Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

18.5.09

C I A

Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – wafat di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun) adalah mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain beliau pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Beliau juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.

Si Kancil Pengubah Sejarah
Ia merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan media massa. Jangan kaget, kalau pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS) ini pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York dan merupakan salah satu pendiri LKBN Antara. Kemahirannya memadukan diplomasi dan media massa menghantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri, Ketua DPR hingga menjadi wakil presiden. Sang wartawan, politisi, dan diplomat kawakan, putera bangsa berdarah Batak bermarga Batubara, ini juga dikenal sebagai salah satu pelaku dan pengubah sejarah yang berperan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia hingga proses pengisian kemerdekaan dalam dua rezim pemerintahan Soekarno dan Soeharto.

Pria cerdik berpostur kecil yang dijuluki ''si kancil" ini dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Semenjak kecil ia gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin toko 'Murah', di seberang bioskop Deli. Di sela-sela kesibukan barunya itu, ia banyak membaca berbagai buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasannya.Ketika usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan dihukum dua bulan penjara karena melanggar larangan berkumpul. Adam Malik pada usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota.

Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.Di zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965).

Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi. Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II / Menlu ad Interim dan Menlu RI. Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.

Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar. Kemudian dalam beberapa kesempatan ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut pemimpin nasional. Ia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebon. Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, ia seing mengatakan ‘semua bisa diatur". Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi perkataan ‘semua bisa diatur’ itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini ‘semua bisa di atur’ dengan uang. Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan.


Jejak Adam, Hawa Panas Washington
Tokoh Indonesia Dot Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

By: Atur Lorielcide, (dari berbagai sumber)

I.
Mantan wakil presiden Adam Malik ditulis pernah menjadi agen CIA. Namanya bertebaran di dokumen dinas rahasia Amerika Serikat. Keluarga membantah, tapi sejumlah indikasi menunjukkan adanya hubungan intens antara Adam dan petinggi negara itu.

Telegram itu dikirim Duta Besar Marshall Green di Jakarta kepada Asisten Menteri Luar Negeri Bill Bundy di Washington. Dikirim melalui roger channel (saluran khusus penghubung asisten menteri bidang intelijen dengan para kepala diplomatik negara itu) pada 2 Desember 1965, Green melaporkan figur yang dianggap penting bagi misi mereka di Indonesia: Menteri Perdagangan Adam Malik.

Adam, ketika itu 48 tahun, dinilai sebagai tokoh di belakang layar Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (Kap-Gestapu). Gerakan ini dilakukan masyarakat luas, tapi direkayasa militer untuk memburu orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia. "Melihat hasilnya, saya harus mengatakan program ini sangat berhasil," kata Green dalam telegram itu.

Pak Menteri bukan pemimpin Kesatuan Aksi, tapi ia merupakan tokoh kunci dan promotor gerakan. Dia juga disebut sebagai tokoh pencari dana. Green menulis di awal telegram: "Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan Rp 50 juta untuk Malik, sesuai dengan permintaannya, buat membiayai gerakan Kap-Gestapu." Tanpa bantuan Amerika, Green menulis, Kap-Gestapu pasti akan terus berlanjut. "Tapi di sisi lain, tak bisa dibantah, mereka sangat butuh duit."

Agak sulit menentukan nilai Rp 50 juta ketika itu. Pada 11 September 1965, Bank Indonesia menetapkan kurs rupiah pada angka Rp 30 per dolar AS. Artinya, uang yang digelontorkan lewat Adam bernilai US$ 1,7 juta. Namun, kurs rupiah anjlok setelah Gerakan 30 September 1965. Pada 13 Desember 1965, nilai rupiah menjadi Rp 30 ribu per dolar AS. Pada 21 Desember 1965, pemerintah melakukan pemotongan uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Mulai 14 Januari 1966, nilai tukar rupiah dipatok pada Rp 45 per dolar AS.
Bantuan dana itu diberikan agar Adam berpikir bahwa Amerika setuju dengan peran yang dimainkannya dalam setiap aksi anti-PKI. Dengan duit di tangan, Adam juga dianggap bisa merapatkan hubungannya dengan militer. Menurut Green, kemungkinan terciumnya keterlibatan Amerika dalam misi ini sangat kecil. "Sebagaimana operasi ’tas hitam’ yang selalu kita lakukan," ia menulis. "Tas hitam" adalah kata sandi untuk misi rahasia Amerika pada zaman itu.

Dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, membuka dokumen rahasia ini sejak Agustus 2001. Sempat ditutup menjelang kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Washington, dokumen itu kini bisa diunduh di situs Internet Departemen Luar Negeri Amerika. Penerbit Hasta Mitra bahkan telah mengunduh lengkap 374 dokumen itu dan menerbitkannya dalam buku berjudul Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan

II. Konspirasi G30S 1965 pada 2002.
Tim Weiner, wartawan senior The New York Times, memakai dokumen itu untuk mengungkapkan keterlibatan CIA dalam operasi penghancuran Partai Komunis Indonesia yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Soekarno pada 1965. Versi bahasa Inggris, buku berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA ini terbit tahun lalu. Isinya mengungkap sisi-sisi gelap operasi rahasia CIA. Buku ini membuat heboh Tanah Air setelah terbit dalam edisi bahasa Indonesia, bulan ini.

Untuk menyusun bagian operasi di Indonesia, Weiner mewawancarai Clyde McAvoy, mantan diplomat yang bertugas di Kedutaan Amerika di Jakarta pada 1961-1966. Menurut Weiner, sang diplomat bertemu dengan Adam di sebuah tempat rahasia dan aman. McAvoy pernah bertugas di Tokyo dan membantu merekrut seorang agen yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri Jepang. Ia bertugas ke Indonesia dengan misi penyusupan ke Partai Komunis Indonesia dan pemerintahan Soekarno.

"Saya merekrut dan mengendalikan Adam Malik," McAvoy mengatakan kepada Weiner pada 2005. "Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut." Perekrutan ini dibantu oleh seorang pengusaha bekas anggota Partai Komunis Jepang, yang tinggal di Jakarta. Setelah perekrutan Adam ini, CIA meningkatkan operasinya. Ketika kemudian Soekarno jatuh, CIA terlibat dalam pembentukan triumvirat yang terdiri atas Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Mayor Jenderal Soeharto, ketika itu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Tiga serangkai ini pula yang membidani kelahiran Kap-Gestapu, gerakan yang membunuh sedikitnya 500 ribu orang yang dituding mendukung PKI di seluruh Indonesia.

McAvoy kepada Weiner mengaku bertemu dengan Adam sebelum pembentukan Kap-Gestapu. Ia memberikan 14 unit walkie-talkie di kedutaan kepada Soeharto, yang sekaligus dijadikan alat memonitor gerakan sang jenderal. Pada pertengahan Oktober 1965, Adam mengirim utusan ke rumah perwira politik kedutaan, Bob Martens. Adam mengenal perwira ini ketika menjadi duta besar di Moskow. Kepada utusan Adam, Martens menyerahkan daftar berisi 67 pemimpin Partai Komunis Indonesia. "Sama sekali bukan daftar orang yang akan dibunuh," kata sang diplomat.

Hubungan Adam dengan Washington tetap baik ketika Soeharto yang kemudian berkuasa menunjuknya menjadi Menteri Luar Negeri. Ia diundang berbincang-bincang selama 20 menit dengan Presiden Lyndon B. Johnson di Ruang Oval Gedung Putih. Dengan dukungan Amerika, Adam kemudian terpilih menjadi ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam dokumen lain yang tak dimasukkan ke buku Weiner, terdapat arsip notulan rapat para pejabat tinggi Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Dewan Keamanan Nasional, dan asisten khusus presiden. Dalam memorandum Wakil Presiden Humphrey kepada Presiden Johnson, 25 September 1966, disebutkan ia baru saja bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik di Sheraton Ritz Hotel, Minneapolis, Amerika.

Dalam pembicaraan tentang bantuan yang dibutuhkan Indonesia itu, Adam menyampaikan pesan Soeharto bahwa kehadiran Amerika di Vietnam berakibat langsung atas terjadinya perubahan di Indonesia. Pernyataan ini merupakan "hadiah" Jakarta untuk Johnson, yang ketika itu terus dikritik karena kegagalan perang di Vietnam. Kepada Tempo, Weiner mengatakan, semua bukti itu menunjukkan bahwa Adam Malik bekerja sebagai agen untuk Amerika Serikat pada 1965-1966.

