Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

12.5.09

Tokoh

Dipa Nusantara Aidit
Wikipedia.

Dipa Nusantara Aidit, lebih dikenal dengan DN Aidit (30 Juli 1923 - 22 November 1965), adalah Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Pulau Bangka, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah

Terlibat dalam politik
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja. Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit mengikuti paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRT. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.

Peristiwa G-30-S
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang kapten. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S. Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.

Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. Versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.

Tulisan DN Aidit
DN Aidit banyak menuliskan pikiran-pikirannya dalam sejumlah buku dan tulisan. Sebagian daripadanya adalah:
  1. Sedjarah gerakan buruh Indonesia, dari tahun 1905 sampai tahun 1926 (1952).
  2. Perdjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1952).
  3. Menempuh djalan rakjat: pidato untuk memperingati ulangtahun PKI jang ke-32 - 23 Mei 1952 (1954).
  4. Tentang Tan Ling Djie-isme: referat yang disampaikan pada kongres nasional ke-V PKI (1954).
  5. Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955) / bahasa Inggris: The road to people's democracy for Indonesia (1955).
  6. Untuk kemenangan front nasional dalam pemilihan umum, dan kewadjiban mengembangkan kritik serta meninggikan tingkat ideologi Partai: Pidato dimuka sidang pleno Central Comite ke-3 PKI pada tanggal 7 Agustus 1955 (1955).
  7. Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, perdamaian dan demokrasi sesudah pemilihan parlemen (1955).
  8. Menudju Indonesia baru: Pidato untuk memperingati ulang-tahun PKI jang ke-33 (1955).
  9. Perjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1955).
  10. Revolusi Oktober dan rakjat2 Timur (1957).
  11. 37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957).
  12. Masjarakat Indonesia dan revolusi Indonesia: (soal² pokok revolusi Indonesia) (1958).
  13. Sendjata ditangan rakjat (1958).
  14. Kalahkan konsepsi politik Amerika Serikat (1958).
  15. Visit to five socialist states: talk by D.N. Aidit at the Sports Hall in Djakarta on 19th September (1958)
  16. Konfrontasi peristiwa Madiun (1948). 
  17. Peristiwa Sumatera (1956) (1958).
  18. Ilmu pengetahuan untuk rakjat, tanahair kemanusiaan (1959)
  19. Pilihan tulisan (1959)
  20. Introduksi tentang soal2 pokok revolusi Indonesia kuliah umum (1959)
  21. Untuk demokrasi dan kabinet gotong rojong (laporan umum Comite Central Partai Komunis Indonesia kepada Kongres Nasional ke-VI) (1959)
  22. Dari sembilan negeri sosialis: kumpulan laporan perlawatan kesembilan negeri sosialis (1959)Peladjaran dari sedjarah PKI (1960)
  23. Indonesian socialism and the conditions for its implementation (1960)
  24. Memerangi liberalisme (1960)
  25. 41 tahun PKI (1961)
  26. PKI dan MPRS (1961)
  27. Perkuat persatuan nasional dan persatuan komunis!: laporan politik ketua CC PKI kepada Sidang Pleno ke-III CC PKI pada achir tahun 1961 (1961)
  28. Anti-imperialisme dan Front Nasional (1962)
  29. Setudju Manipol harus setudju Nasakom (1962)
  30. Pengantar etika dan moral komunis (1962)
  31. Tentang Marxisme (1962)
  32. Untuk demokrasi, persatuan dan mobilisasi: laporan umum atas nama CC PKI kepada Kongres Nasional ke-VI (1962)
  33. Indonesian communists oppose Malaysia (1962)
  34. Berani, berani, sekali lagi berani: laporan politik ketua CC PKI kepada sidang pleno I CC PKI, disampaikan pada tanggal 10 Februari 1963 (1963)
  35. Hajo, ringkus dan ganjang, kontra revolusi: pidato ulangtahun ke-43 PKI, diutjapkan di Istana Olah Raga "Gelora Bung Karno" pada tanggal 26 Mei 1963 (1963)
  36. Langit takkan runtuh (1963)
  37. Problems of the Indonesian revolution (1963)
Angkatan bersendjata dan penjesuaian kekuasaan negara dengan tugas² revolusi:
  1. PKI dan Angkatan Darat (1963)
  2. PKI dan ALRI (SESKOAL) (1963)
  3. PKI dan AURI (1963)
  4. PKI dan polisi (1963)
  5. Dekon dalam udjian (1963)
  6. Peranan koperasi dewasa ini (1963)
  7. Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi buruh, tani dan pradjurit (1964)
  8. Aidit membela Pantjasila (1964)
  9. PKI dan Angkatan Darat (Seskoad) (1964)
  10. Aidit menggugat peristiwa Madiun: pembelaan D.N. Aidit dimuka pengadilan Negeri Djakarta, Tgl. 24 Februari 1955 (1964)
  11. "The Indonesian revolution and the immediate tasks of the Communist Party of Indonesia" (1964)
  12. Untuk bekerdja lebih baik dikalangan kaum tani (1964)
  13. Dengan semangat banteng merah mengkonsolidasi organisasi Komunis jang besar: Djadilah Komunis jang baik dan lebih balk lagi! (1964)
  14. Kobarkan semangat banteng! - Madju terus, pantang mundur! Laporan politik kepada sidang pleno ke-II CCPKI jang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central di Djakarta tanggal 23-26 Desember 1963 (1964) / bahasa Inggris: Set afire the banteng spirit! - ever forward, not retreat! - political report to the second plenum of the Seventh Central Committee Communist Party of Indonesia, enlarged with the members of the Central, 1963 (1964)
  15. Kaum tani mengganjang setan-setan desa: laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat (1964)
  16. Perhebat ofensif revolusioner disegala bidang! Laporan politik kepada sidang pleno ke-IV CC PKI jang diperluas tanggal 11 Mei 1965 (1965)
  17. Politik luarnegeri dan revolusi Indonesia (kuliah dihadapan pendidikan kader revolusi angkatan Dwikora jang diselenggarakan oleh pengurus besar Front Nasional di Djakarta) (1965)

Selain itu, sebagian dari tulisan-tulisannya juga diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul The Selected Works of D.N. Aidit (2 vols.; Washington: US Joint Publications Research Service, 1961).

Pembelaan Diri yang Terbungkam
By: Nova christina (Litbang Kompas)

PADA tanggal 30 September biasanya diperingati peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Setiap rumah dan gedung wajib mengibarkan bendera setengah tiang. Tidak hanya itu, malam hari, televisi menayangkan film berdurasi panjang tentang G30S/PKI.
KINI, sejak tumbangnya pemerintahan Soeharto 21 Mei 1998, peringatan tersebut "hilang" dari kalender nasional. Memang, saat ini, peristiwa G30S/PKI banyak dipertanyakan dan digugat. Namun, Partai Komunis Indonesia (PKI) masih meninggalkan jejak hitam pada sejarah. Setidaknya terdapat dua peristiwa yang dituduh merupakan tanggung jawab partai yang telah berdiri sejak 23 Mei 1920 ini. Peristiwa pertama tentu saja G30S/PKI, dan yang kedua adalah pemberontakan di Madiun yang terjadi juga pada bulan September tahun 1948.

PKI sendiri pernah mengedarkan dua buku pembelaan diri. Kedua buku tersebut adalah Buku Putih tentang Peristiwa Madiun dan Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948). Peristiwa Sumatra (1956), ditulis oleh DN Aidit dan dua kali dicetak (pada tahun 1957 dan 1958). Buku Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948) dan buku Peristiwa Sumatra (1956) merupakan pidato yang disampaikan Aidit pada sidang parlemen tanggal 11 Februari 1957. Pidato ini disampaikan untuk "menjawab" anggota parlemen, Udin Sjamsudin, yang disebut dalam buku telah membawa-bawa Peristiwa Madiun dengan maksud mengaburkan persoalan (Peristiwa Sumatera-Red).

Pada awal pidato, Aidit membuka dengan memberikan semacam penghargaan pada Pemerintah Ali-Idham (Ali Sastroamidjojo dan KH Idham Chalid-Red). Disebutkan, pemerintah dalam keterangan tanggal 21 Januari dan 4 Februari 1957 mampu membatasi persoalan, yaitu kejadian-kejadian di Sumatera pada Desember 1956. Aidit, mewakili partainya, juga mengungkap pendapat terhadap kejadian di Sumatera. Pertama, PKI menganggap peristiwa tersebut sengaja ditimbulkan oleh sebuah partai kecil dan oknum-oknum liar yang ingin mempertajam ketegangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI. Kedua, kejadian di Sumatera sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis yang dipelopori Amerika Serikat untuk menarik Indonesia ke dalam pakto militer SEATO (South East Asia Treaty Organization).
Pidato yang disampaikan Aidit dibagi atas lima bagian. Dari kelima pokok dalam pidato, ada satu benang merah yang disampaikan, yaitu menyatakan Mohammad Hatta sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa di Madiun. Dengan membandingkan sikap dua pemimpin pemerintahan (kabinet) dan dua pergolakan, Aidit "menyerang" habis-habisan Mohammad Hatta di sidang parlemen.

Bagian pertama pidato berjudul Dalam Soal Peristiwa Madiun Kaum Komunis Adalah Pendakwa. Pada bagian ini, PKI menantang trio pemimpin kabinet Hatta-Sukiman-Natsir cs ke meja hijau sehubungan dengan Peristiwa Madiun. Menurut Aidit, ketika dihadapkan ke muka pengadilan pada tanggal 27 Januari 1957, dirinya bersedia untuk mendatangkan para saksi Peristiwa Madiun. Entah kenapa, jaksa menolak dan mencabut tuduhan pada Aidit.

Pembahasan kedua berjudul: Hatta Bertanggungdjawab Atas Pentjulikan Dan Perang-Saudara Tahun 1948. Dalam kronologi singkat, Aidit menguraikan apa yang terjadi di Madiun. Menurut Aidit, pada tanggal 18 September 1948 terjadi ketegangan di Madiun. Saat itu, residen kepala daerah tidak ada di Madiun, sehingga untuk mengatasi keadaan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang memang di bawah PKI mendesak agar Supardi, Wakil Wali Kota Madiun untuk bertindak selama Residen Madiun belum kembali. Pemerintah Hatta kemudian menuduh PKI ingin "merobohkan pemerintah Republik Indonesia", "mengadakan coup d'état", dan "mengadakan pemerintah Sovjet". Pada tanggal 19 September 1948, disebutkan, atas tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah Hatta, Presiden Soekarno menyerukan untuk membasmi kaum komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah.

Tiga bagian selanjutnya, yaitu Hatta Ingin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi, Kabinet Ali-Idham Ber-puluh2 Kali Lebih Bidjaksana Daripada Kabinet Hatta, dan Dwi Tunggal Tidak Pernah Ada, masih "setali tiga uang" dengan dua bagian awal. Mohammad Hatta benar-benar ditempatkan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab pada Peristiwa Madiun. Bahkan dikaitkan dengan Peristiwa Sumatera, Aidit menulis "…Sukurlah, bahwa ketika terjadi Peristiwa Sumatra Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara…. Kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banyak lagi korban jang dibikinnja…." (hlm 18).
Terakhir, di akhir buku juga terdapat tiga lampiran, yaitu Verslag Proses Verbaal Pembunuhan Sidik Aslan dkk. serta Letnan Kolonel Dachlan dan Major Mustofa dkk. dari TNI Bataljon 38 Divisi I; Pengakuan Major Zainul Sabarudin, Komandan Bataljon 38 TNI mengenai pembunuhan Sidik Aslan dkk.; dan

Penjelasan Lampiran II.
Jika ditinjau dari sisi kronologis, tidak ditemukan adanya kejanggalan pada apa yang disampaikan Aidit. Namun, tetap harus disadari, pidato versi Aidit ini bertentangan 180 derajat dari buku sejarah lain yang menuduh PKI sebagai dalang Peristiwa Madiun. Aidit mati-matian mempersoalkan Hatta sebagaimana pihak lain mati-matian menghukum PKI.

Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia menyebutkan, Peristiwa Madiun adalah salah satu batu sandungan dalam perjalanan karier politik Hatta. Menurut Feith, Hatta saat itu adalah perdana menteri dan menteri pertahanan yang berperan penting. Dengan memangku dua jabatan tersebut, kekuatan militer terbesar ada di tangan Hatta. Buku lain, yaitu Mengenal Kabinet RI Selama 40 Tahun Indonesia Merdeka, bahkan mencatat tiga jabatan penting Hatta, yaitu wakil presiden, perdana menteri, dan menteri pertahanan.

Peristiwa Madiun sendiri disebut sebagai cerminan perang dingin yang berlangsung di dunia kala itu. Jika demikian, buku pidato Aidit ini masih lemah untuk menjadi pijakan sejarah. Namun, isi buku maupun pidato yang telah disampaikan DN Aidit di sebuah sidang parlemen ini sekian lama kurang diperhitungkan sebagai dokumen sejarah, dengan kata lain: terbungkam.

Tidak ada komentar: