Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

17.4.09

Pararaton

Pengantar!
Sebelum lebih jauh dengan kisah ini, berikut ada sedikit mengenai Kitab Pararaton ini. Naskah ini saya dapatkan dari situs Ki-demang Sokowaten dalam bahasa Melayu (Malaysia) sehingga sangat tidak enak untuk dibaca. Disini saya mencoba mengubah dalam Bahasa Indonesia yang benar. Saya rasa naskah asli ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam Bahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, dan untuk itu agar lebih memahami isi dari cerita ini maka silahkan baca dan bandingkan dengan karya Pramoedya Ananta Tour yang berjudul Arok & Dedes. Lanjutan dari kisah ini tetap akan saya selesaikan meski masih dalam waktu yang lama. Sebeleum ada kata TAMAT, berarti cerita ini belum selesai.






KITAB PARA RATU
(Hikayat Ken Arok)

Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam, semoga tak ada halangan, sujudku sembahku kehariba’annya.

Kisah Ken Arok:
Beginilah asal mulanya Ken Arok dijadikan manusia. Terkisahlah seorang anak janda di Jiput yang bertingkah laku sangat tidak baik, dan suka bertindak asusila. Hal ini menjadikan gerah buat Sang Hyang Guru yang berada di Kahyangan. Kemudian ia merantau, pergilah dari Jiput menuju ke daerah Bulalak.

Orang yang berkuasa di Bulalak adalah Mpu Tapawangkeng. Beliau sedang membuat pintu gerbang asramanya. Beliau dimintai tumbal seekor kambing merah jantan oleh roh pintu. Kata Tapawangkèng: "Mana mungkin aku bias berhasil. Pusing kepalaku. Akhirnya ini hanya akan menyebabkan diriku terjatuh kedalam dosa. Seandainya sampai terjadi aku membunuh manusia, tetap tak akan ada yang mampu mendapatkan tumbal seekor kambing merah." Namun demikian orang yang suka berbuat asusila tadi mengatakan bahwa ia sanggup mejadi korban pengganti buat roh pintu itu untuk Mpu Tapawangkeng. Ia benar-benar bersedia dijadikan korban tetapi dengan suatu syarat, yaitu agar ia dapat memperoleh jalan menuju ke surga dewa Wisnu, dan nantinya akan menjelma lagi dalam kelahiran yang mulia sebagai manusia ke alam dunia fana lagi. Demikianlah permintaannya.

Maka ketika Mpu Tapawangkeng telah merestuinya, maka agar dapat menjelma lagi sebagai manusia harus ditentukan jalan kematiannya, dan ia akan menikmati tujuh alam gaib. Dengan demikian sesudah mati maka ia akan dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Kemudian ia akan terbang ke surga Wisnu apabila tidak pelanggaran dalam perjanjian itu. Kemudian ia dijadikan korban, dan ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma sedang mencari-cari siapa yang akan dijadikan teman pasangannya.

Setelah itu, maka terkisah sepasang mempelai baru, yang sedang memadu-kasih. Yang laki-laki bernama Gajahpara, dan yang perempuan bernama Ken Endok. Mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah untuk mengirim bekal suaminya, si Gajahpara. Nama sawah tempat mereka bertnam adalah Ayuga. Sedangkan desa tempat kediaman Ken Endok bernama Pangkur. Maka dikisahkan bahwa Dewa Brahma turun kesana dan bertemu dengan Ken Endok. Pertemuan mereka terjadi di sebuah ladang yang bernama Lalaten. Dalam perjumpaan itu Dewa Brahma bersabda: "Janganlah kamu bertemu dengan suamimu lagi, kalau kamu memaksa bertemu dengannya maka ia akan mati. Begitu pula nanti anakku akan tercampur dengan benihnya, nama anakku adalah Ken Arok, dan dialah yang kelak akan memerintah dan menurunkan ratu di tanah Jawa ini".

Dewa Brahma lalu menghilang. Kemudian Ken Endok pergi ke sawah untuk menemui suaminya Gajahpara. Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara, hendaknyalah memaklumiku. Saya baru saja ditemui oleh Sang Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng. Beliau berpesan kepadaku: "Jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu". Kemudian Gajahpara pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan diajak untuk bersetubuh lagi. Tetapi Ken Endok segan terhadap Gajahpara.

"Wahai kakak Gajahpara, putuskanlah perkawinan kita ini, saya takut pada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengijinkan aku untuk berkumpul dengan kakak lagi." Kata Gadjahpara: "Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat? Saya tidak keberatan, kalau saya harus bercerai dengan kamu, tetapi harta benda bawaanmu kembali kepadamu lagi, adik, dan harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi". Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di sebelah utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di sebelah selatan. Belum genap sepekan kemudian Gajahpara meninggal. Kata orang yang memperbincangkannya: "Luar biasa panas anak didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua itu terjadi, orang itu sudah meninggal dunia".

Akhirnya sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, yang kemudian dibuang di kuburan anak- anak oleh Ken Endok. Kemudian ada seorang pencuri yang bernama Lembong. Dia tersesat di kuburan anak-anak itu, kemudian dilihatnyalah benda yang menyala-nyala, maka didatangilah oleh Lembong karena mendengar anak yang menangis. Setelah didekati ternyata yang menyala itu adalah anak yang menangis tadi. Kemudian diambil, diemban dan dibawa pulang, diakui sebagai anak oleh Lembong.

Ken Endok mendengar khabar dari teman Lembong, bahwa Lembong memungut seorang anak, dengan menyebut-nyebut anak yang didapatkan di kuburan anak-anak, yang tampak menyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, ternyata benar anak itu adalah anaknya sendiri. Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak. Jika kakak ingin tahu riwayatnya adalah seperti ini. Dewa Brahma yang bertemu dengan saya, mengisyaratkan jangan sampai tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan anak itu beribu dua dan berayah satu, kurang lebih seperti itulah."

Lembong beserta keluarganya semakin menyayangi dan menyenangi anal itu. Lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, kemudian dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Sampai mencapai usia remaja, Ken Arok tetap bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, yang habis dibuat taruhan oleh Ken Arok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak. Ia menggembalakan sepasang kerbau, tetapi kerbau yang digembalakan itu hilang. Oleh yang dipertuan di Lebak, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu. Maka Ken Arok kemudian dimarahi oleh kedua orang tuanya, : "Dengarkanlah nak, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak".

Tetapi Ken Arok tidak menghiraukannya. Kemudian Ken Arok pergi, dan kedua orang tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Ken Arok pergi mencari perlindungan di Kapundungan. Tetapi orang yang ditumpangi dan dimintai tempat berlindung tidak menaruh belas kasihan. Kemudian ada seorang penjudi permainan Saji yang berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan. Karena kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di Karuman, ia ditagih dan tak dapat membayar uang taruhan. Kemudian Bango Samparan pergi dari Karuman, ingin berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu. Sekonyong-konyong ia mendengar suara dari angkasa, yang menyuruhnya untuk pulang ke Karuman lagi. "Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu, dia bernama Ken Arok."

Kemudian Bango Samparan meninggalkan Rabut Jalu. Seiring dia berjalan pada malam hari, maka ia bertemu dengan seorang anak. Setelah diamat-amati dan dicocokkan dengan petunjuk Sang Hyang, ternyata benar bahwa anak yang dijumpai itu adalah Ken Arok. Kemudian dibawa puIang ke Karuman, diaku sebagai anak oleh Bango Samparan. Kemudian mereka pergi ke tempat berjudi. Bandar judi itu oleh Bango Samparan diajaknya untuk berjudi. Maka kalahlah bandar judi itu, kemudian kembalilah kekalahan Bango Samparan. Memang benar petunjuk Sang Hyang itu. Bango Samparan kembali pulang kerumah dan diajaknya pula Ken Arok.

Bango Samparan mempunyai istri dua bersaudara, istri tuanya Genuk Buntu dan istri mudanya Tirtaya. Sedangkan nama anak-anak dari isteri mudanya adalah Panji Bawuk si sulung, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu adalah seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti.

Ken Arok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia tinggal di Karuman, tetapi tidak dapat rukun dengan semua para Panji itu. Maka Ken Arok berkeinginan untuk pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala, anak tuan Sahaja, kepala desa di Sagenggeng yang bernama Tuan Tita. Dia bersahabat karib dengan Ken Arok. Tuan Tita dan Ken Arok saling mengasihi. Kemudian Ken Arok tinggal pada Tuan Sahaja. Ken Arok tidak pernah berpisah dengan Tuan Tita. Ken Arok berkeinginan untuk bisa membaca, maka pergilah mereka ke seorang guru di Sagenggeng, dan menyatakan ingin menjadi muridnya, untuk diajar ilmu sastra.

Mereka diberi pelajaran tentang bentuk-bentuk dan penggunaan serta pengetahuan tentang huruf-huruf hidup dan huruf-huruf mati, semua perubahan huruf. Dan juga diajari tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, dan nama-nama minggu. Ken Arok dan Tuan Tita, kedua-duanya adalah murid yang pandai.

Ada tanaman guru yang menjadi hiasan halaman berupa pohon jambu yang ditanamnya sendiri. Buahnya sangat lebat, dan sangat padat karena sedang musimnya. Pohon itu dijaga dengan baik dan tak ada yang diijinkan untuk memetiknya. Juga tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: "Jika sudah masak jambu-jambu itu, petiklah". Ken Arok sangat menginginkan sekali buah jambu itu, sampai-sampai selalu terbawa didalam angan-angannya.

Setelah malam tiba, diwaktu semua orang sedang tertidur pulas, tiba-tiba dari ubun-ubun Ken Arok yang sedang tertidur keluarlah kelelawar yang berbondong-bondong tak ada putus-putusnya. Kemudian kelelawar-kelelawar itu makan buah jambu sang guru. Pada waktu pagi harinya, tampaklah buah jambu yang berserakan di halaman, kemudian diambil oleh pembantu guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak yang berserakan di halaman itu, maka bersedihlah dia.

Kata guru kepada murid-muridnya: "Apakah sebabnya maka jambu itu rusak." Menjawablah pembantu guru itu: "Oh tuanku, buah jambu yang rusak itu karena bekas dimakan oleh kelelawar". Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalaman. Ken Arok tidur lagi diatas balai-balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.

Menurut pengakuannya, guru itu melihat kelelawar banyak sekali berbondong-bondong keluar dari ubun-ubun Ken Arok, semuanya memakan buah jambu miliknya, maka bingunglah hati guru itu. Merasa tak berdaya untuk mengusir kelelawar yang sangat banyak dan memakan buah jambunya, maka marahlah guru itu, kemudian Ken Arok diusirnya kira-kira pada tengah malam hari. Ken Arok terperanjat, bangun terhuyung-huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Arok. Kemudian ia disuruh untuk bangun dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi. Ken Arok menurut saja dan pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi harinya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Arok sangat senang, katanya : "Aku mengharap semoga aku menjadi orang, dan aku akan membalas budi kepada guru."

Setelah Ken Arok dewasa, ia menggembala dengan Tuan Tita. Ia membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja. Tempat itu dijadikannya untuk menghadang orang-orang yang lalu-lalang di jalan, berdua dengan Tuan Tita.

Pada suatu hari ada seorang penyadap enau di hutan Kapundungan. Orang itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik, dan ikut pergi ke hutan. Ken Arok menggandeng anak itu dan menemani bermain didalam hutan. Hutan itu bernama Adiyuga. Lama kelamaan Ken Arok makin berbuat kurangajar, kemudian ia merampok anak itu. Peristiwa itu terdengar sampai ke negeri Daha, bahwasanya Ken Arok telah berbuat jahat. Kemudian Ken Arok menjadi buronan oleh penguasa daerah tersebut yang berpangkat akuwu, dan bernama Tunggul Ametung.

Merasa terancam jiwanya maka pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng untuk mengungsi ke tempat keramat, Rabut Gorontol. "Semoga tenggelamlah orang yang akan melenyapkan saya" kutuk Ken Arok, "semoga keluarlah air bah, sehingga terjadilah tahun bencana di negeri Jawa ini." Ia berpindah lagi dari Rabut Gorontol, menuju ke Wayang. Sebuah ladang di Sukamanggala. Kemudian ia bertemu dengan seorang pemanah burung pitpit, kemudian ia merampas orang yang sedang rnemanggil-manggil burung itu, dan pergi lagi menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuhan katu sebesar pohon beringin. Dari sana kemudian berpindah lagi ke Jun Watu, daerah orang baik-baik. Kemidian mengungsi lagi ke Lulumbang, dan tinggal pada salah seorang penduduk desa, yang keturunan prajurit, bernana Gagak Uget. Ia betah tinggal disitu, tetapi kegemarannya merampok orang yang sedang lewat dijalan masih diteruskan. Ia kemudian pergi ke Kapundungan. Disana ia mencuri di Pamalantenan tetapi ketahuan dan ia dikejar-kejar serta dikepung. Karena ia tak tahu lagi harus kemana ia akan mengungsi, maka ia memanjat pohon tal di tepi sungai. Setelah siang maka ketahuan juga bahwasannya ia memanjat pohon tal. Orang-orang Kepundungan menungguinya dibawah, sambil memukul-mukul bende maka pohon tal itu seraya ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya tadi.

Kemudian ia menangis sambil menyebut-nyebut nama Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya. Akhirnya ia mendengar suara dari angkasa. Ia disuruh untuk memotong daun tal, untuk dijadikan sayap-sayapnya yang kiri dan kanan, agar dapat melayang ke seberang timur dan selamat dari kejaran orang-orang yang memburunya. Kemudian ia memotong daun tal sebanyak dua helai, kemudian dijadikan sayap-sayapnya yang kiri dan kanan, kemudian ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa. Meskipun demikian ia tetap diikuti dan dikejar. Mengungsilah ia kedaerah Oran, dan masih juga dikejar dan diburu.

Kemudian hari ia mengungsi ke daerah Kapundungan. Yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Arok disembunyikan dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, sebanyak enam orang. Kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empang, jadi tinggal 1ima orang. Yang sedang pergi itu digantikan menanam oleh ken Arok, kemudian datanglah orang-orang yang mengejarnya, seraya berkata kepada dusun itu: "Wahai tuan kepala dusun, adakah seorang penjahat yang sedang kami kejar datang kemari?" Maka menjawablah kepala dusun itu: "Tuan-tuan, sungguh kami tidak berbohong, ia tidak disini, anak kami semua berjumlah enam orang, dan semua yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitung sendiri sajalah, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain disini".

Kata orang-orang yang mengejar: "Memang benar, anak kepala dusun enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Maka segera pergilah orang-orang yang mengejar tadi. Kata kepala dusun kepada Ken Arok: "Pergilah kamu nak, jangan-jangan mereka akan kembali dan mengejar kamu lagi, kalau ada yang membicarakan kata-kataku tadi maka akan sia-sialah kamu berlindung kepadaku. Maka pergilah mengungsi ke hutan saja". Maka berkatalah ken Arok: "Semoga mereka berhenti mengejarku lagi", itulah sebabnya maka Ken Arok bersembunyi di dalam hutan Patangtangan.

Selanjutnya ia berpindah ke Ano, dan pergi ke hutan Terwag. Perbuatannya semakin lama semakin jahat. Ada seorang kepala Dusun Luki yang akan membajak tanahnya di ladang. Dia mempesiapkan tanahnya untuk ditanami kacang. Dia membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Dusun itu, yang dimasukkannya kedalam tabung bambu, kemudian diletakkan diatas onggokan. Ketika sedang asyik-asyik kepala Dusun itu membajak ladang kacang, maka Ken Arok mengendap-endap untuk mengambil bekal kepala Dusun itu. Hal itu terjadi setiap hari, maka bingunglah kepala Dusun itu, karena setiap hari kehilangan bekal untuk anak gembalanya. Kepala Dusun itu berkata: "Ada apa ya, kok bekalnya selalu hilang?"

Kemudian tempat menaruh bekal anak gembala kepala Dusun di tempat membajak itu diintai dengan bersembunyi. Anak gembalanya disuruh membajak. Tak lama kemudian Ken Arok datang dari dalam hutan. Maksud Ken Arok akan mengambil nasi, tetapi ditegor oleh kepala Dusun: "Apakah benar kamu yang selalu nengambil nasi bekal untuk anak gembalaku setiap hari nak?" Ken Arok menjawab: "Benar tuan kepala Dusun, saya yang mengambil nasi bekal anak gembala tuan setiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan." Kata kepala Dusun: "Kalau begitu nak, datanglah ke pondokku kalau kamu lapar, mintalah nasi setiap hari, memang saya setiap hari mengharap ada orang yang datang". Lalu Ken Arok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala Dusun itu, kemudian dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala Dusun kepada isterinya: "Nini Batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Arok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah, lekaslah terima sebagai keluarga, kasihanilah dia."

Demikianlah, Ken Arok datang setiap hari. Seperginya dari situ Ken Arok menuju Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala Dusun Turyantapada, yang sedang pulang dari Kebalon yang bernama Mpu Palot. Dia adalah seorang Pandai Emas, yang berguru pada sesepuh di desa Kebalon, yang memang sudah ahli membuat barang-barang emas dengan sesempurna. Benar-benar sempurna tanpa cacat. Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, kemudian berhenti di Lulumbang. Mpu Palot takut pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang yang dikhabarkan selalu melakukan perampokan di jalan, yang bernama Ken Arok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Arok di tempat beristirahat.

"Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini?" bertanyalah Ken Arok kepada Mpu Palot.
"Saya dari Kebalon nak, dan akan pulang ke Turyantapada, tetapi saya takut di jalan, katanya ada orang yang suka melakukan perampokan dijalan, yang bernama Ken Arok" Mpu Palot menjawabnya. Maka tersenyumlah Ken Arok seraya berkata: "Nah Tuan, ananda ini akan mengantarkan tuan pulang, ananda nanti yang akan melawan kalau sampai berjumpa dengan orang yang bernama Ken Arok itu. Terus sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir."

Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Arok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Arok diajar ilmu kepandaian membuat barang-barang dari emas, Ken Arok cepat sekali menguasainya, tak kalah kepandaiannya dibandingkan dengan Mpu Palot. Selanjutnya Ken Arok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya pondok Turyantapada dinamakan daerah Bapa. Demikianlah Ken Arok mengaku ayah kepada Mpu Palot.

Karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Arok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot untuk menyempurnakan kepandaiaan membuat barang-barang dari emas kepada sesepuh di Kebalon, agar dapat menyelesaikan pesanan kepala dusun. Ken Arok berangkat menuju ke Kebalon, namun Ken Arok dicurigai oleh seorang penduduk Kebalon. Kemudian Ken Arok marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini," Kemudian Ken Arok menikam orang itu. Orang itu lari menuju sesepuh desa di Kebalon, kemudian berkumpulah para empu yang berada di Kebalon, juga para guru Hyang, bahkan sampai kepada para punta semuanya keluar, membawa gada perunggu, bersama-sama mengejar dan memukuli Ken Angrok dengan gada perunggu. Para empu tadi bermaksud ingin membunuh Ken Angrok, maka seraya terdengarlah suara dari angkasa: "Janganlah kamu membunuh orang itu, wahai para empu, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di negeri ini." Begitulah suara yang terdengar dari angkasa tadi yang juga terdengar oleh para empu. Maka ditolonglah Ken Arok dan kembali seperti sedia kala.

Kemudian Ken Arok mengutuk: "Semoga tak seorangpun empu di sebelah timur Kawi yang dapat membuat benda-benda dari emas dengan sempurna". Ken Arok kemudian pergi dari Kebalon menuju ke Turyantapada, ke dusun Bapa dan sempurnalah kepandaiannya tentang emas.

Ken Arok kemudian pergi dari dusun Bapa menuju ke desa Tugaran, karena kepala desa di Tugaran tidak ramah maka dimusuhilah orang-orang Tugaran oleh Ken Arok. Arca penjaga pintu gerbangnya diambil kemudian dipindahkan ke dusun Bapa. Kemudian ia bertemu dengan anak perempuan sesepuh desa di Tugaran itu yang sedang menanam kacang di sawah kering. Kemudian gadis ini ditemaninya oleh Ken Arok, lama kelamaan tanaman kacang tumbuh subur dan sangat lebat, inilah sebabnya maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. Kemudian ia pergi dari Tugaran pulang ke dusun Bapa lagi.

"Kalau saya kelak menjadi orang, maka saya akan memberikan perak kepada yang dipertuan di dusun Bapa ini" Ken Arok berujar. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Arok yang suka berbuat onar dan sedang bersembunyi di Turyantapada. Maka dilakukannyalah upaya untuk menangkapnya. Dia memang dicari-cari oleh orang-orang di Daha, maka pergilah dia dari dusun Bapa menuju ke gunung Pustaka. Kemudian pindah lagi ke Limbehan, sesepuh di Limbehan menaruh belas kasihan kepadanya ketika dimintai perlindungan oleh Ken Arok. Pada akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Disanalah kemudian didapat petunjuk dewa, dia disuruh untuk pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, dimana para dewa sedang bermusyawarah.

Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu nak, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa-dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Arok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah yang kemudian ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan.

Lalu berbunyilah suara tujuh nada: guntur, petir, gempa, guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan yang bukan masanya, dan tak ada selangnya kilat dan cahaya. Demikianlah kejadian pada saat itu, dan sekonyong-konyong terdengar suara yang tak ada henti-hentinya, yang berdengung-dengung dan bergemuruh.

Adapun intisari dari musyawarah para dewa adalah untuk rnemperkokoh nusa Jawa ini, di daerah mana mestinya harus ditempatkan. Para dewa, saling mengemukakan pembicaraan.

"Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa ini?" demikian pertanyaan para dewa semua. Maka menjawablah Sang Hyang Guru: "Ketahuilah hai para dewa, dia adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, dia itulah yang memperkokoh tanah Jawa." Maka keluarlah Ken Arok dari tempat sampah. Setelah semua dewa menyaksikan dengan sempurna, semua dewa menjetujuinya. Ia direstui dan dinobatkan sebagai Batara Guru. Kemudian para dewa memberikan pujian dan bersorak-sorai riuh rendah. Kemudian Ken Arok diberi petunjuk agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. Dia ini baru saja tiba dari Jambudwipa, dan disuruhlah Ken Arok untuk menemuinya di Taloka. Itu pulalah asal mulanya ada brahmana di sebelah Timur Kawi.

Brahmana itu berangkat menuju ke Jawadwipa tidak menggunakan perahu, tetapi hanya menginjak rumput kekatang tiga potong. Setelah mendarat kemudian menuju ke daerah Taloka.

Dang Hyang Lohgawe sedang berkeliling mencari Ken Arok.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak yang panjang tangannya melampaui lutut, rajah di tangan kanannya adalah cakra dan yang kiri sangka, bernana Ken Arok. Ia menampakkan diri pada waktu aku sedang bersemadi. Dia adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Wangsit itu dulu aku terima di Jambudwipa. Beginilah kira-kira: "Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan pemujaanmu kepada arca Wisnu. Aku sudah tidak ada disitu lagi, aku sudah menjelma menjadi seorang manusia di Jawa. Pergilah kamu mengikuti aku ke tempat perjudian.""

Maka Dang Hyang Lohgawe pergi ke tempat perjudian. Tak lama kemudian bertemu dengan Ken Arok. Diamat-amatinyalah dengan baik. Betulkah dia adalah orang yang menampakkan diri sewaktu Dang Hyang Lohgawe bersemadi. Kemudian ditanyainyalah Ken Arok. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu anandalah yang bernama Ken Arok. Aku tahu kepadamu karena kamu menampakkan diri pada waktu aku bersemadi".

Kemudiuan Ken Arok menjawab: "Betul tuan, ananda bernama Ken Arok." Maka dipeluknyalah dia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu akan saya akui sebagai anak, akan kutemani kamu pada waktu kesusahan, dan akan kutemani pula kemana saja engkau pergi."

Setelah itu Ken Arok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel dan diikuti oleh brahmana itu. Setelah sampai di Tumapel tibalah saat yang sangat tepat. Dia sangat ingin menghamba pada sang Akuwu, kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Kemudian ditemuiinya Sang Akuwu yang sedang berada dipertemuan besar, dimana hamba-hambanya sedang menghadap, Kata Tunggul Ametung: "Selamat datang tuan brahmana, dari manakah asal tuan? Baru kali ini saya melihat tuan."

Dang Hyang Lohgawe menjawab : Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saya ini sangat ingin mengabdi kepada Sang Akuwu".

"Kalau begitu berbahagialah saya, kalau tuan Dang Hyang mau tinggal dengan tentram bersama dengan ananda ini", kata Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok mengabdi kepada Tunggul Ametung Sang Akuwu di Tumapel itu.

Tersebutlah seorang pujangga yang memeluk agama Budha dan menganut aliran Mahayana, yang bertapa di Panawijen bernama Mpu Purwa. Dia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yang diperolehnya sebelum ia menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantiknya, bernama Ken Dedes. Dikhabarkan bahwa ia sangat ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, dan termashur dari timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar tentang hal itu, lalu ia datang ke Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa dan menjupai Ken Dedes. Tunggul Ametung sangat senang melihat gadis secantik itu.

Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, dengan tiba-tiba dan tanpa diduga-duga Ken Dedes diculik oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya. Ken Dedes sudah dibawa lari oleh Akuwu di Tumapel itu. Dia tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi, Mpu Purwa hanya mengumpat dengan sumpah-serapahnya yang tidak baik : "Ketahuilah, semoga siapapun yang melarikan anakku tidak akan dapat mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang-orang di Panawidjen ini, semoga terjadilah kekeringan di tempat mereka mengambil air, semoga tidak akan keluar air di kolam ini. Kesalahannya, mereka tak mau memberitahuku kalau anakku dilarikan oleh orang secara paksa". Mpu Purwa melanjutkan sabdanya: ,,Oh anakku yang menyebabkan gairah dan bercahaya terang, aku berdo’a kepadaNya, semoga engkau mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang besar kelak nanti." Demikian kutukan dari pendeta Mahayana di Panawijen itu.

Setelah sampai di Tumapel, Ken Dedes tinggal seperaduan dengan Tunggul Ametung. Tunggul Ametung sangat gembira dan sangat menyayangi Ken Dedes. Belum berapa lama tinggal di Tumapel Ken Dedes sudah menampakkan gejala-gejala mengandung. Tunggul Ametung sangat gembira dan pergi untuk bersenang-senang, bercengkerama dengan isterinya di taman Boboji. Ketika Ken Dedes turun dari kereta, secara kebetulan tersingkaplah betisnya, terbuka sampai kemaluannya. Ken Arok melihatnya seperti ada cahaya yang keluar dari kemaluannya tersebut. Ken Arok sampai terpesona melihatnya, disamping kecantikannya yang memang sangat sempurna. Dan tidak ada satupun orang yang menyamai kecantikannya itu. Maka jatuh cintalah Ken Arok kepadanya, dan tak tahulah apa yang akan diperbuat.

Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama, Ken Arok membicarakan hal itu kepada Dang Hyang Lohgawe, seraya berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan yang kemaluannya bercahaya, pertanda apakah gerangan perempuan yang demikian itu? Apakah sebuan pertanda buruk atau pertanda yang baik?".

Dang Hyang menjawab: "Siapakah yang seperti itu, nak?".
Kata Ken Arok: "Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan kemaluannya olehku".
Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian itu, nak, maka perempuan itu namanya Nawiswari. Dia adalah perempuan yang paling mulia. Siapapun yang memperisterinya, kelak dia akan menjadi maharaja."

Ke Arok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bersinar kemaluannya itu adalah isteri sang Akuwu di Tumapel. Jika demikian aku akan membunuh sang akuwu, dan akan saya ambil isterinya. Tentunya ia akan kalah olehku, jikalau tuan mengijinkan."

Jawab Dang Hyang: "Ya, tentu saja kalah Tunggul Ametung olehmu, nak! Hanya saja tidak pantas memberi restu seperti itu kepadamu. Tindakan seperti itu bukanlah tindakan seorang pendeta, itu adalah kehendakmu sendiri."

Kata Ken Arok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan."
Sang Brahmana menjawab: "Akan kemana kamu nak?"
Ken Arok menjawab: " Hamba akan pergi ke Karuman, disana ada seorang penjudi yang mengaku anak kepadaku bernama Bango Samparan, ia sayang kepadaku. Dialah yang akan kumintai pertimbangan, dan mungkin akan merestuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan terlalu lama di Karuman, nak."
Kata Ken Arok: "Tidak Bapa Dang Hyang, saya akan cepat kembali."

Ken Arok pergi dari Tumapel. Setibanya di Karuman, kemudian bertemulah dengan Bango Samparan. "Kamu ini dari mana saja, lama tidak kelihatan? Seperti dalam mimpi saja dapat bertemu denganmu kembali. Lama sekali engkau pergi."

Ken Arok menjawab: "Hamba tinggal di Tumapel, Bapa. Mengabdi pada Sang Akuwu. Sedangkan keperluan saya datang kemari, adalah karena seorang isteri sang Akuwu, yang ketika turun dari kereta terlihatlah kemaluannya olehku bercahaya. Ada seorang brahmana yang baru saja datang ke Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, dan mengangkatku sebagai anak. Kemudian ketika saya bertanya kepadanya, apakah nama seorang perempuan yang bersinar kemaluannya itu, maka Sang Brahmana menjawab bahwa itulah yang disebut seorang perempuan nareswari, sebagai tanda yang baik, karena siapa saja yang memperisterinya akan dapat menjadi maharaja. Bapa Bango Samparan, saya ingin menjadi raja. Tunggul Ametung akan saya bunuh, dan isterinya akan saya ambil agar saya dapat menjadi raja. Saya minta persetujuan Bapa Dang Hyang. Tetapi Dang Hyang Lohgawe menolak memberi persetujuan kepadaku dengan alasan seorang brahmana tidak dapat memberi persetujuan kepada orang yang hendak mengambil isteri orang lain, karena itu artinya kehendaku sendiri. Itulah sebabnya maka saya pergi ke Bapa Bango Samparan, untuk meminta restu untuk membunuh sang Akuwu dengan rahasia, tentu akan mati olehku."

Menjawablah Bango Samparan: "Ya, baiklah kalau demikian saya memberi restu. Kamu akan menusukkan keris ke Tunggul Ametung dan mengambil isterinya, tetapi hanya saja nak Arok, Akuwu itu sakti. Mungkin tidak dapat terluka jika kamu tusuk keris yang kurang ampuh. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya sangat ampuh. Tak ada orang yang sanggup menahan kesaktian terhadap buatannya. Tak perlu dua kali ditusukkan. Sebaiknya kamu menyuruhnya untuk membuatkan keris itu. Jika kerisnya sudah selesai bunuhlah Tunggul Ametung secara rahasia." Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Arok.

Kata Ken Arok: "Hamba memohon diri Bapa, akan pergi ke Lulumbang."
Kemudian ia pergi dari Karuman menuju ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang membuat keris. Ken Arok datang kemudian bertanya: "Tuankah yang bernama Mpu Gandring? Dapatkah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai dalam waktu lima bulan, karena ada keperluan yang mendesak!"


Mpu Gandring berkata: "Sebaiknya jangan terlalu cepat lima bulan, kalau kamu menginginkan keris yang baik, kira-kira setahunlah baru selesai maka hasilnya akan baik dan matang tempaannya."
Ken Arok berkata: "Terserahlah caranya bagaimana, tetapi saya membutuhkannya dalam waktu lima bulan."
Kemudian Ken Angrok pergi ke Tumapel dan bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok: "Apakah kamu kerasan tinggal di Tumapel, Arok?"

Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada janjinya, bahwa ia telah menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring. Maka ia pergi ke Lulumbang dan bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanannya.

Kata Ken Angrok: "Manakah pesanku Tuan Gandring?"
Mpu Gandring menjawab: "Yang sedang saya asah ini, nak Arok!"
Keris itu dimintanya untuk diperiksa. Kemudian katanya dengan agak marah: "Ah, tak ada gunanya aku menyuruh engkau tuan Gandring, bukankah keris ini belum selesai diasah? Celakalah, ini rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan ini."

Hati Ken Angrok membara dan akhirnya keris itu ditusukkan kepada Mpu Gandring. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang terbelah menjadi dua, kemudian diletakkan pada landasan penempa, juga ini terbelah menjadi dua.

Kemudian Mpu Gandring berkata: "Nak Arok, kelak kamu juga akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu." Sesudah Mpu Gandring berkata demikian lalu meninggal. Ken Arok tampak menyesal karena Mpu Gandring telah meninggal.
Kata Ken Arok: "Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang ini." Lalu pulanglah Ken Arok ke Tumapel.

Ada seorang kepercayaan Tunggul Ametung, yang bernama Kebo Ijo, dan bersahabat dengan Ken Arok, saling menyayangi. Pada waktu itu Kebo Ijo melihat bahwa Ken Arok menyisipkan sebilah keris baru berhulu kayu cangkring yang masih berduri, belum diberi perekat dan masih kasar. Tertariklah Kebo Ijo melihat hal itu.
Ia berkata kepada Ken Arok: " Kakak Arok, bolehkah saya pinjam keris itu?" Diberikannyalah keris itu oleh Ken Arok, terus dipakai oleh Kebo Ijo. Senanglah dia mengenakan keris itu.

Keris Ken Arok itu cukup lama dipakai oleh Kebo Hijo, dan tak seorangpun di Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Ijo menyisipkan sebilah keris dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu diambil kembali oleh Ken Arok dengan diam-diam. Seterusnya Ken Arok pergi ke rumah Sang Akuwu pada malam hari. Saat itu adalah waktu yang baik, keadaan sedang sunyi dan orang-orang sedang tidur pulas, kebetulan juga disertai dengan nasib baik, maka ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, dan tak ada rintangan sedikitpun yang menghadang, maka ditusuknyalah keris itu kepada Tunggul Ametung, tepat menembus jantung Tunggul Ametung, dan meninggal seketika itu juga. Keris buatan Mpu Gandring ditinggalkan dengan sengaja.

Pagi-pagi orang menemukan keris yang tertanam didada Tunggul Ametung, kemudian diamat-amati oleh banyak orang, dan orang-orang tahu kalau keris itu kepunyaan Kebo Ijo, karena sering dipakainya setiap hari dalam bekerja. Kata orang-orang di Tumapel: "Teranglah Kebo Ijo yang membunuh Tunggul Ametung dengan diam-diam, karena memang nyata, dan keris itu masih tertanam di dada sang Akuwu di Tumapel.”

Kemudian Kebo Ijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris buatan Mpu Gandring, meninggallah Kebo Ijo. Kebo Ijo mempunyai seorang anak, bernama Mahesa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Arok menaruh belas kasihan kepadanya, kemanapun pergi anak itu dibawanya, karena Ken Arok sangat menyayanginya.

Selanjutnya memang Dewa telah menghendaki, bahwasanya Ken Arok memang sungguh-sungguh menjadi jodoh Ken Dedes. Ternyata memang sudah lama mereka saling menaruh hati. Tak seorangpun di Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa-apa, akhirnya Ken Arok kawin dengan Ken Dedes.

Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, Ken Dedes telah mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Arok. Ken Arok dan Ken Dedes saling mencintai. Setelah lama perkawinan itu, dan genap bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak laki laki, dari ayah Tunggul Ametung, yang diberi nama Sang Anusapati dan nama kepanjiannya Sang Apanji Anengah. Dan dari perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes, mereka dianugerahi anak laki-laki, bernama Mahesa Wonga Teleng, dan adiknya yang bernama Sang Apanji Saprang. Kemudian anak yang ketiga bernama Agnibaya, anak yang keempat perempuan bernama Dewi Rimbu. Ken Angrok dan Ken Dedes hanya mempunyai empat orang anak.

Ken Arok mempunyai isteri muda yang bernama Ken Umang, ia melahirkan anak laki-laki bernama Panji Tohjaya, dan adiknya bernama Tuan Wregola, serta yang bungsu perempuan bernama Dewi Rambi. Semua anak Ken Arok ada 9 orang, laki-laki 7 orang dan perempuan 2 orang.

Ken Arok menjadi penguasa di Tumapel menggatikan Tunggul Ametung. Sudah dikuasainyalah sebelah Timur Kawi, bahkan seluruh daerah disana, semua takut terhadap Ken Arok. Mulailah Ken Arok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja. Orang-orang di Tumapel semua senang, kalau Ken Arok menjadi raja, kebetulan disertai nasib yang baik.

Terkisahlah seorang raja di Daha, yaitu Dandhang Gendis, yang berkata kepada para pujangga yang berada di seluruh wilayah Daha, katanya: "Wahai, tuan-tuan pujangga pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan-tuan tidak menyembah kepadaku, bukanlah aku ini adalah penjelmaan Bathara Guru?"
Menjawablah para pujangga itu: "Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak ada pujangga yang menyembah raja."
Kemudian Kata Raja Dandhang Gendis: "Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada yang menyembah, maka sekarang ini hendaknyalah kalian menyembahku, jika tuan-tuan tidak tahu kesaktianku, maka sekarang akan saya tunjukkan!"
Raja Dandhang Gendis kemudian mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, dan ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: "Nah, tuan-tuan pujangga, lihatlah kesaktianku." Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, sebagai penjelmaan Bathara Guru. Para pujangga itu kemudian diperintahkan untuk menyembahnya, tetapi tidak ada yang mau, bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada Ken Arok. Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha.

Tak lama sesudah Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya berganti nama menjadi Singasari, dengan nama gelarnya Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabumi, yang disaksikan oleh para pujangga, pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe. Ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Arok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi balasan atas budi- jasanya. Misalnya Bango Samparan, diangkat sebagai kepala daerah di Turyantapada, dan anak-anak Mpu Gandring seorang pandai besi Lulumbang, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam menggarap ladang. Anak Kebo Ijo disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring.

Anak laki-laki Dang Hyang Lohgawe yang bernama Wangbang Sadang, yang lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango Samparan yang bernama Cucu Puranti. Demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Negara Singasari sangat berjaya adil dan makmur, sempurna tak ada halangan.

Setelah lama terdengar berita, bahwa Ken Arok menjadi raja, maka terdengarlah oleh raja Dandhang Gendis, bahwa Ken Arok bermaksud akan menyerang Daha.
Kata Raja Dandhang Gendis: "Siapakah yang akan mengalahkan negaraku ini, mungkin hanya Bathara Gurulah bila mau turun dari angkasa yang akan mengalahkanku."
Diberitahulah Ken Arok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Maka kata Sang Amurwabumi: "Wahai, para Pujangga pemeluk Siwa dan Budha, restuilah saya menobatkan diri bernama Bathara Guru!"

Demikianlah asal mulanya ia dinobatankan sebagai Bathara Guru, yang kemudian direstui oleh para pujangga,brahmana dan resi.

Kemudian diserangnyalah Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: "Saya akan kalah, karena Ken Arok dilindungi Dewa." Tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang di sebelah Utara Ganter, bertemu sama-sama berani, saling bunuh-membunuh, akhirnya terdesaklah tentara Daha.

Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahesa Walungan, bersama-sama dengan menterinya yang bernama Gubar Baleman. Mereka gugur karena diserang bersama-sama oleh tentara Tumapel yang berperang dengan gelar pasukan laksana banjir dari gunung.

Tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit-birit meninggalkan musuh seperti kambing. Mencabut semua payung- payung dan panji-panjinya, tak ada yang mengadakan perlawanan lagi.

Maka akhirnya Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa, tergantung-gantung di angkasa beserta dengan kuda-kudanya, pengiringnya, pembawa payungnya, pembawa tempat sirih dan tempat air minum serta tikarnya, semuanya naik ke angkasa.

Sungguh kalah Daha oleh Ken Arok. Dan adik-adik Sang Dandhang Gendis, yaitu: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang Gendis kalah berperang, dan sedang berada di alam dewa yang tergantung di angkasa. Maka ketiganya menghilang bersama-sama dengan istananya juga. Sesudah Ken Arok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel. Dikuasainyalah Tanah Jawa olehnya, sebagai raja yang telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka 1144.

Lama-kelamaan ada berita bahwa sang Anusapati anak tunggal Tunggul Ametung bertanya-tanya kepada pengasuhnya. "Hamba takut terhadap ayah tuan", demikian kata pengasuh itu, "lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan". Karena tidak mendapat keterangan, Sang Auusapati bertanya kepada ibunya: "Ibu, saya ingin bertanya kepada ibu, siapaka jelasnya saya ini? Kalau ayah melihat saya, berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak-anak ibu muda, semakin lama semakin berbeda pandangan ayah itu."

Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: "Rupa-rupanya telah ada rasa tidak percaya, kalau anak ingin tahu ayahmu itu bernama Tunggul Ametung. Pada waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi.”
Kata Anusapati: "Jadi jelasnya ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayahku? Lalu bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?"
"Sang Amurwabumi nak yang membunuhnya." Diamlah Ken Dedes, dia merasa telah membuat suatu kesalahan karena memberi tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya.

Kata Anusapati: "Ibu, ayah mempunyai keris buatan Mpu Gandring, itu saya minta, ibu?"
Maka diberikanlah keris itu oleh Ken Dedes. Kemudian Sang Anusapati memohon diri untuk pulang ke tempat tinggalnya.

Adalah seorang abdi yang berpangkat pengalasan di Batil. Ia dipanggil oleh Anusapati, dan disuruh untuk membunuh Ken Arok, kemudian diberikan keris buatan Mpu Gandring itu, untuk dipakai membunuh Sang Amurwabumi. Orang di Batil itu menyanggupi dan akan diberi upah oleh Anusapati.

Berangkatlah orang Batil masuk ke istana, kemudian dijumpai Sang Amurwabumi sedang bersantap, dengan serta-merta ditusukkan segera keris itu. Pembunuhan itu terjadi pada hari Kamis Pon, Minggu Landhep, saat ia sedang makan pada waktu senja dan matahari telah terbenam, dan orang-orang telah menyalakan pelita pada tempatnya.

Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil itu, mencari perlindungan pada Sang Anusapati. Kata orang Batil itu: "Sudah meninggal ayah tuan olehku." Segera orang Batil itu ditusuk oleh Anusapati. Kata orang-orang di Tumapel: "Ah, BatHara diamuk oleh orang tak dikenal dari Batil. Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168, dan dicandikan di Kagenengan.

Sesudah itu Sang Anusapati mengganti menjadi raja, pada tahun Saka 1170.




Sebenarnya naskah Pararaton ini masih panjang sampai 18 bagian. Bagian yang saya muat ini adalah bagian pertama saja yang mengisahkan tentang perjalanan Ken Arok. Namun demikian saya akhiri sampai disini saja. Dari ke-17 kisah yang tidak sayaceritakan itu antara lain memuat tentang kisah Tohjaya (bagian ke-2 dan k-3), Ranggawuni dan Mahesa Cempaka (bagian ke-4), Kisah berdirinya Kerajaan Majapahit (bagian ke-5) dan seterusnya. Namun demikian semuanya tidak terurai panjang lebar seperti bagian pertama ini, dan bahkan akhir (bagian ke-11 sampai selesai) dari naskah ini hanya menceritakan tentang siapa raja Majapahit yang berkuasa saat itu, dan kapan meninggalnya serta siapa penggantinya. Dan bagian paling pentingpun saat-saat akhir dari Kerajaan Majapahit hampir tidak ada cerita sama sekali.   








TAMAT