Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

28.4.09

Gestapu

Gerakan September 30 1965



Untuk Oka dan bokapnya, mohon maaf cerita ini agak saya edit dan beberapa nama menjadi tersamarkan.
(Cerita ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh bokap gw, dan inilah cikal bakal kenapa gw sangat simpati sama komunisme dan tokoh-tokohnya waktu itu. Tetapi sekarang gw udah bisa berpikir walaupun masih mengagumi tokoh-tokoh kiri itu nikmati ceritanya dan resapi terima kasih)

Tanggal 1 Oktober 1965
Suatu hari kami murid-murid sebuah SD di sebuah kampung, di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah seperti biasa sebelum lonceng dibunyikan sebagai tanda dimulai proses kegiatan belajar mengajar biasanya berkumpul disekitar kandang kerbau yang sudah tidak dipakai di rumah Mbah Hasyim sambil berkelakar atau ngobrol gaya anak desa.

Seingat saya hari itu tanggal 1 Oktober 1965 dan suasana sekolah yang masih gaduh karena belum masuk dan kelompok kami memang biasanya lebih suka bergerombol disekitar kandang kerbau namun pagi itu ada yang istimewa karena Sumoko yang biasa dipanggil Moko termasuk salah satu anak yang orang tuanya tergolong kaya di desa kami, dia berceloteh:

“Di Jakarta telah terjadi pembunuhan para Jenderal yang dilakukan oleh PKI,” celetuknya
“Dari mana kamu tahu?“ tanyaku.
“Tadi pagi berita dari radio!”, saya baru sadar pasti dia sudah mendengarnya karena punya radio.dan memang pada waktu itu radio merupakan barang mewah di desa kami dan baru ada empat buah salah satunya ya milik orang tunya Moko itu.

Sumadi ada juga disitu, dia adalah anaknya Lik Sudir, biasa kami memanggilnya, salah seorang pengikut Muhamadiyah karbitan yang dari awal memang sangat tidak suka mendengar kata komunis, walaupun saya tahu bahwa sebenarnya dia tak tahu komunis atau PKI itu apa, dia berceloteh bahwa yang meminpin gerakan itu adalah Untung.

“Yang memimpin membunuh jenderal-jenderal itu Untung namanya, dia orang Karangtalun“ serunya sok tahu saja. Tak ada yang menanggapi karena keburu bunyi lonceng sekolah sebagai tanda pelajaran dimulai.

Itulah sekelumit kenangan yang saya ingat untuk pertama kali mendengar tentang terjadinya Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI dengan membunuh para Jenderal yang pernah difilmkan dan merupakan menu wajib untuk ditonton oleh PNS dan anggota KORPRI dalam memperingati hari Kesaktian Pancasila di era orde baru walaupun dalam hatiku ada keraguan tentang peristiwa tersebut apakah memang demikian.



Tari Tani
Sebelum meletus gerakan tiga puluh September 1965, sekitar tahun 1963 sampai tahun 1964 di desa kami ada perkumpulan seni yang pada waktu itu saya tidak tahu bahwa kegiatan perkumpulan seni itu atas prakarsa Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas yang ada dibawah Partai Komunis Indonesia. Hampir tiap malam ada kegiatan menari ditempat Mbah Sarjuki begitu saya memanggilnya, seorang petani yang mempunyai lahan sawah cukup luas, karena istrinya memang warisannya cukup banyak dan kebetulan pendoponya luas.

Disitulah latihan tari dilakukan, yang saya ingat tariannya sangat sederhana dengan tema petani yang giat mengolah sawah ladangnya namun penghasilannya tak mencukupi untuk hidup karena ternyata mereka hanyalah petani penggarap milik seorang juragan.

Latihan menari pada waktu itu dilakukan untuk memperingati HUT PKI entah yang ke berapa dan juga ada HUT tandingan dari Partai Nasional Indonesia, dengan dihiasai lambang partai secara besar-besaran baik dari PKI yang berupa Palu dan Arit dan dari PNI yang berupa Gambar Banteng Segitiga terasa semarak sekali desa kami, seolah-olah tidak akan pernah ada gesekan antara dua partai tersebut, dan yang paling aneh juga bahwa pada acara gelar tari pada Ulang Tahun PNI, salah satu tariannya yang dibawakan oleh Pemuda Marhaen dari Desa Kalirejo menampilkan tari tani yang sama dengan yang ditarikan oleh Pemuda Rakyat, yang membedakan gerakan tarinya bisu tanpa diiringi nyanyian. Kenapa demikian, pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab hanya perkiraan saya bahwa Pemuda Marhaen kadang berperan sebagai Pemuda Rakyat. Pada hari yang telah ditentukan untuk memperingati HUT PKI yang diisi juga dengan Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk oleh Ki Dalang Sudarto, saya diminta oleh bapak saya untuk mengantarkan beberapa butir kelapa untuk disumbangkan dalam rangka mensukseskan peringatan tersebut yang ternyata dari sumbangan sukarela dimaksud akhirnya dapat menyeret bapak saya ke dalam bui selama lebih kurang 6 (enam) tahun karena dianggap sebagai anggota partai terlarang tersebut.

Para penarinya adalah juga dari desa kami para remaja putra dan putri dan salah satunya adalah Bu Lik saya yang seumur dengan kakak saya, tetapi karena kakak saya pada waktu itu masih sekolah SMP walaupun diajak latihan dia tidak bersedia ikut menari dengan alasan harus belajar, yang akhirnya malah menyelamatkan kakak saya dari kewajiban apel pasca meletusnya Gerakan 30 September, sementara bu Lik saya yang hanya tamat SD harus ikut dibawa kemana-mana untuk ditanyai oleh petugas dari Koramil maupun Sektor Kepolisian walupun akhirnya tidak dipenjarakan tetapi terlanjur di cap sebagai anggota Gerwani.

Karena masih boleh dibilang anak-anak, dan satu-satunya hiburan yang ada, maka kesempatan untuk menonton latihan menari tidak pernah terlewatkan maka hampir semua gerakan dan lagu yang dibawakan saya dan teman-teman bermain Sumadi, Seminto, dan kembaran saya sendiri Paijo sangat hafal akan gerakan dan nyanyiannya, tidak jarang pada saat selesai mengaji di rumah Lik Kemin kita praktekkan tarian tersebut.


Menangis Semalam Suntuk
Dari obrolan di kandang kerbau tanggal 1 Oktober 1965 ternyata hiruk pikuknya suasana nun jauh di Ibu kota Negara sana sampai juga di desa kami. Isu-isu yang berkembang bahwa yang tidak sholat pasti di cap komunis, akhirnya banyak santri-santri baru yang dulu termasuk golongan abangan mulai rajin ke masjid karena takut diciduk istilah pada waktu itu. Dari kelompok Muhamadiyah langsung pesan seragam loreng untuk dipakai sholat ke masjid dan kebencian-kebencian terhadap yang golongan Abangan makin menjadi-jadi bahkan seorang anak kecil seperti saya pun sudah dicap anaknya PKI. Setiap malam pemuda-pemuda yang merupakan pemuda Marhaen dan juga dari kelompok pelajar GSNI serta pemuda Muhamadiyah bergerilya dari rumah kerumah yang menurut perangkat desa dicap PKI atau BTI ditugasi untuk mencorat-coret rumah orang-orang yang diindikasikan sebagai PKI tersebut dengan tulisan-tulisan yang tidak senonoh. Termasuk rumah yang saya tempati, rumah tembok, tinggi dan besar penuh dengan corat-coret yang tidak jelas ditujukan kemana, kalau sekarang yah barangkali seperti anak-anak sekolah yang mencorat-coret pagar dengan pilok yang tidak begitu jelas maksudnya. Kelak corat-coret yang sudah sekian lama menghiasi tembok disuruh membersihkan oleh kepala desa karena mau lebaran.

Bapak saya adalah pemetik kelapa kalau istilah pada waktu itu adalah tukang bangkelan yaitu menaksir kelapa dari bawah kemudian kalau sudah cocok harga, baru dilanjutkan dengan memetiknya, mengupasnya kemudian menjualnya lagi ke tengkulak lainnya, berangkatnya pagi-pagi karena lokasinya bisa puluhan kilometer dari desa tempat tinggal kami dan biasanya menjelang magrib baru sampai rumah, maka alasan apa yang dipakai oleh Pak Mantri Sarjono pegawai Kantor Penerangan kecamatan dan juga Mbah Lurah selaku Kepala Desa untuk menjerat bapak saya sebagai golongan anggota partai terlarang tersebut.

Pertama-tama setelah tanggal 1 Oktober 1965 beberapa desa di kecamatan Grabag didatangi RPKAD kalau sekarang Kopassus ada pemuda-pemuda yang dibawa karena menurut laporan termasuk anggota Pemuda Rakyat, bapak saya dipanggil oleh Kepala Desa (Mbah Lurah) ke rumahnya bersama-sama warga yang lainnya. Saya tidak ingat betul siapa saja dan apa saja yang ditanyakan, terlalu kecil bagi saya untuk tahu itu. Kemudian, hari berikutnya dipanggil oleh Pak Sarjono peagawai kantor Penerangan kecamatan, akupun tidak pernah tahu apa yang ditanyakan. Beberapa hari kemudian di panggil kekecamatan, dan dinyatakan langsung masuk bui pada hari itu, saya menangis semalam suntuk karena takut kehilangan beliau dan karena ada kabar burung bahwa setelah dibawa pasti akan ditembak mati oleh Hanra yang hanya bermodalkan berani dan nekat itu, sampai subuh tangisku belum reda dibujuk oleh kakak dan simbokku tetap saja aku tidak berhenti menangis akhirnya capai sendiri, tetapi ternyata hari esoknya disuruh pulang kerumah dan saya tidak tahu persis kapan bapak saya dimasukkan bui lagi, tetapi tahu-tahu sudah disuruh menginap di kantor pertanian di Kutoarjo. Lama kelamaan sebagai seorang anak yang belum tahu apa itu politik, apa itu partai terlarang dan segala tetek-bengek yang berkenaan dengan perebutan kekuasaan hanya bisa merasa kehilanagn sosok seorang bapak yang biasanya ada di rumah, sekarang tidak ada. Ejekan dan caci-maki mulai terasa dan tak pernah berhenti menimpa keluarga kami, setelah besar baru tahu bahwa politik, perebutan kekuasaan ternyata yang paling menderita adalah rakyat yang di bawah.



Membersihkan Tembok

Beberapa hari sebelum hari Raya ‘Idul Fitri Tahun 1966, Mbah Bayan, biasa kami menyebutnya, dimana dalam struktur pemerintahan desa pada waktu itu Kebayan adalah salah satu perangkat desa yang merupakan humas yang bertugas menyampaikan perintah Kepala Desa kepada masyarakat menyangkut kegiatan-kegiatan kemasyarakatan misalnya kerja bakti, rapat atau istilah pada waktu itu kumpulan atau selapanan, serta kewajiban-kewajiban masyarakat yang lain yang harus dikerjakan. Mbah Bayan memerintahkan kepada Simbok untuk membersihkan coretan-coretan di tembok, karena tidak ada tenaga selaian saya dan saudara kembar saya, rumah tembok besar dan tinggi yang penuh dengan corat-coret macam-macam tulisan seperti PKI Asu, gantung Aidit dsb, yang menghiasi tembok tebal tersebut kita bersihkan, sementara yang membuat tulisan, yang mencorat-coret tembok serta yang memerintahkan tidak pernah merasa berdosa. Itulah kejamnya politik.

Dengan membawa ember berisi kapur berdua dengan saudara kembarku, menaiki tangga bambu, menggunakan kuas dari gulungan batang ilalang, dalam kedaan berpuasa, pekerjaan mengapur tembok selesai dalam waktu dua hari, walaupun hasilnya tidak sempurna karena ternyata yang tulisannya tebal sangat sulit untuk ditutup dengan kapur, tetapi cukuplah dengan tembok yang bersih mudah-mudahan semua pelaku peristiwa pada waktu itu hatinya juga bersih sebersih tembok yang habis dikapur untuk menghadapi hari yang Fitri.


Malam Takbiran yang kelabu
Malam Takbiran adalah malam yang sangat menggembirakan, khusunya bagi anak-anak, walaupun puasanya belum sempurna, namun sangat antusias untuk menyemarkkan malam takbiran, dengan mengumandangkan takbir dan takhmid mengelilingi desa membawa obor dari bambu yang diawali dari halaman masjid menuju keselatan melewati jalan yang sebelah barat, memutar di selatan belok ke utara melewati jalan sebelah timur desa terus ke barat belok ke selatan sampailah di halaman masjid dan kemudian membubarkan diri untuk besok siap-siap memakai baju baru dan sarung untuk melaksanakan Sholat ‘Idul Fitri.

Malam itu cuaca hujan sehingga takbir keliling desa tidak bisa dilaksanakan, akhirnya hanya berkumpul dipendopo kelurahan (rumah Mbah Lurah), dan takbiran dilaksanakan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan gaya anak-anak. Cucunya Mbah Lurah banyak, dan rata-rata tinggal di kota namun kalau hari raya khusunya ‘Idul Fitri pasti ngumpul semua dan diantara beberapa cucunya ada yang tinggal bersama Mbah Lurah dan merupakan teman sekolah sekaligus teman bermain, sehingga saya walaupun minder tetap saja berteman. Tak lama kemudian terdengar suara yang agak keras ditengah kesunyian setelah capek mengumandangkan takbir,

“Siapa yang tidak punya bapak?“ suara Pak Mar anak Mbah Lurah yang jebolan Sospol UGM walaupun hanya sampai sarjana muda.
"Ijan-Ijo!“ jawab cucu-cucunya serempak, termasuk anak-anak dari kerabat-kerabatnya.
"Memangnya bapaknya kemana?”,tanyanya lagi.
“Bapaknya di-ceduk!“ jawabnya serempak. Ceduk adalah istilah yang berlaku pada waktu itu untuk orang-orang yang dimasukkan tahanan karena dianggap terlibat gerakan atau terindikasi sebagai anggota Partai Komunis maupun Ormas-ormasnya.

Malu, marah, sedih, kecewa dan entah perasaan apa lagi yang berkecamuk dibenakku dan saudara kembarku pada waktu itu, dan setelah kejadian itu saya dan saudara kembarku memutuskan untuk pulang saja. Malam yang seharusnya penuh dengan suka cita, tetapi malah menjadikan malam kelabu yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Begitulah kehidupan ini, manusia dewasapun kalau lagi dihinggapi penyakit mumpung, apalagi anak-anak tak mampu lagi membedakan siapa yang salah, sehingga kalau bapaknya dianggap salah anaknyapun dianggap salah juga sehingga layak untuk dihina, diejek maupun ditertawakan, padahal tidaklah demikian, orang tua saya adalah salah satu korban diantara jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban politik atau sengaja dikorbankan untuk kepentingan kekuasaan, karena kelak sampai dibebaskan pada tahun 1971 tak ada satu patah katapun yang tersurat dalam surat pembebasannya yang dikeluarkan oleh Laksusda Jawa Tengah/DIY, tentang keterlibatan atau kesalahan apa gerangan yang dilakukan oleh bapak saya.


Pertama Membesuk Bapak Dalam Tahanan
Sebagai tahanan masal, kenapa demikian karena saking banyaknya orang yang dimasukkan dalam tahanan yang hanya karena tidak sholat atau lebih dikenal dengan istilah Abangan sehingga di anggap sebagai PKI atau BTI yang layak untuk diceduk, menjadikan Bui atau LP kalau istilah sekarang Lapas di Kutoarjo penuh, oleh karena itu sebagian dititipkan di Kantor Pertanian yang kelak dijadikan gedung Sekolah Pertanian (SPMA) Kutoarjo, penuh sesak, dan yang pasti kalau tidak dibawakan makanan dari rumah kemungkinan tidak akan kebagian jatah jagung rebus yang disediakan pihak LP.

Oleh karena itu setiap tiga hari sekali kita antarkan makanan berupa ketupat dan lauknya, yang paling sering adalah serundeng dan tempe bacem, pertimbangan simbok agar tahan agak lama, karena kalau harus mengirim makanan tiap hari jelas merupakan beban yang sangat berat. Karena kelapalah satu-satunya yang diandalkan untuk dapat menghidupi kami sekeluarga yang pada waktu itu masih mempunyai nilai jual yang cukup lumayan, maka hanya dari itulah kami sekeluarga dapat bertahan hidup ditengah-tengah cibiran dan caci maki masyarakat desa yang sebenarnya sama-sama tidak tahu tentang gejolak politik yang terjadi nun jauh di Ibukota sana.

Dengan dibonceng kakak saya dengan sepeda tua satu-satunya milik kami, berangkatlah kami ke Kutoarjo untuk menjenguk Bapak dengan pesan-pesan khusus dari simbok untuk berhati-hati dan kalau belok kekiri menjulurkan tangan ke kiri, begitu juga kalau belok ke kanan, tak lupa ketupat, serundeng dan tempe bacem bawaan yang telah disiapkan simbok untuk Bapak. Waktu itu masih dalam suasana lebaran ‘Idul Fitri Tahun 1966 saya tak ingat lagi bulannya, begitu sampai di Kantor Pertanian Kutoarjo, saya menyaksikan banyak orang berjubel ditempat yang tidak terlalu luas batin saya kok banyak banget sih orang yang di hukum itu penalaran saya pada waktu itu, kalau orang ditahan pasti dihukum, barulah saya tahu dikemudian kelak bahwa orang yang ditahan belum tentu dihukum, karena kalau dihukum berarti sudah jatuh vonis dan dinyatakan bersalah oleh Hakim, sedangkan Bapak saya sampai dibebaskan pada tahun 1971 tidak pernah dinyatakan melanggar sesuatu pasalpun baik secara Pidana apalagi Perdata, bunyinya hanya “Dibebaskan dari tahanan sementara tetapi 6 Tahun “, opo tumon?

Pertanyaan yang keluar dari Bapak yang masih saya ingat betul adalah

“Sudah pada nonton segoro apa belum?“ tayanya.
“Sudah kata kakakku, padahal hanya untuk menyenangkan Bapak saja, saya tidak mampu menjawabnya, hanya mengangguk kecil saja.

Nonton segoro atau melihat laut adalah satu-satunya hiburan bagi masyarakat Purworejo selama seminggu setelah lebaran dan sampai saat ini tradisi itu masih tetap berlangsung, padahal disana sebenarnya tidak ada keindahan yang mempesona yang ada hanya ombak yang kadang-kadang besar dan berbahaya, yang pasti pantainya panas dan tidak ada pepohonan yang bisa melindungi pengunjung dari sengatan matahari, tetapi tahayul yang dulu berkembang bahwa satu tahun sekali untuk kselamatan harus sowan Nyi Roro Kidul dengan jalan membuang kembang ke laut, kemudian cuci muka dengan air laut.

Hal ini ditanyakan Bapak karena setiap tahun beliau pasti mengajak kami untuk nonton segoro dengan membawa bekal nasi dan lauk pauknya, tempe bacem, sambel goreng kentang minus daging, serta oseng-oseng tempe dan kecambah dengan pertimbangan agar pengeluaran untuk jajan bisa ditekan. Karena jarak rumah kami dan pantai selatan tidak terlalu jauh kurang lebih hanya empat kilo meter biasanya cukup dengan jalan kaki, berangkat pagi-pagi dan tengah hari pulang. Dan tersirat jelas di wajahnya yang semakin tampak tua walaupun umurnya pada saat itu baru sekitar empat puluh tahun rasa bersalah dan penyesalan karena untuk lebaran kali ini tidak bisa mengajak anak-anaknya untuk nonton segoro.



Usaha Pembuatan Minyak Kelapa
Dengan dimasukkannya Bapak ke penjara praktis bahwa kehidupan simbok untuk mengurus lima ankanya adalah sangat berat, namun ketegaran jiwanya patut diacungi jempol, anak-anaknya tidak boleh cengeng dan tidak boleh untuk bermain-main dengan anak-anaknya orang yang hanya akan mencela dan mencibir, tetapi harus membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Simbok adalah tipe orang yang sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya, kemudian kakak juga tidak jauh berbeda, kalau saya dan kembaran saya mau mendapat makanan yang dibuatnya, harus mencabuti rumput disela-sela tanaman singkong dan jagung yang sebelumnya ditanam Bapak, kalau belum dilaksanakan pasti makanan tidak diberikan, karena kebetulan kakak saya punya hobi bikin penganan yang paling sering dari singkong.

Dipekarangan rumah yang kami tinggali yang statusnya masih milik simbah, banyak ditumbuhi pohon kelapa yang merupakan satu-satunya komoditi yang dapat dipakai untuk menyambung hidup kami sekeluarga selama Bapak di penjara, karena saking banyaknya dan sampai pada kering akhirnya diborong sama tetangga untuk dipetik dan dibeli, pembelinya adalah Lik Imam yang sudah mempunyai usaha pembuatan minyak kelapa, istilah nya mbotok .

Saya tidak tahu persis kesepakatan yang diambil mengenai harga pada waktu itu tetapi yang saya ingat dan terasa aneh bahwa setiap dua belas atau tiga belas butir kelapa dihitung sepuluh, sehingga dari seribu butir kelapa kurang lebih hanya delapan ratus butir yang dibayar. Dari kejadian itu akhirnya Pak Lik Harun yaitu adik Bapak yang kala itu bekerja di Proyek Bendungan Sempor di Gombong berinisiatif untuk mendirikan usaha pembuatan minyak kelapa atau mbotok. Semua peralatan telah disiapkan di Gombong yang semuanya dari drum, kencengnya, cetakannya dan penampungan minyaknya, tenaga kerjanya adalah paman-paman yang merupakan adik-adik simbok (lain bapak) yaitu: Lik Bandi, Lik Kemin, Lik Senot serta orang lain tetapi dia masih saudara yaitu Lik Kadi.

Simbok bagian masak, kakak saya tukang catat, yah kalau sekarang mungkin namanya pembukuan atau administrasi keuangan. Saya dan kembaran saya membantu apa saja, mulai dari mengeluarkan kelapa dari tempurungnya atau disebut cokil, merendam kelapa, memarut kelapa. Sebagai pemegang buku kakak saya termasuk sangat disiplin, setiap transaksi tidak ada yang tidak tercatat bahkan simbah sebagai superviser yang tinggal di desa lain selalu dicatat datang dan pulangnya termasuk makannya, catatan yang paling saya ingat bunyinya adalah begini, “tanggal sekian simbah makan siang saja karena sore pulang,” atau “simbah makan sore saja karena datangnya siang”. Usaha pembuatan minyak kelapa tidak menjadikan keluarga kami hidupnya lebih mapan, hanya soal makan saja yang menjadi lebih enak dan lebih kenyang namun soal uang kayaknya tidak ada perubahan, untuk mengurangi beban akhirnya adik perempuan saya yang kala itu menjelang masuk SD dipungut anak oleh Lik Kemin karena setelah sekian lama berumah tangga dengan Lik Minten tidak dikaruniai anak, adik saya inilah yang kelak akan terbentuk menjadi orang yang paling patuh sedunia yang tidak ada tandingannya. Apapun yang diperintahkan oleh simbok walaupun dia masih memegang pekerjaan pasti disanggupinya, tidak pernah neko-neko, selalu nurut dan patuh sampai sekarang walaupun sudah menjadi PNS, inilah adik sekaligus sahabat saya yang paling mengerti tentang penderitaan saya.

Tahun 1966 saya masih kelas empat SD, ada perubahan permulaan tahun ajaran baru dari Agustus ke Januari, maka proses belajar mengajar pada waktu itu berlangsung selama satu setengah tahun bosan rasanya, tetapi menyenangkan juga. Pasca meletusnya pemberontkan G30S PKI, semua elemen masyarakat membentuk front-front perlawanan terhadap PKI yaitu Hansip/Hanra, Kokam dikalangan Muhamaddiyah, Kojarsena di kalangan pelajar Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dan masih banyak yang lainnya. Kelompok perlawanan tersebut mengadakan latihan baris-berbaris, jurus-jurus ala militer serta latihan-latihan kemiliteran yang lain, seolah-olah akan menghadapi musuh besar, dengan segala macam atributnya, tidak ketinggalan Topi Pet atau kabaret, padahal yang dianggap musuh pada waktu itu adalah tetangganya atau bahkan saudaranya sendiri yang sebenarnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa selain menerima takdir sebagai akibat korban politik.

Walaupun saya sadar bahwa kemampuan simbok untuk membelikan baju seragam Coklat Tua Muda untuk seragam Kojarsena tidak ada, tetapi sebagai seorang anak pasti mempunyai juga keinginan untuk mengenakan seragam Kojarsena lengkap dengan segala atributnya namun kenyataannya simbok hanya sanggup membelikan Topi Pet warna coklat dan ini dicatat oleh kakak saya sebagai pengeluaran luarbiasa dengan nama kegiatan atau akun dikelompok pengeluaran yaitu “pembelian Pet Ijan-Ijo“ saya lupa berapa harganya waktu itu.


Potong Rambut oleh Tukang Cukur Dadakan

Karena untuk potong rambutpun tidak punya biaya, dan melihat adik-adiknya rambutnya sudah panjang, tanpa teori atau ilmu tentang cukur mencukur rambut, kakakku memberanikan diri menjadi Tukang Cukur Dadakan. Hanya berbekal nekat dan dengan kepercayaan dan keyakinan bisa mencukur rambut serta berbekal gunting yang sudah tidak dapat dikatakan tajam. Kras-kres rambutku dipotong layaknya seorang tukang cukur professional. Dan sungguh karena ketololanku sekaligus kepatuhan terhadap kakakku aku menurut saja tetapi apa jadinya, setelah dianggap selesai saya bercermin dikaca almari yang merupakan harta yang cukup berharga yang kami miliki, yang dibeli dari Toko Irian di Kutoarjo. Walaupun namanya Toko Irian tetapi setelah aku sekolah SMA ternyata si empunya toko adalah keturunan Arab, bahkan salah satu cucunya adalah teman SMA saya.yaitu Ali Nahdi. Betapa sedihnya saya melihat rambut dikepalaku mirip terasering di lereng bukit bahkan mirip undak-undakan menuju makam Imogiri. Tak ketinggalan juga kakak saya apalagi simbok kelihatan sangat sedih dan menyarankan untuk diperbaiki di tukang cukur beneran, tetapi lagi-lagi tak ada uang dan malu untuk ke tukang cukur.

Esok hari seperti biasa masuk sekolah dan hebohlah tidak hanya kelas lima saja tetapi merembet ke kelas enam juga, dengan teriakan dan ejekan yang mereka lontarkan ibarat paduan suaranya Pranajaya, rambutnya undak-undakan dan anehnya saya tidak menanggapi, yah mau bagaimana wong bapaknya saja orang hukuman yang merupakan strata sosial terendah pada waktu itu.


Kakakku ke Jakarta.
Dengan berhentinya kegiatan mbotok, kakak saya jelas tidak punya kegiatan lagi oleh karena itu atas saran Pak Lik Harun, adiknya bapak yang dulu pernah diikuti selama setahun di Gombong, dan kebetulan kakak saya sudah menyelesaikan pendidikan SMP, akhirnya dengan perasaan berat simbok melepas kepergian kakakku untuk merantau ke Jakarta ikut sepupunya Bapak, yaitu Lik Kalimah. Saya merasakan kesedihan juga dan yang pasti beban simbok semakin berat, karena disamping harus mencari buruhan untuk menyambung hidup juga harus menjenguk dan mengirimi bapak makanan seminggu dua kali karena saya dan juga kembaran saya belum bisa secara pisik dan nalar meringankan beban simbok. Hanya surat yang selalu simbok dan saya nantikan untuk mengetahui kabar kakak di Jakarta. Suatu saat kakakku pernah cerita sudah kerja di pabrik mie kemudian pindah ke toko obat atau apotik, dan setiap surat yang datang dari kakak pasti saya yang lebih dulu membacanya dan akan disimak dengan sebaik-baiknya oleh simbok, karena menurut simbok dibanding kembaran saya, saya lebih jelas membacanya. Ada saatnya saya sangat bersedih dan selalu ingat kakak yang di Jakarta apabila mendengar lagu dari radionya Mbah Lurah dimana Lilis Suryani sedang menyanyi yang saya lupa judul lagunya tetapi masih ingat sayairnya antara lain “setelah kubaca isi suratmu yang telah lalu, aduhai sayang air mataku titik berlinang “. Tahun 1968 kakak saya melanjutkan pendidikan ke SPK secara Ikatan Dinas di Rumah Sakit RSPAD, sesuai dengan cita-cita awal untuk dapat membantu sesama. Simbok sangat bersyukur mendengarnya dan kelihatannya tidak pernah lepas berdo’a walapun tidak secara Islam tetapi menurut kejawen. Setiap wetonnya atau hari kelahirannya simbok senantiasa membuat bubur merah putih dan itu dilakukan untuk semua anak-anaknnya, untuk kakak saya setiap Sabtu Kliwon, saya setiap Selasa Legi, kemudian adik-adik saya masing-masing Kemis Wage dan Jum‘at Kliwon untuk si bungsu.

Kini simbok di rumah hanya tinggal bersama saya dan kembaran saya serta adik saya yang terkecil yang hampir tidak kenal dengan bapak, karena pada saat ditinggal bapak masuk bui baru berumur tiga tahun. Hinaan, cercaan, makian dan ejekan merupakan makanan sehari-hari baik dari orang lain maupun dari saudara-saudaranya bapak. Praktis dengan keadaan yang demikian saya tidak boleh cengeng dan juga harus sanggup berpikir dewasa sebelum dewasa. Pekerjaan orang dewasapun dilakoni, kesawah, mencari ikan, buruh memetik padi, mencari sisa-sisa singkong yang patah waktu dicabut dan sebagainya, adalah kegiatan diluar jam sekolah. Walaupun keadaan simbok dalam strata sosial yang terendah pada saat itu, namun tetap menyarankan kepada anak-anaknya untuk tetap sekolah dan dengan segala keprihatinan semuanya dapat berjalan sebagimana mestinya, bahkan sejak kelas V SD saya sudah termasuk murid yang dianggap cerdas, namun tak pernah menjadi juara, kalah dengan Ngatino yang bapaknya tidak termasuk anggota partai terlarang. Disamping sekolah, pada malam harinya saya juga belajar mengaji di Masjid yang gurunya adalah Guru Agama di SD yaitu Pak Khumaidi, sehingga sejak kelas V saya sudah bisa membaca Al Qur’an, bahkan pada waktu kelas VI pernah mewakili sekolah untuk mmengikuti Lomba Qiro’at tingkat kecamatan yang dilaksanakan di SD Dukuh Dungus walaupun tidak menjadi juara cukuplah sudah menjadi peserta. Surat yang dilombakan adalah Surat Al Baqarah ayat 1 sampai ayat 7. Ada sesuatu keinginan yang saya pendam sejak kelas IV yaitu ingin mempunyai pulpen tinta yang merknya Tatung, namun sampai tamat SD tidak pernah kesampaian karena simbok hanya mampu membelikan ballpoint yang harganya lima belas rupiah saja.