III.
Lahir pada 22 Juli 1917 di Pematangsiantar, Sumatera Utara, dari keluarga besar, Adam tumbuh dalam kehidupan penuh warna. Ia memimpin organisasi sopir di kampungnya ketika belum bisa menyetir. Tamat HIS (setingkat sekolah dasar), ia berhenti sekolah untuk bisa bergaul dengan teman-temannya. Sang ayah mengirimnya ke Madrasah Thawalib Parabek, Bukittinggi, pada 1930. Madrasah ini adalah pendidikan formal terakhir bagi anak ketiga dari 10 bersaudara ini.

Menurut putra pertamanya, Otto Malik, Adam sangat mengagumi Soekarno dan Tan Malaka, pendiri Partai Murba. Ia mendapatkan buku-buku Tan yang diselundupkan dari Singapura lewat kelompok pergerakan di Pematangsiantar. Adam juga memburu buku Tan dari Partai Republik Indonesia (Pari), yang didirikan Tan pada Juni 1927. Pada akhirnya, ia ikut memimpin Murba yang didirikan sang tokoh idola. Murba yang menganut sosialis-demokrat-nasionalis berseberangan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia.
Adam yang dikenal dengan sebutan "Bung Kancil" mengenal Bung Karno sejak persiapan Proklamasi 1945. Adam bergabung dengan kelompok Komite Van Aksi Menteng 31 bersama antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, Nitimihardjo, dan Pandu Kartawiguna. Kelompok ini menyebarluaskan Proklamasi 17 Agustus 1945, berdaulatnya Republik Indonesia, dan kekalahan Jepang.

Pada 1959, Soekarno mengangkat Adam menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kurang dari setahun, Presiden mengirim Adam ke Moskow sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Uni Soviet dan Polandia. Selama menjadi duta besar, Adam mempelajari kehidupan negara komunis itu. "Bung berpendapat, praktek komunis tak sesuai dengan teorinya. Ajaran ini perlu dievaluasi," kata Otto, kini 65 tahun.
Soekarno mengangkat Adam menjadi Menteri Perdagangan pada 1963. Menduduki posisi barunya ini, nama Adam banyak disebut dalam dokumen CIA. Pada sebuah telegram tertanggal 25 November 1964, tertulis Adam bersama-sama dengan Soeharto, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution, Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, serta Brigadir Jenderal Sukendro, asisten intelijen Angkatan Darat, sangat berharap campur tangan Amerika ketika Soekarno berkonflik dengan Malaysia. Adam dan Chaerul Saleh—dua tokoh Murba—merupakan kekuatan yang berseberangan dengan Soebandrio-Partai Komunis Indonesia.

Ada juga memorandum intelijen CIA tanggal 2 Desember 1964 yang membahas pembentukan Badan Pelaksana Pro-Soekarnoisme. Dibentuk dengan dalih menyelamatkan Pancasila, gerakan ini sebetulnya ditujukan untuk membentuk kekuatan pengimbang Partai Komunis Indonesia di lingkaran Soekarno. Adam Maliklah pemimpin gerakan Pro-Soekarno yang juga melibatkan Chaerul Saleh ini.

Menurut memorandum itu, Adam bertemu dengan Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika sebelum Green, pada 19 November 1965. Kepada Jones, Adam melaporkan bahwa gerakan Pro-Soekarnoisme telah didukung Nahdlatul Ulama, satu-satunya partai muslim yang aktif ketika itu. Soekarno terkesan hati-hati terhadap gerakan ini. Menurut Malik, tertulis dalam dokumen itu, petinggi NU pada 18 November telah meminta dan menerima persetujuan Soekarno untuk menyampaikan ide-ide non-komunis dalam kunjungannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Ada pula dokumen lain yang dikirim pada 4 November 1965. Isinya: "Hatta, Adam Malik, dan lainnya, yang kita tahu dari CAS dan laporan lain memiliki kontak dengan para pemimpin Angkatan Darat, mungkin disimpan untuk periode post-Soekarno". Menurut Tim Weiner, CAS adalah kode Departemen Luar Negeri untuk CIA. Tentu saja, dokumen-dokumen itu tidak memberikan kepastian bahwa Adam adalah agen CIA.
Menurut Nitimihardjo Hadidjojo N., penulis pidato Adam Malik, Bung Kancil memang pernah berhubungan dengan CIA. Mendapat perintah dari Soekarno untuk berunding soal Irian Barat dengan Belanda, Adam bergaul dengan Ellsworth Bunker, diplomat senior dan agen CIA yang mewakili Amerika Serikat sebagai mediator. Perundingan berlangsung pada akhir Maret 1962 di Middleburg Virginia.

