Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

29.7.12

G U D H E G

Made in Jakarta


 Gambar diatas diambil dari sebuah penginapan balkon lantai atas di Yogyakarta tahun 2006, beberapa bulan setelah terjadi gempa. Sangat jelas di situ terlihat suasana Yogya sehari-hari pada waktu itu. Nah, gambaran seperti itulah Gudheg Jogja yang sangat aku rindukan. Ternyata kerinduan itu tinggalah sebuah kerinduan yang tak akan habis dinantikan dan tak akan pernah kunjung tiba lagi. Pasalnya gudheg sudah bukan lagi menjadi icon kota Yogyakarta, dan sekarang gudheg tumbuh subur di ibukota NKRI tercinta, Jakarta.

Sebelum saya membahas lebih banyak gudheg made in Jakarta ini, terlebih dahulu saya akan flash back ke Gudheg Jogja dahulu. Gambar diatas tersebut adalah mengiringi perjalananku dengan seorang teman yang bernama Leonardus Seran Berek. Dia adalah teman kerjaku, namun sekarang sudah tidak bekerja lagi bersama saya dan kembali ke kampung halamannya, seperti namanya pasti bukan orang Jawa. Dia orang Timor, yang dulunya bernama Timor Timur tetapi tinggal di perbatasan, sehingga ketika merdeka keluarganya memilih untuk meninggalkan Timor Leste dan memilih untuk tinggal di Atambua, jadi masih masuk NKRI yang berada di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika itu ia berada di Jakarta karena sebuah program dari pemerintah waktu itu, yang menginginkan agar para pemudanya untuk menyebar ke seluruh wilayah NKRI sehingga diharapkan tidak akan membuat masalah, paling tidak akan mengurangi masalah politik waktu itu.

Ketika bertemu saya ia selalu bercerita atas kebanggan dengan negrinya ini. Dia sudah menyaksikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dia sudah bisa menikmati Tugu Monas, dia sudah menikmati Taman Impian Jaya Ancol, yang waktu sebelumnya dia hanya bisa melihatnya lewat layar kaca. Namun ada beberapa hal yang mengganjal, dia belum melihat sebuah dari ke-7 keajaiban dunia yang tentunya ada di Jawa ini, Borobudur. Apa salahnya aku membawanya ke tempat itu, yang menjadikan masalah adalah waktu. Dan sebenarnya dia ingin sekali ikut pulang ketika lebaran tahun 2006, namun karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sehingga tidak jadi. Akhirnya waktu tersebut didapatkan dengan memanfatkan libur akhir pekan Sabtu dan Minggu. Berangkat dari Jatinegara menumpang kereta Ekonomi, samapai di Purworejo (st. Kutoarjo) masih jam 6:10. Perjalanan dilanjutkan ke terminal bus Purworejo dan menumpang bus jurusan Magelang turun di Salaman. Dari Salaman ke Borobudur dengan bus dari Magelang. Sampailah di Borobudur.

Sebelum menuju puncak Borobudur saya sempat berputar-putar di terminal Borobudur, ternyata makanan khas Jogja itu sudah terlihat mewarnai terminal itu. Sampai di puncak Borobudur masih jam 8:45, masih cukup pagi dan tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga semuanya dapat dilakukan dengan mudah. Acara berkunjung ke Borobudur disudahi pukul 9:30. Perjalanan selanjutnya adalah menuju Candi Prambanan.

Singkat cerita sehabis perjalanan ke Candi Prambanan yang ada hanyalah kecapekan, maka hal yang paling penting dilakukan adalah mencari tempat untuk istirahat yang layak. Didapatkan dekat dengan Malioboro, itu sangat menguntungkan, dan acara melepas lelahpun tidak perlu diperlama lagi. Sudah pukul setengah empat sore. Malam harinya dipergunakan untuk menikmati Malioboro dan sampai ke alun-alun Utara. Bagi saya itu adalah sebuah perjalanan yang biasa, tetapi bagi dirinya itu sangat luar biasa. Di alun-alun itu dia sempat menghabiskan dua mangkok wedang rondhe, dan ketika dia menanyakan dimanakah Keraton Yogyakarta, maka saya suruh dia untuk memandang ke belakang berbalik arah. "Oo itu to yang namanya Keraton!"

Sesampainya di penginapan kembali, karena saya ingin menikmati gudheg maka saya suruh dia untuk mencarikan, karena saya sudah tak sanggup berjalan (ada masalah di kakiku). Dengan uang secukupnya yang aku berikan ternyata hanya dapat satu porsi, itupun . . . . . . .    Aku tahu ia mendapatkannya di lesehan Malioboro. Tetapi ketika pagi hari menjelang ia aku suruh untuk mencarikan sarapan, saya tunggu kok lama. Sekembalinya dia menenteng bungkusan sambil ketawa: "Ini to yang namanya gudheg Jogja!" Ternyata dia sudah menghabiskan satu porsi besar, karena harganya yang miring. Dan ia mendapatkannya tepat di depan penginapan seperti foto diatas.

Aku kembali rindu akan gudheg Jogja dan wedang rondhe itu, maka aku sering melakukan perjalanan ke Yogyakarta meski tanpa seorang teman. Entah perjalanan yang ke-berapa sudah aku lakukan, singkat cerita aku terdampar lagi di kota Yogyakarta. Namun kali ini agak membuat hati terkoyak, pasalnya semua tempat yang dekat dengan Malioboro sudah penuh, dan aku dapatkan tempat yang cukup jauh, yaitu di Jl. Parang Tritis, sebelah Selatan Plengkung Gading. Dari pada tidak dapat istirahat dengan terpaksa aku ambil juga. Saya lupa tepatnya kejadian ini kapan karena tidak ada dokumentasi sama sekali, yang saya ingat adalah setelah terjadi Gunung Merapi meletus dan meyemburkan abu yang sangat banyak hingga kemana-mana. Tetapi saya datang ke Yogyakarta kondisi sudah aman terkendali dan terbukti para turis sudah sangat banyak dan memenuhi semua tempat penginapan di kota Yogyakarta.

Setelah acara melepas penat selesai, aku mencoba untuk mencari makanan yang menjadi icon kota Yogyakarta tersebut, paling tidak mendapatkan wedang rondhe atau yang mirip adalah wedang jahe ala angkringan. Sudah sekian jam aku melangkah, sudah beratus-ratus meter aku lalui jalanan sepi, apapun yang aku inginkan tidak kunjung ketemu. Aku menyerah, dan memilih pulang ke penginapan dengan hasil segelas teh manis ala angkringan. Dan aku rasa semua angkringan di Yogyakarta juga sudah berubah wujudnya, menjadi sekedar tempat untuk nongkrong menghabiskan malam atau sekedar mengisi perut yang keroncongan. Sangat berbeda dengan angkringan yang dulu aku kenal, dengan menyajikan semua menu dengan lengkap.

Ketika pagi hari menjelang, sebelum aku kehabisan waktu ataupun mangsa buruanku maka aku kembali melangkahkan kaki menyusuri jalan sepi, dari satu gang ke lain gang dan berharap akan menemukan gudheg di sebuah sudut jalan. Juga tanpa hasil. Akhirnya aku ketemu seorang penjual kue dengan roda dua, saya tanyakan dimana bisa kutemukan gudheg di pagi seperti ini. Jawabnya singkat, di Jogja sudah tidak ada orang jual gudheg semenjak gunung Merapi meletus. Jawaban itu sangat mengusik lubuk hatiku yang paling dalam, terus kalau orang Jogja sudah tidak mau jualan gudheg, sudah tidak mampu membuat gudheg, sudah tidak mau jualan wedang rondhe, jualan angkringan asal-asalan, lalu apakah masih perlu disebut sebagai Yogyakarta?

Pertama kali aku merasakan gudheg made in Jakarta sudah lama sekali, sepuluh s/d limabelas tahun yang lalu, tepatnya di Pondok Indah. Mungkin tempatnya sekarang sudah berubah menjadi bangunan yang lain. Rasanya cukup meyakinkan bahwa itu gudheg beneran, bukan asal nangka muda matang dan berwarna merah. Tetapi waktu itu saya rasa masih cukup mahal, tetapi karena saya hanya dibayari teman saya, nggak ada komplin dan tidak perlu untuk mengulang kembali. Kemudian beberapa kali ketemu di tempat lain meskipun rasanya belum seperti gudheg asli Jogja.

Setahun terakhir ini orang berjualan gudheg di Jakarta mulai menjamur. Mungkin saya tidak terkejut bila tidak ada embel-embelnya di belakang. Adalah Gudeg Tugu, pasti akan mengingatkanku ketika aku dulu selalu menyantap gudheg malam-malam di depan toko buku Gunung Agung (sekarang menjadi dialer motor) persis di salah satu sudut bangunan tugu yang ada ditengah persimpangan jalan itu. Ketika aku membelinya maka aku dengarkan bahasa Jawa halus yang digunakan, cuma aku tidak menjawab dan pura-pura tidak tahu tentang itu. Dia paham dan kemudian menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun aku orang Jawa asli tetapi potonganku sama sekali tidak memperlihatkan ke arah itu, baik bahasa maupun raut muka wajahku adalah lebih mirip orang Batak. Mungkin aku dikira orang baru penggemar gudheg.

Ternyata cerita tentang gudheg made in Jakarta hanya sampai disini saja, samapi ketemu dengan cerita-cerita yang lain. Salam!










11.7.12

Mempelajari

Naluri Binatang



















Sudah sejak lama saya menginginkan untuk memposting tentang ini, namun baru kesampaian sekarang ini, tak apalah! Seperti gambar di atas, tentu saja binatang yang aku maksud adalah kucing.

Saya mulai cerita ini ketika kucing itu datang pertama-kali ke rumahku adalah sekitar setahun yang lalu. Banyak memang kucing yang datang pergi ke rumahku tetapi tidak mempunyai kebiasaan/kelakuan seperti kucing tersebut. Pada awal kedatangan kucing tersebut sangat liar, karena sama sekali tidak berkomunikasi dengan saya. Dia datang untuk menempati dan langsung tidur (kapanpun dia datang) di suatu tempat yang sulit dijangkau. Kadang-kadang malam hari tetapi juga tidak jarang siang hari. Saya memang tidak mengusir kucing itu dan membiarkan kucing itu untuk menempati tempat yang dia pilih sendiri.

Setelah agak lama dia tinggal dan keluar masuk ke tempat itu (kurang lebih seminggu), dia memberanikan diri untuk mendekatiku (tanpa bersuara) terutama ketika saya sedang makan, saya tahu dia sedang mengharapkan sisa makanan dariku yang biasanya tulang ikan atau ayam, dan juga daging. Kalau memang ada sisa makanan dari ketiga jenis itu saya memang suka memberikannya dengan menaruh di suatu tempat yang agak jauh, dan saya tidak mencoba untuk memberikan nasi yang dicampurkan atau yang lainnya, biarkan tetap sebagai fitrahnya bahwa kucing adalah pemakan daging karena mempunyai gigi taring yang cukup untuk itu.

Beberapa kali aku memberikan sisa makanan membuat kucing itu agak jinak kepada saya, mulailah mengeluarkan suara ketika saya sedang makan. Dan memang kadang-kadang saya makan tanpa menggunakan ketiga jenis makanan di atas (daging, ikan atau ayam), jadi tidak ada sisa makanan yang bisa saya berikan kepadanya. Namanya kucing ya tidak bisa menuntut apa-apa.

Suatu ketika setelah kucing itu benar-benar mulai akrab dengan saya, karena saya mulai mengajak bercanda dengan menyentuh beberapa bagian tubuhnya, maka suaranya makin mulai nyata meskipun kadang-kadang menunjukkan kemarahannya. Cuma yang saya heran kalau dia marah tidak menggunakan cakarnya untuk menyerang tetapi menggunkan mulutnya dengan keinginan untuk menggigit. Ketika itu pula (melalui mimpi) aku diberi petunjuk bahwa binatang itu hanya kucing tetangga yang sedang main.

Keakraban dengan binatang itu makin bertambah ketika dia tidak lagi menempati tempatnya semula untuk istirahat atau tidur. Dia lebih suka untuk tidur dekat saya, ataupun kalau saya mengusirnya ia hanya cukup untuk tidur dekat kaki saya. Dan menjadi lebih sering untuk selalu tidur disana. Bahkan ketika dia merasa cukup kenyang, karena kadang-kadang saya memang menjaga agar ketika makan menggunkan lauk seperti ketiga jenis di atas tadi dengan maksud gar ada sisa makanan yang bisa saya berikan. Saya juga berpikir, saya manusia bisa makan apa saja, tetapi kucing hanya akan makan daging, ikan atau ayam, jadi lebih baik saya makan yang lainnya, sedangkan daging, ikan atau ayam saya berikan untuk kucing itu.

Karena saya sendirian, jadi lebih sering saya tidak membawa makanan ke rumah, artinya kucing itupun lebih sering untuk tidak makan alias kelaparan. Meskipun ketika benar-benar dia merasa kenyang dengan tanda dia tidak menghabiskan makanan yang aku berikan, maka saya melihatnya bahwa dia benar-benar merasa nyaman dan aman. Tanda itu juga terlihat ketika sedang tidur, bila kucing itu kenyang dan merasa aman maka tidurnya akan miring dan menjulurkan ke-empat kakinya, sedangkan kalau dia tidak kenyang atau tidak merasa aman maka akan tidur dengan bertumpu pada ke-empat kakinya (nderum).

Sebelumnya saya tidak mengetahui jenis kelamin dari kucing itu, karena tubuhnya yang tetap kecil, tidak besar dan gemuk seperti pada umumnya kucing-kucing liar yang ada di jalanan. Sampai pada suatu waktu aku dikejutkan dengan kehadiran anak-anak kucing kecil yang ada di kebun belakang rumahku. Hamilpun aku tidak tahu, kok tiba-tiba mempunyai anak. Yang menjadi sangat heran dimanakah kucing itu beranak? Karena anak kucing yang baru dilahirkan belum bisa mengeong apalagi berjalan, sedangkan anak-anak kucing itu (hanya sepasang) sudah pandai berlompat-lompatan. Memang pada waktu itu aku sempat merasakan kok kucing itu jarang kelihatan, bukan berarti tidak kelihatan sama-sekali. Apakah karena aku menjadi jarang untuk pulang dengan membawa nasi bungkus yang ada lauknya ikan?

Saya memang cukup senang dengan kehadiran anak-anak kucing itu, tetapi lama-lama menjadi cukup terganggu dengan kehadiran anak-anak kucing itu, pasalnya anak-anak kucing itu tidak sekedar bermain-main lompat-lompatan di lantai. Tetapi sampai menyusup-nyusup ke peralatan elektronika saya yang memang semuanya dalam kondisi terbuka dan banyak ruangan-ruangan menyempil yang bisa dimasuki anak kucing. Kalau terjadi sesuatu sehingga short itu akan sangat merugikan saya. Sehingga sayapun mulai mengusir apabila anak-anak kucing itu merambah samapai ke tempat itu, tetapi dasar anak kucing, sedangkan yang anak manusiapun belum tentu bisa dengan pelarangan yang seperti itu.

Memang benar ketika induknya datang dia tidak akan main-main ke tempat itu. Pada suatu waktu ketika induknya sedang pergi, dan saya sudah kehabisan akal untuk menghalau anak kucing itu, maka saya upayakan agar kucing itu tetap berada di kebun dan tidak masuk ke dalam rumah (malam hari). Tetapi ternyata saya menjadi tidak betah karena suasana menjadi panas. (Sehari-hari saya selalu membuka pintu belakang, dan hanya menutupnya sedikit ketika tidur, jadi tetap ada aliran udara dari luar.) Hal inipun aku tetap mengakali dengan membuat penghalang agar anak kucing itu tudak bisa masuk, tetapi aliran udara tetap ada. Artinya anak kucing itu tetap melihat bahwa pintu masih terbuka dan ingin berusaha masuk, dengan mengeong dan melompat-lompat ke arah penghalang itu. Selamat sampai pagi.

Tragedi itu terjadi ketika pagi hari menjelang siang (kurang lebih jam 5:30). Induk kucing datang, dan induk kucing itu tahu kalau anak-anaknya telah membuat masalah, maka dia harus memindahkan anak-anaknya ke tempat lain. Kucing akan memindahkan anak-anaknya secara paksa dengan menggendong (menggigit bagian tengkuk anak kucing), tetapi jalan satu-satunya harus melompat tembok setinggi 2 meter. Dalam kondisi sendirian tanpa menggendong anaknya kucing itu telah terbiasa, tetapi ketika harus menggendong anaknya yang sudah besar (lihat gambar di atas), maka selalu gagal. Hal itupun sudah dicoba berulang-kali. Akhirnya aku memberikan jalan dengan cara membukakan pintu depan rumah. (Hari masih gelap jadi, saya belum membuka pintu maupun jendela, dan sayapun harus pergi kerja sehingga jendela tidak saya buka.) Akhirnya kucing itu dengan anak-anaknya pergi melenggang melewati pintu depan rumah.

Hari-hari berikutnya kucing dewasa tetap datang untuk minta makan (kalau ada) dan tanpa membawa anak-anaknya. Dan kucing dewasa itupun tetap dengan kebiasaan ketika belum mempunyai anak. Yang saya hampir tidak percaya adalah ketika melihat bahwa kucing itu menangkap tikus yang cukup besar (segede anaknya) di depan mata saya, karena saya selama ini beranggapan bahwa kucing di Jakarta ini tidak akan pernah menangkap tikus. Untuk apa susah-susah menangkap tikus, makanan melimpah dimana-mana.

Malam hari kemarin (sekitar pukul 0:00 WIB), kucing itu kembali datang dengan membawa anak-anaknya tetap melalui tembok belakang, dengan meninggalkan anak kucing itu di atas tembok dan diharuskan melompat turun sendiri. Akhirnya mereka semua masuk ke dalam rumah. Dalam 24 jam terakhir ini banyak terjadi perubahan-perubahan. Ternyata anak-anak kucing itu tidak seliar ketika pertama kali berkunjung ke rumah waktu itu. Dan ternyata kadang-kadang induk kucing itu juga marah terhadap anak-anaknya apabila anak-anaknya melakukan kesalahan, dan induk kucing itu juga marah ketika anaknya aku ganggu di depannya.

Sekarang ini, ketika aku sedang menuliskan cerita ini, kucing dan anak-anaknya itu telah pergi tanpa aku ketahui (mungkin aku ketiduran). Tetapi terlebih dahulu anak kucing itu (bukan kucing dewasa) telah meninggalkan kotorannya diatas tempat dimana biasanya aku tidur. Mungkin kucing itu tahu, kalau mereka tidak segera pergi maka anak kucing itu akan aku rebus.