Lemah Kuning! Nama ini sengaja aku pilih, karena ini akan mengingatkan pada suatu masalah tersendiri, yang menjadi harus dicampakkan, dan dijauhkan dari kebenaran. Dan mungkin kebenaran itu hanya menjadi suatu impian belaka. Namun demikian marilah kita bermimpi, banyak orang mengatakan dengin bermimpi suatu saat akan menjadi kenyataan. Jauh sebelum saya menggunakan kata ini untuk memberi judul blog, hanya satu masalah yang muncul ketika dilakukan pencarian menggunakan google.

9.5.09

Tap MPRS

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) adalah cikal bakal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tertinggi negara Republik Indonesia. MPRS dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden RI Soekarno.

 
Periode 1960 – 1965

Susunan MPRS diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, sebagai berikut:
  1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
  2. Jumlah Anggota MPRS ditetapkan oleh Presiden.
  3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
  5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.

Susunan pimpinan:

 
  • Ketua : Chaerul Saleh
  • Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo
  • Wakil Ketua : K.H. Idham Chalid
  • Wakil Ketua : D.N. Aidit
  • Wakil Ketua : Kol. Wilujo Puspojudo

Sidang Umum I MPRS (1960)


Sidang Umum Pertama MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960. Sidang Umum Pertama MPRS ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara;
  2. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. 
Sidang Umum II MPRS (1963)


Sidang Umum Kedua MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 15 Mei - 22 Mei 1963. Sidang Umum Kedua ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:

  1. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup;
  2. Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Sidang Umum III MPRS (1965)


Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965. Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:

 
  1. Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia;
  2. Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
  3. Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation" sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
  4. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Periode 1966 – 1972


Periode 1959-1965 adalah periode yang penuh pertentangan ideologi dalam sejarah kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 30 September 1965 yang ditandai dengan peristiwa G-30-S. (Sejarah sampai saat ini masih menganggap bahwa peristiwa itu mutlak dilakukan/didalangi oleh PKI)

 
Sebagai akibat logis dari peristiwa G-30-S, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi peristiwa G-30-S, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

 
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

 
Susunan pimpinan:

 
  • Ketua : Dr. A.H. Nasution
  • Wakil Ketua : Osa Maliki
  • Wakil Ketua : H.M. Subchan Z.E.
  • Wakil Ketua : M. Siregar
  • Wakil Ketua : Mashudi
Sidang Umum IV MPRS (1966)


Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966. Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24 ketetapan, yaitu:

 
  1. Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
  2. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar 1945;
  3. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
  4. Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
  5. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
  6. Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
  7. Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
  8. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
  9. Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
  10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
  11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
  12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
  13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepala Daerah;
  14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan.
  15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
  16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan;
  17. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
  18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
  19. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan;
  20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
  21. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
  22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang "Maha Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;
  23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (P.Y.M) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
  24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.

 
Sidang Istimewa MPRS (1967)


Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul Nawaksara ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

 
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama Pelengkap Nawaksara, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.

 
Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai Nawaksara beserta pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila".

 
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

 
Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

 
Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu :

 
  1. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
  2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara;
  3. Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966;
  4. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966.


 

 
 
Berikut hasil penelusuran dari web:

 

 
I
Jakarta, gusdur.net: Jika Wapres Hamzah Haz bersikeras memerintahkan agar buku Aku Bangga Jadi Anak PKI disita dengan alasan menyebarkan paham komunis. Gus Dur justru sebaliknya. Menurutnya, paham komunis tak bisa dipasung. Maka dia kembali mengusulkan agar Tap MPRS no XXV/1966 yang mengatur pelarangan ajaran komunis dicabut. "Paham merupakan sesuatu yang tak bisa dipasung. Paham yang dilarang dalam tap tersebut adalah marxisme dan leninisme. Institusi memang bisa dipasung. Kalau paham tak bisa," kata Gus Dur usai bertemu Rachmawati di kediamannya, Jl. Jati Padang, Jakarta Selatan, Jumat (4/10/2002).

 
II
JAKARTA - Ketua Paguyuban Korban Orde Baru dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal dibolehkannya bekas anggota PKI menjadi anggota DPR sebagai putusan yang terlambat. Menurut Ketua Penelitian Korban Peristiwa 1965 itu, pendaftaran calon anggota DPR untuk pemilu tahun ini sudah ditutup. Sedangkan jika dimaksudkan sebagai proyeksi untuk pemilu mendatang, para bekas anggota Partai Komunis Indonesia sudah terlalu tua.

 
III
Bukankah sudah terbukti dalam sejarah negeri ini, akan selalu ada fihak-fihak yang punya fikiran lain, akan selalu ada yang menentang bila sesuatu yang tidak adil diurus dengan seksama sampai kebenaran itu tegak? Pendapat dan fikiran yang bagaimanapun, misalnya dalam rangka membicarakan masalah Rekonsiliasi Nasional, Pakorba berpendapat bahwa cabut dulu TAP MPRS No XXV/1966, agar semua warganegara sama derajat dimuka hukum, selalu ada saja yang akan menentangnya. Dan itu wajar dalam alam demokrasi. Tapi lalu, ada yang melemparkan tuduhan dan fitnahan yang teramat keji, bahwa usul dan pendapat supaya TAP MPRS No XXV/1966 tsb dibatalkan, sebagai selubung untuk mendirikan kembali PKI! Apakah tidak mengetahui bahwa para anggota PAKORBA itu terdiri dari pelbagai aliran politik dan keyakinan yang tidak ada hubungannya dengan masalah "menghidupkan kembali PKI"? Orang boleh-boleh saja anti-PKI, berjuang agar PKI jangan sampai berdiri lagi, itu sah-sah saja dalam alam demokrasi. Meskipun jelasnya hal itu tidak relevan, karena PKI sudah lama bubar dan sudah lama tidak ada lagi. Yang ada hanyalah para eks tapol, para keluarga mereka yang sampai sekarang masih dipersekusi dan didiskriminsi, yang menuntut nama baik mereka direhabilitasi, serta hak-hak kewarganegaraan mereka dipulihkan, karena betapapun mereka adalah warganegara RI dan manusia yang punya hak hidup sebagai manusia biasa.

 
IV
Tap MPRS No XXV itu merupakan sebuah Tap dengan judul panjang yang dalam ST MPR kali ini akan menjadi bahan perdebatan di antara para politisi. Judul lengkap Tap itu ialah: Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Indonesia Bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/ Marxisme-Lenimisme.

 
V
PENCABUTAN TAP MPRS 25/1966
(Oleh : A. Umar Said )
Di tengah-tengah kesibukan untuk memenuhi tugas kehidupan sehari-hari, maka membaca ratusan berita-berita setiap hari lewat Internet tentang berbagai peristiwa dan sejuta persoalan yang sedang dihadapi negara dan rakyat kita dewasa ini, adalah hal yang mengasyikkan, menggembirakan, tetapi juga mencemaskan atau, seringkali, membingungkan. Terlalu banyak peristiwa penting yang terjadi, dan juga terlalu banyak pula problem-problem serius yang harus di pecahkan, dan secepat mungkin pula. Semuanya kelihatan urgen untuk ditangani, sehingga tidak jelas lagi mana yang prioritas dan mana yang bukan.

 
Masalah BBM perlu diatasi, demonstrasi-demonstrasi harus ditangani secara bijaksana, penuntutan Suharto di depan pengadilan harus diteruskan, tuntutan rakyat Aceh perlu sekali didengar, saling bantai di Maluku harus dihentikan, kasus Bob Hasan harus dituntaskan, pengangguran yang berjumlah 40 juta harus diperangi, hakim-hakim busuk di Mahkamah Agung harus ditindak, Kejaksaan Agung harus dibersihkan dari oknum-oknum kriminal, perampok berdasi di berbagai bank harus ditangkapi dan dipenjarakan, jenderal-jenderal yang merongrong politik Gus Dur harus terus diawasi, kegiatan-kegiatan golongan-golongan yang sebentar-sebentar meneriakkan jihad juga perlu diwaspadai dst dst (ma'af, daftar ini memang sengaja diperpendek. Mohon, ditambahkan sendiri, supaya lengkap, menurut pilihan Anda sendiri. Pen.)

 
Memang, semua itu harus ditangani (secepat mungkin dan seserius mungkin) oleh lembaga-lembaga atau aparat-aparat pemerintahan Gus Dur, sesuai dengan tugas, keahlian atau bidang masing-masing. Konon, Gus Dur sendiri sudah marah-marah, karena selama ini, pekerjaan para pembantunya di bidang Ekuin terlalu lambat dan hasilnya pun tidaklah besar. Sedangkan, kebudayaan korupsi juga masih menjamur terus di mana-mana, dan kebiasan atau pola berfikir cara Orde Baru juga masih kita rasakan.

 
Salah satu ciri utama pola berfikir Orde Baru, yang sampai sekarang (baca: di bawah pemerintahan Gus Dur) masih diidap oleh banyak tokoh resmi maupun pemuka berbagai kalangan adalah rendahnya kesedaran terhadap hak asasi manusia. Bahkan, banyak gejala atau indikasi yang mencerminkan bahwa tidak sedikit di antara elite kita itu yang tidak mengerti apa artinya hak asasi manusia. Lebih-lebih lagi mengherankan (dan sekaligus juga menyedihkan) bahwa di antara elite itu terdapat juga profesor, ahli hukum, menteri, jenderal, wartawan, ulama, dan berbagai tokoh yang punya pengaruh atau kedudukan penting dalam masyarakat.
Dan orang-orang semacam itulah yang telah (dan bahkan bisa akan terus) membahayakan kehidupan bangsa kita, dan merusak peradaban atau merugikan perikemanusiaan. Mungkin, ada orang yang menganggap kalimat yang terdahulu ini keterlaluan, atau sembarangan, atau ceroboh, atau entah apa lagi lainnya. Terhadap orang semacam itu, baiklah dipersilahkan untuk sama-sama mempertimbangkan dengan hati yang kalem dan fikiran dingin, hal-hal sebagai berikut.

 
PELANGGARAN HAM SELAMA LEBIH DARI 30 TAHUN
Kiranya, tidak perlu direntang-panjangkan lagi bahwa rezim militer Orde Baru adalah, sejak permulaan, sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia. Dan yang perlu ditekankan lagi di sini yalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu dilakukan secara besar-besaran, dalam berbagai bentuk dan cara, dan berlangsung lama sekali, yaitu lebih dari 32 tahun. Dalam sejarah dunia modern, tidak banyak negara lain yang menandingi Indonesia dalam hal ini. Agaknya, akan merupakan sumbangan besar bagi khazanah sejarah hukum bangsa kita, kalau berbagai pelanggaran hak asasi manusia rezim militer Orde Baru ini bisa dikumpulkan secara rinci. Ini bisa dilakukan oleh fakultas-faukultas hukum diseluruh Indonesia, atau oleh lembaga-lembaga lainnya, termasuk LSM. Deretan panjang daftar pelanggaran HAM yang sudah dilakukan selama puluhan tahun itu akan bisa mengungkap berbagai aspek gelap praktek-praktek buruk rezim militer Suharto dkk. Semua itu akan merupakan pelajaran penting bagi generasi kita yang akan datang.

 
Di antara berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang paling jelas-jelas menyolok adalah antara lain : pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 yang memakan korban lebih dari satu juta orang yang tidak bersalah, penahanan ratusan ribu tapol golongan A,B,C tanpa pengadilan, larangan eksistensi PKI, larangan terhadap marxisme-leninisme, penyederhanaan partai-partai politik (fusi), konsep "desa mengambang", 5 paket UU politik, konsep "bersih lingkungan", KTP yang bertanda ET, praktek-praktek litsus, satu organisasi buruh, satu organisasi tani, satu organisasi wanita, praktek-praktek paksaan KORPRI, manipulasi berulangkali pemilu, peristiwa Aceh, Lampung, Tg Priuk, Aceh, penculikan aktivis-aktivis PRD, penyerbuan gedung PDI (27 Juli), sensor pers langsung dan tidak langsung dst dst.

 
Adalah menarik bagi kita semua (terutama bagi ahli psikologi massa, ahli komunikasi, ahli politik) untuk menjadikan slogan "bahaya laten PKI" sebagai studi penelitian. Sebab, dari sejarah Orde Baru sudah nyata dan jelas bahwa berbarengan dengan TAP MPRS 25/66 (larangan terhadap PKI dan disebarkannya marxisme) slogan "bahaya laten PKI" adalah pelanggaran terbesar hak asasi manusia, yang akibatnya sangat parah bagi kehidupan bangsa. Seperti yang sudah sama-sama kita alami sendiri selama ini, TAP MPRS 25/66 dan slogan "bahaya laten PKI" telah dijadikan "alat teror nasional" untuk mematikan demokrasi. Karena dikuburnya demokrasi inilah maka berbagai komponen bangsa (tidak peduli dari golongan agama apapun, keyakinan politik yang manapun, atau suku, ras yang manapun!) telah menderita tindasan rezim militer Orde Baru, selama puluhan tahun pula.

 
GUS DUR INGIN MENGHILANGKAN ALAT TEROR INI
Adalah perkembangan yang menggembirakan bahwa, sekarang ini, makin banyak orang yang mengerti, bahkan yakin, bahwa rezim militer Orde Baru telah mencekek demokrasi dalam jangka lama. Dan, bahwa karena tercekeknya demokrasi, maka rezim militer dapat berkuasa secara sewenang-wenang dan melanggar hak-hak asasi manusia secara besar-besaran begitu lama, tanpa ada perlawanan yang memadai. Dan, karena tidak ada perlawanan yang cukup, maka penguasa rezim militer dengan pongahnya telah merajalela dalam melibas atau menggebug SEMUA potensi yang dianggap membahayakan kekuasaan mereka, termasuk kalangan atau golongan yang anti-PKI.

 
Tetapi, agaknya cukup banyak orang yang tidak atau belum menyadari bahwa lumpuhnya demokrasi di Indonesia, yang merugikan sebagian terbesar rakyat Indonesia, terutama sekali didahului dengan dilumpuhkannya PKI dan kekuatan pro-Sukarno. Dengan kalimat lain, dengan dihancurkannya PKI oleh rezim militer Suharto dkk, maka hancur pulalah kehidupan demokrasi. DPR dan MPR hanya menjadi patung bisu sebagai perhiasan untuk menghiasi wajah buruk yang sebenarnya rezim militer, dan semua lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif didominasi dan disetir oleh penguasa militer. Untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan, penguasa militer Orde Baru (Suharto dkk) telah menciptakan TAP 25/1966 dan slogan "Bahaya laten PKI", sebagai alat teror.

 
Alat teror TAP MPRS 25/1966 dan slogan "Bahaya laten PKI" ini telah disatukan dengan indoktrinasi besar-besaran dan intensif selama lebih dari 30 tahun, melalui berbagai cara kasar maupun halus. Indoktrinasi besar-besaran, yang intinya adalah pelanggaran hak asasi manusia, merupakan salah satu dari deretan panjang kejahatan besar rezim militer Suharto dkk.

 
Nah, alat teror yang bernama TAP MPRS 25/1966 inilah yang justru ingin dihapus oleh Gus Dur. Jelaslah kiranya bahwa sikap Gus Dur ini mencerminkan komitmennya kepada prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, kepada demokrasi, kepada penegakan hukum, kepada moral keadilan. Tetapi, gagasan Gus Dur yang luhur ini telah mendapat reaksi yang negatif dari berbagai "tokoh" yang rupanya kurang (atau, samasekali tidak) faham tentang arti Hak Asasi Manusia. Atau, bisa jadi juga begini : para "tokoh" yang menentang sikap Gus Dur yang demikian luhur itu sebenarnya bisa mengerti, tetapi fikiran mereka sudah dikeruhkan oleh perhitungan untung-rugi demi kepentingan politik atau kedudukan, atau hati nurani mereka sudah dibuta-tulikan oleh fanatisme agama yang picik, atau nalar mereka sudah termakan racun yang selama lebih dari 30 tahun telah dijejal-jejalkan secara intensif oleh Orde Baru. Atau, gabungan dari itu semua menjadi satu.

 
HAM BOLEH DISAMPINGKAN SAJA?
Akhir-akhir ini, kita bisa membaca atau mendengar berbagai pernyataan yang digelar oleh sejumlah anggota MPR atau DPR, oleh pimpinan berbagai partai, oleh tokoh dari kalangan intektual, oleh pemuka-pemuka golongan Islam (ulama atau kyai), yang menanggapi gagasan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS 25/1966 dan permintaan ma'afnya kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66. Di antara pernyataan itu ada yang mencerminkan kenalaran sehat yang menghargai prinsip-prinsip universal hak asasi manusia yang dianut Gus Dur. Tetapi ada juga yang mempertontonkan kerendahan taraf kebudayaan mereka atau
memejengkan (boleh juga :memajangkan!) hati nurani yang tidak manusiawi.

 
Contohnya adalah sebagai berikut. Konon, pada tanggal 30 Maret malam, dalam dialog interaktif TV, anggota Komnas HAM, Mayjen Samsudin, menegaskan pendiriannya bahwa untuk menyelamatkan umat, HAM bisa disampingkan. Samsudin malam itu tampil sebagai penentang pencabutan TAP MPRS No 25/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme-leninisme. Kontan pewancara TV menukas: "Jika begitu pendirian bapak Samsudin, bahwa HAM bisa dikesampingkan demi kepentingan umat, bagaimana bapak bisa jadi anggota Komnas HAM?" Dengan enteng Samsudin menjawab: "Itu ada dalam ketentuan Genewa" (Sumber: Wahana, tgl 31 Maret, 2000)

 
Terlepas dari persoalan bagaimana ucapannya yang selengkapnya, kalau inti isinya memang seperti yang tercermin dalam kalimat-kalimat itu, maka kita memasuki masalah yang menarik dan serius sekali. Bukan saja oleh karena pernyataan semacam itu dikeluarkan oleh seorang mayor jenderal (Purn), tetapi juga oleh karena ia seorang anggota Komnas HAM, suatu badan resmi yang ditugaskan untuk mengurusi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Jadinya, dan karenanya, kita patutlah kiranya bertanya-tanya (sambil heran!): "Gejala aneh macam apa lagi ini ?"

 
Bahwa dalam alam demokrasi ia berhak dan bebas menyatakan pendapatnya, itu memang bisa dibenarkan. Tetapi bahwa adalah juga hak orang lain untuk menunjukkan bahwa fikirannya itu keliru, itu juga hak demokrasi yang sah-sah saja. Apalagi, kalau ia sebagai anggota Komnas HAM mengatakan bahwa HAM bisa disampingkan untuk menyelamatkan umat, maka soalnya makin menjadi lebih serius untuk dijadikan persoalan bersama. Menyampingkan prinsip-prinsip hak asasi manusia untuk menyelamatkan umat? Lalu, siapa kiranya mudheng (bhs Jawa : mengerti), kalau sudah begini ?

 
Bahwa ia, sebagai pensiunan militer, menentang dicabutnya TAP MPRS 25/1966, itu bisalah masih dimengerti, banyak sedikitnya, sampai batas tertentu pula. Sebab, konon, pimpinan TNI sudah menyatakan menentang pencabutan itu. Jadi, mungkin ia terpaksa tunduk kepada disiplin kolektif itu. Tetapi, apakah ia mengambil sikap yang demikian itu memang karena keyakinannya bahwa TAP MPRS 25/1966 itu tidak melangggar HAM samasekali dan tidak pula berfungsi sebagai alat teror selama masa Orde Baru? Kalau memang demikian, maka sudah keterlaluan!

 
GUS DUR : HAK HUKUM TIDAK BOLEH DILANGGAR
Mengenai masalah hak asasi manusia dan demokrasi, Gus Dur memang sudah menunjukkan komitmennya yang kokoh sejak bertahun-tahun memimpin PB NU, walaupun melalui jalan berliku-liku dan melewati pasang surut situasi atau naik-turunnya suhu politik. Sesudah ucapannya di kongres PDI-P di Semarang: "Kalau Indonesia ingin demokratis, kita jangan mengenal perbedaan komunis atau bukan. Jangan jadikan pemerintah sebagai alat kekuasaan atau politik tertentu", maka di Jakarta ia menegaskan kemauannya untuk mencabut TAP MPRS 25/1966.

 
Dalam dialog rutin usai Shalat Jumat di Masjid Al-Munawaroh, Ciganjur, Jakarta (31/3) ia menyatakan bahwa TAP MPRS itu perlu dicabut karena ketetapan tersebut melanggar hak hukum orang, dan besar kemungkinan telah menghukum orang tidak bersalah secara sewenang-wenang. Mengenai orang-orang komunis, kata Gus Dur, ada dua hal yang jarang dimengerti. Pertama soal hak hukum. Kedua, menyangkut perkembangan pandangan politik. Nah, dua hal ini terpisah, tetapi dipersatukan oleh TAP MPRS tersebut, maka TAP itu harus dicabut. Jadi kita jangan semena-mena bikin TAP yang isinya itu adalah menghukum orang padahal dia tidak bersalah. " (Kompas 1 April)

 
Kalau kita renungkan secara mendalam, dan dengan pandangan luas pula, maka kelihatan jelaslah bahwa pernyataan semacam ini mencerminkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia PBB, yang Deklarasi Universalnya telah ditandatangani juga oleh Republik Indonesia. Dengan pernyataan ini Gus Dur bisa memperbaiki kesalahan besar Orde Baru, yang dengan menggunakan TAP MPRS ini telah memperlakukan lebih dari satu juta ex-tapol secara tidak manusiawi selama puluhan tahun dan menggunakannya sebagai alat teror untuk mematikan kehidupan demokrasi. Dan gagasannya yang benar dan luhur inilah yang sekarang ditentang oleh orang-orang yang tidak mengerti hak asasi manusia atau oleh sisa-sisa gelap pola berfikir Orde Baru. Berbagai contohnya dapat kita lihat dewasa ini dalam banyak suratkabar dan majalah Indonesia. Tinggal pilih saja, apa mau yang galak menggebu-gebu, apa yang aneh dan nyleneh, apa yang diwarnai kepicikan. (Contoh di bawah adalah menarik untuk dikaji bersama-sama).

 
PENCABUTAN TAP MPRS 25/1966 BERBAHAYA?
Menurut Kompas 2 April 2000, Ketua Umum Partai Keadilan (???) dan Persatuan (???), Jenderal (Purn) Edi Sudradjat, gagasan pencabutan Tap MPRS no 25/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme/Leninisme, bukanlah prioritas dan tidak perlu dilakukan. "Ini akan mempunyai konsekunsi strategis politis yang sangat serius ke masa datang, dan akan sangat menyakitkan banyak orang yang selama ini mati-matian membela Pancasila sebagai dasar negara. Dalam perjalanan reformasi saat ini, ternyata energi kita lebih banyak dipakai untuk mengobok-obok masa lalu, daripada dipakai untuk menata masa depan. Sehingga, yang terjadi adalah kultur politik balas dendam atau kultur politik tumpas kelor. Bila ini yang berkembang, maka balas dendam politik akan merupakan siklus yang berjalan tanpa henti, dari satu periode ke periode lainnya, dan dari satu penguasa ke penguasa berikutnya", kata Edi Sudradjat.

 
Dalam menyimaki ucapan Ketua Umum Partai "Keadilan" dan "Persatuan" ini orang bisa mengambil kesimpulan bahwa pastilah ia mentrapkan norma keadilan dengan ukuran yang jauh berbeda dengan yang dipakai Gus Dur. Sebab, Gus Dur melihat TAP MPRS itu sebagai sesuatu yang tidak adil menurut hukum, sedangkan Edi Sudradjat ingin mempertahankannya terus. Artinya, dan hakekatnya, ia masih setuju dipakainya TAP itu sebagai alat teror. Demikian juga dengan "Persatuan"-nya. Kalau Gus Dur sudah jelas, yaitu bahwa ia menginginkan persatuan Indonesia yang demokrasinya tidak membedakan komunis atau bukan, maka sulitlah kiranya untuk menjabarkan arti "Persatuan"-nya Edi Sudradjat. Sebab, ketika ia menghubungkan persoalan pencabutan TAP MPRS 25/1966 dengan peristiwa G30S dan bahwa banyak orang yang akan sakit hati karena selama ini telah mati-matian membela Pancasila sebagai dasar negara, maka terngiang-ngiang kembalilah lagu "Pancasila" palsu yang didendangkan selama 30 tahun oleh Orde Baru sambil menginjak-injak semua kelima silanya dan sekaligus melibas penggalinya juga (Bung Karno).
Mengenai reformasi dan kaitannya dengan "mengobok-obok" masa lalu, memang betul jugalah kiranya bahwa jangan sampai energi kita terlalu banyak terbuang ke situ saja, sehingga bisa dipakai untuk menata masa depan. Tetapi, soalnya, untuk bisa menata depan, maka perlulah kita ketahui dengan baik apa yang harus kita tata kembali. Kerusakan-kerusakan yang sudah dibuat oleh Orde Baru sudah terlalu parah, terlalu luas, dan terlalu besar. Di banyak bidang pula! Warisan parah dan berat yang kita lihat sekarang ini adalah produk kesalahan masa lalu. Justru demi untuk menata baik-baik masa depanlah, maka pengalaman dan kesalahan masa lalu harus kita periksa, kita "obok-obok", kita bongkar, kita bedah.

 
Mengenai kultur balas dendam atau kultur politik tumpas kelor, nah, ini juga merupakan soal yang tidak bisa kita lewatkan untuk menanggapinya. Pertama, para bekas penguasa rezim militer Orde Baru perlu bercermin pada banjir darah merah dari lebih dari satu juta orang yang TIDAK BERSALAH yang menggenang di banyak tempat di tanah air kita, untuk melihat apakah dalam wajah mereka tidak terbayang dendam karena 6 jenderal telah terbunuh? Kedua, pencabutan TAP MPRS yang digagas Gus Dur adalah justru
menghilangkan rasa dendam yang sudah puluhan tahun dipupuk terus oleh rezim militer Orde Baru.

 
Untuk tidak bertele-tele dan tidak menghabiskan waktu dan energi, kiranya dapatlah disimpulkan bahwa gagasan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS 25/1966 adalah demi menjunjung tinggi hak asasi manusia, untuk memupuk kerukunan sesama umat, untuk persatuan nasional, untuk tegaknya hukum dan keadilan, untuk rekonsiliasi nasional. Itu semua diperlukan sebagai modal dasar bagi lancarnya pembangunan ekonomi dewasa ini dan penataan masa depan. Seperti yang sudah dirasakan oleh banyak orang selama ini, TAP MPRS 25/1966 adalah racun perpecahan bangsa, adalah sumber rasa permusuhan antar-warganegara Republik kita.

 
Menentang pencabutan TAP MPRS 25/1966 yang digagaskan Gus Dur adalah sikap yang menyetujui untuk dilestarikannya pelanggaran hak asasi manusia, yang selama lebih dari 32 tahun telah merusak secara parah sekali jiwa bangsa. Dan dosa kolektif ini adalah amat besar terhadap generasi kita dewasa ini, terhadap generasi yang akan datang, terhadap MANUSIA secara keseluruhan. Sebab, mau memakai dalih apapun juga, atau dalil yang manapun juga, dosa sebesar ini adalah jelas penghianatan kepada agama kita masing-masing.

 
Oleh karena itulah, maka kita semua bisa berharap, bahwa pada suatu waktu (entah kapan) pesan moral Gus Dur yang mengandung kasih kepada sesama umat manusia, yang meredam kebencian dan dendam, bisa pelan-pelan makin bergema secara luas. Alangkah indahnya, kalau pada suatu waktu, pesan luhur Gus Dur ini bisa secara besar-besaran memasuki pintu gereja, mesjid dan pesantren, kuil dan biara (dan jangan lupa : juga MPR dan DPR !!!) untuk menyerukan: kuburlah dalam-dalam kebencian dan dendam, dan marilah bergotong-royong, dalam kedamaian hati dan kasih, membangun masa depan Indonesia Baru. (HABIS)
Paris, 2 April Th 2000

 
VI
MACAM-MACAM CARA ORANG DISKUSI MENGENAI TAP-MPRS NO 25/1966.
19 April 2000. Sejak bergulirnya diskusi megenai usul Gus Dur untuk dicabutnya TAP-MPRS No.25/1966, macam-macam cara, warna, gaya dan isi perdebatan yang berlangsung mengenai masalah tsb. Sementara elite bukan mempersoalkan secara tenang dan bertanggungjawab, tetapi mengarahkan sasaran serangan terhadap Gus Dur. Sampai-sampai mengancam akan _mengimpeached_, melorot, Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden dalam sidang MPR bulan Agustus yad. Amat disayangkan bahwa ada sementara fihak, dengan motif yang jauh, telah menggunakan cara yang tidak etis, seperti a.l. unjuk-rasa dengan membawa pedang, untuk _meyakinkan_ orang bahwa kebenaran ada difihaknya. Cara itu, bukanlah yang terpuji dalam berargumentasi

 
YUSRIL: GUNAKAN CARA FITNAH DAN INTIMIDASI. Salah satu contoh mengenai cara berdebat yang tidak terpuji, ialah yangdilakukan oleh Menkumdang Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini. Beliaumenggunakan cara dusta, fitnah, dan intimidasi. Dalam wawancara denganharian Republik beberapa hari yang lalu, untuk mencoba mendiskreditkan para pendukung usul Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS/25/66, Yusril mencetuskan bahwa mantan guru Gus Dur, Ibrahim Isa, adalah anggota CC-PKI. Hari ini saya ditilpun oleh seorang sahabat dekat, yang baru pulang dari Jakarta yang sempat membaca wawancara Yusril tsb di harian Republik. Sahabat saya itu bertanya: "Bagaimana itu Pak Isa, kok Yusril mengatakan bahwa Pak Isa adalah seorang anggota CC-PKI". Saya tertawa terbahak-bahak. Sahabat itu heran. Kok Pak Isa tertawa, tanya sahabat saya itu. Saya bilang, bahwa omongan Yusril itu, betu-betul suatu lelucon.Tapi sesudah diendapkan sedikit, pernyataan Yusril itu, setidaknya ada dua maksud yang tak etis. Apalagi keluar dari seorang menteri.
Pertama: Yusril memfitnah. Karena apa yang dinyatakannya itu adalah tuduhan ke alamat saya sebagai anggota CC-PKI. Hal yang merupakan isapan jempol Yusril belaka. Menurut pandangan Yusril dan orang-orang yang sefikiran dengan beliau itu, CC-PKI adalah suatu monster yang jahat. Dengan mengatakan bahwa saya adalah anggota CC-PKI, maka jatuhlah nama saya. Yusril bermotif untuk memburukkan dan menghitamkan nama saya, dengan berdusta dan memfitnah. Namun, kemungkinan besar, dengan melemparkan cap CC-PKI kepada saya, yang mantan gurunya Gus Dur, sesungguhnya sasaran tonjokan utama Yusril itu, adalah pribadi Gus Dur. Yusril seperti memberikan sugesti kepada masyarakat: "Coba lihat, mantan guru Gus Dur, tidak kurang adalah anggota CC-PKI".
Kedua: Yusril melakukan intimidasi. Dengan fitnahannya itu Yusril bermaksud untuk menakut-nakuti publik . Dengan memasang label CC-PKI pada nama saya. Yusril menabuh canang dimuka umum, "awas, orang ini adalah anggota CC PKI, jangan mempercayai-nya, orang itu berbahaya". Selain itu, Yusril juga hendak menakut-nakuti saya. Kasarnya ia menuding saya "Awas, kau sudah saya cap komunis, kalau berani bicara lagi, akan ditindak lanjuti. Sungguh, saya tidak ingat bahwa saya pernah menganggkat Yusril menjadi PRO (Public Relation Officer) saya. Heran, mengapa sampai begitu gairah dia membikin publikasi mengenai diri saya. Disayangkan di era reformasi ini masih ada menteri, yang seorang menteri hukum dan perundang-undangan pula, seperti Yusril, yang begitu aduhai mentalitasnya.

 
Namun, bagaimanapun cara yang ditempuh dalam diskusi ini, kenyataannya ialah bahwa diskusi telah berlangsung dengan inetnsif dan hangat. Ini pertanda bahwa masyarakat kita bersedia ambil bagian dalam memikirkan masalah yang dihadapi bangsa, baik menyangkut yang kini maupun yang mengenai masa lampau.
Masih mengenai Yusril, yang khas dalam bincang-bincang dan perdebatan mengenai TAP- 25/66 ini, ialah peran yang diambil oleh menteri Kumdang Yusril Mahendra. Pada tanggal 17 Januari 2000, telah berlangsung diskusi di KBRI, Den Haag, antara Menteri Yusril dengan masyarakat orang-orang Indonesia yang tidak bisa pulang sesudah peristiwa G30S. Ketika itu, a.l. saya mengajukan usul, dalam rangka meratakan jalan ke usaha Rekonsiliasi Nasional, sebaiknya TAP-MPRS - 25/66 dicabut. Sementara hadirin lainnya juga mengajukan usul serupa. Saya bukan satu-satunya yang mengajukan pencabutan TAP-MPRS No 25/1966 itu. Dalam semangat yang sepenuhnya menyokong kebijaksanaan Presiden Gus Dur mengenai Rekonsiliasi Nasional, Yusril menyatakan bahwa masalah TAP-MPRS No.25/66, bukanlah wewenang beliau sebagai menteri Kumdang, untuk mencabut atau mempertahankannya. Itu adalah wewenang MPR, tandas Yusril. Beliau juga menjanjikankan bahwa nanti akan ada langkah-langkah yang hakikatnya akan meniadakan keputusan-keputusan dan ketetapan zaman Orba mengenai perlakuan yang tidak adil di waktu yang lalu.

 
Tetapi baru-baru ini, dalam rangka menyanggah beleid Gus Dur yang mengusulkan pencabutan TAP tsb, Yusril dengan tandas telah menantang Presiden Gus Dur untuk berdebat mengenai masalah TAP-MPRS, No.25/66. Sekarang kita ingin bertanya, Yusril yang mana yang bisa dipegang omongannya, apakah menteri Yusril yang ketika itu menyatakan bahwa mengenai TAP-25/66 bukanlah wewenangnya, tapi wewenang MPR; ataukan Yusril yang sekarang ini, yang menantang Presiden Gus Dur untuk berdebat mengenai masalah tersebut. Maka wajar-wajar saja bila Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, yang juga kebetulan adalah Sekjen PKB, berpendapat, bahwa Yusril, dalam posisinya sebagai tokoh Poros Tengah, bertujuan mencari popularitas. Yusril, kata Muhaimin Iskandar, dalam hal ini, naif.

 
Seorang menteri dari suatu kebinet presidensiil seperti kebinet pemerintahan Gus Dur sekarang ini, mestinya bisa diandalkan dan mendukung kebijaksanaan presidennya, bukan menantangnya untuk berdebat. Kalau sang menteri pendapatnya sudah tidak sesuai lagi dengan kebijaksanaan presiden, maka ia harus mengambil sikap yang logis, satu-satunya dan fair, yaitu secara terhormat mengundurkan diri dari kabinet. Tetapi sampai saat ini Yursril masih betah menduduki kursi menteri Kumdang, dan juga belum menarik tantangannya terhadap Gus Dur.

 
DISKUSI HILVERSUM: Masalah TAP-MPRS No.25/66, memang tidak sederhana. Banyak seginya. Yang terlibat dalam bincang-bincang mengenai masalah tsb juga tidaktanggung-tanggung, mulai dari Presiden, kepala negara sendiri, sampai keKetua DPR dan Ketua MPR; dari wartawan sampai ke menteri; dari pakar sampai ke orang biasa, wong cilik. Perdebatan dilakukan mulai dari skala nasional sampai ke luar perbatasan kedaulatan wilayah Republik Indonesia: Sampai-sampai Radio Nederland Wereld Omproep, Hilversum, yang lebih dikenal dengan nama Radio Hilversum tidak ketinggalan pula untuk ikut ambil bagian dalam bincang-bincang tentang pencabutan TAP-MPRS No 25/66. Inisiatf Hilversum ini perlu disambut.

 
Demikianlah pada 14 April yl, telah berlangsung diskusi dng tema: "TAP MPRS No25/66" di Gedung RNWO (Radio Nederland Wereld Omroep). Hadir kurang lebih 50 orang. Ada pakar, ada pendeta, ada yang dari KBRI, tampak juga tiga orang anggota pengurus Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie dan juga turut ambil bagian dalam diskusi lewat tilpun dari Jakarta, Hatta Rajasa, Ketua Fraksi Reformasi dalam DPR, dari LIPI Jakarta, Indira Samego, dan seorang lagi dari Melbourne.

 
Yang ingin disoroti di sini ialah argumentasi dari Hatta Rajasa, ketua Fraksi Reformasi dalam DPR. Dalam orasinya, beliau mengemukakan hal, yang saya anggap perlu dibincang-bincangi. Hal tsb ialah mengenai masalah sejarah, yang berhubungan dengan masa lampau. Ini sehubungan dengan pernyataan Hatta Rajasa bahwa PKI memang pasti harus dilarang, karena PKI sudah tiga kali melakukan pemberontakan. Pada kesempatan yang diberikan, dengan mencampakkan kekhawatiran akan dituduh PKI, saya mengemukakan bahwa sebagai orang yang memperhatikan dan ingin belajar dari sejarah, penilaian yang dikemukakan oleh Hatta Rajasa itu, tidak sesuai dengan kenyataan dan fakta sejarah. Yang dimaksudkan Hatta Rajasa dengan pembrontakan PKI yang pertama itu, adalah pemberontakan PKI dalam tahun 1926 melawan kolonialisme Belanda.

 
Lalu, apa salahnya berontak melawan kolonialisme Belanda. Seyogianya bukanlah suatu pemberontakan yang harus dikutuk dan dihujat, apalagi sebagai pertanda dari suatu partai yang harus dilarang. Yang berbuat seperti Orba itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Tidakkah seharusnya disokong adanya kekuatan politik yang memberontak melawan kolonialisme Belanda? Hatta Rajasa, kiranya tidak mengetahui bahwa pemerintah-pemerintah RI sebelum Orba, telah memberikan penghargaan sebagai PERINTIS KEMERDEKAAN, kepada orang-orang Indonesia yang memberontak melawan Belanda dalam tahun-tahun 1926-1927. Orang-orang tsb adalah yang oleh Belanda kemudian dijebloskan dalam kamp konsentrasi Boven Digoel, Papua Barat. Kaum Digoelist, yang diberi kehormatan sebagai Perintis Kemerdekaan itu terdiri dari 60 persen orang Komunis dan 40 persen orang nasionalis. Yang dimaksud Hatta Rajasa dengan pemberontakan PKI yang kedua kalinya, kiranya adalah yang dikatakan pemberontakan PKI di Madiun dalam tahun 1948. Sepengetahuan saya, lagi-lagi sebagai yang suka pada sejarah dan obyektivitas, dalam tahun 50-an DN Aidit sendiri, ketua PKI ketika itu, menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta. Aidit mengemukakan bahwa yang dikatakan pemberontakan PKI di Madiun, 1948, adalah suatu provokasi dari pemerintah RI ketika itu, untuk membersihkan TNI dari elemen dan pengaruh Kiri. Menurut gugatan DN Aidit, tindakan pemerintah ketika itu adalah realisasi dari usul Red Drive Proposals yang diajukan AS. Usul itu adalah sebagai syarat AS untuk bisa menyokong Indonesia melawan Belanda. Pemerintah samasekali tidak mengeluarkan pernyataan ketika itu, untuk menyanggah pernyataan DN Aidit itu. Jadi, soalnya masih bisa diperdebatkan dan diselidiki lebih lanjut. Tidak bisa sesuatu analisa dan pendapat sefihak mengenai peristiwa Madiun, dianggap sebagai fakta sejarah.

 
Selanjutnya, yang dimaksudkan Hatta Rajasa dengan pemberontakan PKI yang ketiga kalinya, rupanya adalah Gerakan 30 September, yang oleh Orba dinyatakan sebagai usaha PKI untuk merebut kekuasaan. Menurut pengetahuan saya, Gerakan 30 September adalah suatu aksi kesatuan-kesatuan militer, dilakukan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965. Kesatuan militer itu terdiri dari berbagai elemen-elemen ABRI yang dipimpin oleh sekolompok periwra ABRI. Mereka menyatakan bahwa tindakan mereka itu untuk mengalahkan yang mereka namakan Dewan Jendral. Dinyatakan pula oleh para pelakunya, bahwa gerakan itu untuk membela Bung Karno, sebagai Presiden RI. Sepengetahuan saya, salah seorang pimpinan dari G30S itu, yaitu Brigjen Suparjo, pada tanggal 1 Oktober 1966 telah melapor kepada Presiden Sukarno, mengenai tindakan yang telah mereka ambil. Presiden Sukarno memerintahkan untuk menghentikan gerakan mereka itu, untuk mencegah pertumpahan darah. Kenyataannya aksi militer dari G30S serta merta dihentikan.

 
Lalu yang terjadi seterusnya adalah gerakan militer yang dikomandoi oleh Jendral Suharto. Kemudian Suharto membangkang terhadap Pangti ABRI Presiden Sukarno, dan mengangkat dirinya sendiri menjadi pemimpin AD. Suharto menggeser Presiden Sukarno dari jabatannya. Akhirnya Suharto sendiri yang menjadi presiden RI. Jadi, siapa yang berontak terhadap siapa. Jawaban Hatta Rajasa ialah sbb: Jika masalah sejarah dibicarakan, maka soalnya tidak akan kunjung selesai. Hatta menolak untuk membicarakan masalah masa lampau sehubungan dengan masalah TAP-MPRS N o25/66. Disini kita dihadapkan pada cara berfikir Hatta Rajasa yang janggal dan sulit diikuti. Yang kita bicarakan justru adalah masalah masa lampau: TAP-MPRS No 25/66, adalah mengenai suatu ketetapan yang diambil oleh MPRS pada tahun 1966. Sesuatu yang terjadi 34 tahun yang lalu. Lagipula Hatta Rajasa mengemukakan sebagai alasan tentang tepatnya TAP-MPRS No25/66 itu, dengan mengajukan fakta bahwa PKI adalah parpol yang sudah tiga kali mengadakan pemberontakan. Tapi, ketika dikemukakan argumentasi bahwa yang dikatakan pemberontakan PKI itu, tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang PKI, Hatta Rajasa berbalik menjadi tidak bersedia membicarakan hal-hal yang menyangkut masa lampau. Padahal adalah Hatta Rajasa sendiri yang mengajukan hal-hal yang terjadi di waktu yang lampau, yang sudah menjadi sejarah. Cara diskusi seperti ini, namanya tiba dimata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan.

 
Demikianlah, berbagai cara dan gaya orang ambil bagian dalam diskusi besar kali ini mengenai TAP-MPRS No. 25/1966. Semakin digalakkan dan diikuti diskusi ini, semakin menarik, dan merupakan suatu latihan yang berguna dalam merintis upaya ke arah Rekonsiliasi Nasional. Juga masyarakat semakin mengenal tokoh-tokoh elite politik yang ambil bagian dalam perdebatan ini. Semakin tampak jelas juga bahwa Rekonsiliasi Nasional tidak mungkin direalisasi tanpa membeberkan dan meneliti, tanpa membicarakan dan mencari kebenaran mengenai masa lampau kita. Seperti kata seorang diplomat terkenal.

 
VII
Jakarta, Kompas: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didesak untuk menyatakan sikapnya terhadap polemik yang terjadi di tengah masyarakat sekitar usulan pencabutan Ketetapan (Tap) No XXV/MPRS/1966 yang awalnya dilontarkan Presiden Abdurrahman Wahid. Penyikapan yang tegas dari Komnas HAM diperlukan agar masyarakat mempunyai pegangan yang lebih netral mengenai bagaimana memandang persoalan pencabutan Tap MPRS tersebut, terutama dilihat dari perspektif HAM. Desakan agar Komnas HAM menyikapi usulan pencabutan Tap No XXV/MPRS/1966 itu disampaikan wakil-wakil dari 13 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang hak asasi manusia dan sosial-politik, ketika mereka menemui Komnas HAM, Senin (24/4), di Jakarta.

 
Juru-juru bicara gabungan LSM itu menegaskan, Komnas HAM perlu berbicara mengenai usulan pencabutan Tap MPRS tersebut karena isu tersebut sudah berkembang sedemikian jauh dan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politiknya. "Hal ini tidak bisa dibiarkan terus karena masyarakat juga perlu mendapatkan arahan yang jelas mengapa Tap MPRS itu diusulkan dicabut? Apa untung ruginya kalau dicabut? Rakyat jangan dibawa-bawa ke usaha-usaha untuk menjatuhkan Gus Dur, yang saat ini dilakukan dengan menggunakan isu Tap MPRS itu," ungkap Yenni Rosa Damayanti dari Solidaritas Perempuan.
Wakil-wakil LSM itu juga mengingatkan, gagasan pencabutan Tap No XXV/MPRS/1966 sesungguhnya juga sejalan dengan gagasan rekonsiliasi nasional yang diperjuangkan oleh Komnas HAM. "Mengingat bahwa tuntutan akan pelaksanaan demokrasi, HAM dan rekonsiliasi nasional merupakan tuntutan sejarah yang tak mungkin lagi dapat dielakkan, maka gagasan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS itu perlu memperoleh dukungan," ungkap Saut Sirait dari KIPP Nasional.

 
Atas desakan LSM-LSM tersebut, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan menjelaskan, secara pribadi dia sangat sependapat dengan usulan pencabutan Tap MPRS itu. Akan tetapi secara lembaga Komnas HAM memang harus menyampaikan sikapnya mengenai isu tersebut. (oki)

 
VIII
Kapanlagi.com: Sebanyak 24 orang bekas tahanan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) meminta bantuan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menindaklanjuti usul pencabutan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor 25 tahun 1966. Saat menemui Gus Dur di gedung PBNU, Jakarta, Senin, para bekas tapol yang seluruhnya adalah ibu-ibu lanjut usia itu menyatakan, Tap MPRS tersebut merupakan sumber penderitaan yang mereka alami selama ini. "Kami berharap Gus Dur mau menindaklanjuti upaya pencabutan Tap MPRS No.25 tahun 1966. Agar kehidupan kami para korban tahanan politik ini menjadi lebih baik," ujar Sukinem (68) asal Banyuwangi, Jawa Timur.
Sukinem menceritakan, sejak suaminya terbunuh 42 tahun silam, ia hidup seorang diri. Kehidupan ekonominya pun tak jelas. "Waktu itu saya masih pengantin baru. Suami saya waktu itu ketua Pemuda Rakyat (organisasi sayap pemuda PKI, red)," katanya.

 
Menanggapi permintaan itu, Gus Dur mengatakan dapat memahami apa yang dialami oleh para bekas tapol PKI tersebut. Namun, mantan ketua umum PBNU itu menyatakan tak mampu memberikan harapan banyak.
Sebab, kata Gus Dur, saat dirinya menjadi presiden saja usulan pencabutan Tap MPRS tersebut mendapat penolakan sangat keras. "Apalagi sekarang, saya sudah bukan apa-apa lagi," katanya. Dikatakannya, masalah Tap MPRS tersebut bukan sekedar persoalan cabut-mencabut, melainkan lebih pada upaya penyadaran banyak orang tentang kenyataan sejarah buruk perjalanan bangsa Indonesia. "Menyadarkan banyak orang itu bukan soal gampang. Tapi percayalah, suatu saat nanti pasti akan ada perubahan," ujar Gus Dur meyakinkan.

 
Saat menjadi kepala negara, pada tahun 2000, Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap XXV/ MPRS/1966. Ia menilai ketetapan itu serampangan karena mencampur-adukkan antara hak hukum dan hak politik seorang warga negara. "Seseorang yang salah secara politik, hak hukumnya seharusnya tetap, tidak terganggu. Tetapi sekarang kita lihat, anaknya PKI tidak boleh apa-apa, padahal mereka tidak mengenal komunisme sama sekali," katanya saat itu.

 
Lapor DPR: Dalam kesempatan itu, para bekas tapol yang didampingi sejumlah aktivis Sarikat Islam itu menyatakan akan melakukan hearing (dengar pendapat) dengan anggota DPR RI di Senayan, Selasa (06/02). Selain mengadukan nasibnya, mereka akan mempertanyakan soal Undang-undang No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) awal Desember 2006 lalu. MK memutuskan UU tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945. Karena itu, UU KKR dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Atas dasar itu, MK menilai, UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tak punya kekuatan hukum yang mengikat. (*/lpk)

 
IX
TAP MPRS Pembubaran PKI Masih Berlaku, Tue, 3 Oct 2006 00:31 +0700
JAKARTA–TERKINI: TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), masih tetap berlaku. Keputusan itu juga menyebutkan PKI sebagai OrganisasiTerlarang di Seluruh Wilayah RI.

 
X
MENGAPA TAP MPRS 25/1966 TIDAK PERLU DIPERTAHANKAN ?
(Oleh : A. Umar Said)

 
Sekarang makin jelaslah kiranya, bahwa TAP MPRS no 25/1966 tidak akan dicabut oleh sidang MPR yang akan datang. Dalam koran-koran di Indonesia disiarkan bahwa boleh dikatakan semua fraksi dalam MPR, kecuali fraksi PKB, menolak untuk dicabutnya TAP itu. Bahkan, ada kemungkinan bahwa, karenanya, masalah TAP 25/1966 tidak akan dibicarakan sama sekali, atau tidak diajukan sebagai acara untuk dibicarakan. Tetapi, apa memang akan begitu, marilah sama-sama kita tunggu tanggal mainnya.

 
Menteri Bidang Hukum dan Perundang-undangan Yusril bahkan mengatakan, bahwa karena sebagian terbesar fraksi-fraksi (perwakilan partai-partai) sudah menolak pencabutannya, maka soalnya sudah habis, artinya tidak akan dibicarakan lagi dalam MPR. Lalu, kalau sudah begitu, bagaimanakah seharusnya kita menanggapi masalah ini selanjutnya? Mungkin ada pertanyaan semacam itu di kalangan banyak kalangan. Mungkin (sekali lagi, mungkin), yang paling tepat adalah bersikap sabar, dan dengan tenang, fikiran jernih, dan penuh keyakinan, bekerja terus dan ulet untuk tegaknya hak asasi manusia.

 
Pekerjaan untuk memperkenalkan lebih luas prinsip-prinsip Deklarasi Universal HAM yang sudah dijadikan salah satu pedoman PBB, dan yang sudah juga ditandatangani oleh Republik Indonesia, adalah salah satu di antara tugas yang amat mendesak bagi kita semua. Pemahaman dan penghayatan secara penuh tentang prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia, adalah salah satu di antara kunci-kunci penting untuk mengatasi berbagai yang sedang harus ditanggunglangi oleh bangsa kita dewasa ini. Apa hubungannya antara Hak Asasi Manusia dengan begitu banyaknya problem yang sedang melanda negeri kita? Cobalah sama-sama kita simak hal-hal yang seperti berikut.

 
ORDE BARU PERUSAK PRINSIP-PRINSIP HAM.
Kenyataan bahwa TAP MPRS 25/1966 masih dibela oleh begitu banyak orang adalah suatu bukti tentang betapa dahsyatnya kerusakan yang telah ditimbulkan oleh sistem politik rezim militer Orde Baru. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa salah satu di antara berbagai dosa yang berat Orde Baru adalah justru terletak dalam pembinaan mentalitas bangsa. Bukan saja Orde Baru telah membunuh demokrasi, menyuburkan kebudayaan korupsi, menghancurkan sistem hukum, membiarkan tumbuhnya pertentangan SARA, menyebarkan rasa permusuhan dan pertentangan antara berbagai komponen bangsa, tetapi juga meracuni fikiran banyak orang. Racun itu adalah sikap mental yang memandang rendah Hak Asasi Manusia

 
Sistem politik otoriter rezim militer Orde Baru adalah sistem yang sepenuhnya didasarkan atas pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Walaupun rezim ini sudah ambruk, tetapi karena sampai hari ini (!!!) masih meninggalkan banyak pengaruh yang negatif, dan juga karena sisa-sisa kekuatannya (yang gelap) masih menyelinap dimana-mana, maka tetap perlulah kiranya kita berulang-kali (bahkan sesering mungkin) menelaah kembali berbagai aspek buruk masa gelap bangsa kita ini. Sebab, banyak soal kekinian yang masih ada kaitannya yang erat dengan masa gelap itu. Bahkan banyak persoalan yang akar-akarnya adalah justru tumbuh dalam periode Orde Baru.

 
Ciri-dasar Orde Baru yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia diwujudkan secara besar-besaran dan menyolok dalam pembunuhan besar-besaran tahun 1965/1966 terhadap lebih dari sejuta orang yang tidak bersalah. Sampai sekarang, masalah ini tidak ada pertanggungan-jawabnya. Bahwa sejuta orang dibunuh, dan kemudian dianggap sepi saja, adalah suatu manifestasi suatu sikap yang tidak menghargai perikemanusiaan sama sekali. Bukan saja dari fihak penguasa, tetapi juga dari berbagai kalangan masyarakat atau komponen bangsa. Yang lebih biadab lagi adalah bahwa cukup banyak orang yang membenarkan, menyetujui, bahkan gembira dengan adanya pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak bersalah itu. Atau, hanya diam seribu bahasa saja.

 
Pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak bersalah itu, diteruskan lagi dengan penahanan atau pemenjaraan ratusan ribu ORANG TIDAK BERSALAH lainnya selama jangka lama, yang sebagian (puluhan ribu orang jumlahnya!!!) dijadikan ex-tapol, dengan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi pula. Karena itulah, dalam jangka lebih dari 30 tahun, puluhan juta orang keluarga dan sanak-saudara para korban 65/66 dan ex-tapol menanggung berbagai penderitaan; Mereka ini menjadi trauma, serba ketakutan, dan sebagian lagi memang dikucilkan oleh berbagai golongan masyarakat. Terhadap puluhan juta orang semacam ini, penguasa Orde Baru tidak berbuat apa-apa, untuk meringankan penderitaan mereka. Bahkan sebaliknya. Orde Baru telah menyebarkan, selama puluhan tahun, benih-benih perpecahan dan permusuhan, melalui politiknya yang anti Hak Asasi Manusia.

 
TAP MPRS 25/1966 ADALAH PRODUK PERANG DINGIN
Rezim militer Orde Baru telah menghancurkan PKI, mula-mula dengan pembunuhan dan penahanan/pemenjaraan ratusan ribu anggota serta simpatisannya di seluruh Indonesia, kemudian dengan persekusi dalam bentuk macam-macam dan dalam jangka panjang pula. Kemudian, setelah MPRS divermak oleh penguasa militer (di bawah Suharto) secara tidak sah, telah dikeluarkan pula TAP 25/1966, yang melarang berdirinya PKI serta larangan penyebaran ajaran marxisme/leninisme. MPRS yang sudah divermak itu adalah produk tidak sah penyerobotan kekuasaan Suharto lewat penyalahgunaan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Super Semar ini bukan saja merupakan penyerobotan kekuasaan pimpinan Angkatan Darat, melainkan juga alat yang telah disalahgunakan untuk melakukan berbagai pelanggaran serius lainnya, baik di bidang hukum dan politik, tetapi juga di bidang-bidang lainnya, terutama di bidang Hak Asasi Manusia, yang antara lain berupa TAP MPRS 25/1966. Tindakan MPRS (yang gadungan, palsu atau tidak sah!) ini tidak disetujui oleh Presiden Sukarno.

 
TAP MPRS no 25 Th 1966 inilah yang sekarang masih mau dipertahankan terus oleh berbagai fraksi dalam DPR dan MPR., dengan mengarang-ngarang berbagai dalih dan mereka-reka berbagai dalil. Secara pokok dapatlah dikatakan bahwa mereka yang ingin mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah orang-orang atau golongan yang belum bisa meninggalkan pola berfikir Orde Baru, dan yang tidak melihat bahwa situasi dalamnegeri maupun internasional sedang berobah dan berkembang terus. Mereka ini tidak menyadari secara jelas, bahwa TAP MPRS No 25/1966 adalah produk gabungan dari situasi waktu itu, yaitu: ketika Perang Dingin sedang berkecamuk secara hebat-hebatnya, ketika pertentangan antara sebagian pimpinan TNI-AD dengan bung Karno dan PKI menajam sekali, ketika kekuatan pro-Barat (baik dalam kalangan militer maupun dalam masyarakat) berhasil memukul kekuatan yang mendukung politik Presiden Sukarno. Mereka yang sekarang ini tetap ingin mempertahankan TAP MPRS No 25/1966 tidak menyadari bahwa TAP MPRS yang tidak sah itu sebenarnya adalah salah satu alat untuk menggerogoti atau melumpuhkan lebih lanjut seluruh kekuatan pro-Sukarno. Perlulah diingat bahwa dalam konteks sejarah waktu itu, politik Presiden Sukarno adalah garis politik yang dimusuhi oleh negara-negara Barat (antara lain : konferensi Bandung, solidaritas dunia ketiga, poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, setiakawan Asia-Afrika, Manipol-Usdek, Nasakom, konfrontasi Malaysia dll)

 
Mereka yang masih tetap mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 patut diingatkan bahwa peran pengaruh Perang Dingin waktu itu adalah besar sekali dalam percaturan politik dan militer di Indonesia. Sesudah lahirnya RRT, kemudian disusul oleh Perang Korea, dan kemudian dilanjutkan oleh perkembangan di Indo-Cina, maka kedudukan strategis negeri kepulauan Indonesia, menjadi amat penting dalam strategi global negeri-negeri Barat. Maka bermainlah segala macam kekuatan asing untuk mencari sekutu-sekutu mereka masing-masing di dalam negeri Indonesia. Untuk singkatnya, bisalah disederhanakan begini : negara-negara Barat mencari sekutu dalam kubu anti-Sukarno dan anti-PKI, baik yang di dalam Angkatan Darat maupun di dalam berbagai golongan. Seperti yang sudah terungkap dalam berbagai penerbitan dan hasil riset, maka nyatalah bahwa dalam hal ini, peran CIA dan Dinas Rahasia Inggris tidaklah kecil.

 
Jadi, untuk lebih ringkas lagi : negara-negara Barat berkepentingan untuk menggulingkan Presiden Sukarno, dan untuk bisa menggulingkannya dengan tuntas, maka perlu dihancurkan PKI terlebih dulu. Dan TAP MPRS No25/1966 adalah salah satu bagian penting dari strategi ini. Dan, ternyata hasilnya cukup besar bagi mereka.

 
ZAMAN DAN PETA POLITIK JUGA BEROBAH
Runtuhnya tembok Berlin, yang merupakan simbol mulai berakhirnya Perang Dingin telah mendorong timbulnya perobahan-perobahan yang cukup besar dalam percaturan politik internasional. Dalam politik internasional terjadi mutasi-mutasi baru, pengelompokan-pengelompokan baru, dan juga pertentangan-pertentangan baru. Pertentangan antara Moskow dan Washington sudah tidak seperti sebelumnya, demikian juga permusuhan antara Cina dan AS maupun dengan Uni Soviet. Persekutuan Eropa makin menonjol dan memainkan peran tersendiri dalam pergaulan internasional. Kedudukan negeri Adi Kuasa kemudian dimonopoli oleh AS. Kemudian, sebagai perkembangan terakhir, hubungan antara Indonesia dan RRT yang pernah dalam permusuhan selama puluhan tahun juga berobah (harap ingat: RRT pernah dituduh terlibat dalam G30S!!!)

 
Sebagai akibatnya, Indonesia sendiri juga mengalami perobahan-perobahan. Rezim militer Orde Baru, yang tadinya (dalam masa-masa permulaannya), mendapat dukungan yang sebesar-besarnya dari negara-negara Barat (beserta sekutu-sekutu mereka), mengalami juga pergeseran dalam peta politik internasional. Kalau tadinya rezim militer Orde Baru dijadikan "jagoan" dalam membendung bahaya komunisme, (semasa Perang Dingin masih berkecamuk dengan hebatnya), maka setelah tembok Berlin jatuh, "jagoan" ini sudah tidak diperlukan seperti dulu lagi, atau tidak bisa dibela lagi.

 
Apalagi, setelah rezim militer Suharto makin membusuk dan meneruskan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran, makin sulitlah bagi negara-negara Barat (terutama AS) untuk membelanya. Kalau tadinya, ketika terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang-orang tidak bersalah didiamkan saja oleh mereka, dan ketika agresi terhadapTimor-Timur juga mereka sokong, maka pelan-pelan mereka mengambil jarak terhadap rezim Suharto. Karena opini umum internasional makin keras mengutuk berbagai pelanggaran kehidupan demokratis dan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Orde Baru, maka makin sulit bagi negara-negara Barat untuk diam saja. Berkat kampanye internasional yang terus-menerus dilakukan oleh berbagai Ornop (Organisasi Non-pemerintah –NGO) untuk menelanjangi rezim militer Suharto, maka terpaksa pulalah negara-negara Barat (terutama AS) melepaskan dukungan terhadap kelangsungan pemerintahan rezim yang terlalu kotor dan terlalu buruk untuk disokong. Maka jatuhlah rezim ini pada tanggal 21 Mei1998.

 
Semua yang diungkapkan di atas adalah bukan soal baru, yang sudah sama-sama kita ketahui. Tetapi, sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, maka perlulah kiranya sekali sekali kita telaah kembali. Dalam rangka inilah perlu kita renungkan tentang lahirnya TAP MPRS no 25 Tahun 1966, latar-belakangnya, serta dampak-dampaknya sampai sekarang.

 
TAP MPRS YANG BERTENTANGAN DENGAN HAM
TAP MPRS no 25/1966 yang melarang eksistensi PKI dan disebarluaskannya marxisme/leninisme (komunisme) adalah salah satu senjata (waktu itu) rezim militer Orde Baru untuk menghancurkan PKI dan lewat kehancuran PKI untuk kemudian melikwidasi seluruh kekuatan-kekuatan pro-Sukarno. Dengan kalimat lain, rezim Orde Baru telah dibangun atas berbagai pelanggaran parah terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, dan salah satu di antara pelanggaran parah itu adalah TAP MPRS no 25/1966 ini. Karena situasi dalamnegeri sudah berobah, dan juga situasi internasional sudah lain pula, maka kiranya perlulah kita semua memandang persoalan TAP MPRS no 25/1966 dari berbagai segi, dan dengan fikiran rasional pula. Bahan-bahan berikut mungkin bisa kita sama-sama renungkan.
  • Apapun dalih yang dikemukakan oleh fihak-fihak yang ingin mempertahankan TAP MPRS itu, perlulah diyakini bahwa TAP ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasai Manusia yang sudah dijadikan pedoman bersama oleh PBB, dan yang ikut ditandatangani oleh Republik Indonesia. (untuk jelasnya, harap baca lagi Deklarasi Universal HAM, supaya tulisan ini menjadi tidak terlalu panjang).
  • TAP MPRS no 25/1966 adalah pada prinsipnya merupakan pedoman atau garis besar haluan negara. Ini berarti bahwa suatu pelanggaran HAM telah nyata-nyata tercantum sebagai haluan negara Sebagai konsekwensinya TAP MPRS ini merupakan suatu aib bangsa. Sebab, itu berarti bahwa bangsa kita membiarkan diri untuk dibimbing oleh suatu pedoman yang salah, dan yang nyata-nyata telah mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan banyak orang. 
  • Mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 berarti meneruskan atau melanggengkan kesalahan Orde Baru. Kesalahan ini telah merupakan sumber perpecahan, benih rasa permusuhan, bibit pertentangan antar golongan di berbagai komponen bangsa, yang tidak menguntungkan persatuan nasional, kehidupan demokrasi, dan rekonsiliasi nasional. 
  • Mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 berarti mengingkari perlunya demokrasi yang sungguh-sungguh. Sebab, demokrasi mengandung pengertian perlunya toleransi terhadap perbedaan agama dan keyakinan politik, dan pengertian akan pentingnya pluralisme dan kerukunan SARA. 
  • Mempertahankan TAP MPRS No 25/1966 berarti melanggengkan pengucilan terhadap satu golongan dalam masyarakat yang selama 32 tahun sudah diperlakukan secara tidak adil, dan yang jumlahnya puluhan juta orang. Kalau TAP MPRS ini tetap dipertahankan, itu berarti bahwa persekusi politik dan teror mental terhadap para keluarga korban pembunuhan 65/66 dan keluarga ex-tapol akan berlangsung terus, dalam berbagai bentuk dan cara. 
  • Dalih bahwa TAP MPRS no 25/1966 adalah untuk membendung komunisme adalah naif, bodoh dan salah. Dalam zaman Internet, menyebarkan dan membaca bahan-bahan atau dokumen-dokumen yang berisi Marxisme/Leninisme/Komunisme, bukanlah pekerjaan yang sulit. Selain itu, faham komunisme pun sekarang ini sedang terus mengalami perkembangan dan perobahan terus (lihat perkembangan di Cina, di Perancis, di Kuba atau di berbagai negeri lainnya). "Bahaya komunisme" yang selama Perang Dingin menjadi barang dagangan berbagai fihak, sekarang sudah makin kehilangan pasaran. Tambahan lagi, ajaran marxisme tidak bisa dibrantas begitu saja, karena bisa disalurkan melalui berbagai cara dan bentuk.
Kesimpulan yang kiranya bisa kita tarik dari itu semua adalah bahwa : mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah manifestasi dari ketidakfahaman atau ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan melanggengkan kesalahan-kesalahan Orde Baru yang sumber utamanya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jadi, mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah terus-menerus menjerumuskan mental bangsa kita ke dalam suasana permusuhan. Dan inilah yang harus kita tentang habis-habisan, demi kepentingan bangsa yang kini maupun bagi kepentingan generasi kita yang akan datang.

 
Perjuangan untuk mencabut TAP MPRS no 25/1966, bukanlah hanya untuk kepentingan segolongan dalam masyarakat kita, melainkan bagi tegaknya Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Maunsia adalah pelindung bagi kepentingan seluruh rakyat dan bangsa, tidak peduli dari keyakinan politik yang manapun, agama yang manapun, suku apapun, atau ras apapun. Seperti yang terjadi di banyak negeri di dunia, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia adalah SENJATA KITA SEMUA, untuk melawan setiap ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan, yang dilakukan oleh FIHAK MANAPUN juga.

 
MAKIN CEPAT DIBUANG, MAKIN BAIK BAGI BANGSA
Oleh karenanya, adalah kuwajiban kita semua, untuk tidak jemu-jemu selalu mengingatkan dan menghimbau para anggota MPR dan DPR, para pimpinan partai politik, para tokoh masyarakat dan kalangan intelektual bangsa, bahwa sesudah tumbangnya Orde Baru, kita memerlukan adanya kedamaian sosial dan kerukunan SARA untuk bersama-sama merakit rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional adalah salah satu syarat untuk menuntaskan reformasi di berbagai bidang, dan syarat untuk membangun Indonesia Baru di atas reruntuhan sistem politik rezim militer Orde Baru.

 
Tetapi, kiranya masuk di akallah bahwa rekonsiliasi nasional yang sungguh-sungguh (yang genuine) tidak mungkin tercapai kalau TAP MPRS no 25/1966 masih terus meracuni fikiran banyak orang. Sebab, menurut pengalaman selama tiga dasawarsa, sudah banyak bukti nyata yang sama-sama kita saksikan bahwa TAP MPRS no 25/1966 ini merupakan alat yang telah digunakan oleh pendukung-pendukung setia Orde Baru untuk melakukan terror politik dan persekusi mental terhadap mereka yang menentang rezim militer. Bukan itu saja! TAP MPRS ini selama puluhan tahun telah menjadi sumber dari sikap permusuhan, pertentangan, kecurigaan, fitnahan dan tuduhan (yang tidak berdasar) terhadap segolongan dalam masyarakat.

 
Dalam rangka ini perlulah kiranya para tokoh-tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dll), para ulama dan kyai - juga pendeta - dihimbau untuk menyadarkan umat mereka masing-masing bahwa TAP no 25/1966 itu tidak mendidik manusia untuk menghargai sesama mahluk Tuhan, dan tidak mendorong orang menghayati demokrasi dan toleransi, juga tidak menumbuhkan rasa damai dan persaudaraan antara umat. Singkatnya, TAP MPRS no 25/1966 adalah bertentangan dengan ajaran agama yang manapun.

 
Karenanya, berdasarkan pengalaman puluhan tahun selama rezim militer Orde Baru, TAP MPRS no 25/1966 telah membuktikan diri bahwa bukanlah sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan bangsa, bahkan sebaliknya. Sekarang ini, bisalah kiranya kita yakini bahwa reformasi tidak akan berhasil secara sempurna selama TAP MPRS ini masih merupakan ganjelan. Artinya, produk haram Orde Baru ini haruslah dibuang, kalau reformasi mau dituntaskan. Secara nasional, barang ini bukanlah sesuatu yang patut dibangga-banggakan sama sekali. Sedangkan secara internasional, TAP MPRS 25/1966 hanya merupakan cacad yang membikin makin buruknya citra bangsa Indonesia.

 
Karenanya, makin cepat cacad yang diwariskan Orde Baru ini dibuang, akan makin cepat pulalah reformasi bisa kita teruskan dalam perjalanan menuju rekonsiliasi nasional.
Paris, musim semi, 29 Mei 2000

 
XI
Mempersoalkan Communist-phobia di Indonesia
November 13, 2007 by verdinand Filed under domestik
Geradi Emsil: Beberapa bulan yang lalu masyarakat dihadiahi dengan berita mengenai perusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh salah satu organisasi massa yang berafiliasi agama terhadap kader-kader sebuah calon organisasi politik yang bernama Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Alasan penganiayaan tersebut sangatlah jelas yaitu soal dugaan ideologi komunisme yang dibawa oleh Papernas. Pertentangan ideologi tersebut seakan meruncingkan konflik aliran yang ada di Indonesia. Stereotipe dan label yang dibawa oleh komunis sebagai sebuah ideologi terlarang di Indonesia seakan membenarkan tindakan perusakan dan penganiayaan oleh oknum lainnya yang merasa bertentangan.

 
Dalam artikel ini, penulis mencoba menguraikan bahwa stereotipe yang dibawa oleh komunisme ternyata merupakan sebuah bentukan pola pikir yang dibawa oleh Orde Baru terhadap masyarakat. Selama 32 tahun pemerintahannya, orde baru berhasil membuat pola pikir masyarakat menuju sebuah pola pikir yang fobia terhadap komunis. Selain itu, perkembangan komunisme yang pernah jaya di dekade 1960an merupakan sebuah hasil dari konstelasi politik dunia yang bergejolak dengan adanya Perang Dingin.Konstruksi Orde BaruPartai Komunis Indonesia (PKI), sebagai partai politik yang memakai aliran Marxis-Leninis di Indonesia, pernah mengalami masa kejayaannya di Indonesia sekitar tahun 1960an. Pada pemilu 1955 PKI merebut posisi sebagai salah satu dari empat partai pemenang pemilu. Sebagai sebuah parpol yang berlandaskan komunis sebagai ideologi, PKI berhasil merebut simpati kalangan kelas bawah seperti buruh dan tani. Namun pada 1965 PKI terlibat dalam sebuah gerakan makar yang menamakan Gerakan 30 September. Gerakan ini seolah mencoreng muka PKI sebagai sebuah parpol yang dekat dengan kekuasaan.
Pasca G-30-S, konstelasi politik berubah. Kekuasaan Orde Lama yang didominasi oleh Sukarno tergantikan dengan kekuasaan Orde Baru. Pergantian kekuasaan tersebut turut merubah pendekatan politik yang dilakukan oleh penguasa. PKI sebagai kelompok yang bertanggung jawab terhadap peristiwa G-30-S divonis sebagai organisasi terlarang dengan mengaluarkan Ketetapan MPRS No XXV 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan pelarangan menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia. Lebih daripada itu, pihak-pihak yang dianggap terlibat dengan aktivitas-aktivitas komunisme ditangkap, divonis tanpa ada pembelaan, terlebih lagi dibantai dengan keji. Tak ayal, pada masa awal pemerintahan Orde Baru tercatat 600.000 orang tewas dan sebagian daripada jumlah itu hilang tak berjejak. Dalam peristiwa tersebut pemerintah Orde Baru memakai berbagai organisasi massa seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dalam melancarkan aksinya, sehingga tindakan tersebut seakan-akan dilegitimasi oleh masyarakat luas.

 
Disamping itu, banyak kebijakan lain yang secara tidak langsung membuat opini masyarakat akan fobia komunis terbentuk. Hal yang paling dirasa adalah pemberlakuan monoversi sejarah mengenai G-30-S. Bonnie Triyana dalam salah satu artikelnya mengatakan pada masa Orde Baru, peristiwa 1965 (Orde Baru menggunakan istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk media doktriner, antara lain film "Penghianatan G.30.S/PKI" arahan Arifin C. Noor. Dalam media, PKI digambarkan sebagai pihak yang kejam, buas dan tak tahu kemanusiaan.

 
Salah satu hal yang kontroversial adalah Laporan dari visum dokter yang bertugas memeriksa jenazah para jenderal tersebut tidak menyebutkan adanya luka sayatan ataupun kekejaman seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Laporan visum et repertum menyebutkan seluruh korban pembunuhan di Lubang Buaya diakibatkan oleh tembakan peluru tajam, bukan karena sayatan pisau ataupun luka benda tajam. Hal ini sangat berbeda dengan versi yang dikeluarkan orde baru dan dipublikasikan melalui berbagai media bahwa para Jenderal disiksa dengan keji sebelum dibunuh. Ditambah dengan labelling yang dilakukan pemerintah Orde Baru bahwa berbagai organisasi underbouw PKI seperti Gerwani, Pemuda Rakyat dan BTI yang menyatakan mereka adalah sekumpulan orang-orang yang kejam, gila seks dan biadab.
Sayangnya, stereotipe semacam itu masuk kedalam kurikulum sekolah dan dipelajari sebagai sesuatu yang harus diterima. Pengajaran dari SD hingga SMU (bahkan perguruan tinggi) harus memberikan perspektif pemerintah dalam penceritaan sejarah. Komunisme dianggap sebagai paham kejam, biadab dan atheis. Akibatnya masyarakat dari sejak kecil hingga dewasa sudah dicekoki hal-hal yang seram terkait dengan komunisme. Beberapa ilmuwan yang membela humanisme dengan membela para tapol dianggap subversif dan merupakan penerus komunisme. Pembicaraan menganai komunisme (Marxis-Leninis) sebagai sebuah studi dibatasi bahkan dilarang, karena dianggap melawan Pancasila.

 
Beberapa contoh diatas merupakan cara dari Orde Baru membentuk sebuah fobia terhadap komunisme dalam masyarakat. Setidaknya, ketika masyarakat sudah terbentuk pola pikir anti-komunisme maka tujuan-tujuan politik dari Orde Baru akan dapat tercapai.

 
Situasi Perang Dingin Hal lain yang patut diperhatikan adalah keadaan politik dunia yang ada dari tahun 1960 hingga 1980. Dalam periode tersebut terdapat pertentangan dua negara besar dengan dua ideologi yang berbeda yaitu AS dengan ideologi liberal dan Uni Soviet dengan ideologi komunis. Sehingga kalau kita berbicara tentang masalah komunisme di Indonesia maka patut kiranya untuk memperhitungkan kondisi politik internasional yang turut mempengaruhi pandangan politik dalam negeri.

 
Tentu saja kedua belah pihak tersebut berusaha merebut pengaruh terhadap negara-negara peryphery salah satunya Indonesia. Salah satu versi sejarah yang mendukung adalah versi yang mengatakan bahwa Suharto adalah dalang dibalik G 30 S dengan adanya bantuan tangan dari CIA oleh Peter Dale Scott (1985). Menurut Dale-Scott, pada awal dekade 60an AD terpecah menjadi dua yaitu kubu Yani dan Nasution. Suharto yang termasuk dalam kubu Nasution melakukan gerakan untuk menyingkirkan kubu Yani dan pada akhirnya menghancurkan PKI dengan melakukan pembantaian besar terhadap oknum yang dicurigai terlibat dengan PKI.Tentunya dengan berbagai intrik pengaruh kedua negara besar tersebut sangatlah besar. Instrumen intelijan CIA dan KGB menjadi instrumen dalam mempengaruhi ideologi politik suatu negara. PKI sebagai partai komunis yang besar di Indonesia pada dekade 60an dilihat oleh AS sebagai sebuah ancaman. Jadi, dari fakta-fakta sejarah dapat kita lihat bahwa TAP MPRS 25/1966 adalah, pada dasarnya, pencerminan atau manifestasi dari bersatunya kepentingan kaum reaksioner dalam negeri. Jika dilihat dari sudut politik internasional waktu itu, maka bisa dikatakan juga bahwa TAP MPRS no 25/1966 tidak terlepas dari situasi Perang Dingin. Jelas, bahwa dalam suasana Perang Dingin waktu itu TAP MPRS 25/1966 berada di kubu liberalis (AS).