Amerika berkepentingan agar tak terjadi perang di Irian Barat. Karena itu, Amerika menekan Belanda agar menarik pasukannya dari sana. Tapi Belanda kukuh ingin mendirikan Negara Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kepada Bunker, Adam menyatakan, jika Belanda tetap menolak mundur, perang sulit dielakkan. Melalui sidang NATO di Athena, Amerika menekan Belanda agar menerima Irian Barat masuk Indonesia. Sebagai imbalannya, Amerika meminta Adam Malik menggalang kekuatan antikomunis. "Tapi bukan berarti Bung adalah agen CIA," tuturnya.

Hadidjojo, kini 61 tahun, meminta posisi Adam dilihat dalam konteks Perang Dingin. Kerja intelijen, katanya, selalu berusaha merangkul musuh lawan. Murba, partai Adam, merupakan musuh Partai Komunis Indonesia. "Jadi, secara teori, semua musuh PKI adalah teman Amerika. Tapi kan tidak harus menjadi agen Amerika," katanya.

Para tokoh, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla; anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution; juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, menafikan kemungkinan Adam merupakan agen CIA. Namun seorang mantan pejabat intelijen senior di Tentara Nasional Indonesia menyatakan, bisa saja informasi itu benar. "Mungkin bukan agen, tapi binaan: mereka yang direkrut untuk kepentingan jaringan intelijen CIA," tuturnya.

Tim Weiner mengatakan, "agen" adalah seseorang yang melakukan sesuatu atas permintaan perwira CIA. Adapun para perwira itu sering menyamar menjadi diplomat pada perwakilan Departemen Luar Negeri AS. "Jadi sangat mungkin seorang agen asing mengira dia sedang berhubungan langsung dengan Departemen Luar Negeri, padahal dia sedang memberikan informasi kepada perwira CIA," katanya.

Agen atau bukan, Adam dikenal sebagai pribadi yang terbuka. Ketika menjadi wakil presiden, kawan-kawan lamanya bisa dengan mudah menelepon dan kemudian bertamu ke rumahnya. Ia selalu memenuhi permintaan para tamunya. Pernah suatu ketika, menurut cerita Joesoef Isak, temannya ketika menjadi wartawan pada 1950-an, seseorang dari Aceh minta duit untuk berobat. Adam langsung menulis memo kepada Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo agar orang itu dibantu.

Esok harinya, Direktur Rumah Sakit meminta konfirmasi apakah surat yang dibawa si pasien benar dari Adam. Wakil Presiden membenarkan dan kembali meminta agar si pasien dibantu. Sang direktur rumah sakit menyanggupi, tapi kemudian mengingatkan kelak akan ada ratusan pasien datang jika Adam selalu memberikan memo. Joesoef mengatakan, "Adam lalu menjawab: tak usah kau pikirkan yang seratus pasien. Pikirkan saja yang satu orang itu."

Joesoef juga menjadikan Adam tujuan mencari bantuan. Keluar dari penjara dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia, ia datang bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mereka meminta uang, dan langsung diberi. Sebelum pulang, Joesoef mengatakan di rumahnya dan rumah Pramoedya belum ada telepon. "Dia langsung memanggil sekretarisnya agar membantu pemasangan telepon untuk rumah kami," tutur pemilik penerbit Hasta Mitra itu.

Dengan pembawaannya yang supel dan terbuka seperti itu, Joesoef tak menutup kemungkinan bahwa Adam benar menjadi agen CIA. Sambil mengepulkan asap rokoknya, pria 80 tahun itu menyatakan: "Namanya juga intel, enggak mungkin ada yang jelas." Tentu saja, tak pernah ada bukti perekrutan.

IV. Legacy of Ashes, CIA
By: Budi Setyarso, Sunudyantoro, Yuliawati


Resensi Membongkar Kegagalan CIA
"…. Tim Weiner benar dengan mengatakan bahwa CIA saat ini tak lebih dari puing-puing keruntuhan yang sebentar lagi mungkin berubah menjadi debu." Budiarto Shambazy, wartawan Kompas, kolumnis "Politika"
Mengapa negara adidaya, lembaga spionasenya seperti tak punya daya? Mengapa "polisi dunia", sekaliber AS, agen-agen dinas rahasianya beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar Tim Weiner dalam buku yang memenangi berbagai penghargaan ini sampai pada kesimpulan bahwa sejarah operasi intelijen CIA yang telah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.

Menggunakan langgam reportase jurnalistik yang memikat, Tim Weiner, wartawan peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan perihal kelemahan CIA yang memalukan. Di antaranya, agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin runtuh pada 1989 dari siaran televisi bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah; ambruknya WTC, yang membelasah pada 11 September 2001, dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA lumpuh dalam mengantisipasi serbuan teroris alumnus CIA sendiri.

Sebagai sebuah dinas intelijen terbesar di dunia, CIA melakukan blunder paling vital dalam sejarah panjang spionase: berbohong tentang eksistensi senjata nuklir Irak. Blunder itulah yang menjadi basis pengambilan keputusan politik yang paling keliru dalam sejarah kepresidenan AS, yakni menyerbu Irak sekaligus menumbangkan Presiden Saddam Hussein.

Buku ini diramu Tim Weiner dengan mempelajari 50.000 arsip CIA, wawancara mendalam dengan ratusan veteran CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. Disajikan dengan gaya bertutur mengalir. Tim Weiner, bagaikan penulis thriller, menempatkan diri sebagai seorang tukang cerita kelas wahid.
Latar Belakang

Buku dengan tebal 858 halaman dalam edisi Bahasa Indonesia seharga Rp 120.000 ini menjadi buku kontroversial di Indonesia karena sekitar 5 halaman buku ini berisi pengakuan seorang pejabat tinggi CIA, Clyde McAvo yang menyatakan bahwa mantan Wakil Presiden, Adam Malik, sebagai agen rahasia CIA di Indonesia. Clyde McAvoy yang diwawancarai Tim Weiner pada 2005, mengaku telah merekrut dan mengontrol Adam Malik. McAvoy bertemu Adam Malik tahun 1964. Dalam buku itu dijelaskan bahwa CIA memberikan US$ 10 ribu untuk mendukung peran serta Adam Malik memberantas Gestapu. Karena berisi pernyataan tersebut, maka buku ini banyak mendapat kritik di Indonesia.

Terlepas dari benar atau tidaknya Adam Malik menjadi agen CIA, kita sebagai orang yang tidak terlibat (mengalami dan melihat) langsung kejadian Gestapu 1965, tentu harus bersikap netral. Kita tidak bisa percaya begitu saja pernyataan Mc Avoy, namun kita tidak harus juga menolak langsung tulisan Tim Weiner. Sebagai bangsa yang ingin maju, kita perlu bersikap kritis. Kritis menanggapi hal ini dengan rasionalitas dan berdasarkan fakta. Kita tidak boleh menvonis Adam Malik adalah agen CIA selama tidak ada fakta valid yang ditemui.

CIA dan 30 September 1965
Meskipun kita menyanggah keterlibatan Adam Malik dalam agen CIA, namun kita perlu meninjau ulang sejarah serta isi buku yang ditulis Tim Weiner. Buku ini bukanlah mendiskritkan bangsa Indonesia. Buku ini lebih memojokkan CIA sebagai dalang penghancur negara-negara yang bersebarangan dengan kepentingan Amerika Serikat. Dan buku tersebut memaparkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh CIA, agen rahasia yang paling bergengsi di dunia. Saya pikir, penulis tidak bermaksud memojokkan Indonesia ataupun Adam Malik, hanya saja Tim Weiner hanya ingin menunjukkan fakta kejahatan CIA. Pengakuan John Perkins dalam buku Confession of EHM dan John Pilger dalam film dokumenternya tentang Indonesia yang berjudul "The New Rulers of the World" mempertegas bahwa Amerika Serikat sangat berkepentingan menghancurkan pemerintahan Soekarno yang anti Imperaliasme Modern melalui korporasi dan kebijakan ekonomi dan politik kapitalis. Untuk menghancurkan kekuasaan Soekarno, sudah pasti harus menghancurkan penyokong Soekarno, yakni partai yang anti imperalias kapitalis pada saat itu yakni PNI yang dipimpin Bung Karno dan PKI. Dengan menjatuhkan Bung Karno, PNI akan lenyap. Dan untuk itu, PKI juga harus dihancurkan.

