Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

17.11.13

Grass Jelly Drink

Janggelan

Membahas makanan yang satu ini di musim hujan kok rasanya kurang cocok, tetapi apa daya karena memang terlambat terbit. Saya mendapatkan makanan seperti gambar di samping ini adalah ketika musim sedang panas-panasnya, ketika itu seorang teman mengambil dari etalase toko makanan yang seperti ini dan langsung menyorongkan ke hadapanku untuk aku santap, katanya: "Pasti kau suka!" Saya ragu, tak urung ku tengguk juga. Selintas kemudian aku teringat masa-masa yang lampau ketika sehari-harinya merasakan makanan tersebut, janggelan.

Dulu ketika aku kecil, makanan ini aku dapatkan di warung sederhana dekat rumah dibungkus dengan daun pisang dan harganya Rp5,-. Setelah aku merasakan makanan itu aku menjadi ketagihan, dan hampir setiap hari aku membelinya, karena memang rasanya yang segar dan tidak terlalu manis. Kata manis ini menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa harus manis? Pertanyaan ini rupanya tidak akan dibahas sekarang, mungkin lain waktu. 

Di Indonesia makanan ini dikenal sebagai cincau (id), janggelan (jv), sedangkan camcau (jv) adalah merupakan species yang berbeda. Ternyata di dunia ini khususnya Asia ada banyak species yang bisa diambil sarinya dengan air kemudian dipadatkan (memadat). Di negri asalnya, China, species yang digunakan adalah Mesona chinensis, sedangkan di Vietnam juga menggunakan Tiliacora triandra disamping Mesona chinensis tadi. Di Indonesia ada tiga species dan semua berbeda dengan species diatas, yaitu: Mesona palustris (cincau hitam = janggelan), Melastoma polyanthum (cincau perdu) dan Cyclea barbata (cincau hijau).

Sebenarnya saya tertarik untuk membuat cerita tentang cincau ini karena hal di atas. Ternyata tumbuhan yang sudah sejak lama dipakai sebagai minuman (memang mungkin minuman kampung) belum banyak dikenal orang, terbukti sangat sulit untuk mendapatkan keterangan tentang hal itu, terutama tentang klasifikasi tumbuhan itu sendiri.

Ini adalah cerita lain tentang cincau atau semacamnya. Ketika kecil saya sering bermain dengan daun-daunan yang mungkin juga bisa menjadi minuman yaitu kaca piring (Gardenia jasminoides). Sama seperti cincau maka daun dari tumbuhan ini juga akan mengeluarkan cairan yang dapat mengental, tetapi memang tidak pernah untuk dimakan, jelas rasanya dan mungkin malah beracun (tidak bisa dimakan). Ketika beranjak besar maka saya sendiri sering meramu sendiri cincau hijau untuk dimakan, daunnya dibiakkan dengan cara merambatkan pada seutas tali ijuk yang dibentangkan dan ditambatkan pada pohon kelapa. Cincau hijau rasanya memanag tidak seenak cincau hitam karena agak langu(jv) sedikit. Untuk menghilangkan rasa itu biasanya ibu saya menambahkan air jeruk nipis. Sebagai pemanis (lagi-lagi manis) digunakan gula merah yang dicairkan, dan sedikit santan. Mungkin gambar berikut ini pendekatannya.