Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

8.9.12

Nostalgia

S M A


Naskah ini adalan merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul Gestapu, tetapi karena di dalam naskah lanjutan ini sudah tidak ada korelasinya, maka saya terbitkan dengan judul lain. Kepada yang bersangkutan mohon maaf adanya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya juga melakukan sedikit editting agar tulisan ini dapat dinikmati sepenuhnya. Akhirnya selamat membaca dan terimakasih untuk meluangkan waktunya.




Mendaftar ke SMA

Ijazah sudah ditebus, bangga juga dengan nilai-nilai yang tertera dalam ijazah, 9 untuk Pendidikan Warga Negara dan Sejarah, 8 untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Indonesia. Namun kegalauan ada di hati, apakah bisa melanjutkan ke SMA atau tidak? Melihat wajah Bapak yang muram kelihatan tambah tua, tak berani saya ngomong apa-apa selain berkhayal dan berkhayal. Tetapi kembaran saya kelihatannya tidak demikian, dia biasa-biasa saja dan kelihatan tak ada lagi keinginan untuk meneruskan sekolah. Mungkin juga karena melihat ketidakmampuan orang tua. Bapak juga tidak pernah mengutarakan sesuatupun tentang sekolahku tetapi karena melihat kemuraman anaknya, sampai pada suatu saat terlontar kata-kata “Apa saya harus mati kalau kamu pada ngambek!” Aku terharu juga dan akhirnya hanya pasrah dan pasrah.

Dan tanpa bilang terlebih dahulu ternyata sepetak sawah yang merupakan warisan dari mbah Kaji telah digadaikan untuk membeli sepeda yang harganya Rp3.500,- dibeli dari lek Rejo, dan anehnya, yang pada saat itu saya belum bisa naik sepeda, dengan penuh percaya diri untuk belajar, belum sampai satu bulan saya sudah bisa menaikinya. Dengan sepeda itulah nantinya yang saya gunakan untuk ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 kilo meter.

Pada hari yang telah disepakati dengan seorang teman dekat, yaitu Karpul, dimana kami berteman sejak SD kemudian SMP dan berlanjut terus saapai ke SMA, kukayuh sepeda tuaku dengan hanya berbekal uang Rp200,- untuk biaya pendaftaran. Saya mendaftar dan diterima di SMA Harapan Kutoarjo yang kelak berubah menjadi SMA Panca Marga Bhakti di Kutoarjo. Pada waktu saya masuk tahun 1972 belum memiliki gedung sendiri tetapi masih menumpang pada empat Sekolah Dasar di sebelah Timur alun-alun Kutoarjo yaitu SD Prajuritan, SD Kutoarjo I dan SD Wironatan serta yang satu lagi saya lupa namanya, yang ternyata tempat itu adalah tempat yang digunakan untuk Ujian SMP tempo hari. Yang tidak dapat saya lupakan adalah pada hari itu sebenarnya tetangga saya yaitu Siwo Aminah yang dianggap ada gangguan jiwa, oleh anak-anaknya dimasukkan ke dalam blumbang, mungkin maksudnya biar sembuh, tetapi malah maut yang menjemputnya dan tidak ada proses lebih lanjt dari kepolisian mungkin tidak dilaporkan atau laporannya lain, saya tidak tahu persisnya dan ternyata saya tiba di rumah jenazahnya sudah dimakamkan.

Mengingat Siwo Aminah, maka ada juga kejadian yang lucu tetapi nyata. Pada waktu itu lagi ramai-ramainya musim judi, istilah pada waktu itu buntutan, pada suatu malam saya bermimpi ditemui oleh alamarhumah Siwo Aminah dan dalam mimpi saya dia memberi nomor kepada saya 235 dan diulang, tetapi tidak jelas. Dengan uang sepuluh rupiah yang saya punya, saya belikan uang nomor buntut 235, tanpa berpikir untuk membolak-balikkan angka hanya berharap mudah-mudahan Rp7.000,- akan menjadi keberuntungan saya, eh ternyata yang keluaranomor 325. Kecewa sih tidak, tetapi berandai-andai tentunya boleh. Seandainya saja saya mampu mengartikan pengulangan yang disampaikan almarhumah Siwo Aminah tentunya uang sepuluh rupiah akan saya bagi dua, lima rupiah untuk nomor 235 dan lima rupiah lagi untuk nomor 325 tentunya saya akan mengantongi Rp3.500,- tanpa PPh. Tapi biarlah itu toh hanya sebagai bumbunya cerita dan ternyata undian sangat diharamkan oleh Agama Islam, agama yang saya anut sejak saya lahir ke dunia.



Hari Pertama Menjadi Pelajar SMA

Tibalah saatnya untuk masuk sekolah, hari Senin jam 11.00 saya sudah lupa tanggalnya. Setelah mandi dan pakai baju serta celana pendek minus sepatu (karena memang belum memiliki) kukayuh sepeda untuk menghampiri Karpul dan tentunya melewati juga rumah Suminto sepupu saya karena bapaknya yaitu Lek Bandi adalah adiknya Simbok tetapi lain bapak yang juga merupakan teman seperjuangan sejak Sekolah Dasar, ternyata mendaftar juga disekolah yang sama dengan saya. Hari pertama hanya pengarahan dan pembagian kelas, pada waktu itu SMA Harapan mendapatkan siswa tiga kelas, yaitu kelasa I1, I2 dan I3, saya ditempatkan dikelas I1. Menurut cerita, yang ditempatkan di kelas I1 adalah pilihan, tetapi kenyataanya tidak demikian karena ternyata Gunawan yang merupakan juara I di SMP Grabag ada di Kelas I2. Banyak juga teman-teman lain yang juga dari SMP Grabag yang sekolah di situ, kalau tidak salah ada lebih dari lima belas anak.

Pengarahan diberikan oleh Direktur SMA Harapan yaitu Bapak Agus Trihadi, BA, orangnya tinggi besar dan rambutnya botak dan kalau pagi beliau mengajar di SMA Negeri Purworejo (pada waktu itu di Purworejo SMA Negeri hanya satu), dalam pengarahnnya beliau mengatakan bahwa belajar di SMA sangat berbeda dengan di SMP. Yang saya ingat betul waktu itu kalau beliau lagi bicara tentang policy yang pasti aku tak tahu artinya apa tetapi karena sering diulang-ulang ya hafal juga.

Mulailah kujalani hidup sebagai pelajar SMA, walaupun miskin tetapi merasa gagah dan yakin, fasilitas pas-pasan tetapi penuh harapan dan angan-angan. Kalau tidak salah ingat sewaktu di kelas 1, murid-muridnya berasal dari beberapa SMP, yaitu SMP Grabag, SMP Sore Kutoarjo, SMP Kemiri, SMP Pituruh, SMP Butuh dan beberapa dari SMP 1 Kutoarjo, yang membedakan adalah kalau yang dari SMP Kota sudah pakai sepatu walaupun belum memakai celana panjang tetapi yang dari ndeso seperti saya masih nyeker alias tidak pakai sepatu apalagi celana panjang, yah karena memang belum punya, namun demikian tidak mengurangi semangat untuk belajar dan belajar.

Tidak ada kesulitan yang berarti bagi saya mengikuti pelajaran di SMA, mata pelajaran baru yang selama di SMP belum pernah saya dapatkan ternyata mengasyikkan, misalnya Kimia, Mekanika, Goneometri, Aljabar Analit serta Stereometri. Saya langsung jatuh cinta pada mata pelajaran Kimia, sehingga setiap ulangan nilainya tidak pernah kurang dari 8 bahkan untuk Goneometri (ilmu ukur sudut) juga tidak kalah menariknya sehingga waktu ulangan umum untuk kenaikan ke kelas 2 saya mendapat nilai sempurna 10. Ada juga mata pelajaran tambahan yang juga sangat menyenangkan yaitu pelajaran prakarya, Bahasa Jerman yang diajarkan oleh Bapak Martubi, BA, yang kemudian digantikan oleh Bapak Warsito, BA, asli Kaliwatubumi. Untuk Bahasa Jerman boleh dikata saya sangat menguasai dibanding teman-teman yang lain, kelak sampai dengan kelas 3 hanya Bambang Susetyolah (kini beliau menjadi Dosen di Universitas Bengkulu dan bergelar Doktor Bidang Linguistik) yang selalu bersaing dengan saya dalam nilai. Bahkan di ijazah SMA saya nilai untuk Bahasa Jerman 8, yang pasti tanpa reka yasa.

Kegiatan saya selain sekolah pada waktu itu adalah bantu-bantu orang tua, kerja apa saja termasuk buruh mencangkul di sawah orang, ndaut, matun, potong padi, mencari ikan, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang ada di desa sudah pernah saya jalani, namun demikian tak sekalipun kesempatan untuk belajar saya sia-siakan. Perasaan minder dan malu ada tetapi saya buang jauh-jauh karena memang demikianlah keadaannya. Sepeda bututku yang nilainya cuma Rp3.500,- saya rawat dengan sebaik-baiknya, body-nya saya semir dengan semir sepatu sehingga mengkilap dan kelihatan kempling, dan bersih. Setiap hari kukayuh 18 kilo meter pulang pergi selama tiga tahun, kalau dihitung mungkin sudah keliling dunia.



Kenaikan Kelas

Setelah belajar satu tahun kemudian dievaluasi melalui ulangan umum yang pelaksanaannya dicampur antara klas 1 dan 2, tibalah saatnya pengumuman kenaikan kelas, dan ternyata nilai saya untuk mata pelajaran Ilmu Pasti yang meliputi Fisika, Biologi, Kimia, Mekanika, Aljabar, Aljabar Analit, Goneometri dan Stereometri nilainya di atas 7 dan tentunya saya tanpa harus memilih, nilai saya memenuhi syarat untuk Jurusan Paspal atau kalau sekarang tentunya jurusan IPA. Bangga bercampur aduk menjadi satu, karena untuk jurusan Paspal identik dengan disiplin dan kompak serta pandai. Mata pelajaran Kimia, Aljabar Analit serta Bahasa Jerman tentunya disamping Bahasa Inggris masih tetap menarik. Apalagi Bahasa Inggris, gurunya cantik kaya bintang film Hongkong karena kebetulan keturunan Cina yaitu Ibu Lianawati putri Bapak Yahya Guru Kesenian, dengan logat bicara yang fasih karena memang alumni IKIP Sanata Dharma Jurusan Sastra Inggris dan juga ramah dan murah senyum sehingga enak untuk diikuti. Pada waktu itu belum ada murid sekolah yang berani kurang ajar sama gurunya, sehingga aman-aman sajalah beliau.

Awalnya lancar-lancar saja saya mengikuti pelajaran di kelas 2 Paspal, namun ternyata ada mata pelajaran Menggambar yang membutuhkan banyak biaya baik itu kertasnya maupun alatnya. Pelajaran Menggambar di Jurusan Paspal adalah menggambar arsir, perspektif dan proyeksi yang harus memakai alat yaitu trek pen. Pada waktu itu nama yang cukup terkenal adalah Bova yang harganya cukup mahal sehingga tidak semua siswa bisa memilikinya dan akhirnya hanya bisa pinjam ke teman dan pasti hasilnya tidaklah maksimal.

Itulah yang menyebabkan semangat belajar menurun, dan untuk catur wulan pertama untuk mata pelajaran Fisika, Mekanika dan Stereometri mendapat nilai merah yaitu 5 alhamdulillah untuk catur wulan yang berikutnya bisa saya perbaiki dan angka merahnya sudah tidak ada sampai kenaikan ke kelas III. Banyak kejadian-kejadian yang sulit untuk saya lupakan selama duduk di kelas II, pertama kepedulian saudara kembarku sangat tinggi kepada saya, dengan penghasilannya sebagai buruh kasar di Cocacola dia masih mampu menyisihkan sebagian upahnya dan mengirimkannya kepada saya sebanyak Rp 7.000,- (tujh ribu rupiah) dan dengan uang itu saya bisa membeli alat gambar (paser dan trek pen) yang harganya Rp4.000,- walaupun bukan merek terkenal tetapi cukuplah untuk mengerjakan pekerjaan menggambar, Rp1.500 saya belikan bahan celana famatex warna coklat muda dan sisanya sama Bapak. Yang lucu lagi adalah untuk mencairkan wesel ke Kantor Pos pun saya belum tahu caranya dan terpaksa berdua dengan Bapak. Kemudian ada cerita lain yang berkenaan tugas-tugas pekerjaan rumah. Waktu itu Pak Asmito sebagai guru Fisika dan Mekanika memberikan pekerjaan rumah Mekanika yaitu tentang Gerak Melingkar Beraturan dan sayalah yang ditunjuk untuk mengerjakan di papan tulis tetapi sebelumnya saya disuruh keluar karena baju tidak dimasukkan, setelah baju saya masukkan saya dipersilahkan untuk mengerjakannya (dulu tidak memasukkan baju adalah sesuatu yang tabu, tetapi kalau sekarang kelihatnnya aneh melihat anak SLA bajunya dimasukkan). Dengan optimis dan kepercyaan diri yang tinggi mulailah bla-bla-bla disertai gambar dan perhitungan-perhitungan seolah-olah betul padahal saya sendiri tidak yakin kalau itu betul, setelah selesai beliau langsung mengatakan yak tul dan diamini oleh semua teman-teman kecuali Gunawan yang berani mengoreksi bahwa pekerjaan saya salah mungkin hanya benar di gambarnya saja dan hitungannya salah. Tetapi bangga juga lho, soalnya gurunya sudah menyatakan yak tul, walaupun akhirnya saya akui juga bahwa saya salah dan Gunawanlah yang benar.

Ada juga kejadian lainnya yang menyebabkan saya dianggap anak pandai. Pada waktu itu Pak Erwanto guru Aljabar Analit memberikan PR beberapa soal, tetapi pada minggu berikutnya begitu masuk kelas beliau langsung bilang bahwa soal nomor satu dikerjakan dan dianggap sebagai ulangan, tanpa buang waktu langsung saya salin saja PR yang sudah saya kerjakan pada kertas ulangan (kertas ulangan jaman dulu cukup merobek beberapa lembar dari buku kemudian dikasih nama dan nomor urut absen, tidak menggunakan kertas khusus yang disediakan sekolah seperti saat ini) dan tidak membutuhkan waktu lebih dari 5 menit sudah selesai dan saya serahkan kepada Pak Erwanto dan langsung diberi nilai 10. Soal yang saya kerjakan sebenarnya tidak terlalu sulit hanya perlu pemahaman yaitu tentang persamaan garis yang mempunyai titik singgung dan tegak lurus pada sebuah lingkaran, dari kejadian itu akhirnya saya dianggap murid yang pandai, sehingga setiap ada pertanyaan dari beliaua setelah satu kelas tidak ada yang tahu pasti pertanyaan itu sebelum ke Gunawan pasti ke saya lebih dulu.

Wali Kelas klas II Paspal waktu itu adalah Pak Asmito, BA, beliau mempunyai keinginan bahwa pada saat kelas III nanti akan mengadakan kunjungan Darmawisata ke Lab. Fisika di UGM (beliau alumni UGM) oleh karena itu kita diwajibkan menabung setiap bulan Rp25,- (dua puluh lima rupiah) sebenarnya tidak berat tetapi sulit juga untuk mendapatkannya, upah kerja disawah pada waktu itu Rp 50,- setengah hari namun pekerjaan itu tidak setiap saat ada, tetapi Alhamdulillah saya tidak pernah melalaikan kewajiban itu, ada saja rezeki yang tak disangka-sangka dan akhirnya saya jug adapt ikut serta. Selama kelas II untuk menghemat sepatu agar tidak termakan pedal sepeda Bapak membelikan sepatu bekas di tukang loak di pasar Kutoarjo. Sepatu bot bekas polisi yang tingginya sebatas mata kaki dengan bahan sebagian kulit sebagian kain terpal dengan asesorisnya paku bulat yang terpasang di bawah masing-masing 3 dibagian depan dan 3 di bagian belakang. Yang pasti kalau buat menginjak kaki orang pasti akan kesakitan dan ternyata sampai kenaikan ke kelas III sepatu itu masih bisa dipakai, ya memang karena tidak ada gantinya. Karena sering kehujanan warna hitamnya lama-lama pudar, untuk mengatasi hal tersebut setelah sepatu habis dijemur, bagian kainnnya saya olesi dengan tinta bak (tinta gambar warna hitam) kemudian bagian kulitnya diolesi dengan bunga sepatu (Hibiscus schizopetalus) eh ternyata bisa kempling juga dan tidak kelihatan leceknya, yah itulah sepatu yang menyelimuti kakiku selama satu tahun.


Satu Bulan Mengurus Simbah

Tahun 1973 bulan Juni saat saya duduk di kelas II, Bapak dan Simbok serta adik saya yang terkecil ke Jakarta. Karena kakak saya sedang membangun rumah dan tentunya membawa tukang dari desa yang tak lain adalah adik-adiknya simbok yakni Lek Kemin dan Lek Senot, dengan pertimbangan karena beliau-beliau biasa menjadi tukang.

Karena itulah saya sendirian di rumah dan mempunyai tugas tambahan untuk mengurus mbah Kaji yang memang sudah sedikit pikun dan pendengarannya sudah sangat terganggu, sendirian juga di rumah yang lain, karena mbah Kecik ikut di rumah Lek Mariyah di desa Jetak (Sumberjo), jadi praktis sayalah yang mengurusnya mulai dari mencuci sarung dan pakaiannya sampai menyiapkan makanan siang dan sorenya khususnya kalau hari libur. Tetapi kalau hari-hari biasa, biasanya makan sorenya minta tolong Lek Minten untuk menyiapkannya.

Karena terbatsanya anggaran yang tersedia, dan memang Bapak tidak banyak meninggalkan uang hanya ala kadarnya, yang pasti saya sangat berhemat untuk pengeluarannya. Saya ingat betul bahwa selama lebih dari satu bulan menu makanan yang dapat saya sajikan buat mbah Kaji boleh dikata tidak pernah berubah, yaitu nasi, sambal daun tales dan sayur bening batang tales. Setiap menanak nasi di atasnya saya kukus cabe dan kelapa parut dibungkus daun tales, batangnya saya sayur bening dengan bumbu yang sangat sederhana, yaitu dengan menambah sedikt garam dan gula merah. Itulah menu sehari-hari, walaupun sesekali pernah juga ganti kalau kebetulan saya sambatan di sawah sehingga yang mengirimi nasi Lek Minten, itulah sedikit kebanggaan bagi saya ternyata saya adalah satu-satunya cucu mbah Kaji Dulmungin yang pernah mengurusnya, karena walaupun cucunya banyak tetapi kesempatan untuk itu barang kali tidak mereka miliki, mudah-mudahan apa yang saya lakukan dapat menjadikan tambahan ibadah saya.



Kelas III SMA

Jumlah siswa yang dinyatakan naik ke kelas III sebanyak 33 orang dan yang dinyatakan tidak naik hanya 1 orang. Saya lupa namanya yang saya ingat bahwa yang tidak naik ke kalas III adalah perempuan dan memang kurang pandai dan kelihatnnya telmi. Dari 33 orang tersebut perempuannya ada 3 orang yaitu Mintarti, Sri Sugati dan satu lagi Daryati. Namun hanya satu yang sampai lulus dan mendapat Ijazah yaitu Sri Sugati, sedangkan Mintarti (berteman dengan saya sejak SMP) dan Daryanti keburu ada yang melamar dan akhirnya menikah sebelum lulus SMA. Saya tidak tahu lagi mereka ini dimana sekarang. Ada kejadian yang juga saya tidak mungkin saya lupakan yaitu pada waktu Mintarti menikah, dari seluruh siswa kelas III yang tidak diundang hanya saya, pertimbangannya muadah-mudahan saya tidak salah sangka karena diundangpun pasti tidak datang, lah mau nyumbang pake apa, untuk membayar uang sekolah yang hanya Rp300,- pun tersendat walaupun tidak nunggak juga. Kalau jaman sekerang mungkin banyak pilihan, tidak bisa nyumbang dengan uang paling tidak bisa nyumbang lagu diiringi Organ Tunggal, beres to. Tetapi waktu itu Organ Tunggal belum dikenal, biasanya orang hajatan ya kalau yang berduit akan nanggap wayang ataupun Orkes Melayu sedangkan yang biasa-biasa saja hanya cukup nanggap Tape Recorder sebagai hiburan,

Ibu guru Bahasa Inggris yang cantik, Ibu Lianawati hanya sempat mengajar beberapa bulan dan tanpa memberitahu alasannya tahu-tahu sudah digantikan oleh orang lain. Pak siapa ya saya lupa namanya. Waktu itu konon katanya Ibu Lin menikah dengan seorang dokter dan mengikuti suaminya ke Jakarta. Walikelas kalas III Paspal, Pak Anton Suharjito, BA, merupakan walikelas abadi karena selalu menjadi Walikelasa III Paspal, beliau mengajar Ilmu Kimia karena memang sesuai dengan bidang yang beliau miliki. Beliau alumni IKIP Yogyakarta orangnya tegas dan pandai serta tepat waktu. Pada waktu itu beliau juga masih muda enerjik dan berwibawa.

Tahun 1974 bulan Januari terjadi Malari di Jakarta, gerakan mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman Siregar, itupun hanya kata koran bekas yang sudah kubuat sampul buku, saya lupa dapat korannya dari mana, tetapi yang menarik masih saja banyak teman-teman yang kepengin membacabya salah satunya adalah Mudakir sahabat saya dari Pituruh yang mirip Londo (Belanda) karena kulitnya putih dan rambutynya pirang. Itulah kenyataan yang ada pada waktu itu semangat membaca tinggi tetapi kemampuan untuk membeli bahan bacaan sangat rendah, sehingga apapun wujudnya tetap dibaca, yang tentunya sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang dimana murid-murid sekolah lanjutan, khususnya tingkat atas (SLTA) kurang dalam hal minat bacanya, sehingga banyak bahan ajar yang hanya diambil intisarinya saja yang menyebabkan pemahaman yang lebih mendalam menjadi berkurang.

Ada juga sebuah kenangan ketika saya sedang membantu buruh memetik padi (derep) yang tempatnya cukup jauh karena sampai ke kecamatan lain. Waktu itu saya bertemu dengan teman SMP yang kebetulan tinggal di wilayah itu, namanya Mahmudi. Dia melanjutkan ke SMEA Negeri Kutoarjo, tanpa ada perasaan malu atau bagaiamana tetap saja pekerjaan itu saya lakukan demi membantu simbok. Dalam hal pergaulan dengan teman yah biasa saja namun kalau dengan teman-teman yang perempuan ada sedikit minder dan cenderung menutup diri, tetapi ada sedikit kebanggaan juga apabila ada pekerjaan rumah, ada saja yang kepingin nyontek dan saya tidak pernah pelit kareana mempunyai prinsip semakin sering diconteki akan semakin memacu untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh bapak guru, dan saya juga banyak salahnya khususnya kepada sepupu saya Suminto, karena tidak pernah saya kasih tahu cara atau jalannya tetapi langsung saya conteki yang sudah selesai untuk itu maaf saudaraku.




Nanggap wayang : Tontonan hiburan dengan pergelaran wayang kulit sehari-semalam dengan jeda waktu.
Ndaut                  : Mencabut bibit padi dari tempat persemaian. 
Matun                  : Menyiangi tanaman padi.