Setelah Bung Karno jatuh, kekuatan modal asing langsung masuk ke bumi pertiwi untuk mengeksploitasi sumber kekayaan alam. Dalam film dokumenternya, John Pilger (wartawan Australia) : "Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah "nation building" dan "good governance" oleh "empat serangkai" yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia."

Dalam buku hasil dokumentasi John Pilgers, The New Ruler of the World : "Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut "ekonom-ekonom Indonesia yang top".
"Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar."

Di halaman 39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : "ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini", dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.

Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan oleh John Perkins, seorang EHM yang telah bekerja menghancurkan Indonesia, Panama, Paraguay dan pengakuan teman-teman John Perkins dalam buku "A Game As Old As Empire".

Agen CIA di Indonesia era 60-an
Keberhasilan agen CIA dalam memenjarakan ekonomi Indonesia di rezim Soeharto dengan utang dan eksploitasi emas (Papua), migas dan sumber daya alam lainnya, tentu membutuhkan kaki tangan orang Indonesia sendiri. Sudah pasti ada orang-orang Indonesia yang menjadi penghianat yang menjual kehormatan dan kekayaan bangsa demi kepentingan pribadi maupun golongan.

Jadi kalau kita percaya John Pilger dan John Perkins, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa. Ditambah dengan tulisan Tim Weiner, sudah pasti ada agen CIA yang berasal dari elit bangsa. Siapakah itu?
Terlalu sulit untuk mengungkapkan siapakah saja orang-orang yang menjadi agen CIA. Kita hanya bisa berharap para peneliti dan sejarawan mengungkap misteri ini. Sejarah perlu ditelusuri untuk dipelajari. Agar generasi mendatang dapat belajar dari kesalahan dan terus melangkah sejarah yang membawa kebesaran bangsa ini.

Akhir kata, bukan hal yang tidak mungkin jika ada mantan pejabat Negara Indonesia di era orde baru yang menjadi pengabdi kepentingan Amerika Serikat. Tidak tertutup kemungkinan, para mantan pejabat tinggi Negara era Orba berusaha bekerja sama dengan Amerika Serikat dan agen CIA demi mendapat dukungan untuk membasmi golongan yang berseberangan (Bung Karno dan pendukungnya).

Kasus yang sama dengan Osama Bin Laden. Awalnya Osama dibantu CIA dan militer Amerika untuk memerangi Uni Soviet di Afganistan. Setelah berhasil mengusir Uni Soviet, dengan kematangan yang mantap, akhirnya Osama berbalik menyerang Amerika. Begitu juga, tidak tertutup kemungkinan ada oknum yang mendapat bantuan CIA dalam menggulingkan Bung Karno dan PKI, dengan berpikir bahwa setelah berhasil, maka mereka (oknum) dapat lepas dari pengaruh Amerika. Tapi, faktanya lebih dari 40 tahun, kita masih dipengaruhi oleh Amerika. Gerakan "Osama" yang gagal di Indonesia.


Tuduhan bahwa Adam Malik Agen CIA, Lemah

from → Artikel Nusantaraku

Jakarta :  Data yang mengatakan mantan perdana menteri Adam Malik sebagai Agen CIA dinilai sangat lemah karena hanya berasal dari satu narasumber. Buku itu sebaiknya disikapi secara dewasa, sebagai bagian dari proses pendewasaan bangsa. Sejarawan Anhar Gonggong mengemukakan hal itu kepada SH, Senin (24/11). Anhar berharap masyarakat tidak perlu terlalu reaktif menyikapi isi buku tersebut. Sebaliknya, cukup menjadikannya bahan pembelajaran saja. "Terima saja secara dewasa, menjadikan buku tersebut sebagai bagian dari proses pendewasaan. Jangan dicekal atau dibakar karena bagaimana pun sebuah buku pasti dapat memberikan sesuatu kepada kita," ujar Anhar.

Anhar mengatakan untuk mencapai suatu kesimpulan sejarah, kita masih perlu mengadakan kroscek data-data. Tidak bisa hanya mengandalkan sumber tunggal. Sementara itu, apa yang dikatakan buku itu tentang Adam Malik hanya bersumber dari seorang mantan petinggi Central Intelligence Agency (CIA). Dia sendiri meragukan kebenaran buku tersebut sebab secara ideologis Adam Malik bertentangan dengan ideologi Amerika Serikat (AS). "Dia itu seorang sosialis dan nasionalis-Marxis, pengikut Tan Malaka, jadi dari segi ideologi kecil kemungkinanya Adam Malik jadi mata-mata AS," kata Anhar. Selain itu sejak muda Adam Malik adalah seorang pejuang dan tokoh nasionalis. Namun, dia mengatakan, tetap ada kemungkinan apa yang diceritakan buku tersebut benar. Sebab, saat itu terjadi situasi perang dingin antara Blok AS dan Eropa Barat dengan ideologi liberal berhadapan dengan Rusia dan Eropa Timur yang komunis.

Dalam situasi ini AS bisa saja melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh berpengaruh. "Kalau betul terjadi maka ini tragedi sejarah," katanya. Departemen Luar Negeri menilai, Adam Malik sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Hal tersebut diungkapkan Teuku Faizasyah, juru bicara Deplu RI saat dihubungi SH, Selasa (25/11). "Terlepas bagaimana orang lain menilai Adam Malik, Deplu sebagai institusi yang pernah dipimpin beliau, mencatat beliau sebagai orang yang konsisten mengedepankan dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara," kata Faiza. Dia mempertanyakan tuduhan kepada mantan Menlu RI periode 1966-1978 tersebut. "Kita tidak pernah mendengar dan mencatat hal-hal yang dituduhkan sebagaimana yang menjadi polemik saat ini," tambahnya.Adam Malik tercatat pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet dan Polandia di akhir tahun 1950-an. Dia juga pernah menjadi Ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Saat menjabat Menlu, bersama rekan-rekannya dari Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand, Adam Malik turut memelopori terbentuknya ASEAN di Bangkok, Thailand pada tahun 1967. Dia juga pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa ke-26 pada tahun 1971-1972 di New York, AS. "Sangat disayangkan kalau terganggu oleh sinyalemen yang belum jelas kebenarannya," kata Faiza mengacu pada rujukan yang sudah meninggal. "Bagaimana bisa menjawab klarifikasi pihak keluarga nantinya," tambahnya. Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (24/11), mengatakan tidak yakin dengan kebenaran buku Membongkar Kegagalan CIA karya Tim Wiener yang menyebutkan mantan Wakil Presiden Indonesia Adam Malik merupakan agen CIA untuk Indonesia. Alasannya, basis politik Adam Malik yang seorang sosialis berbeda dengan basis politik yang dikembangkan AS.Menurut Jusuf Kalla, Adam Malik merupakan orang yang pandai bergaul dan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan siapa saja. Kemampuan dan jabatan yang pernah digenggam Adam Malik sangat memungkinkan baginya untuk memiliki banyak teman di berbagai kantor diplomat negara lain.

"Sebagai Wapres saya menyesalkan penulisan buku itu. Saya tidak bisa percaya dan tidak mungkin Pak Adam Malik itu menjadi seperti apa yang ditulis itu," tegas Kalla. Ketidakpercayaan Jusuf Kalla juga berangkat dari kepribadian dan pemikiran yang dikembangkan Adam Malik. Namun, ia menambahkan, akan mempelajari lebih lanjut maksud buku tersebut, dan kalau perlu akan meminta petanggungjawaban penulisnya. "Tetapi, mana mungkin orang Murba jadi agen CIA. Mana orang AS percaya. Saya yakin tidak seperti itu," jelas Kalla. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, tuduhan yang menyebut mantan Wakil Presiden Adam Malik sebagai agen intelijen AS (CIA) sangat spekulatif. Ini disebabkan media massa di barat, khususnya AS dan Eropa banyak yang terobsesi tentang keterlibatan CIA di dalam persoalan politik dan konflik di suatu negara. Oelh karena itu tidak perlu ditanggapi secara berlebihan.

Tuduhan seperti ini pun juga bukan yang pertama kali. Dulu, Muhammad Hatta juga pernah dituding sebagai provokator pemberontakan PKI tahun 1948. Jadi, persoalan seperti itu tidak perlu terlalu digubris."Terlalu banyak kontroversi di masa lampau yang sering diungkap oleh orang atau kalangan media massa barat di seluruh dunia. Saya ingat, dulu Bung Hatta juga pernah dituduh pada tahun 1948 sebagai provokator, memancing pemberontakan PKI," katanya seusai menerima Menhan RRC Jenderal Chi Wanchung, Senin.Menyinggung soal peristiwa 1965, Juwono mengakui saat ini sudah ada enam versi buku. Buku tersebut ditulis kalangan kampus, sejarawan, maupun para pensiunan departemen. Saat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepuluh tahun lalu, Juwono pernah meminta supaya sejarawan merevisi seluruh pelajaran sejarah Indonesia, mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi, untuk diluruskan.(vidi vici/inno jemabut/tutut herlina/natalia santi)
Copyright © Sinar Harapan 2008

Adam Malik Ternyata Agen CIA (Terlibat Operasi "Tas Hitam")
Adam Malik, CIA, Tiga Serangkai dan Operasi Tas HitamNurul Hidayati – detikNews
Jakarta, Kominfo Newsroom " Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan tidak perlu ditanggapi kontroversi buku Legacy Of Ashes, The History Of CIA yang menuding Mantan Wakil Presiden Adam Malik terlibat sebagai Agen CIA. ''Jadi tidak usah ditanggapi, buku itu terlalu kontrovesial dan banyak spekulasi,'' kata Juwono usai menerima Menhan China, di Jakarta, Senin (24/11).

Buku yang dibuat Tim Weiner, wartawan The New York Times tersebut, dinilainya terlalu banyak kontroversi tentang masa lalu yang sering diungkapkan oleh orang-orang dari kalangan media diseluruh dunia.
Dia mencontohkan pada tahun 1958 juga pernah dialami Bung Hatta dituduh dan dianggap pemancing provokator untuk pemberontak PKI.

Juwono menilai kontroversial seperti itu sering dilakukan industri media di Amerika dan Eropa dan selalu ada obsesi tentang peranan dari intel-intel CIA sehingga rakyat kurang memperhitungkan kejadian-kejadian di manca negara apakah di Afrika maupun di Asia yang itu adalah masalah dalam negeri.

Begitu juga seputar kejadian 1965, sudah ada enam versi dari berbagai kampus maupun penulis termasuk para pensiunan Deplu maupun CIA sendiri. Menurutnya hal tersebut wajar karane sudah lebih dari 30 tahun peristiwa tersebut. ''Jadi sudah lebih batas waktu embargo kerahasiaan masing-masing,'' katanya.
Namun demikian, dirinya saat menjadi Mendikbud pernah menyerahkan kepada sejarawan untuk merevisi kembali seluruh sejarah Indonesia termasuk buku-buku teks mulai dari SD sampai perguruan tinggi untuk bisa diluruskan dan seimbangkan guna ada kebenaran dalam peristiwa sejarah tersebut.

Menurutnya sah-sah saja setiap sejarawan mempunyai mashab tersendiri, mengumumkan data tersendiri. Tapi pihaknya pernah meminta para sejarawan dari berbagai ragam mashab dan pikiran maupun selera supaya lebih berwawasan nasional termasuk memilah-milah peristiwa sejarah supaya tidak Jawasentris tapi juga ditempat-tempat lain termasuk Indonesia Timur

Dia mencontohkan saat masa Pemerintah Soekarno dimasa lampau peran tokoh-tokoh yang melawan beliau disisikan begitu juga masa Suharto, jasa-jasa Bung Karno tetap dipikirkan. Ole h karena itu, dirinya pernah menyampaikan kepada Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) untuk membuat suatu kerangka sejarah yang lebih berimbang, supaya tidak dinafikkan Bung Karno, mengecilkan Suharto tapi menyimbangkan semua masa-masa Presiden hingga Presiden Habibie. (T.Yr/ toeb/b )

Tidak ada komentar: