melawan pasukan Kadiri yang datang dari sebelah Utara. Kisah pertempuran antara pasukan R. Wijaya melawan pasukan Kadiri dapat disarikan dari prasasti Kudadu, satu di antara sejumlah kecil prasasti yang memberikan cerita sejarah secara panjang lebar dalam bagian samabandha-nya. Kisah pertempuran ini terdapat pula dalam Kitab Pararaton, Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama dengan perbedaan dalam detil jika dibandingkan dengan keterangan dalam prasasti Kudadu. Prasasti Kudadu ini berangka tahun 1216 Saka (11 September 1294), dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (R. Wijaya) dalam rangka memperingati pemberian anugerah kepada pejabat desa (rama) di Kudadu, yang berupa penetapan desa Kudadu menjadi daerah swatantra. Dengan penetapan ini, maka desa Kudadu tidak lagi merupakan tanah ansa bagi Sang Hyang Dharmma di Kleme. Sebab muasal desa Kudadu memperoleh penghargaan/anugerah raja ialah karena desa ini telah berjasa memberikan perlindungan dan bantuan bagi raja (R. Wijaya) pada saat beliau masih belum menjadi raja, dan bernama kecil Nararyya Sanggramawijaya yang pada waktu beliau sampai di desa Kudadu karena dikejar musuh (Jayakatwang).


Prasasti lain yang juga menyinggung kisah pelarian R. Wijaya tetapi amat singkat adalah prasasti Sukamrta yang berangka tahun 1218 Saka (29 Oktober 1296). Prasasti ini memperingati penetapan daerah Sukamrta kembali menjadi daerah swatantra atas permohonan Panji Patipati Pu Kapat, yang hendak menirukan perbuatan ayahnya Panji Patipati. Permohonan ini dikabulkan oleh raja Kertarajasa Jayawarddhana karena Panji Patipati Pu Kapat telah memperlihatkan kesetiaan dan kebaktiannya yang luar biasa kepada raja, dengan ikut mengalami duka nestapa. Pada waktu raja Kertanegara meninggal ia masih muda belia. Pada waktu itu ia harus mengungsi, melarikan diri dari kejaran musuh, masuk hutan, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan laut, Panji Patipati tidak berpisah dari sisi R. Wijaya, menjalankan segala perintah. Di kala hujan membawakan payung, di kala gelap membawakan obor. Dan pada waktu R. Wijaya menyerang negeri penjahat yang telah menghianati raja Kertanegara, Panji Patipati ikut pula di dalamnya.


Di dalam prasasti Sukamrta itu disebutkan juga bahwa R. Wijaya menyeberangi lautan, tentunya yang dimaksud di situ adalah kepergiannya ke Madura seperti disebutkan dalam prasasti Kudadu. Di Madura, R. Wijaya diterima oleh Aryya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar R. Wijaya dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kadiri. R. Wijaya akhirnya mendapat kepercayaan penuh dari raja Jayakatwang, sehingga permintaan R. Wijaya untuk membuka daerah hutan Terik dengan alasan akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui sungai Brantas inipun akhirnya dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah Terik dibuka oleh R. Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja menjadi sebuah desa kecil dengan nama Majapahit. Di desa Majapahit yang baru dibuka ini R. Wijaya berusaha untuk mengambil hati para pendukungnya, terutama orang-orang yang datang dari Tumapel dan Daha.


Diam-diam R. Wijaya memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk menyerang Kadiri. Di Madura adipati Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan orang-orangnya untuk datang membantu ke Majapahit. Bertepatan dengan selesainya persiapan-persiapan untuk mengadakan perlawanan terhadap Jayakatwang, pada awal tahun 1293 datanglah bala tentara Khubilai Khan (Tartar) yang sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari, menyambut tantangan Kertanegara yang telah menganiaya utusannya (Meng-Ch'i). Tentang peristiwa ini sumbernya berasal dari catatan pemimpin armada tentara Mongol tersebut. Catatan itu menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1292 Kaisar Shih-Tsu (Khubilai Khan) memerintahkan tiga orang panglima perang yaitu Shihpi, Iheh-mi-shih dan Kau Hsing untuk menghukum Jawa. Dengan armada angkatan laut yang besar mereka bertolak dari Ch'uan-chou. Dalam bulan pertama tahun 1293 mereka telah sampai di Pulau Belitung, di sana mereka itu merundingkan siasat yang akan dijalankan. Iheh-mi-shih berangkat terlebih dahulu untuk menundukkan raja-raja kecil di Jawa dengan jalan damai. Kedua orang panglima yang lain bertolak dengan induk pasukan ke pulau Karimunjawa, dan dari sana ke Tuban (Tu-ping-tsu). Di Tuban semua pasukan bertemu lagi lalu diaturlah siasat penyerbuah ke Daha. Shih-pi dengan seperdua pasukan pergi dengan kapal ke Sedayu (Sugalu), dari sana ke muara kali Mas (Pa-tsieh). Iheh-mi-shih dan Kau Hsing memimpin pasukan darat berkuda menyerbu ke pedalaman.


Kedatangan pasukan Cina itu terdengar oleh R. Wijaya, karena peristiwa ini merupakan kesempatan yang baik sekali bagi R. Wijaya. Maka ia mengirimkan utusan kepada panglima pasukan Cina, membawa pesan bahwa ia bersedia tunduk di bawah kekuasaan kaisar, dan mau menggabungkan diri dengan pasukan Cina untuk menggempur Daha. Penyerahan R. Wijaya ini diterima dengan senang hati oleh panglima pasukan Cina.


Pada permulaan bulan yang ketiga semua pasukan Cina telah berkumpul di muara kali Mas, di situ ada angkatan laut Daha yang selalu siap menghadapi musuh dari luar. Maka pertempuranpun berkobarlah. Tentara Daha dapat dikalahkan dan lari meninggalkan kapal-kapalnya. Lebih dari 100 buah kapal yang besar telah jatuh ke tangan pasukan Cina. Sebagian pasukan Cina diperintahkan untuk berjaga-jaga di muara kali Mas, sedang sebagian yang lain menyerbu ke Daha. Tetapi sebelum mereka dapat bertolak ke pedalaman, datanglah utusan dari R. Wijaya memberitahukan bahwa ia akan diserang oleh pasukan Daha, dan minta bantuan pasukan. Iheh-mi-shih diperintahkan untuk membantunya. Dengan pasukannya ia menuju Canggu, sedang Kau Hsing langsung pergi ke Majapahit.


Demikianlah, maka dengan kedatangan tentara Khubilai Khan, tercapailah apa yang dicita-citakan oleh R. Wijaya, yaitu runtuhnya Daha. Setelah R. Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol itu, maka ia menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut kidung Harsawijaya penobatannya itu terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika (ri purneng karttikamasa pancadasi) tahun 1215 saka (12 Nopember 1293 M). Nama gelar penobatannya adalah Sri Kertarajasa Jayawarddhana.





NEGARAKRETAGAMA

Kakawin Nagarakretagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna karya Empu Prapañca yang paling termasyhur. Kakawin ini ditulis tahun 1365, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Puri Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.

Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah wilayah kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.

Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk.

Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh. Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca yang menulis naskah tersebut.

Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri merupakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-hal yang baik yang dituliskan, hal-hal yang kurang memberikan sumbangan bagi kewibawaan Majapahit, meskipun mungkin diketahui oleh sang pujangga, dilewatkan begitu saja. Karena hal inilah peristiwa Perang Bubat tidak disebutkan dalam Negarakretagama, meskipun itu adalah peristiwa bersejarah, karena insiden itu menyakiti hati Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara pihak Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit. Terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit.

Naskah Nagarakretagama ini diketemukan dengan beberapa kakawin lainnya. Naskah itu segera diterbitkan oleh Dr. J.L.A Brandes dengan huruf Bali di bawah judul Nagarakretagama, Lofdicht van Prapanca op koning Rajasanagara, Hayam Wuruk van Majapahit, uitgegeven naar het eenige daarvan bekende handschrift aangetroffen in de puri te Tjakranegara op Lombok, VBG LIV, 1902. Naskah aslinya disimpan di Leiden sampai pertengahan tahun 1971 (ketika diserahkan oleh Ratu Juliana kepada Presiden Soeharto dalam kunjungan resminya ke Indonesia), dan saat ini disimpan di Jakarta, di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9.

Teks dan terjemahan Negarakretagama diterbitkan kembali (dengan sekedar tambahan catatan dan perbaikan) oleh Prof. N.J Krom pada tahun 1919 di bawah judul Het Oudjavaansche Iofdicht Nagarakretagama van Prapanca (1365 AD). Pada tahun 1953 diusahakan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan judul Nagarakretagama, diperbaharui ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1960, terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Dr. Th. Pigeaud dalam seri Java in the 14th century, A Cultural Study. Kitab Nagarakretagama kini diakui sebagai Memori Dunia oleh UNESCO.





PARARATON

Serat Pararaton yang bisa diterjemahkan sebagai Kitab Raja-Raja, adalah sebuah naskah sastra Jawa pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, hanya 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris.

Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.

Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

Kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya (Ken Dedes) sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari. Untuk dapat menangkap isi sebenarnya dari naskah Pararaton ini maka ada baiknya bila juga membaca Arok Dan Dedes karya Pramoedya Ananta Tour. Dengan itu maka akan ada gambaran sedikit lebih jelas mengenai keadaan negri Jawa di masa lalu.

Dapat diterangkan disini bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan, dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan, sebagaimana istana yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.

Naskah ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti kitab raja-raja. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton. Namun dibagian akhir dari naskah ini diterangkan bahwa sang penulis adalah orang yang masih belajar, sehingga mungkin banyak sekali terdapat kekeliruan baik dalam penulisan huruf maupun kata-katanya.





SURYA MAJAPAHIT (LAMBANG KERAJAAN)

Surya Majapahit adalah lambang kerajaan Majapahit yang kerap kali ditemukan pada reruntuhan bangunan masa Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di bagian tengah yang menampilkan dewa-dewa agama Hindu. Lambang ini membentuk diagram kosmologi yang disinari jurai matahari khas “Surya Majapahit”, atau lingkaran matahari dengan bentuk jurai yang khas. Karena begitu populernya lambang matahari ini, maka para ahli arkeologi menduga bahwa lambang ini berfungsi sebagai lambang Negara Majapahit.

Bentuk paling umum dari Surya Majapahit terdiri dari gambar sembilan dewa dan delapan berkas cahaya matahari. Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa agama Hindu yang disebut dengan Dewata Nawa Sanga. Dewa-dewa utama di bagian tengah ini diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di bagian tengahnya. Dewa-dewa ini diatur dalam posisi: Tengah Siwa, Timur Iswara, Barat Mahadewa, Utara Whisnu dan Selatan Brahma, Timur Laut Sambhu, Barat Laut Sangkara, Tenggara Mahesora, Barat Daya Rudra.

Dewa-dewa pendamping lainnya terletak pada lingkaran luar matahari dan dilambangkan dengan delapan jurai sinar matahari, yaitu: Timur Indra, Barat Baruna, Utara Kuwera, Selatan Yama, Timur Laut Isana, Barat Laut Bayu. Tenggara Agni dan Barat Daya Nrtti.

Lambang ini digambar dalam berbagai variasi bentuk, seperti lingkaran dewa-dewa dan sinar Matahari, atau bentuk sederhana Matahari bersudut delapan, seperti lambang Surya Majapahit yang ditemukan di langit-langit Candi Penataran. Dewa-dewa ini diatur dalam bentuk seperti mandala. Variasi lain dari Surya Majapahit berupa Matahari bersudut delapan dengan gambar dewa Surya di tengah lingkaran tengah mengendarai kuda atau kereta perang. Ukiran Surya Majapahit biasanya dapat ditemukan di tengah langit-langit Garbhagriha (ruangan tersuci) dari beberapa candi seperti Candi Bangkal, Sawentar, dan Candi Jawi. Ukiran Surya Majapahit juga kerap ditemukan pada stella, ukiran Halo atau Aura, pada bagian belakang kepala arca yang dibuat pada masa Majapahit. Ukiran ini juga ditemukan di batu nisan yang berasal dari masa Majapahit, seperti di Trowulan.




SRI KERTARAJASA JAYAWARDDHANA

Sri Kertarajasa Jayawarddhana adalah nama gelar Nararya Sanggramawijaya (R. Wijaya) yang telah berhasil mendirikan kerajaan Majapahit sekaligus menjadi raja Majapahit yang pertama, memerintah dari tahun 1293 - 1309 M. Beliau adalah keturunan kerajaan Singhasari, putera Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti sekaligus menjadi menantu raja Kertanegara. Beliau memiliki empat permaisuri, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita dan Sri Rajendradewi Dyah Gayatri. Dengan parameswari Tribhuwaneswari beliau memperoleh seorang anak laki-laki bernama Jayanagara (keterangan ini terdapat di dalam prasasti Sukamrta dan prasasti Balawi), dan sebagai putera mahkota ia mendapat Kadiri (Daha) sebagai daerah lungguhnya.

Kitab Pararaton di dalam bagian yang ke VII dan VIII menyebutkan lain, yaitu Jayanegara adalah nama gelaran, sedang nama kecilnya adalah Kalagemet anak Wijaya dengan Dara Pethak (seorang puteri Melayu) hasil dari ekspedisi Pamalayu.

Selanjutnya dengan permaisuri Rajendradewi Dyah Gayatri, Wijaya memperoleh dua orang puteri yang bernama Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhana yang menjadi Rani Jiwana (Bhre Kahuripan), dan yang kedua bernama Rajadewi Maharajasa yang menjadi Rani Daha (Bhre Daha).

Kidung Panji Wijayakrama mengisahkan bahwa sepuluh hari sesudah pengusiran tentara Mongol (Cina/Tartar), Mahisa Anabrang yang memimpin ekspedisi ke Melayu pada tahun 1275 (atas perintah Kertanegara) pulang membawa dua orang puteri yang bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Tentang Dara Petak diceritakan sang anwam inapti artinya yang muda diperistri (oleh Wijaya). Tentang Dara Jingga dikisahkan sira alaki dewa artinya ia menikah dengan orang yang bergelar dewa (Mauliwarma). Selanjutnya Pararaton memberitakan bahwa Dyah Dara Jingga melahirkan seorang putera yang kemudian menjadi raja Melayu bernama Tuanku Janaka Warmadewa alias Mantrolot. Tuanku Janaka Warmadewa dapat disamakan dengan Sang Adityawarman yang bergelar Udayadityawarman Prataparakramarajendra Mauliwarmadewa dan mendirikan kerajaan Melayu di Pagar Ruyung pada pertengahan abad 14

Menurut piagam Bukit Gombak O.J.O CXXI ayahnya bernama Adwayadwaja, nama ini dapat dihubungkan dengan Adwayabrahma, mahamentri Singasari yang diutus mengantarkan arca Amoghapasa, hadiah Wiswarupakumara kepada raja Suwarnabhumi Tribuwanaraja Mauliawarmadewa pada tahun 1286 oleh raja Kertanegara. Arca Amoghapasa ditempatkan di daerah Dharmasraya, Suwarnabhumi Tribuwanaraja Mauliawarmadewa adalah nenek Adityawarman dan Jayanegara yang sama-sama dididik di istana Majapahit. Pada tahun 1325 dan 1332 Adityawarman menjadi utusan Majapahit ke negeri Cina, namanya disebut Seng K'ia Lie Yu Lan.

Pengikut-pengikut Kertarajasa yang setia dan berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit diberi kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya dan diangkat menjadi pejabat-pejabat tinggi di kerajaan

Dari pengikut-pengikut Kertarajasa yang disebutkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab Kidung, ada beberapa yang kita jumpai kembali di dalam prasasti-prasasti, yaitu Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara, Pu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih, dan Pu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Jadi Nambi telah memperoleh kedudukan yang tinggi dalam hierarkhi kerajaan Majapahit, sedang Sora menduduki tempat ke dua. Sumber lain mengatakan bahwa Wenang atau Lawe diangkat sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Pemimpin pasukan ke Melayu dijadikan panglima perang dengan mendapat nama Kebo Anabrang.

Tetapi rupa-rupanya ada juga yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya, dan hal ini merupakan sumber timbulnya pemberontakan-pemberontakan dalam dua dasa warsa pertama dari kerajaan Majapahit. Pertama, Rangga Lawe menyatakan tidak puas terhadap raja, mengapa bukan dia sendiri atau Sora yang dijadikan Patih di Majapahit. Pengangkatan Nambi sebagai Patih di Majapahit oleh raja Kertarajasa dan bukan orang lain tentulah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kitab-kitab penuntun yang ada, antara lain Kitab Nawanatya, yang berisi uraian tentang pejabat-pejabat kerajaan, kewajiban mereka, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat dalam jabatan tertentu, di dalam kitab tersebut antara lain dikatakan bahwa seorang Patih Amangkubumi tidak hanya harus gagah berani dalam peperangan, tetapi juga harus paham segala cabang ilmu pengetahuan, adil, bijaksana, pandai berdiplomasi, membina persahabatan, mementingkan kepentingan orang lain, tidak takut dikritik dan lain sebagainya. Sumber lain menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah seorang yang lekas naik darah dan kasar tabiatnya.

Karena itu Rangga Lawe pulang ke Tuban dan menghimpun kekuatan. Usaha Wiraraja (ayahnya) untuk menginsyafkan tidak berhasil. Muncullah kemudian tokoh yang akan merupakan biang keladi dari semua kerusuhan di Majapahit yaitu Mahapati. Dialah yang mengadu kepada raja bahwa Lawe akan memberontak, maka pertempuran antara pasukan Lawe dan pasukan raja-pun berkobarlah. Peperangan ini terjadi pada tahun 1295. Dalam pertempuran tersebut Lawe gugur di tangan Kebo Anabrang tetapi kemudian Kebo Anabrang di bunuh dari belakang oleh Lembu Sora, karena ia tidak tahan melihat kematian bekas sahabatnya dalam duka nestapa. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora serta menganjurkan agar Lembu Sora diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Berat bagi raja untuk memberi hukuman kepada Sora mengingat jasa-jasanya di masa lalu, tetapi dengan segala tipu muslihatnya Mahapati dapat memaksakan pertempuran antara pasukan Lembu Sora melawan pasukan raja pada tahun 1298 - 1300. Sora terbunuh bersama dengan pengikut-pengikutnya yaitu Juru Demung dan Gajah Biru. Setelah Sora mati terbunuh, maka Nambi yang akan dijadikan sasaran oleh Mahapati, rupa-rupanya Mahapati sendiri mengincar kedudukan sebagai patih amangkubumi.

Nambi mengetahui maksud jahat Mahapati, dan ia tahu Mahapati sedang mendapat kepercayaan dari raja, maka ia merasa lebih baik menyingkir saja dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya Wiraraja sedang sakit, maka ia meminta ijin kepada raja untuk menengok ayahnya di Lumajang. Sementara itu raja meninggal pada tahun 1309, dan dicandikan di Antahpura dengan arca Jina dan di Simping (Sumberjati, Blitar) dengan arca Siwa. Faktanya di Candi Simping terdapat sebuah arca perwujudan yang menunjukkan laksana campuran antara Siwa dan Wisnu (Harihara) dan diperkirakan sebagai arca perwujudan Kertarajasa.





JAYANEGARA

Sepeninggal Kertarajasa, putranya (dengan istri Dara Pethak) Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswara nama raja abhisekanya Wikramottunggadewa. Pada waktu ayahnya masih memerintah, Jayanagera adalah seorang putra mahkota yang telah berkedudukan sebagai kumararaja (raja muda) di Daha.

Kertarajasa yang nama kecilnya Kala Gemet memiliki tujuh orang dharmaputera (pangalasan wineh suka = pejabat-pejabat yang diberi anugerah raja) yaitu Semi, Kuti, Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca dan Banyak. Mereka tidak puas dengan penobatan Jayanagara sebagai raja Majapahit, maka mereka mengadakan komplotan untuk menggulingkan Sang Prabhu. Namun menurut adat peraturan, mereka tidak mempunyai wewenang untuk mewarisi tahta kerajaan.

Sehabis penyerbuan benteng Pajarakan pada tahun 1316 yang mengakibatkan Nambi dengan segenap keluarganya dibunuh (karena ulah Mahapati), menyusullah pemberontakan Semi pada tahun 1318, yang disusul dengan pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Semi dan Kuti akhirnya juga binasa akibat fitnah Mahapati. Setelah dua pemberontakan ini, raja Kertarajasa baru sadar akan kekeliruannya untuk mempercayai Mahapati, maka atas perintahnya Mahapati ditangkap dan dibunuh.

Dalam peristiwa pemberontakan Kuti, muncullah seorang tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit, yaitu Gajah Mada. Pada waktu itu ia berkedudukan sebagai seorang anggota pasukan pengawal raja (bekel bhayangkari). Berkat siasat Gajah Mada dalam peristiwa di Bedander, raja dapat diselamatkan dan Kuti dapat dibunuh. Setelah amukti palapa selama dua bulan, sebagai anugerah raja, Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi patih di Daha.

Pada masa pemerintahanan Jayanegara ini hubungan dengan Cina pulih kembali, utusan dari Cina datang setiap tahun, mulai tahun 1325 sampai dengan 1328. Utusan yang datang pada tahun 1325 dipimpin oleh Seng Chia Liyeh, mungkin dapat diidentifikasikan sebagai Seng Ch'ia Lieh Yu Lan. Raja Jawa pada waktu itu disebutkan dengan nama Cha Ya Na Ko Nai, yang merupakan transliterasi Cina dari Jayanagara

Dalam tahun 1321 Odorico di Pordenone mengunjungi Jawa, ia menceritakan bahwa raja Jawa mempunyai tujuh orang raja takluk, istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan dengan raja Jawa, tetapi selalu dapat dikalahkan oleh raja Jawa. Pulau Jawa amat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.

Pada tahun 1328 raja Jayanagara meninggal karena dibunuh oleh Tanca, seorang dharmaputera yang bertindak sebagai tabib, peristiwa pembunuhan ini dalam kitab Pararaton disebut dengan Patanca. Tanca seketika itu juga dibunuh oleh Gajah Mada.

(Versi lain bisa disimak dalam sandiwara radio Tutur Tinular). Raja Jayanagara dicandikan di dalam Pura, di Sila Petak dan Bubat, ketiganya dengan arca Wisnu, dan di Sukhalila dengan Amoghasiddhi





TRIBHUWANA TUNGGADEWI

Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani. Nama kecilnya adalah Dyah Gitarja dari ibu Gayatri. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.

Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula. Berita ini menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili ibunya yang telah menjadi pendeta Budha. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan.

Dari kakawin Negarakretagama dapat diketahui pula bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta (1331). Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang panjang lebar tentang peristiwa Sadeng itu. Arya Tadah yang waktu itu menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng, tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.

Sesudah peristiwa Sadeng tersebut kemudian muncul suatu peristiwa yang amat terkenal dalam sejarah, yaitu Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada. Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik.

Setelah peristiwa sumpah palapa tersebut, peristiwa yang kedua adalah penaklukan Bali pada tahun 1343, raja Bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya. Mungkin sekali raja Bali tersebut adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikenal dalam prasasti Langgaran (Langgahan) tahun 1338.

Berita Cina yang berasal dari seorang pedagang yang bernama Wang Ta Yuan mencatat hal-hal yang menarik perhatian dalam perjalanannya, catatan-catatan tersebut dihimpun dalam suatu buku Tao-ichih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349, menceritakan bahwa She Po (Jawa) sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan burung kakak-tua yang kesemuanya merupakan barang ekspor utama. Banyak terdapat bangunan yang indah di She Po, dari luar She Po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutera, bahan keramik dan barang dari besi. Mata uang dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She Po, antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.

Pada tahun 1334 lahirlah Putera Mahkota yang benama Hayam Wuruk, yang kelahirannya disertai dengan alamat gempa bumi, hujan abu, guntur dan kilat bersambungan di udara sebagai akibat meletusnya gunung Kampud.

Tribhuwana memerintah selama duapuluh dua tahun lamanya, dan pada tahun 1350 beliau mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Dari kitab Pararaton dan Negarakertagama diketahui bahwa pada tahun 1362 Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara sraddha untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni Dyah Dewi Tribhuwaneswari. Pada tahun 1372 Tribhuwana meninggal dunia dan di dharmakan di Panggih (tepatnya di wilayah Klinterjo sekarang, karena pada Yoni Nagaraja yang ada terpahat angka tahun meninggalnya Tribhuwanottunggadewi), pendharmaannya bernama Pantarapurwa. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Yoni Klinterjo





SRI RAJASANAGARA

Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.

Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.

Dalam rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca dalam kakawin Negarakertagama didapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi daerah-daerah di Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur, bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Politik Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 dengan terjadinya peristiwa di Bubat.

Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Setelah puteri tersebut dengan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit, terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja Hayam Wuruk dengan puteri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja. Ia menghendaki agar puteri Sunda itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut, akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di lapangan bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang tertinggal. Peristiwa ini diuraikan agak mendalam dalam naskah Pararaton dan Kidung Sundayana, tetapi tidak diutarakan dalam kakawin Negarakertagama, agaknya hal ini memang disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa tersebut tidak menunjang kepada kebesaran Majapahit dan bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda

Dari uraian naskah Pararaton diketahui bahwa setelah peristiwa Bubat berakhir, Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya, namun beberapa saat kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi tidak terdapat keterangan lebih lanjut perihal pelaksanaan program politik-Nusantaranya. Di dalam kakawin Negarakertagama disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) pernah menganugerahkan sebuah sima kepada Gajah Mada yang kemudian diberi nama Dharmma Kasogatan Madakaripura, di tempat inilah agaknya Gajah Mada menghabiskan masa istirahatnya.

Berhubung dengan meninggalnya puteri Sunda (Dyah Pitaloka) dalam peristiwa di Bubat, maka kemudian raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori anak dari Bhre Wengker Wijayarajasa dari perkawinannya dengan Bhre Daha Rajadewi Maharajasa (bibi Hayam Wuruk).

Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk nampak sekali usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyat. Berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan kebudayaan sangatlah diperhatikan. Hasil pemungutan berbagai macam pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam berbagai bidang. Kakawin Negarakertagama dan beberapa buah prasasti yang berasal dari pemerintahan raja Hayam Wuruk memberikan keterangan tentang hal tersebut.

Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian, raja telah memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempat-tempat penyeberangan yang sangat memudahkan lalu-lintas antar daerah.

Raja Hayam Wuruk sangatlah memperhatikan kondisi daerah-daerah dalam wilayah kerajaannya, beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan, meninjau daerah-daerah di seluruh wilayah Majapahit dengan diiringi oleh para pembesar kerajaan. Kakawin Negarakertagama mencatat perjalanan raja Hayam Wuruk ke Pajang pada tahun 1351 M, ke daerah Lasem pada tahun 1354 M dan ke daerah pantai selatan (Lodaya) pada tahun 1357 M. Kemudian ia mengadakan perjalanan menuju daerah Lumajang pada tahun 1359 M dan daerah Tirib - Sempur pada tahun 1361 M dan pada tahun 1363 M mengunjungi Candi Simping sambil meresmikan sebuah candi yang baru selesai dipindahkan. Upacara Sraddha Agung sendiri terlaksana pada tahun 1362 M. Upacara Sraddha tersebut diselenggarakan dengan khidmat dan meriah dalam bulan Badrapada atas perintah ibunda raja Tribhuwanottunggadewi.




SETELAH RAJA HAYAM WURUK WAFAT

Sepeninggal raja Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana (Bhra Hyang Wisesa) yang sebenarnya adalah menantu sekaligus keponakan dari raja Hayam Wuruk karena pernikahannya dengan puteri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani. Seharusnya yang menjadi raja menggantikan Hayam Wuruk adalah Kusumawardhani sendiri (selaku puteri mahkota yang lahir dari permaisuri Paduka Sori). Wikramawardhana sendiri adalah putera Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, yaitu adik Hayam Wuruk yang menikah dengan Bhre Paguhan, Singhawarddhana.

Wikramawarddhana mulai memerintah Majapahit dari tahun 1389 selama dua belas tahun, dan pada tahun 1400 ia mengundurkan diri dari pemerintahan, menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat anaknya yang bernama Suhita yang dalam Pararaton disebut dengan Ratu Prabu Stri (Dyah Ratu Ayu Kencono Wungu). Suhita adalah anak kedua dari Wikramawarddhana, anak pertamanya adalah Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1399 sebelum dinobatkan menjadi raja.

Duduknya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit ini ternyata menimbulkan pangkal kericuhan di Majapahit, yaitu timbulnya perseteruan keluarga antara Wikramawaddhana dengan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari isteri selir, sehingga tidak berhak atas tahta Majapahit dan telah diberi kewenangan atas bumi Blambangan). Bhre Wirabhumi tidak setuju atas pengangkatan Suhita menjadi raja Majapahit, dan sejak tahun 1401 timbullah persengketaan yang setelah tiga tahun semakin memuncak menjadi suatu huru-hara yang dikenal dengan peristiwa Perang Paregreg. Kedua belah pihak mengumpulkan orang-orangnya, menghimpun kekuatan dan akhirnya terjadilah perang saudara.

Dalam peperangan tersebut mula-mula Wikramawarddhana dari kadaton kulon menderita kekalahan, akan tetapi kemudian setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyang Parameswara) ia akhirnya dapat mengalahkan Bhre Wirabhumi dari kadaton wetan. Bhre Wirabhumi kemudian melarikan diri naik perahu, ia dikejar oleh Raden Gajah (di dalam Pararaton tokoh ini berkedudukan sebagai Ratu Anggabhaya dan bergelar Bhra Narapati) dan tertangkap, kemudian dibunuh dan dipenggal kepalanya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1406.

Peperangan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi ini disebutkan pula di dalam berita Cina yang berasal dari jaman dinasti Ming (1368-1643). Di dalam buku sejarah Dinasti Ming (Ming Shih) jilid ke 324, disebutkan bahwa setelah kaisar Ch'eng Tsu naik tahta pada tahun 1403, ia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa (Majapahit), ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja bagian Barat Tu Ma Pan dan raja bagian Timur Put Ling Ta Ha (Pi-ling-da-ha). Pada tahun 1405 Laksamana Cheng Ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit tersebut saling berperang. Kerajaan bagian Timur disebutkan menderita kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita Cina tersebut mengemukakan pula bahwa pada waktu terjadi perang antara kedua raja tersebut utusan Cina sedang berada di kerajaan bagian Timur, bahkan serangan tentara kerajaan bagian Barat itu telah menyebabkan ikut terbunuhnya 170 orang Cina.

Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum reda juga, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi semakin belarut-larut. Pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi.

Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447, ia didharmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara (Aji Ratnapangkaja) yang telah meninggal pada tahun 1446, karena Suhita tidak memiliki anak, maka sepeninggalnya tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya.

Pada awal masa pemerintahannya (Bhre Tumapel) pada tahun 1447 ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu berkenaan dengan pengukuhan perdikan dharma (dharma sima) Rajasakusumapura di Waringin Pitu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh neneknya Sri Rajasaduhiteswari Dyah Nrttaja untuk memuliakan Sri Paduka Parameswara Sang mokta ring Sunyalaya. Di dalam prasastinya ia disebut bergelar Wijayaparakramawarddhana. Ia tidak lama memerintah, pada tahun 1451 ia meninggal dan didharmakan di Kretawijayapura.

Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi raja dengan bergelar Sri Rajasawarddhana, ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara. Asal usulnya tidak jelas diketahui, namun dalam prasasti Waringin Pitu diketahui bahwa Rajasawarddhana disebutkan pada urutan ke tiga setelah raja, dan pada tahun 1447 ketika prasasti itu dikeluarkan oleh Kertawijaya, ia berkedudukan sebagai Bhatara ring Kahuripan. Dari kenyataan ini tidak disangsikan lagi bahwa pada masa pemerintahan Kertawijaya, Rajasawarddhana telah memiliki kedudukan yang tinggi dan penting di kerajaan Majapahit.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada waktu menjadi raja, Rajasawarddhana berkedudukan di Keling Kahuripan, dengan demikian ia tidak berkedudukan di ibukota Majapahit, melainkan telah memindahkan pusat pemerintahannya di Keling Kahuripan. Hal ini mungkin pula disebabkan karena keadaan politik di Majapahit masih tetap memburuk akibat pertentangan keluarga yang belum juga mereda. Ia memerintah hampir tiga tahun lamanya, dan pada tahun 1453 ia meninggal dan didharmakan di Sepang.

Menurut kitab Pararaton, sepeninggal Rajasawarddhana selama tiga tahun (1453-1456) Majapahit mengalami kekosongan tanpa raja (interregnum). Sebab-sebab terjadinya kekosongan ini tidak dapat diketahui secara pasti, dugaan kuat hal ini disebabkan karena masih berkecamuknya pertentangan memperebutkan kekuasaan di antara keluarga raja-raja Majapahit. Pertentangan keluarga yang berlangsung berlarut-larut ini rupa-rupanya telah melemahkan kedudukan raja-raja Majapahit baik di pusat maupun di daerah, hasilnya sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada seorangpun diantara keluarga raja-raja Majapahit yang sanggup tampil untuk segera memegang tampuk pemerintahan di Majapahit.

Maka pada tahun 1456 M, tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menaiki tahta kerajaan Majapahit. Ia adalah salah seorang anak Dyah Kertawijaya yang semasa pemerintahan ayahnya telah menjadi raja daerah (bawahan) di Wengker (Bhattara ing Wengker). Di dalam kitab Pararaton ia disebutkan dengan nama gelarnya Bhra Hyang Purwwiwisesa. Ia memerintah selama sepuluh tahun, dan pada tahun 1466 M ia meninggal dunia dan didharmakan di Puri.



KEKISRUHAN SEJARAH

Sebenarnya setelah meninggalnya raja Kertawijaya, sejarah Majapahit menjadi sangat tidak jelas. Banyak orang menafsirkan bermacam-macam tentang raja selanjutnya. Untuk memahami kekisruhan sejarah itu berikut ini petikan bagian akhir dari naskah Pararaton itu (maaf ini asli terjemahan dengan bahasa Melayu):


14. Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja. Baginda di Paguhan melenyapkan orang-orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: paksa-gananahut- wulan (1372). Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri.

Baginda di Jagaraga wafat. Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: welut-wiku-anahut-wulan (1373). Baginda Prabu wafat pada tahun saka: bahni-parwata-kayeku (1373), nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.

15. Baginda di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan, nama nobatannya Sri Rajasawardana. Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada tahun saka: wisaya-kudanahut-wong (1375).

16. Tiga tahun lamanya tidak ada raja.

17. Lalu Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa Wisesa, pada tahun saka: brahmana-saptagnyanahut-wulan (1378). Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun saka: pat-ula-telung-wit (1384). Baginda di Daha wafat pada tahun saka:  gana-brahmanagni-tunggal (1386). Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: brahmana-nagagni-çitangçu (1388). Lalu Baginda di Jagaraga wafat.

18. Baginda di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu pada tahun saka: brahmana-naga-kaya-tunggal (1388). Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana. Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka: çunya-nora-yuganing-wong (Sirno Ilang Kertaning Bumi: 1400). Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka: kayambara-sagareku, (1403).

Demikian itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: wisaya-guna-bayuning-wong (1535). Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua.

Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap-luap berhubung baharu saja belajar. Semoga panjang umur, mudah-mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini.



BHINNEKA TUNGGAL IKA

Adalah kitab (kakawin) Sutasoma gubahan Mpu Tantular yang ditulis pada masa keemasan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan raja Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk), yang diperkirakan ditulis antara tahun 1365 M hingga 1389 M, dan merupakan kakawin yang lebih muda dibandingkan dengan kakawin Negarakretagama.

Dari uraian yang terdapat dalam kakawin Sutasoma inilah diperoleh sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang lengkapnya adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Sasanti tersebut berasal dari pupuh 139 bait yang ke 5.

Fakta atau kenyataan di lapangan yang masih dapat diketemukan hingga saat ini adalah di bagian Selatan terdapat kompleks pemukiman Islam yang ditandai dengan adanya kompleks makam Islam Tralaya. Di bagian tengahnya terdapat kompleks pemukiman Hindu (Siwa) yang ditandai dengan reruntuhan Candi Minakjinggo, serta di bagian Utara terdapat kompleks pemukiman Budha yang ditandai dengan adanya Candi Brahu dan kompleks Candi Gentong (yang diperkirakan bekas stupa). Kesemuanya itu terletak di dalam lingkup wilayah kota raja Majapahit.

Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kejayaan kerajaan Majapahit telah dipraktekkan keberagaman yang menjadi satu kesatuan dan membawa pengaruh terhadap kuatnya kerajaan Majapahit sehingga mampu mencapai kebesaran dan kejayaannya di dalam menguasai dan mempersatukan seluruh wilayah Nusantara.





SANG PANCA WILWATIKTA

Majapahit dengan sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakretagama di dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Kelima pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan.

Diantara lima pembesar tersebut Patih adalah merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakretagama pupuh X/2 menyebutnya amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wengker, Matahun dan sebagainya.

Dalam pupuh tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih. Demikianlah patih negara bawahan biasa disebut dengan Patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di daerah. Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakretagama.

Sang Panca Wilwatikta kiranya telah ada pada awal pembentukan negara Majapahit sebagai kelanjutan dari kerajaan Singhasari, namun nama-nama pejabatnya tidak disinggung dalam Prasasti Kudadu. Pada prasasti tersebut hanya hanya Patih, demung dan kanuruhan yang disebut. Baru dalam prasasti Penanggungan dijumpai secara lengkap baik jabatan maupun nama para pejabatnya. Berdasarkan atas pemberitaan Pararaton dan Kidung Rangga Lawe, pada awal pembentukan negara Majapahit yang menjadi patih adalah Mpu Tambi (Nambi). Pengangkatan Nambi sebagai patih itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan Rangga Lawe pada tahun 1295 M.

Bahwa negara-negara bawahan juga memiliki lima orang pejabat tinggi yang diserahi pelaksanaan pemerintahan seperti halnya di pusat dapat dilihat pada Prasasti Penanggungan tahun 1296 M dan beberapa prasasti lainnya. Susunan Sang Panca Daha menurut prasasti Penanggungan tersebut adalah :

Rakrian Mapatih ring Daha               : Pu Sora
Rakrian Demung ring Daha               : Pu Rakat
Rakrian Kanuruhan ring Daha           : Pu Iwar
Rakrian Rangga ring Daha                : Pu Dipa
Rakrian Tumenggung ring Daha        : Pu Pamor.


Di dalam prasasti Sidateka disebutkan Rakrian Mapatih ring Kapulungan: Pu Dedes, Rakrian Mapatih ring Matahun: Pu Tanu. Prasasti Batur menyebutkan Rakrian Mapatih ring Kahuripan: Mpu Tanding. Dengan demikian apa yang diuraikan dalam Negarakretagama pupuh X/2 baris yang kedua cocok dengan pemberitaan beberapa prasasti yang ada.





ASAL-USUL GAJAH MADA

Lontar Babad Gajah Maddha, menguraikan perihal asal usul Mahapatih Gajah Mada, seorang Patih Amangkubhumi dari kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya dalam usahanya mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah payung kerajaan Majapahit. Ringkasan isi lontar tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pada Lontar Babad Gajah Maddha dikatakan bahwa orang tua Gajah Mada berasal dari Wilwatikta yang disebut juga Majalangu. Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilwatikta dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari Wilwatikta, mengantar makanan suaminya di asramanya di Giri Madri yang terletak disebelah selatan Wilwatikta. Hal ini berarti Giri Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelah Selatan Wilwatikta. Jarak antara Giri Madri dengan Wilwatikta dikatakan dekat. Tetapi jarak antara Lemah Surat dengan Wilwatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilwatikta tidak disebutkan dalam Babad Gajah Mada tersebut.

2. Babad Gajah Maddha menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagai berikut:

On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka, Jiwa = 1 (satu), mrtta = 2 (dua), Yogi = 2 (dua) dan Swaha = 1 (satu). Jadi artinya: Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun 1299 Masehi. Seandainya hal tersebut benar, maka Mahapatih Gajah Mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.

3. Mengenai nama Maddha disebutkan sebagai berikut:

Karena malu terhadap gurunya, yakni Mpu Ragarunting, begitu juga terhadap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu diajak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada suatu malam hari, waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung Semeru. Di desa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale Agung” yang ada di Kahyangan (pura) desa tersebut. Bayi tersebut kemudian dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha, kemudian dibawa ke Wilwatikta oleh seorang patih dan kemudian diberi nama Maddha. Jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa Maddha yang terletak di kaki gunung Semeru. Hingga saat ini terdapat beberapa desa di kaki Gunung Semeru yang mengindikasikan desa Maddha tersebut, yaitu Tamansatriyan, Wirotaman dan Kepatihan.

Nama Gajah oleh Babad Gajah Maddha sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama julukan atau bisa juga nama jabatan (Abhiseka) bagi sebutan untuk orang kuat. Dengan demikian Gajah Mada berarti orang kuat yang berasal dari desa Maddha.

4. Mengenai nama orang tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih. Setelah mereka berdua disucikan (menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat, nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih, mereka berdua kemudian menjadi brahmana.

Gajah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M) sebagaimana yang dituliskan dalam kakawin Negarakretagama pupuh LXXI/1 yang berbunyi: " .... tahun rasa (1286) beliau mangkat, baginda gundah terharu, bahkan putus asa, Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu, insaf bahwa hidup ini tidak baka, karenanya beramal tiap hari". Selanjutnya, apabila lontar Babad Gajah Maddha tersebut di atas benar, maka Gajah Mada meninggal dalam usia 65 tahun.





GAJAH MADA SANG MAHAPATIH MAJAPAHIT

Gajah Mada ialah Mahapatih Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Gajah Mada diperkirakan lahir pada tahun 1300 di lereng pegunungan Kawi Arjuna, daerah yang kini dikenal sebagai kota Malang (Jawa Timur). Sejak kecil, Gajah Mada sudah menunjukkan kepribadian yang baik, kuat dan tangkas. Kecerdasannya telah menarik hati seorang patih Majapahit yang kemudian mengangkatnya menjadi anak didiknya. Beranjak dewasa terus menanjak karirnya hingga menjadi Kepala (bekel) Bhayangkari (pasukan khusus pengawal raja). Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara (1309-1328) dan mengatasi pemberontakan Ra Kuti, ia kemudian diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Gajah Mada adalah seorang mahapatih kerajaan Majapahit yang didaulat oleh para ahli sejarah Indonesia sebagai seorang pemimpin yang telah berhasil menyatukan nusantara. Sumber-sumber sejarah yang menjadi bukti akan hal ini banyak ditemukan diberbagai tempat. Di antaranya di Trowulan, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang dahulu pernah menjadi ibu kota kerajaan Majapahit. Kemudian di Pulau Sumbawa, di mana sebuah salinan kitab Negarakretagama di temukan. Prasasti dan candi adalah peninggalan-peninggalan masa lalu yang menjadi bukti lain pernah jayanya kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada, dengan rajanya yang berkuasa Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk).

Peristiwa pemberontakan yang paling berdarah pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, (raja Majapahit yang kedua) adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Dharmaputra Winehsuka di bawah pimpinan Ra Kuti (rekan Gajah Mada dalam keprajuritan) sampai mampu melengserkan sang prabu Jayanegara dari singgasananya untuk sementara dan mengungsi ke pegunungan kapur utara, sebuah daerah yang diberi nama Bedander.

Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu pada mulanya adalah prajurit-prajurit yang dianggap berjasa kepada negara. Oleh karenanya sang prabu Jayanegara memberikan gelar kehormatan berupa Dharmaputra Winehsuka kepada kelima prajurit tersebut. Entah oleh sebab apa, mereka, dipimpin oleh Ra Kuti melakukan makar mengajak pimpinan pasukan Jala Rananggana untuk melakukan pemberontakan terhadap istana. Pada waktu itu Majapahit memiliki tiga kesatuan pasukan setingkat divisi yang dinamakan Jala Yudha, Jala Pati, dan Jala Rananggana. Masing-masing kesatuan dipimpin oleh perwira yang berpangkat Tumenggung.

Gajah Mada, pada waktu itu masih menjadi seorang prajurit berpangkat Bekel. Pangkat bekel dalam keprajuritan pada saat itu setingkat lebih tinggi dari lurah prajurit, namun masih setingkat lebih rendah dari Senopati. Pangkat di atas Senopati adalah Tumenggung, yang merupakan pangkat tertinggi.

Gajah Mada membawahi satu kesatuan pasukan setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana. Nama pasukan ini adalah Bhayangkari. Jumlahnya tidak lebih dari 100 orang, namun pasukan Bhayangkari ini adalah pasukan khusus yang memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit dari kesatuan mana pun.

Informasi tentang adanya pemberontakan tersebut diperoleh dari seseorang yang memberitahu Gajah Mada akan adanya bahaya yang akan datang menyerang istana pada pagi hari. Tidak dijelaskan siapa dan atas motif apa seseorang tersebut memberikan informasi tersebut kepada Gajah Mada. Satu hal yang cukup jelas bahwa orang tersebut mengetahui rencana makar dan kapan waktu dilakukan makar tersebut menandakan bahwa informan tersebut memiliki hubungan yang cukup dekat dengan pihak pemberontak.

Mendapatkan informasi tersebut Gajah Mada segera melakukan koordinasi dengan segenap jajaran telik sandi yang dimiliki pasukan Bhayangkari, tidak ketinggalan terhadap telik sandi pasukan kepatihan. Saat itu mahapatih masih dijabat oleh Arya Tadah, yang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Gajah Mada.

Gajah Mada juga melakukan langkah koordinasi kekuatan terhadap tiga kesatuan pasukan utama Majapahit dengan cara menghubungi masing-masing pimpinannya. Tidak mudah bagi seorang bekel untuk bisa melakukan hal ini karena ia harus bisa menemui para Tumenggung yang berpangkat dua tingkat di atasnya. Namun, Arya Tadah yang tanggap akan adanya bahaya, telah membekali Gajah Mada dengan lencana kepatihan, sebuah tanda bahwa Gajah Mada mewakili dirinya dalam melaksanakan tugas tersebut.

Dua dari tiga pimpinan pasukan berhasil dihubungi. Namun keduanya menyatakan sikap yang berlainan. Pasukan Jala Yudha bersikap mendukung istana, sedangkan pasukan Jala Pati memilih bersikap netral. Pimpinan pasukan Jala Rananggana tidak berhasil ditemui karena pada saat itu kesatuan pasukan tersebut telah mempersiapkan diri di suatu tempat yang cukup jauh dari istana untuk mengadakan serangan dadakan keesokan harinya. Yang selanjutnya terjadi adalah perang besar yang melibatkan ketiga kesatuan utama pasukan Majapahit. Akhirnya peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak pemberontak, dan memaksa sang Prabu Jayanegara mengungsi ke luar istana dilindungi oleh segenap kekuatan pasukan Bhayangkari.

Namun, tidak seluruh anggota pasukan Bhayangkari yang memihak raja. Hal ini tentu menyulitkan tindakan penyelamatan sang prabu karena setiap saat di mana saja, musuh dalam selimut bisa bertindak mencelakai sang prabu. Hal ini yang mendorong Gajah Mada melakukan tindakan penyelamatan yang rumit sampai membawa sang prabu ke Bedander, sebuah daerah di pegunungan kapur utara.

Dengan kecerdikannya, memanfaatkan kekuatan dan jaringan yang dimiliki, akhirnya Gajah Mada berhasil mengembalikan sang prabu ke istana. Prabu Sri Jayanegara memang selamat dari kejaran Ra Kuti dan pengikut-pengikutnya. Namun, sembilan tahun kemudian, salah seorang Dharmaputra Winehsuka yang telah diampuni dari kesalahan akibat terlibat dalam pemberontakan tersebut, melakukan tindakan yang sama sekali tidak terduga: yaitu membunuh sang prabu saat diminta untuk mengobati bisul sang prabhu. Dia adalah Ra Tanca, yang akhirnya langsung dibunuh oleh Gajah Mada.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit pada waktu itu Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Gajah Mada yang pada waktu itu menjabat Patih Kadiri sebagai penggantinya, namun Gajah Mada sendiri tidak langsung menyetujuinya. Ia ingin membuat jasa terhadap Majapahit terlebih dahulu, dengan jalan menundukkan Sadeng dan Keta yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Alkisah, Sadeng dan Keta akhirnya tunduk di bawah kaki Majapahit, dan Gajah Mada pun resmi diangkat sebagai Mahapatih Majapahit oleh Tribhuwanottunggadewi pada tahun 1334.

Pada acara pelantikannya, dengan menghunus keris pusakanya (Surya Panuluh, yang sebelumnya adalah milik Kertarajasa Jayawardhana), Gajah Mada pun mengangkat Sumpah bakti terhadap Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa yang pada dasarnya adalah pernyataan program politik Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah telapak kaki Majapahit.

Sumpah Palapa ini sangat menggemparkan para undangan yang hadir saat pelantikan Gajah Mada tersebut. Adalah Ra Kembar yang mengejek Gajah Mada, Jabung Trewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal-pingkal mendengar sumpah tersebut. Gajah Mada merasa terhina oleh mereka, karena sumpah tersebut diucapkannya dengan kesungguhan hatinya. Maka ia pun turun dari mimbar (paseban), menghadap kaki Ratu dan menyatakan kesedihannya atas penghinaan tersebut. Akhirnya setelah Gajah Mada resmi diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, iapun kemudian satu-persatu menyingkirkan Ra Kembar, sekaligus membalaskan dendamnya karema Ra Kembar telah mendahuluinya menyerbu Sadeng. Berikutnya Jabung Trewes dan Lembu Peteng, serta Warak ikut pula disingkirkannya.

Program politik Gajah Mada ini berbeda dengan program politik pendahulunya yaitu Kertarajasa dan Jayanegara. Kedua raja terdahulu ini memilih Mahapatih Majapahit dari orang-orang terdekat di sekitarnya, yang dianggap telah berjasa kepadanya, akibatnya pada masa pemerintahan kedua raja terdahulu itu, mereka hanya sibuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit, tanpa dapat memperhatikan atau menjalankan perluasan wilayah kerajaan Majapahit.

Politik penyatuan Nusantara ini dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh Gajah Mada dengan memperkuat armada dan pasukan Majapahit serta dibantu oleh Adityawarman, melaksanakan politik ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke tanah seberang. Atas jasa-jasanya tersebut, Adityawarman kemudian diangkat menjadi raja di tanah Melayu pada tahun 1347, untuk menanamkan pengaruh atau kekuasaan Majapahit di wilayah Sumatera sampai ke Semenanjung Tanah Melayu.

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Majapahit di bawah perjuangan Gajah Mada pada waktu itu adalah: Bedahulu (Bali) dan Lombok pada tahun 1343, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya dan sejumlah negeri lain di Kalimantan seperi Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei (Pu-ni), Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei dan Malano.

Politik penyatuan Nusantara ini berbuah meredanya pertumpahan darah antar kerajaan-kerajaan tersebut yang semula selalu saling mengintai dan berupaya saling menguasai melalui jalan peperangan, yang tentunya menimbulkan banyak korban, terutama rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Dengan penyatuan di bawah telapak kaki Majapahit (yang ber-semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dan Mitreka Satata), terbukti berhasil menekan peperangan sehingga membuat kerajaan-kerajaan bawahan tersebut lebih menaruh perhatian kepada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara menyeluruh. Selain itu, dengan politik penyatuan Nusantara ini, membuat Majapahit menjadi lebih kuat terutama dalam menghadapi ancaman penjajah asing pada waktu itu (Tartar/Tiongkok), sehingga dapat menggantinya menjadi hubungan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.




PETA KOTA RAJA

Peta Kota Raja Majapahit yang sebenarnya di batasi oleh 4 (empat) Tugu Batas yang berbentuk Lingga-Yoni, dengan jarak antar tugu berkisar 9 x 11 km. Peta Kota Raja Majapahit ini pertama kali dibuat oleh seorang Belanda bernama H Maclaine Pont, seorang arsitek yang juga turut membidani munculnya bangunan Gereja Katolik Puh Sarang di Kediri, Jawa Timur.

Sebenarnya apa yang dipetakan oleh Maclaine Pont ini telah diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Negarakretagama, khususnya di dalam Pupuh VIII, yang secara penggalannya berbunyi " .. tersebutlah keajaiban kota: tembok batu merah tebal tinggi mengitari Pura (sebutan lain untuk kota raja), pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas bersabut parit, pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam .......... , disebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir .... (dst.)"

Batas-batas kota raja Majapahit adalah ditandai dengan sebuah kompleks bangunan suci agama Hindu dengan pusat berbentuk yoni berhias naga-raja. Batas-batas kota tersebut adalah Klinterjo di Timur-Laut, Lebak-Jabung di Tenggara dan Sedah di Barat Daya. Berdasarkan ekskavasi di situs Klinterjo dan Lebak-Jabung, didapatkan gambaran mengenai bentuk bangunan suci agama Hindu di penjuru sudut penanda batas Kota Raja. Secara garis-besar pola tata ruang bangunan tersebut memanjang arah Barat-Timur dan memiliki tiga halaman. Halaman paling Barat berupa bangunan terbuka, berumpak batu dengan batur batu-bata, mirip bangunan balai atau pendopo. Pada halaman tengah terdapat sisa-sisa bangunan dari batu-bata, dan pada bagian Timur juga terdapat bangunan batu-bata dengan Yoni Naga Raja. Tampaknya pola tata ruang bangunan suci tersebut mirip dengan kompleks bangunan Pura di Bali yang juga memiliki tiga halaman, yaitu halaman: jaba, jaba tengah dan jeroan.





PUNAKAWAN SEBAGAI UNSUR BUDAYA ASLI

Ciri khusus kebudayaan Majapahit ialah adanya pembauran antara unsur-unsur Jawa asli dengan unsur-unsur India. Adanya unsur-unsur Jawa asli itu menyebabkan kebudayaan Majapahit (Jawa Timur) bukan semata-mata tiruan kebudayaan India, meskipun harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan India masih terasa sangat kuat. Pembauran ini terbukti memberi sekedar kesegaran dalam kehidupan kebudayaan dan menimbulkan aliran baru yang disebut dengan aliran Singasari-Majapahit, karena aliran baru tersebut memang berkembang pada jaman kerajaan Singasari-Majapahit.

Timbulnya kesadaran untuk memasukkan unsur-unsur Jawa asli dalam kebudayaan telah terasa sejak jaman kerajaan Kadiri dalam abad ke duabelas, seperti terbukti dari karya Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh. Dalam karya sastra ini untuk pertama kalinya ditampilkan unsur Punakawan yaitu hamba, abdi dalam karya sastra yang berdasarkan cerita dari epik Mahabarata. Dalam Mahabarata unsur punakawan ini tidak dikenal sama sekali, oleh karenanya unsur punakawan adalah merupakan unsur Jawa asli.

Punakawan mengabdi kepada tokoh Pandawa yang memegang peranan utama dalam cerita Mahabarata tersebut. Dalam karya sastra Ghatotkacasraya punakawan ini berjumlah tiga orang, yakni : Punta, Prasanta dan Juru Deh. Ketiga-tiganya mengabdi kepada Abimanyu, putera Arjuna yang memegang peranan utama dalam cerita. Tidak dapat diketahui secara pasti dari mana Mpu Panuluh memperoleh ilham untuk memasukkan punakawan dalam gubahan karya sastra Ghatotkacasraya yang artinya: bantuan Ghatotkaca. Ada kemungkinan bahwa punakawan ini telah memiliki peranan dalam seni panggung wayang, yang pada waktu itu masih berbentuk seni pertunjukkan lisan, tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata.

Suatu kenyataan ialah, bahwa timbulnya unsur punakawan untuk pertama kalinya dalam kesusastraan adalah berkat karya Mpu Panuluh, namun dalam karya sastra tersebut punakawan masih kaku-beku, hanya merupakan embel-embel belaka, tokoh tanpa peranan alias figuran. Mungkin sekali sebabnya adalah Mpu Panuluh terlalu mengutamakan uraian tentang pemandangan alam dan menekankan peranan tokoh-tokoh penting atau central, sehingga lupa memberikan peranan yang berkesan kepada para punakawan ini.

Nama punakawan Punta, Prasanta dan Juru Deh hanya dikenal dalam kakawin (karya sastra) Ghatotkacasraya, nama punakawan itu dikenal kembali dalam seni panggung wayang gedog tentang cerita panji sebagai Jodeg Santa (kontaminasi dari Juru Deh dan Prasanta).

Dalam jaman Singosari-Majapahit nama punakawan tersebut tidak dikenal, yang muncul pada waktu itu adalah punakawan Semar seperti yang nyata-nyata muncul dalam hiasan/relief Candi Tigowangi (1358 M) dan Candi Sukuh (1439 M), dalam cerita Sudamala. Karya sastra Sudamala ini menceritakan peranan punakawan Semar secara lebih berkesan bila dibandingkan dengan tokoh Juru Deh, Prasanta dan Punta di atas. Dalam karya sastra Sudamala tersebut jelas sekali peranan Semar sebagai punakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan. Relief/pahatan yang terdapat pada candi Tigawangi dan candi Sukuh juga menggambarkan hal yang serupa, yaitu ujud Semar yang lucu, serta tandang-tanduknya yang serba menggelikan. Diantaranya Semar memanjat di atas bangkai raksasa Kalanjaya, yang telah mati terbunuh oleh Sudamala.

Jelaslah dalam hal ini bahwa punakawan Semar yang tertua bertarikh pada jaman Majapahit yaitu disekitar tahun 1358 M (Candi Tigawangi), meskipun pada relief di candi tersebut terlihat beberapa punakawan yang lain, namun yang disebutkan dalam karya sastra Sudamala hanya seorang saja, yakni Semar.

Dalam seni panggung wayang pada jaman Surakarta dan Jogyakarta, jumlah punakawan bertambah menjadi tiga (versi Surakarta) dan menjadi empat (versi Jogyakarta) yaitu : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka bertindak sebagai pelawak, yang disamping membadut, juga memberikan komentar tentang segala perkara yang timbul dari pikiran Si Dalang. Mereka tetap menjadi punakawan keluarga Pandawa, terutama sebagai punakawan Arjuna.

Semua tokoh punakawan memiliki bentuk tubuh yang agak istimewa, Semar digambarkan sebagai seorang yang tua, berkuncung putih, bermata rembes, berkaki pendek, berpantat besar, bentuknya seperti penyu atau kura-kura. Gareng tangannya ceko, kakinya pincang, matanya juling, hidungnya bulat seperti buah terong. Petruk hidungnya panjang, perutnya bekel, mulutnya selalu tertawa, berperawakan tinggi-kurus dan berkuncir. Bagong orangnya pendek, mulutnya lebar dan matanya sebesar terbang.

Sebagai imbangan diciptakan tokoh Togog dan Bilung, kedua-duanya sebagai pamong tokoh seberang lautan. Togog dan Bilung menjadi lambang kelemahan dan kekalahan, karena tiap tokoh yang diikutinya (dalam cerita) selalu dapat dikalahkan oleh tokoh Pandawa yang diikuti oleh Semar. Togog orangnya pendek, mulutnya lebar, bibirnya menjulur ke muka. Bilung orangnya pendek kecil, warna kulitnya hitam, kepalanya penuh kudis.





KARYA SASTRA JAMAN MAJAPAHIT

Tidak banyak kita jumpai karya sastra pada jaman kerajaan Majapahit ini, salah satunya adalah kakawin Negarakretagama gubahan Mpu Prapanca. Beberapa kakawin lainnya yaitu: Arjuna Wijaya dan Sutasoma (Mpu Tantular dan Mpu Tanakung), Puruda Santa (Mpu Tantular) serta Wretta Sancaya dan Sriwaratrikalpa atau Lubdhaka (Mpu Tanakung). Semua kakawin ini digubah pada masa kejayaan Majapahit.

Kakawin Arjuna Wijaya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu dan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda dan bagian terakhir Ramayana (Sansekerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Versinya dalam bahasa Jawa baru dalam bentuk tembang diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930. Cerita ini dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam seni wayang panggung, baik wayang kulit maupun wayang orang.

Karya Mpu Tantular Sutasoma dan Purusada Santa, adalah sebuah cerita moralistik dan didaktik Budha tentang pahlawan Sutasoma yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela sebagai mangsa kepada raksasa Kalmasa Pada. Raksasa Kalmasa Pada kagun akan kerelaan itu, dan tidak jadi memakannya bahkan malah bertobat dan memeluk agama Budha. Sutasoma adalah Bodhisattwa.

Wretta Sancaya atau disebut juga Cakrawala Duta pada hakekatnya adalah karya pengetahuan tentang matra kakawin India, yang banyak dipinjam dalam kesusasteraan Jawa Kuna, tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu meminta bantuan kepada burung cakrawala atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya tersebut.

Sriwaratrikalpa atau Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang pada suatu malam menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga Dewa Siwa, yang ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengijinkan pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran dari mithologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan Shiwaratri. Mungkin pada jaman Majapahit Shiwaratri itu juga dirayakan.







CANDI-CANDI DAN MAKAM

Kejayaan dan kebesaran kerajaan Majapahit ini sebenarnya dapat dibayangkan dari sisa-sisa peninggalan yang berupa Candi (berbahan dasar batu bata merah) yang masih tegak berdiri hingga saat ini seperti misalnya Candi Wringin-Lawang, Candi Brahu, Candi Bajang-Ratu, Candi Tikus dan masih banyak lagi yang tersebar di wilayah Propinsi Jawa Timur. Dari sekian banyak candi peninggalan yang tersisa dan masih dapat kita kunjungi sampai saat ini, terdapat beberapa candi yang sebenarnya merupakan Candi Makam, misalnya Candi Simping (makam Bhre Wijaya), Candi Rimbi (makam Tribhuwana), Candi Ngetos (makam Sri Rajasanegara/Hayam Wuruk), Candi Kedhaton dan sebagainya.

Kitab Negarakretagama dalam Pupuh LXXIII pada point yang ke-3 menyebutkan nama sejumlah candi makam raja, misalnya: Kagenengan, Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan (di Tuban), Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Kalang Brat dan Jago. Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.

Selanjutnya di dalam pupuh XXXVII menyajikan uraian tentang candi makam Kagenengan demikian: "Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tidak bertara, pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, dari luar bersabuk, di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya, ditanami aneka ragam bunga: tanjung, nagasari dan sebagainya, menaranya lampai, menjulang tinggi seperti gunung Meru di tengah-tengah, sangat indah, di dalam candi ada arca dewa Siwa, sebagai lambang raja yang dipuja di situ, ialah datu-leluhur raja Majapahit yang disembah di seluruh dunia".

Candi makam Kagenengan telah musnah, hanya berkat uraian Negarakertagama kita bisa mengetahui tentang keberadaannya. Perlu dicatat, bahwa si Penulis Kitab Negarakretagama ini hidup pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Rajasanagara), jadi makam-makam raja setelah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tidak disebutkan dalam kitab tersebut.




CANDI JAGO (JAJAGHU)

Diantara 27 candi makam yang masih bertahan dalam keadaan hampir utuh adalah Candi Jago yang lebih terkenal dengan Candi Tumpang. Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Menurut kitab Negarakertagama pupuh XLI/4 candi Jago adalah candi Budha, di dalamnya terdapat arca Budha (amoghapasya) sebagai lambang mendiang raja Wisnuwardhana. Teras yang pertama memuat relief Kunjarakarna dongengan didaktik yang tidak asing lagi dalam kesasteraan Budha. Pada teras yang kedua terpahat relief Partayajnya sebuah cerita dari Mahabarata tentang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila, meminta senjata yang akan digunakan dalam perang Bharatayudha melawan Kurawa. Teras yang ketiga berisi relief Arjuna Wiwaha, cerita perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Suprabha, hadiah bhatara Guru kepada Arjuna setelah mengalahkan raja raksasa Nirwatakawaca. Badan candi itu sendiri dihias dengan adegan Kalayawana dan Kresna yang sepintas dapat diceritakan berikut ini.

Setelah Kresna diusir oleh Kayawana dari Dwarawati, ia mengungsi ke Mucukunda, tempat bertapa seorang pendeta, dan tidur di tempat duduk sang pendeta. Kalayawana mengejarnya sampai ke Mucukunda, dan ketika akan membunuh Kresna sang pendeta merintanginya dengan ucapan bahwa perbuatan yang demikian itu tidaklah wajar. Mendengar ucapan itu Kalayawana marah dan mencaci maki sang pendeta, kemudian Kalayawana dipandang oleh sang pendeta mendadak hangus dan binasa. Sepeninggal Kalayawana, Kresna kembali ke Dwarawati dan membangun kembali kerajaannya.




CANDI JAWI

Candi Jawi terletak di kaki G. Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km dari kota Pasuruan. Bangunan candi dapat dikatakan masih utuh karena telah berkali-kali mengalami pemugaran. Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dari kondisinya yang sudah runtuh. Akan tetapi, pemugaran tidak dapat dituntaskan karena banyak batu yang hilang dan baru disempurnakan pada tahun 1975-1980.

Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 meter, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 meter dan lebar 9,5 meter. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.

Posisi Candi Jawi yang menghadap ke Timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.

Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 meter dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.

Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar. Bingkai pintunya polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan dasar atap. Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.

Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca di dalamnya. Negarakretagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa dengan Aksobaya di mahkotanya. Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi, dan Brahma. Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.

Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Kitab Negarakretagama yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.

Dalam Negarakretagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.





CANDI SIMPING (CANDI SUMBERJATI)

Adalah Candi Makam Sri Kertarajasa Jayawardana (Bhre Wijaya) yang meninggal pada tahun 1309, candi ini berada di Sumberjati dekat Blitar.

Penegasan tentang keberadaan Candi Makam ini tertulis dalam Kitab Negarakretagama Pupuh XLVII bagian yang ketiga, yang berbunyi: ' .... tahun Saka surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.'

Kondisi Candi Simping saat ini hanya tinggal lantai pondasinya saja, sementara bangunan utuhnya telah runtuh. Candi ini dibangun dengan bahan dasar batu andesit (berbeda dengan candi-candi yang masih dapat kita temukan di wilayah Trowulan, Mojokerto).





YONI KLINTERJO

Situs ini terletak di Desa Klinterjo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Situs ini lebih dikenal dengan sebutan Situs Watu Ombo atau Situs Resi Maudoro. Pusat situs adalah sebuah bangunan kuno yang terbuat dari batu andesit berbentuk Yoni, berukuran 1,90 x 1,8 meter dengan tinggi sekitar 1,24 meter. Yoni ini penuh hiasan dan pada salah satu sisinya terpahat angka tahun 1293 Saka (1372 M). Berdasarkan penuturan Kitab Pararaton, angka tahun tersebut adalah merupakan angka tahun meninggalnya ibunda Raja Hayam Wuruk (Tribhuwana Tunggadewi atau Rani Kahuripan).

Di bagian lain dari kompleks Yoni Klinterjo ini terdapat sebuah sandaran batu yang besar (terkenal dengan sebutan Watu Ombo), yang menurut cerita akan dipahatkan arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi, tetapi belum sempat terselesaikan.





SITUS YONI SEDAH

Yoni berhiaskan Naga Raja teronggok di tengah sawah di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Naga Raja adalah binatang mitologi jelmaan Dewa Wasuki dalam kitab Mahabharata. Tubuh naga itu membelit Gunung Mandara. Kedua ujungnya ditarik dewa dan daitya (raksasa), sehingga gunung tersebut berputar mengebor air kehidupan. Yoni ini adalah yoni terbesar ke dua setelah Yoni Klinterjo yang terdapat di desa Klinterjo, Trowulan, Mojokerto.





SITUS YONI BADAS

Kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Jombang juga, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas, Kecamatan Sumobito. Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, tetapi belum dilakukan penggalian secara intensif. Sayangnya pula, sejauh penelusuran di lapangan, tidak ditemukan yoni kerajaan berpahat nagaraja, kecuali sebuah yoni kecil polos dan sederhana, yang ditemukan di tepi jalur rel kereta api, setelah beberapa kali dipindahkan penduduk.

Di gedung lama Museum Nasional (pada tahun 1994 pemerintah membangun gedung baru dengan style yang sama dengan gedung asli di sebelah Utaranya), tepatnya di depan arca raksasa Bhairawa Budha dari Padang Roco, pada bagian tengah selasar yang tak beratap, teronggok sebuah Yoni dengan nomor inventaris 366a. Yoni tersebut dihias dengan pahatan sulur-suluran yang cukup kaya, berhiaskan relief Naga Raja pada bagian ceratnya dan berbentuk segi delapan. Sayangnya, selain nomor inventaris di badan yoni, tidak terdapat keterangan apapun mengenai keberadaan benda unik tersebut.

Bila kita bandingkan dengan temuan Yoni Lebakjabung yang berada di Selatan-Barat, yoni tersebut di atas memiliki kemiripan, dari sisi bentuknya (segi delapan) dengan hiasan Naga Raja. Dari sisi motif ukiran atau pahatannya terdapat kemiripan juga.





SITUS YONI LEBAKJABUNG

Situs Umpak Batu dan Yoni Lebak Jabung terletak di Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Situs ini berupa batu umpak yang berjajar (tiga baris berjumlah 33 buah) memanjang dari utara ke selatan yang diperkirakan merupakan semacam pondasi sebuah pendopo (jaba, balai bengong ). Dan di bagian jeroan (pusatnya) telah ditemukan sebuah Yoni yang diduga merupakan tanda batas ibukota Mojopahit sebelah Selatan Timur. Sekarang Yoni tersebut disimpan di Museum Trowulan.





SITUS CANDI GAYATRI

Candi Gayatri adalah reruntuhan candi Hindu-Budha yang berada di dusun Boyolangu, kalurahan Boyolangu, kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Pada bagian tangga batu candi ini terdapat tulisan angka 1289 Ç (1367 M) dan 1291 Çaka (1369 M), yang kemungkinan dipakai untuk menandai tahun pembuatan dari Candi Gayatri, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit.

Di dalam kawasan candi ini terdapat satu candi induk dan dua candi perwara di sebelah selatan dan utaranya. Candi induk berukuran 11,40 x 11,40 meter, mempunyai arca Gayatri (arca wanita dari ratu Sri Rajapatni, nenek dari raja Hayam Wuruk)) dengan panjang 1,1 meter, lebar 1 meter dan tinggi 1,2 meter. Pada candi perwara di sebelah selatan terdapat arca Nandi, arca Dwarapala dan arca Mahisasura Nandini. Pada candi perwara di sebelah utara terdapat dua patung yoni yang disangga oleh kepala naga, arca Ganesa dan sebuah patung Jaladwara.

Kitab Negarakretagama di dalam pupuh II/1 menguraikan bahwa Puteri Gayatri alias Rajapatni pada usia lanjut menjadi wikuni/bhiksuni dan mangkat pada tahun 1350 M. Negarakretagama pupuh LXIII - LXIX menguraikan upacara pesta Sraddha pada tahun 1362 M sebagai peringatan dua belas tahun mangkatnya Rajapatni (Isteri Bhre Wijaya/pendiri Majapahit, yang juga ibu Tribhuwanottunggadewi). Negarakretagama pupuh XIX/1 memberitakan bahwa jenazah puteri Rajapatni dicandikan di Kamal Pandak, candi makamnya di Bayalangu yang dibangun pada tahun 1362 M disebut Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Prasasti Penanggungan 1296 M serta prasasti Kertarajasa 1305 M, memuji-muji kecantikan puteri Gayatri (puteri bungsu raja Kertanegara), dan oleh karenanya paling dikasihi oleh raja Kertarajasa (raja Majapahit pertama).

Atas petunjuk-petunjuk di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mungkin sekali arca Dewi Prajnyaparamita adalah merupakan arca puteri Gayatri (Rajapatni) yang dahulunya di letakkan di Candi Prajnyaparamita Puri di Bayalangu (Tulungagung).

Prajnyaparamita adalah merupakan salah satu aspek seorang bodhisatwa yang disebut paramita. Arti harafiahnya adalah: kesempurnaan dalam kebijaksanaan yang merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transendental manusia. Istilah Dewi Pradjnyaparamita merujuk kepada personifikasi atau perwujudan konsep kebijaksanaan sempurna, yakni dewi kebijaksanaan transendental dalam aliran Budha Mahayana.





SITUS CANDI BRAHU

Candi Brahu terletak di kawasan Dukuh Jambumente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, sekitar 2 km dari jalan raya Mojokerto - Jombang. Candi ini berbahan dasar batu-bata merah, dibangun menghadap ke arah Barat dengan dimensi ukuran panjang 22,5 meter, lebar 18 meter dan tinggi sekitar 20 meter. Bangunan ini jelas-jelas bercirikan bangunan suci agama Budha, dan saat dilakukan penggalian ditemukan alat-alat upacara keagamaan, patung-patung yang bercirikan agama Budha serta perhiasan-perhiasan dari emas.

Mengutip buku Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan oleh Drs IG Bagus Arnawa, dulu di sekitar candi ini banyak terdapat candi-candi kecil yang sebagian sudah runtuh, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong (sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas reruntuhannya.)

Di dekat Candi Brahu ini, pada jarak sekitar 45 meter arah Barat Daya, telah ditemukan sebuah prasasti kuno yang terkenal dengan nama Prasasti Alasantan, berangka tahun 861 Saka, atau tepatnya 9 September 939 M, yang diantara isinya menyebutkan sebuah bangunan suci Waharu atau Warahu. Intisari isi dari prasati tersebut adalah, bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan. Pada lempengan III.9-12 prasasti ini menyebutkan para rama dari desa-desa di sekitar Alasantan yang hadir sebagai saksi pada peresmiannya menjadi sima. Berturut-turut disebutkan: Rama Ryy Alasantan, Rama Ri Lmah Tulis, Rama i Skarbila, Rama i Lbuh Runting, Rama i Padanga, Eama i Tirim Panda, Rama ing Lapan Rupa dan Rama i Wulu Taj. Kesimpulannya, daerah sekitar Candi Brahu ini telah ada jauh sebelum Majapahit berdiri, yaitu masih di jaman Mataram Hindu (pindahan dari Jawa Tengah) di bawah pemerintahan Raja Sindok, dan dahulunya bernama Alasantan.

Kitab Negarakretagama ada sedikit menyinggung tentang Candi Brahu ini, yaitu tepatnya pada Pupuh VIII bagian ke-empat yang berbunyi "... bertegak di halaman sebelah Barat, di Utara tempat Buda bersusun tiga, puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban."

Pada kenyataannya bangunan Candi Brahu ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki candi dibangun bersusun dua tingkat, kaki bagian bawah setinggi 2 meter dan memiliki tangga naik di sisi sebelah Barat. Selasar ke dua memiliki lebar 1 meter mengelilingi tubuh candi. Bagian yang ke tiga adalah tubuh candi, yang dalam hal ini terdapat sebuah pintu di ketinggian sekitar 2 meter dari selasar yang kedua, menghadap arah Barat, terdapat ruangan yang cukup luas di dalamnya. Diperkirakan ruangan dalam tubuh Candi Brahu ini cukup untuk menampung sekitar 30 orang.





SITUS CANDI WRINGINLAWANG

Gapura Wringin Lawang merupakan bangunan kuno peninggal jaman Majapahit yang berbentuk Gapura Belah tidak memiliki atap (tipe candi bentar). Gapura ini diperkirakan sebagai pintu gerbang masuk salah satu kompleks bangunan yang berada di kota Mojopahit. Lokasinya berada di dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, sekitar 200 meter dari jalan raya Mojokerto-Jombang.

Nama Wringin Lawang diambil dari fakta yang ada di temuan awal. Dulu, gapura yang dibuat dari batu bata merah ini diapit oleh pohon beringin di sisi kiri dan kanan. Bangunan ini menghadap ke arah timur dan barat, berukuran 13 X 11,5 meter dan tinggi 15,5 meter. Berbeda dengan Candi Bajangratu yang bergaya paduraksa, Wringin Lawang bergaya candi bentar. Jika dilihat dari jauh, orang langsung bisa menebak, Wringin Lawang adalah gerbang keluar masuk dari suatu tempat ke tempat lain. Konon, gapura ini merupakan pintu masuk tamu-tamu kerajaan yang ingin bertandang ke istana. Tetapi berdasarkan pengamatan peta kota raja Majapahit serta penuturan Kitab Negarakretagama, sepertinya bangunan ini merupakan pintu masuk ke kediaman Maha Patih Gajah Mada.





SITUS CANDI KEDATON

Di antara sejumlah situs di Trowulan, Mojokerto, agaknya bentuk Candi Kedaton yang terletak di dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto, yang terletak tidak jauh dari Pendopo Majapahit, merupakan situs yang masih misteri. Sampai sekarang, para arkeolog belum menemukan format dari Situs Kedaton yang juga memiliki sumur upas itu. Namun, beberapa bentuk bangunan situs itu diperkirakan berbentuk empat bangunan yang merupakan bentuk candi dengan sumur upas, makam, mulut gua dan lorong rahasia (sumur upas).





SITUS CANDI BAJANGRATU

Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakretagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief Sri Tanjung dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.

Bajang Ratu dalam bahasa Jawa berarti raja / bangsawan yang kecil / kerdil / cacat. Dari arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dan tulisan dalam Serat Pararaton, ditambah legenda masyarakat. Disebutkan bahwa ketika dinobatkan menjadi raja, usia Jayanegara masih sangat muda (bujang /bajang) sehingga diduga gapura ini kemudian diberi sebutan Ratu Bajang / Bajang Ratu. Jika berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya, sehingga diberi nama Bajang Ratu (Raja Cacat).

Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Kakawin Negarakretagama: Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan, sebagai pedharmaan (tempat suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka (sekitar 1328 M), tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan).

Menurut buku Drs I.G. Bagus L Arnawa, dilihat dari bentuknya gapura atau candi ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe paduraksa (gapura beratap). Secara fisik keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 meter diatas permukaan laut, dengan orientasi mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segi empat, berukuran ± 11,5 (panjang) x 10,5 meter (lebar), tinggi 16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4 meter.

Secara vertikal bangunan ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur kaki tersebut terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya terdiri dari susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada sudut-sudut kaki terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan dihias relief menggambarkan cerita Sri Tanjung. Di bagian tubuh diatas ambang pintu ada relief hiasan kala dengan relief hiasan sulur-suluran, dan bagian atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala kala diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu atau monocle cyclops. Fungsi relief tersebut dalam kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara bahaya. Pada sayap kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang.

Lokasi Candi Bajang Ratu berletak relatif jauh, 2 km dari dari pusat kanal perairan Majapahit di sebelah timur. Saat ini berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak cukup dekat 0,7 km dengan Candi Tikus. Alasan pemilihan lokasi ini oleh arsitek kerajaan Majapahit, mungkin untuk memperoleh ketenangan dan kedekatan dengan alam namun masih terkontrol, yakni dengan bukti adanya kanal melintang di sebelah depan candi berjarak kurang lebih 200 meter yang langsung menuju bagian tengah sistem kanal Majapahit, menunjukkan hubungan erat dengan daerah pusat kota Majapahit.

Untuk mencapai lokasi Gapura Bajang Ratu, pengunjung harus mengendara sejauh 200 meter dari jalan raya Mojokerto - Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk, berbelok ke arak timur sejauh 3 km, di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sekitar lokasi Gapura Bajang Ratu di Trowulan (bekas ibukota kerajaan Majapahit) tersimpan banyak peninggalan bersejarah lainnya dari zaman keeemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang disegani di muka bumi.





CANDI TIKUS

Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan, tepatnya di Dukuh Tinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini merupakan salah satu situs arkeologi utama di Trowulan. Bangunan Candi Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Candi ini berukuran 29,5 X 28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter.

Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan.

Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.

Gunung meru merupakan gunung suci yang dianggap sebagai pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia dunia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut konsepsi Hindu, alam semesta terdiri atas suatu benua pusat yang bernama Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan semuanya dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Jadi Sangat mungkin Candi Tikus merupakan sebuah petirtaan yang disucikan oleh pemeluk Hindu dan Budha, dan juga sebagai pengatur debit air di jaman Majapahit.

Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Negarakretagama , bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya.

Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati Mojokerto Kromodjojo Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini kemudian dinamai Candi Tikus . Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989.



SITUS CANDI RIMBI

Badan Candi Rimbi dibentuk dari batuan andesit sedangkan untuk pondasinya dibangun dari batubata. Dari lokasi dimana candi ini berada kita bisa melihat panorama Gunung Anjasmoro yang terletak di selatan Kota Mojokerto. Candi Rimbi sendiri berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang dan menempati areal seluas 896.56 meter persegi. Bangunan yang masih ada sekarang memiliki ukuran panjang 13,24 meter, lebar 9,10 meter dan tinggi 12 meter. Berdasarkan seni arsitektur bangunan, Candi Rimbi berlatar belakang Hindu. Hal ini, ditandai penemuan arca Dewi Parwati (isteri Dewa Siwa) yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Kondisi Candi Rimbi ini sepintas mirip dengan Candi Sumur yang berada di Sidoarjo. Badan candi yang seolah terkoyak itu masih berdiri tegak diantara reruntuhan batu andesit yang berada disekitarnya. Dengan kondisi seperti itu, sulit diketahui seperti apa sebenarnya bentuk badan dan atap candi. Meski demikian pada bagian kaki candi masih bisa ditemukan berbagai relief yang menggambarkan manusia dan hewan. Salah satu relief yang unik adalah adanya relief yang menggambarkan sepasang manusia (pengantin) yang berada dalam sebuah gentong. Sayangnya hingga sekarang belum bisa diketahui isi cerita yang coba digambarkan melalui relief-relief tersebut.

Arca-arca Hindu cukup banyak ditemukan di halaman candi. Sayangnya, arca-arca itu sudah tidak berada dalam kondisi utuh, bahkan beberapa diantaranya hanya menyisakan potongan anggota badannya saja. Arca Parwati ditemukan di ruang utama candi. Tetapi, ruangan ini sudah tidak ada lagi, karena separoh dari badan candi sudah runtuh. Dewi Parwati dikenal sebagai simbol wanita yang benar-benar mempunyai seluruh syarat terbaik sebagai seorang wanita, ibu dan istri. Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan, bersama-sama dengan Siwa, mereka berdua sering digambarkan sebagai yoni (simbol wanita) dan lingga (simbol laki- laki). Arca Parwati yang ditemukan di Candi Rimbi melukiskan Tribuana Wijaya Tunggadewi, ratu Majapahit yang memperintah pada 1328 - 1350 M.

Pada lapik itu hanya tersisa telapak kaki arca. Sebuah hiasan kala dengan ukuran agak besar, tergeletak disalah satu sudut halaman candi. Diperkirakan, batu ini dulunya digunakan untuk menghiasi pintu masuk ke ruangan (bilik) candi. Suatu hal yang lazim terdapat pada candi-candi Hindu lainnya di propinsi Jawa Timur. Nama Candi Rimbi juga sering disebut juga Cungkup Pulo. Nama Rimbi dikaitkan dengan nama tokoh pewayangan bernama Arimbi adalah isteri Werkudoro (Bima).







SITUS CANDI NGETOS

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV yaitu pada zaman kerajaan Majapahit. Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya. Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk cincin.

Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati lagi sebuah arcapun. Namun menurut penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaya, bahwa di dalam candi ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari kuningan. Krom juga pernah mengatakan, bahwa di candi Ngetos pernah diketemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun demikian bisa dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati yang berciri Wisnu.

Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran: panjang candi (9,1 m), tinggi Badan (5,43 m). tinggi keseluruhan (10 m), saubasemen (3,25 m), besar tangga luar (3,75 m), lebar pintu masuk (0,65 m), tinggi undakan menuju ruang candi (2,47 m) dan ruang dalam (2,4 m).

Relief pada Candi Ngetos terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Di bagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.

Di sebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang di atasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan horisontal, melingkari tubuh candi bagian atas.

Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada jaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.




SITUS KOLAM SEGARAN

Kolam Segaran terletak di Dukuh Trowulan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Dari perempatan jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan simpang ke arah selatan. Letak kolam di sisi kiri jalan simpang tersebut, sekitar 500 meter dari jalan raya.

Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami pemugaran sekedarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun. Fungsi Kolam Segaran belum diketahui secara pasti, tetapi menurut masyarakat di sekitarnya, kolam tersebut digunakan keluarga Kerajaan Majapahit untuk berekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Kolam yang luas keseluruhannya kurang lebih 6,5 hektar, membujur ke arah utara-selatan sepanjang 375 m dengan lebar 175 m. Sekeliling tepi kolam dilapisi dinding setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m.

Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain.

Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan. Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakretagama.







SITUS CANDI TIGOWANGI

Terletak di Tigowangi, Plemahan, Kediri, secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi diatas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias.

Menurut Naskah Pararaton candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Sedangkan dalam kitab Negarakretagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal dengan upacara srada.

Pada bagian tubuh candi ditengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil disisi utara, 8 panil disisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa.

Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga raja. Di halaman candi terdapat beberapa arca yaitu Parwati Ardhenari, Garuda berbadan manusia dan sisa candi di sudut tenggara. Berdasarkan arca-arca yang ditemukan dan adanya Yoni di bilik candi maka candi ini berlatar belakang agama Hindu.





SITUS CANDI SUROWONO

Candi Surowono terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja bawahan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Wisatawan dapat juga mengunjungi bangunan terowongan / sungai bawah tanah dengan aliran air jernih dan bercabang cabang yang terletak ± 100 meter dari bangunan Candi

Dibangun pada abad ke 15 Candi Surowono memiliki banyak keunikan, baik dari segi arsitektur maupun relief yang menggambarkan cerita Arjuna Wiwaha, Bubhuksah, Gagang Aking dan Sri Tanjung. Sayang bagian yang masih utuh dari candi ini hanya tinggal kaki dan tubuhnya. Bagian atap sudah rusakdan runtuh. Padahal candi ini di bangun dengan menggunakan batu andesit berpori dan bagian pondasinya menggunakan batu merah dengan orientasi arah menghadap ke barat.





SITUS CANDI SUKUH

Lokasi Situs Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.

Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.

Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

Pada relief oertama si bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Relief ketiga bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Relief keempat menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi Uma.

Relief kelima merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.

Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.

Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.

Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.





SITUS KOMPLEK MAKAM TROLOYO

Situs komplek makam Troloyo adalah merupakan suatu komplek pemakaman Islam di jaman kerajaan Majapahit, situs ini terletak di wilayah Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Saat ini komplek makam tersebut telah dibangun sedemikian rupa sehingga menghilangkan ciri khas aslinya sebagai suatu situs peninggalan purbakala dari jaman kerajaan Majapahit.

Sebenarnya, dengan adanya situs makam Troloyo ini ternyatalah suatu fakta bagaimana keanekaragaman budaya dan agama telah terpelihara secara baik di jaman Majapahit. Betapa tidak, situs makam Troloyo ini pada hakekatnya terletak di dalam wilayah lingkungan Kota Raja Majapahit, dan letaknya tidak jauh dari situs Candi Kedaton dan Situs Lantai segi enam.

Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M.

Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.

Saat ini, obyek utama dari situs komplek Makam Troloyo ini adalah (yang dipercaya) sebagai makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro (biasa disebut Syech Jumadil Kibro), konon beliau adalah kakek dari Sunan Ampel. Syech Jumadil Kubro adalah ulama Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, makamnya pertama kali diberi cungkup oleh seorang tokoh masyarakat setempat bernama KH. Nawawi pada tahun 1940 (sebelum Indonesia merdeka).




PRASASTI - PRASASTI JAMAN MAJAPAHIT

Prasasti adalah bukti sumber tertulis yang sangat penting dari masa lalu yang isinya antara lain mengenai kehidupan masyarakat misalnya tentang administrasi dan birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum dan keadilan, sistem pembagian bekerja, perdagangan, agama, kesenian, maupun adat istiadat. Seperti juga isi prasasti pada umumnya, prasasti dari masa Majapahit lebih banyak berisi tentang ketentuan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau sima. Meskipun demikian, banak hal yang menarik untuk diungkapkan di sini.

Prasasti Kudadu (1294 M) adalah mengenai pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.

Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M), menceritakan Raden Wijaya setelah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.

Prasasti Waringin Pitu (1447 M), mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari 14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha, Bhre Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun, Bhre Tumapel, Bhre Jagaraga, Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre Keling, dan Bhre Kelinggapura.

Prasasti Canggu (1358 M), menceritakan pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo. Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M), menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya.

Prasasti Karang Bogem (1387 M), menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem. Prasasti Marahi Manuk (tt) dan Prasasti Parung (tt), menceritakan tentang sengketa tanah. Persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab-kitab hukum adat setempat.

Prasasti Katiden I (1392 M), menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.

Prasasti Alasantan (939 M), menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.

Prasasti Kamban (941 M), meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.

Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M), menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).

Prasasti Wurare (1289 M), menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar raja itu ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).

Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M), menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.

Prasasti Canggu (Trowulan I), mengatur dan menentukan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat penyeberangan di Terung.


Catatan: Wengker             = Ponorogo
              Kahuripan           = Surabaya
              Metahun             = Bojonegoro
              Pajang                = Surakarta
              Mataram             = Yogyakarta
              Tumapel             = Eks Kerajaan Singhasari
              Daha                  = Eks Kerajaan Kadiri
              Bhre Wirabumi   = Penguasa Blambangan (Banyuwangi).




Situs Majapahit di Trowulan Jawa Timur:















dari Wikimapia