Empat Sekawan
Belajar bersama sudah saya lakukan sejak memasuki kelas V SD, tepatnya Tahun 1967. Saya sudah mempunyai kelompok belajar, namakan saja kelompok empat sekawan yang terdiri dari saya, kembaran saya, Suminto dan Nuruddin. Suminto adalah anaknya Lik Bandi adik tiri simbok, sedangkan Nuruddin adalah anaknya Pak Ahmad Dahlan, salah satu pengurus masjid dan juga guru mengaji di desa kami. Setiap pulang mengaji senantiasa kami belajar bersama dan juga tidur bersama di balai bambu yang dapat dipakai kami berempat. Kelompok belajar kami berlanjut sampai kami kelas VI yang akan menghadapi ujian akhir, yah kalau sekarang namanya UAN. Karena mata pelajaran yang diujikan hanya tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum dan Berhitung maka kami berempat hanya memfokuskan pada tiga mata pelajaran tersebut, yaitu dengan mengerjakan soal-soal latihan dan tanya jawab, dan tanpa direkayasa tanpa ada pemilihan dan segala tetek bengeknya sayalah leadernya yang dianggap dapat dijadikan panutan.oleh mereka bertiga.

Tibalah waktunya mengikuti ujian, kalau sekarang namanya Evaluasi Belajar Tahap Akhir yang kemudian diganti lagi menjadi Ujian Nasional atau UAN. Apapun namanya tentunya kelulusan yang diharapkan, dan dulu tidak ada istilah NEM yang lulus dan tidak lulus sama-sama mendapatkan Ijazah. Untuk yang dinyatakan lulus disamping Ijazah juga mendapat Tanda Lulus yang akan digunakan sebagai syarat untuk mendaftar ke SMP, dan yang tidak lulus cukup dengan raport. Dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 4 KM pada hari yang telah ditentukan, yang pasti dua hari yaitu Senin dan Selasa saya tidak ingat lagi tanggal dan bulannya tetapi tahunnya masih ingat yaitu 1968, kami serombongan murid SD dari kampung kami dengan berjalan kaki menuju lokasi ujian yang dilaksanakan di SD Dukuh Dungus. Karena dari jumlah murid klas VI sebanyak 33 orang, hanya beberapa yang orang tuanya memiliki sepeda, sehingga yang lainnya jalan kaki.dan saya lupa apakah sebelumnya saya sarapan apa tidak. Karena biasanya hanya sepojokan nasi sisa kemarin sore dibagi dua dengan kembaran saya ditambah ikan asin yang disangan/disangrai cukuplah sudah untuk mengganjal perut sampai seharian. Itupun masih beruntung jika saja tidak dirubung semut, dan itu merupkan menu utama sarapan pagi kami selama bapak ada di bui yang berlangsung sampai bulan Juli 1971.

Hari pertama yang diujikan adalah Berhitung dan Bahasa Indonesia dan tanpa kesulitan yang berarti saya dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik dan tanpa ada usaha untuk berbuat curang untuk mencontek ataupun ngepek istilah pada waktu, karena yang dibawa hanya alat tulis dan tanda peserta ujian. Hari Selasa yaitu hari ke-2 yang diujikan adalah Pengetahuan Umum yang materinya cukup komplit, ada Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan sebaginya tetapi inilah pelajaran yang sangat saya sukai terutama Sejarah. Dan pernah juga berkhayal kelak ingin menjadi ahli Sejarah atau kerennya Sejarawan tetapi itu hanyalah angan-angan anak desa yang sampai kini tak terwujud.

Pada hari pengumuman kelulusan, ternyata dari jumlah murid 33 orang yang lulus hanya 10 orang saja, yaitu saya, Ngatino, Suntaji, Agus, Karno, Chotimah, Barni Suprapti, Marsini, Sumisah dan Sri Wahyuningsih salah satu murid yang mengulang karena tahun sebelumnya tidak lulus. Pak Sarno Sastrodiharjo selaku Kepala Sekolah menyatakan saya adalah bintang pelajarnya dengan Nilai 8 untuk Berhitung, 8 untuk Bahasa Indonesia sedangkan untuk Pengetahuan Umum 7 dan dengan jumlah 23 sudah merupakan nilai tertinggi di Kecamatan Grabag. Dan dari kelompok empat sekawan ternyata hanya saya yang lulus, Nuruddin mengulang tahun berikutnya sedangkan kembaran saya dan Suminto sama-sama melanjutkan ke sekolah yang sama dengan saya yakni SMP Marhaenis Grabag. Dengan embel-embel Marhaenis pastilah sekolah yang kalau diistilahkan kasta adalah kasta terendah di bawah sekolah-sekolah Muhammadiyah tetapi begitulah kenyataannya.

Tidak ada rasa bangga dan tidak ada pula rasa kecewa baik dari murid, guru maupun orang tua, karena mereka semua sadar itulah kemapuan yang dimiliki murid. Dan sekolah tidak pernah takut untuk tidak dapat murid untuk tahun pelajaran yang akan datang, sedangkan orang tua murid sangat menyadari kemampuan anak-anaknya, dan ternyata orang tua murid pada waktu itu lebih menyadari dari pada sekarang ini, anak tidak naik kelas apalagi tidak lulus protes kesana kemari. Dan yang namanya perpisahan hanya diperuntukkan bagi yang lulus saja dan itupun sangat sederhana, diselenggarakan di ruang kelas VI dan dihadiri oleh perangkat desa kecuali Kepala Desa yang berhalangan hadir, saya ingat betul karena sayalah yang ditugaskan untuk menyampaikan undangannya.


Usaha Pembuatan Arang dari Tempurung Kelapa
Walaupun kebebasan Bapak dibatasi, namun dari waktu yang sangat terbatas Bapak masih berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yaitu dengan usaha pembutan arang dari batok (tempurung) kelapa. Ilmu ini beliau peroleh dari teman Bapak yang namanya Pak Markum dari desa Kedung Kamal, mantan Guru SD yang juga dianggap terlibat G30S/PKI sehingga nasibnya tidak jauh berbeda dengan Bapak.

Setelah tobong atau tungku pembakaran disiapkan dan telah di survey Pak Markum, maka mulailah usaha ini dijalankan. Bahan baku batok dibeli dari pengusaha minyak kelapa (mbotok) antara lain yang masih ada pada waktu itu yaitu. Batok kelapa disusun secara rapat dalam tobong pembakaran dan dinyalakan dari bawah dan dengan sendirinya batok akan turun. Setelah terbakar dan secara terus menerus diisi batok dari atas, kemudian setelah batok terbakar semua maka lubang tobong ditutup dengan jambangan dari tanah dan hari berikutnya tobong dibongkar dan jadilah arang.

Ternyata setelah jadi arang, kualitas arangnya bisa berbeda. Ada yang utuh seperti bentuk batok aslinya dan ada juga yang remuk. Yang utuh langung ditata dalam keranjang dan yang remuk diayak dulu sebelum dimasukkan keranjang dan siap dibawa ke Toko di Kutoarjo, dengan sepeda reyot yang Bapak miliki. Selama ada usaha pembuatan arang ada sedikit kecerahan diwajah kami sekeluarga, karena setiap habis menjual arang Bapak tidak lupa membeli kerupuk udang yang sangat gurih serta ikan asin layur sebagai lauk yang cukup bergengsi pada waktu itu. Namun kebabasn bapak untuk berusaha dibatasi lagi dan harus masuk ke LP di Purworejo, dan tidak bisa pulang setiap hari. Akhirnya usaha berhenti dan kelak dilanjutkan oleh Lik Sunar yang lebih dikenal dengan sebutan Sunarso BA (Sunar bakul areng).


Pindah ke Rumah Gubug
Sejak lahir sampai tamat SD Tahun 1968 kami menempati rumah besar yang merupakan rumah peninggalan Mbah Buyut Mulyorejo, karena Mbah Haji Dulmungin yang seharusnya menempatai rumah tersebut tinggal di Desa lain yaitu Sumberejo dan lebih dikenal dengan nama dukuh Njetak dan diangkat sebagai modin di desa tersebut dengan menempati rumah peninggalan Mbah Buyut Halirejo yang juga merupakan mertua dari Mbah Haji Dulmungin. Karena yang berhak rumah tersebut pensiun yaitu Mbah Usup adik terkecil dari Mbah Kecik (Mbah Haji Dulmungin Putri) memutuskan untuk pulang ke desa maka Mbah Dulmungin dan Mbah Kecik pulang ke rumah kami dan menjadi satu rumah dengan simbok dan kami anak-anaknya.

Cerita selanjutnya adalah hubungan mertua dan menantu yang kurang harmonis, yang merupakan cerita klasik dari zaman baheula sampai kini, ditambah karena bapak tidak dirumah. Rusaklah komunikasi menantu mertua sehingga diputuskan harus pindah rumah. Sementara bangunan yang bisa digeser adalah bengunan untuk menyimpan kayu bakar dan pernah juga sebagiannya digunakan sebagai kandang kambing waktu saya memelihara kambing Mbah Morini (bingung mau ditaruh mana cerita piara kambing). Maka pada awal tahun 1969 dengan dibantu oleh adik-adiknya simbok, Lik Bandi, Lik Kemin, Lik Senot, digeserlah bangunan tersebut kurang lebih dua puluh lima meter ke kanan, yang sebelumnya telah disiapkan pondasi dari tanah yang ditinggikan sedikit. Jadilah bangunan yang beratap daun kelapa tanpa eternit dan dindingnya bilik bambu lantainya tanah, berukuran empat kali delapan meter, menjadi tempat berteduh simbok dan kami bertiga sambil menunggu kebebasan bapak dan ternyata bengunan tersebut bertahan sampai tahun 1975. Dari rumah gubug inilah perjalanan hidup saya dan kembaran saya dimulai, dari tamat SD, SMP dan seterusnya sampai tamat SMA tahun 1974. Perjuangan untuk mempertahankan hidup sungguh sangat berat tetapi karena kepasrahan simbok disertai dengan do‘a yang tiada pernah berhenti semua dapat berjalan dengan baik tanpa ada perasaan tertekan dan terbebani walaupun hinaan, cercaan, makian dan cibiran datang silih berganti baik dari orang lain maupun dari saudara. Dan ternyata rumah tersebut baru dapat diperbaiki menjadi rumah setengah tembok permanen dan beratapkan genting serta lantainya diplester pada tahun 1975 setelah saya dan kembaran saya bekerja di Jakarta.


Mendaftar ke SMP
Bingung sedih bercampur aduk melihat teman-teman sudah mendaftar ke SMP maupun SMEP dan bapak demikian juga tampaknya, hanya sekedar mendaftarpun tidak ada biayanya, tidak punya uang yang ada hanya ikan gurami di kolam. Akhirnya dengan ikan itulah saya bisa mendaftar ke SMP Marhaenis Grabag yang kelak menjadi SMP Grabag yang merupakan cikal bakal SMP Negeri 1 Grabag dan sekarang kelihatannya sudah menjadi SMP Negeri yang ke 7 di Kabupaten Purworejo. Atas kebaikan Mbah Lurah enam ekor ikan gurami dibeli dengan harga tiga ratus rupiah, dan dengan bekal itu saya mendaftar tidak ke sekolah tetapi kerumah salah seorang guru yang tempat tinggalnya di desa kami namanya Pak Suyono.

Ada perasaan bangga bisa sekolah ke SMP tetapi sedih juga karena tdak seperti teman-teman yang lain bisa punya baju dari bahan berkulin, atau tetron sedangkan saya dan kembaran saya cukup dengan baju tenunan karya simbok sendiri yang dijahit oleh Mbah Hasyim. Dan untuk tahun-tahun berikutnya karena simbok sudah tidak sempat menenun lagi baju yang kami pakai dari bahan karung terigu atau karung bulgur yang diberi wantek warna gelap baik untuk celana maupun baju sehingga tulisan atau gambarnya masih bisa dibaca orang, dan untungnya pada saat itu di SMP Marhaenis Grabag belum mewajibkan siswanya untuk mengenakan baju seragam apalagi sepatu. Sekolah belum memiliki gedung tersendiri sehingga harus menumpang di beberapa Sekolah Dasar yang lokasinya berjauhan. Untuk kelas satu di SD Grabag, kelas dua di SD Sangubanyu dan kelas tiga di SD Dukuh Dungus. Gurunyapun sebagian besar adalah guru SD, kalau pagi mengajar SD dan sorenya mengajar di SMP.

Dari tiga puluh tiga anak hanya beberapa saja yang tidak meneruskan ke SMP dan hampir semuanya mendaftar ke SMP yang sama baik yang lulus maupun yang tidak lulus dan yang masuk ke SMEP Negeri hanya dua orang yaitu Ngatino dan Siti Chotimah, sedangkan Sri Wahyuningsih melanjutkan sekolah di kota, sehingga kelas I-a separo lebih diisi murid-murid dari SD kami. Banyak kejadian yang membanggakan tetapi banyak juga yang menyedihkan selama kelas satu, misalnya untuk mata pelajaran sejarah dan ilmu ukur, tidak ada yang bisa menandingi saya, tetapi untuk bayaran dan baju sangat menyedihkan karena bayaran pasti telat bahkan sampai sembilan bulan, sedangkan baju boleh dikata tidak pernah ganti dan suka dijadikan bahan omongan oleh murid-murid perempuan, dan suatu saat karena sudah tidak tahan lagi yang namanya Sunarti saya damprat dengan kata-kata yang sebenarnya halus tapi mengena:
“Berbahagialah kamu karena anaknya orang kaya sehingga, sehari bisa ganti tujuh kali.“ Dia malah menangis tapi cuek sajalah saya.

Seiring dengan itu tenaga saya sudah mempunyai nilai jual khusunya kalau sedang musim menggarap sawah, mulai dari menyangkul, mencabut benih atau ndaut, menyiangi tanaman alias matun dan sebagainya, walaupun upahnya belum penuh, kira-kira lima per enam upah orang dewasa. Kalau orang dewasa upahnya Rp30,- setengah hari, kalau saya sudah cukup puas dengan upah Rp25,- saja untuk setengah hari dan kegiatan tersebut saya lakukan di luar jam sekolah, sehingga perminggunya dapat mengumpulkan uang Rp. 200,- saja. Karena jam kerjanya dimulai dari hari Minggu sehari kemudian Senin pagi dan seterusnya sampai Sabtu pagi, itupun kalau ada yang menyuruhnya.

Suatu waktu setelah mendapat bayaran dari buruh mencangkul kepingin juga membeli sesuatu dari hasil keringat sendiri, maka pada suatu hari tepatnya hari Minggu kami bertiga saya, kembaran saya dan Haryadi ke Kutoarjo yang jaraknya lebih kurang sembilan kilo meter ditempuh dengan berjalan kaki pulang pergi. Saya beli tas sekolah yang mirip tasnya penjual nomor buntut, yang pada waktu itu cukup marak peredarannya sampai ke desa-desa. Sedangkan kembaran saya beli baju putih lengan panjang yang bahannya dari kain putih polos, yang jelas bukan berkulin apalagi tetron, tetapi cukup banggalah kelihatannya, walaupun akhirnya saya juga yang memakainya karena kesempitan kalau dipakai kembaran saya. Selain itu juga menyempatkan mampir warung di dalam Pasar Kutoarjo untuk jajan nasi rames, kembaran saya dan Haryadi memesan kopi cap Muntu (yang cukup terkenal di Purworejo dan sekitarnya) serta gemblong bakar. Karena belum pernah kikuk juga rasanya, duduk di warung makan, itulah pengalaman pertama saya jajan di warung.

Kehidupan berjalan terus dan dalam keadaan yang serba kekurangan tetapi sekolah juga jalan terus dan kewajiban-kewajiban sebagai anak sekolah tidak dapat terpenuhi, misalnya soal buku tulis pakai yang termurah. Saya ingat betul buku tulis gambar kereta yang terbuat dari jerami yang kasar dan kalau kena tinta cair tulisannya jadi mengembang kaya adonan kue yang sudah diberi soda kue. Dan untuk menghemat, saya punya kiat tersendiri yaitu satu baris ditulis dengan dua baris kalimat dengan huruf yang kecil-kecil dan juga kalau dari depan catatan pelajaran Sejarah Indonesia kemudian dibalik dari belakang adalah catatan Sejarah Dunia. Demikian juga dengan pelajran Ilmu Bumi jadi satu antara Ilmu Bumi Indonesia dan Ilmu Bumi Dunia, Ilmu Alam dan Ilmu Hayat, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, PKK dan Kesenian, dsb.

Karena menunggak uang bayaran sampai sembilan bulan maka tidak ada jalan lain kecuali minta surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa. Lagi-lagi simbok menghadap Mbah Lurah dan setelah di kutbahi akhirnya simbok diberikan juga surat keterangan tidak mampu. Dengan kondisi badan yang kurang sehat, hari berikutnya simbok menghadap Kepala Sekolah yaitu Pak Karsido dan ternyata dengan keluhuran budi beliau dan tentunya banyak sudah yang simbok ceritakan akhirnya saya dan kembaran dibebaskan dari segala biaya sekolah sampai bapak dibebaskan dari penjara dengan pesan kepada simbok agar saya menhadap beliau, tetapi karena ada rasa takut dan malu saya tidak berani menghadap. Namun pada suatu hari setelah jam pelajaran selesai beliau mengharapkan kepada saya untuk menghadap, beliau berkata :
“Anak yang orang tuanya kemarin datang kerumah nanti agar menghadap saya.“ Tersentak saya antara malu dan takut, tetapi karena tekat yang kuat untuk dapat sekolah maka setelah jam pelajaran selesai saya dan kembaran saya menghadap beliau dan dengan sikap kebapakannya yang bijak beliau menugaskan saya dan kembaran saya untuk memegang kunci sekolah. Kalau masuk pagi sebelum sampai sekolah mampir ke rumah Pak Karsidi umtuk mengambil kunci dan siang sambil pulang mampir lagi kerumah beliau untuk mengembalikan kunci, begitu juga kalau masuk siang, kami bertiga saya, kembaran saya dan Suwardi anak dari sepupunya simbok, yaitu Siwo Misdar selalu berangkat lebih awal untuk membuka pintu sekolah dan pulangnya belakangan untuk menutup pintu sekolah dan pekerjaan ini kami lakukan sampai tamat SMP tahun 1971. Tetapi yang paling berperan dalam hal membuka dan menutup pintu sekolah adalah kembaran saya, saya hanya kadang-kadang kalau kebetulan kembaran saya tidak masuk sekolah. Yang dapat kita petik dari semua ini adalah ketulusan, kepedulian, tanggung-jawab dan kepercayaan yang diberikan oleh seorang Kepala Sekolah kepada orang yang ingin belajar tetapi tidak mempunyai biaya dapat berlangsung. Sungguh mulia beliau, mudah-mudahan karena beliau sudah almarhum segala amalnnya akan dibalas Allah berlipat ganda serta mendapat tempat yang mulia disisi-Nya dan juga kepada anak-anaknya akan mendapat keberkahan dalam mengarungi kehidupan ini.


Bapak Dibebaskan Dari Bui
Setelah menghuni LP selama kurang lebih 6 tahun, akhirnya pada bulan Juli 1971 Bapak sudah dibebaskan. Surat pembebasan ditandatangi oleh Laksusda Jateng DIY yang intinya tidak ada indikasi terlibat dalam G30S/PKI, namun yang sungguh menyakitkan ada kata-kata dibebaskan dari tahanan sementara. Pertanyaannya sementara kok sampai 6 tahun lamanya, ini salah siapa, ini dosa siapa? Namun demikian biarlah itu berlalu barang kali hanya ingin saya sampaikan kepada semua pembaca khusunya generasi kini dan yang akan datang bahwa tidak semua orang yang dihukum itu bersalah dan tidak semua orang yang bersalah pasti di hukum, tetapi sebagai muslim kita wajib percaya bahwa hukum yang tidak disisipi kepentingan apapun termasuk kepentingan politik adalah hukum Allah yang akan kita pertanggung jawabkan di akherat kelak.

Dengan fisik yang sudah tidak kuat lagi, Bapak menekuni lagi pekerjaan lamanya sebagai buruh memetik kelapa (bangkelan), dan karena komoditi kelapa sudah mulai tidak menentu harganya maka pekerjaan itu dihentikan dan mulailah sebagai buruh tani. Kebetulan teman-teman beliau selama di LP banyak juga yang sawahnya luas sehingga saya dan Bapak dipercaya untuk mengerjakan sawahnya. Saya dan Bapak selalu beriringan dalam pulang dan pergi ke sawah yang kami kerjakan sehingga seperti kakak adik saja, dan yang tidak pernah saya lupakan adalah bahwa Bapak tidak pernah marah kepada anak-anaknya dan kesulitan apapun yang dihadapi tidak pernah membuat beliau emosi inilah pelajaran yang saya peroleh dari beliau yang saya coba terapkan kepada anak-anak saya walaupun zamannya sudah berbeda .

Kebebasan Bapak bukan berarti bahwa kehidupan kami dari sisi ekonomi maupun strata sosial berubah. Ternyata cap mantan tapol tetap melekat kuat dan baru berubah setelah kakak menikah dengan seorang tentara, yang dalam perjalanannya waktu suami kakak saya inilah yang mampu mengangkat harkat dan martabat kami sekeluarga dari posisi terpuruk dalam kubangan nasib dan garis tangan terangkat menjadi keluarga yang keberadaannya dianggap telah sejajar dengan mereka. Sujud syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat-Nya atas kemurahan dan limpahan rahmat-Nya, kami bisa seperti sekarang ini. Namun karena sesuai dengan janji Simbok dengan Kepala SMP Grabag pada waktu itu, apabila Bapak sudah bebas maka uang sekolah akan dibayar kembali, oleh karena itu sejak Bapak dibebaskan dari LP saya dan kembaran saya membayar kewajibannya sebagai murid sekolah walaupun untuk mencarinya tetap tidak mudah, dan tugas sebagai pengunci pintu tetap kami jalankan sampai tamat SMP kelak.


Tertimpa Kelapa
Hari Minggu adalah hari yang selalu saya isi dengan kegiatan-kegiatan apa saja untuk membantu orang tua. Waktu itu habis lohor setelah istirahat saya menyiangi pohon singkong, Bapak menganyam bilik bambu dan Simbok menampi beras yang akan dimasak sore nanti. Setelah beberapa kali pacul saya ayunkan ternyata mau copot sehingga harus saya kencangkan panteknya. Tanpa rasa khawatir sedikitpun saya jongkok di dekat Bapak menganyam bilik dibawah pohon kelapa yang tingginya kurang lebih 5 meter yang buahnya banyak namun mungkin kena hama sehingga walaupun belum tua ada yang jatuh dan menimpa kepala saya. Yang aneh Bapak saya tidak mendengarnya malah Simbok yang agak jauh yang melihat saya tersungkur tertimpa buah kelapa yang masih degan (kelapa muda) namun saya tidak pingsan, dan langsung diminumi air putih oleh Simbok langsung dari ceret, kemudian dibaringkan di resban (balai bambu yang ada senderannya) dan segera dipanggillah Mantri Saring, satu-satunya petugas yang biasa dipanggil untuk memeriksa orang sakit atau untuk mengkhitan khusunya di wilayah Kecamatan Grabag bagian Selatan. Setelah disuntik dan dipesan supaya tidurnya jangan pakai bantal.

Malam harinya barulah terasa ada perubahan pada kepala saya, yaitu apabila digerakkan sedikit saja terasa semuanya mau roboh dan kalau makan langsung muntah, ini berlangsung sampai berhari-hari dan sembuh dengan sendirinya. Mungkin inilah yang dinamakan gegar otak barangkali, tetapi pada waktu itu dianggap biasa-biasa saja, namun hanya rasa syukur kepada Sang Khalik Pencipta karena tidak harus dirawat di RS, kalau sampai dirawat pasti Bapak harus mencari biaya yang tidak sedikit pada waktu itu. Alhamdulillah sampai saat ini tidak ada masalah dengan daya pikir saya.


Menghadapi Ujian Akhir SMP
Dengan segala keterbatasan yang ada akhirnya sampai waktunya tiba untuk mengikuti ujian akhir SMP pada tahun ajaran 1971, tentunya persiapannya juga tidak seperti sekarang ini, yah apa adanya saja. Pada tahun ajaran tersebut ada lima mata pelajaran yang diujikan secara nasional yaitu: Kewargaan Negara (Civics), Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Sejarah dan Aljabar. Pada waktu itu ada kejadian yang saya sampai saat ini tidak memahami maksudnya, seperti biasa saya bangun pagi dan tidak lupa membaca ala kadarnya sebagai persiapan agar dapat mengerjakan soal-soal pada hari pertama ujian akan dilaksanakan, tetapi tak disangka-sangka Siwo Aminah yang merupakan tetangga kami yang pada saat itu terganggu ingatannya datang dan membawa air putih dan saya disuruh meminumnya, dan tanpa sanggup membatahnya saya minum saja. Yang saya tidak habis piker, ya kok tahu kalau saya mau ujian wong dia lagi terganggu ingatannya. Dia bilang biar mudah mengerjakan soalnya, hal itu sampai saat ini tidak pernah ada yang tahu akan kejadian itu, mungkin hanya Simbok karena pada saat itu beliau di pawon sedang menjerang air yang merupakan kebiasaan yang beliau lakukan setiap pagi.

Setelah sarapan pagi ala kadarnya, seperti biasa yaitu nasi yang ada dipojok sumbul (bakul) dibagi berdua dengan lauk ikan teri yang disangan. Sepeda butut milik Bapak yang memang benar-benar butut dikayuh oleh kembaran saya yang memang badannya lebih gede dari saya, dan saya diboncengnya sambil membantu mengayuh pedal sepeda kita telusuri jalan kampung mualai dari desa Tunggulrejo, Sangubanyu, Kedung Kamal, Dukuh Dungus, Lewat Desa Jono, Tungtung Pahit, Ketiwijayan dan ketemu jalan raya Kutoarjo di Desa Sidarum, kemudian masuk ke Desa Semawung memotong rel terus dari perempatan belok kanan menuju alun-alun Kutoarjo. Dan disamping alun-alun itulah tempat kami melaksanakan ujian akhir SMP, tepatnya di SD Wirotaman. bangunan yang di belakang. Selama tiga hari melaksanakan ujian di tempat tersebut, tetapi pada hari yang ke tiga sampai di desa Sangubanyu turun hujan yang cukup lebat, kami serombongan tidak semuanya membawa paying, dan karena takut terlambat dan tidak bisa ikut ujian kami jalan terus, dan ternyata sampai Desa Ketiwijayan hujan reda. Kami yang basah kuyup berhenti sebentar untuk memeras baju yang basah kuyup, tetapi hanya bajunya saja, sedang celana pendek tidak mungkin dilepas sehingga pastilah tidak nyaman lalu bagaimana dengan sepatu? Pada waktu itu semuanya masih nyeker (tanpa sepatu) sehingga walaupun ujiannya dilaksanakan di kota tetapi jelas kelihatan mana yang dari kota mana yang dari desa. Yang dari desa pasti tidak memakai sepatu, sepatu masih merupakan barang yang mahal dan langka pada waktu itu.

Selesailah ujian, menunggu hasilnya tentunya berbeda kegiatan yang dilakukan dengan anak-anak sekarang, dulu tidak mungkin untuk jalan-jalan atau refreshing tetapi yang saya lakukan lebih banyak bekerja membantu orang tua, apakah menyiangi tanaman ganyong ataupun singkong dan juga mencari ikan di Ngepos yaitu rawa yang ada diseberang desa Karanganyar. Dan tidak pernah menghayal bisa meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi karena kemampuan orang tua sebagai buruh pastilah sangat terbatas, hanya angan-angan saja yang jauh menerawang kemana-mana.

Setelah pengumuman kelulusan, ada rasa senang tetapi tidak terlalu bahagia, karena ada kekhawatiran tidak bisa melanjutkan ke SMA, namun demikian sebagai rasa terima kasih kepada Bapak Kepala Sekolah, saya dan Bapak menemui beliau ke rumahnya, tetapi ternyata beliau tidak ada dan menurut keluarganya Bapak Kepala Sekolah ada di Sekolahan dan ternyata benar adanya. Setelah Bapak menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuannya selama ini Bapak Kepala Sekolah menyampaikan bahwa untuk ujian nasionalnya saya mendapat peringkat ke-2, yang pertama yang adalah Gunawan (sekarang Kepala SMP di Ketawang) dan beliau mengatakan bahwa untuk pengambilan Ijazahnya beliau tidak bisa membantunya, artinya harus membayar, Bapak bilang tidak apa-apa toh selama ini sekolah sudah banyak membantu.

Dalam perjalanan pulang saya masih tetap di boncengan, tidak ada sepatah katapun yang kita bicarakan, mungkin Bapak berpikir bagimana untuk mencari uang guna menebus Ijazah atau mungkin yang ada di benak beliau bagaimana kelanjutan sekolah anak-anaknya, saya tidak tahu pasti, sementara saya merasa bangga karena mendapat rangking 2 tetapi tidak bahagia karena memikirkan mau melanjutkan kemana.







(discontinous . . . . .)

Tidak ada komentar: