Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

12.8.12

T R U S T

Judul tulisan kali ini nampaknya akan kontroversial bila dibandingkan dengan judul-judul yang lain, demikian pula isinya. Saya tidak bisa menjamin bahwa setelah membaca tulisan ini anda akan mengerti tentang isi yang saya maksudkan sebenarnya. Katakanlah anda mempunyai pemahaman yang sangat tinggi tentang berbagai hal sekalipun.

Cerita ini akan saya mulai ketika dulu sekali (pertengahan 80an). Waktu itu saya datang atau mendatangi tetapi bukan karena undangan ke sebuah keluarga, katakanlah saudara tetapi bukan sebuah hubungan yang dekat dan harmonis. Lebih bisa dikatakan sebagai saudara jauh, meskipun dekat adanya. Di keluarga itu ada beberapa yang sudah menikah dan mempunyai anak, tetapi karena keluarga sederhana ya tetap saja masih menjadi satu dengan ibu/bapaknya. Pendek kata keluarga kurang mampu. Konon cerita punya cerita, ada anak laki-laki kecil yaitu anak dari yang sudah menikah tadi. Seperti biasa saya mendahulukan untuk berhubungan dengan anak itu. Setelah agak lama di rumah itu maka anak itupun merasa mengenal saya dan bisa bergaul ataupun mendekat dan berkomunikasi. Saat itulah kemudian tidak aku sia-siakan. Aku ajak anak itu dengan aku gendong untuk sekedar berkeliling ke tempat-tempat tertentu di luar rumah dan agak jauh dari rumah (lingkungan sekitar, namun tidak masuk ke salah satu rumah manapun). Pertama aku menggedongnya terasa berat, tetapi tetap kulanjutkan saja. Pada suatu ketika maka harus berhenti karena ada sesuatu, maka aku turunkan anak itu. Setelah semua selesai maka harus berpindah ke tempat lain, dan harus kugendong kembali. Disinilah aku merasakan perbedaannya, ternyata anak yang sama dengan kondisi berbeda maka ketika aku gendong menjadi sangat enteng.

Cerita ke-dua terjadi belum terlalu lama, terjadi sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu. Ketika itu aku harus menginap di salah satu temanku yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Dan pagi-pagi sekali aku harus pergi untuk bekerja agar tidak terlambat. Tempat itu agak jauh dijangkau dengan kendaraan umum, sementara kendaraan yang ada (roda dua) cukup terbatas dan harus dipakai. Maka agar semua dapat berjalan dengan baik, saya harus berangkat kerja bersamaan dengan anaknya yang perempuan untuk berangkat sekolah. Anak sekolah perempuan di Jakarta tentu harus mengenakan rok. Waktu itu saya memang belum mempunyai kendaraan roda dua sendiri, tetapi bukan berarti saya tidak dapat mengendarainya. Kendaraan roda dua jenis apapun aku sudah mencoba dan bisa, bahkan sepeda motor jenis scoter yang mempunyai oper gigi di tangan aku bisa. Jadi ketika saya harus memboncengkan anak tersebut kok jadi aneh, lantaran di Jakarta tidak ada anak perempuan dengan rok sekalipun yang memboceng kendaraan roda dua dengan kedua kaki di sisi yang sama. Maka ketika lain hari saya bertemu ayahnya (temanku), maka dia bilang bahwasanya saya tidak dapat mengendarai kendaraan roda dua dengan baik. Memang sih, saya tidak suka kebut-kebutan atau mengendarai kendaran roda dua dengan saling mendahului seperti kebanyakan, saya lebih suka untuk mengalah dan memberi jalan untuk yang lain.

Cerita ke-tiga masih tentang kendaraan roda dua, yaitu ketika kakak saya yang tertua datang kerumah, dan saya harus mengantarnya dengan menggunakan roda dua milik saya sendiri yang sudah kurang lebih satu tahun aku miliki. Masa sih harus seberat itu untuk membawa seorang penumpang? Lalu bagaimana ceritanya seorang tukang ojek yang tiap hari harus mengantar orang yang berbeda-beda, berganti-ganti, ada yang gemuk ada yang kurus!

Cerita ke-empat adalah tentang kerjaan. Sebuah sistem atau perangkat management yang harus diaudit. Masa sih, sudah sepuluh tahun lebih mengelola sebuah sistem tetap saja masih kebobolan dua buah minus?

Dari ke-empat masalah diatas semuanya adalah tentang trust, yang artinya kurang lebih sebuah kepercayaan. Dari cerita pertama, seorang anak yang digendong terasa berat, sebenarnya anak itu awalnya memang enggan untuk digendong karena belum memberikan kepercayaan yang penuh terhadap orang yang mau menggendongnya. Maka setelah kepercayaan itu seluruhnya diberikan maka semuanya akan menjadi sangat baik dan harmonis untuk dijalankan. Sama juga dengan cerita yang ke-dua. Itu bisa kita terapkan/umpamakan kepada diri sendiri. Seandainya kita mau membonceng teman atau siapapun, tetapi kita tidak yakin akan kemampuan, bisa juga jaminan keselamatan yang akan diberikan kepada kita, maka kita tidak akan nyaman sepanjang perjalanan, dan itu sangat berpengaruh terhadap pengendara. Tetapi bila kita menyerahkan sepenuhnya baik itu kemampuan maupun keselamatan kepada yang akan kita tumpangi layaknya seorang tukang ojek, pasti hasilnya sangat beda. Dan begitu pula untuk cerita yang ke-tiga maupun yang ke-empat.

Lalu bagaimana dengan keyakinan yang pada umumnya kita anut? Saya pikir hukum-hukum diatas berlaku juga disini. Kemudian menjadi sangat janggal apabila ketika keyakinan itu kurang maka tetap harus dipaksakan, dan yang menjadi sangat janggal toh keyakinan nanti akan semakin bertambah seiring dengan kedekatan kita terhadap kepercayaan yang kita anut, terlebih lagi apabila kita mau memupuknya dengan ritual-ritual tertentu yang pasti akan membangkitkan semangat kita dalam memupuk keyakinan. Kalau saya analogikan dengan pengendara kendaraan roda dua dan yang memboceng, bukankah hal ini akan menjadi sangat memberatkan buat ke-dua belah pihak. Tolong direnungkan!