 
Namun, Perang Dingin telah berakhir sejak hampir 20 tahun lalu dan zaman telah berubah. Bayak yang harus dikoreksi kembali terkait dengan pemaknaan sejarah yang telah kita dapatkan. Dalam salah satu diskusi di televisi ada pengamat politik yang masih menekankan dendam komunisme sebagai sebuah ancaman. Namun, sebagai kaum intelektual agaknya kita harus melihat duduk masalah terutama dengan kaitan dengan situasi pasca Perang Dingin.

 
Ada dua alasan mengapa Komunisme (Marxis-Leninis) tidak mampu untuk bangkit seperti dahulu. Pertama, tidak adanya sebuah negara komunis yang besar seperti Uni Soviet dahulu. Hal ini menjadi penting karena nilai-nilai komunisme merupakan hal yang transnasional, dan cita-cita terbesar komunisme adalah menciptakan masyarakat dunia yang tanpa kelas. Sehingga perlu adanya sebuah negara besar yang menjadi kiblat gerakan komunis internasional. Patut dicermati bahwa PKI dahulu memiliki hubungan langsung ke Partai Komunis Soviet dan Partai Komunis Cina yang berkuasa di negaranya, sesuatu yang tidak akan kita temui sekarang.

 
Kedua, masih bercokolnya Amerika sebagai kekuatan liberal dunia. Faktor Amerika menjadi penting dalam perkembangan liberalis. Dengan merajai berbagai media dan saluran informasi, Amerika masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempertahankan atau menyebarkan liberalisme. Ditambah lagi dengan dukungan perekonomian dan militer yang kuat, Amerika mampu memasukkan pengaruhnya kedalam suatu negara dan bertindak sesuai dengan prinsip liberalisme yang sesuai dengan keinginan Amerika.

 
Melihat kedua hal itu rasanya fobia terhadap komunis yang selama ini menjangkiti masyarakat Indonesia harus dipikirkan kembali. Kalaupun ada partai-partai berhaluan Marxis tentunya hal tersebut ingin menolak gempuran arus ekonomi neo-liberalisme di Indonesia seperti di Amerika Latin dan bukan paham Marxis-Leninis seperti dahulu. Bukankah nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai sosialisme? Masih takutkah kita pada komunisme yang sudah tak berdaya di masa ini?

 
Penulis adalah peminat Sejarah dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
** Milis Nasional Indonesia ppi-india **
http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=156372&kat_id=16

 
XII
Republika, Selasa, 23 Maret 2004
Komunisme Tetap Berbahaya
Oleh : HM Yusuf Hasyim

 
Komunisme sebagai ideologi politik tidak pernah melepaskan tujuan utama untuk memperoleh kekuasaan baik secara santun (parlementer) demokratis, maupun dengan cara kasar, merebut kekuasaan dengan kekerasan. Ini dilakukan di berbagai penjuru dunia, ya di Eropa, ya di Asia, ya di Amerika Latin. Komunis mempunyai berbagai cara dan doktrin yang baku, mencari kader yang andal, cerdas, militan, berani, dan disiplin.

 
Di antara cara itu adalah mengadakan aksi-aksi sepihak dengan melatih
keterampilan dan meningkatkan kemampuan, keberanian, koordinasi gerakan, kegiatan terpadu mematahkan nyali musuh. Yang paling berbahaya adalah kemampuan menyusun organisasi baik legal maupun ilegal (di atas tanah maupun di bawah tanah). Gerakan semacam ini sangat sulit dilacak, karena menggunakan sistem sel.

 
Komunis mempunyai berbagai program, jalan ke depan, menyelinap ke samping, melebar ke kanan dan ke kiri, infiltrasi ke alat kekuasaan negara, memasuki berbagai instansi mulai dari atas sampai bawah. Sebelum mereka mengumumkan gerakan G30S/PKI 1965, mereka sudah menguasai sejumlah kesatuan dan instansi baik di pusat dan daerah sehingga Letnan Kolonel Untung saat mengumumkan adanya Dewan Revolusi langsung mendapat sambutan secara luas sampai ke daerah-daerah. Langkah-langkah peralihan keputusan politik komunis, dari gaya sopan-formal (parlementer) ke cara-cara kekerasan, sulit untuk diperhitungkan kapan kepindahan gaya itu berlangsung.

 
Contoh yang paling gamblang setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Komunis sebenarnya telah menggenggam kekuasaan melalui Kabinet Amir Syarifuddin. Saat itu Amir menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan dengan kekuasaan sebagai Menteri Pertahanan itu ia mendirikan Biro Perjuangan kemudian berubah status menjadi Pesindo dan dari organisasi kelasykaran ini berubah lagi menjadi tentara resmi dengan logistik, persenjataan, dan peralatan yang lebih baik dari kesatuan lainnya.

 
Setelah Kabinet Amir Syarifuddin melakukan blunder politik: menandatangani Perjanjian Renvile yang berakibat kehilangan dukungan dari PNI dan Masyumi. Presiden Sukarno kemudian memberhentikan Kabinet Amir dan menunjuk wakil Presiden Hatta sebagai perdana menteri baru. Kabinet Hatta terbentuk tanpa memasukkan Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya. Melihat situasi ini, Amir dengan koalisi Sayap Kirinya membentuk Fron Demokrasi Rakyat (FDR), berupa gabungan "Partai Sosialis Indonesia (sayap Amir Syarifuddin), Pesindo, Partai Komunis Indonesia (PKI), SOBSI, dan Partai Buruh.

 
Sebelum memproklamasikan "Soviet Republic Indonesia" pada 18 September 1948 di Madiun, Muso sebagai salah seorang tokoh Biro Politik PKI yang sejak 1930 bermukim di Moskow (selama 12 tahun), pada 3 Agustus 1949 kembali ke Indonesia. Muso kemudian melakukan kegiatan yang disebut: Jalan Baru Bagi PKI. Teror diciptakan dan ditingkatkan bahkan dilakukan intrik adu domba di antara kesatuan TNI, misalnya antara Kesatuan Siliwangi dan kesatuan daerah lain.

 
Tujuan teror ini adalah untuk melatih keberanian kader komunis, sebaliknya menghilangkan nyali aparat pemerintah sebelum diproklamasikan Soviet Republic Indonesia di Madiun pada 18 September 1948. Pada hari yang sama Presiden Sukarno mengadakan pidato radio mempersilakan bangsa Indonesia memilih Muso dengan Soviet Republik Indonesia-nya atau Sukarno-Hatta dengan Republik Indonesia-nya.

 
Dalam hari yang sama Muso menggunakan Radio Madiun menyerukan rakyat untuk menggulingkan Sukarno-Hatta dan merebut kekuasaan. Pemerintah RI menjawab dengan membentuk Daerah Istimewa Provinsi Jawa Timur dengan Kolonel Soengkono sebagai gubernur militer. Karena Panglima Besar Soedirman dalam keadaan sakit, operasi penumpasan dipimpin oleh Kolonel AH Nasution, panglima Markas Besar Komando Jawa. Pemberontakan dapat diatasi oleh divisi Kolonel Soengkono,
Kolonel Gatot Soebroto, dan Divisi Siliwangi.

 
Daerah yang dikuasai oleh pasukan komunis dapat direbut kembali. Muso tewas tertembak. Tokoh-tokoh komunis lainnya sempat ditawan, antara lain Amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Djoko Soejono, tetapi kader muda antara lain DN Aidit, MH Lukman, dan anggota Biro Politik lainnya melarikan diri ke luar negeri. Ketua PKI pada waktu itu bersandar pada kekuatan buruh (SOBSI), wanita (Gerwani), petani (BTI), mahasiswa (CGMI), seniman dan budayawan (Lekra), dan pemuda (Pemuda Rakyat), serta media massa cetak (Harian Rakyat), ditambah lagi sel-sel dalam militer antara lain Kolonel Latief yang lolos dalam penangkapan tokoh pemberontakan PKI Madiun, lalu menjadi berperan dalam peristiwa

 
Pemberontakan G30S/PKI pada 1965.
Pemberontakan PKI di Madiun ini dengan liciknya disebut sebagai Peristiwa Madiun saja (Madiun Affairs), bukan Pemberontakan PKI. Belakangan malah hanya disebut sebagai Provokasi M Hatta. Dalam kurun waktu lima tahun setelah Pemberontakan PKI 1948 di Madiun, PKI berhasil melakukan konsolidasi kekuatan dan ikut dalam Pemilu I pada 1955 dan tampil menjadi partai empat besar pemenang Pemilu 1955 (PNI, Masyumi, NU, PKI).

 
Sepuluh tahun kemudian pada 1965, PKI semakin berhasil menyusun kekuatan baik di tubuh organisasinya sendiri maupun sel-sel yang ditanam di berbagai kesatuan militer dan instansi pemerintah lainnya. Saat itu PKI melihat peluang saat mendapat informasi dari dokter RRC yang merawat kesehatan Presiden Sukarno, di mana kondisi kesehatannya sangat serius.

 
Ada anggapan dari Biro Khusus CCPKI dengan analisa jika presiden Sukarno meninggal dunia, maka kekuasaan akan diambil alih oleh Angkatan Darat. Muncullah teori: "Siapa Mendahului Siapa". Teori inilah yang mendorong CCPKI untuk melumpuhkan dan mengganti pimpinan Angkatan Darat dengan segala akibat yang timbul dan sangat menyedihkan.

 
Wajah baru komunisme Dewasa ini di tengah masyarakat muncul kegiatan untuk menghidupkan kembali PKI wajah baru, dengan memanfaatkan dan berlindung di balik pelaksanaan HAM, demokratisasi, keterbukaan, dan upaya dicabutnya Tap MPRS No 25/1966. Mereka berpendapat kalau seseorang tidak setuju dengan peluang untuk lahirnya kembali PKI, berarti seseorang itu anti-HAM, anti-demokrasi, dan anti-keterbukaan.
Sejumlah LSM kini juga gencar melakukan gerakan rekonsiliasi nasional untuk merehabilitasi dan memulihkan hak-hak dan ganti rugi bagi orang-orang yang dituduh terlibat gerakan G30S/PKI tanpa melalui proses peradilan. Pada kesempatan ini penulis hendak menyatakan sikap dan pandangan berkaitan dengan opini diizinkannya kembali PKI di Indonesia yang dihubung-hubungkan dengan demokratisasi, HAM, dan keterbukaan.

 
Tidak benar opini yang dihembuskan, jika demokrasi hendak ditegakkan juga HAM dan keterbukaan, maka PKI harus diperbolehkan hidup kembali. Di negara Prancis yang sangat demokratis Partai Nazi dilarang bahkan seseorang yang membawa simbol Nazi bisa berurusan dan akan dituntut di pengadilan dan menerima hukuman.

 
Pertanyaannya, "Apakah Prancis tidak demokratis?'' Jawabannya, "Pemerintah dan rakyat Prancis merasa Nazi telah melakukan satu kali pengkhianatan dan melukai bangsa Prancis". Di Amerika Serikat partai komunis tidak dilarang karena komunis tidak pernah melukai dan mengkhianati bangsa Amerika. Penulis melihat bahwa PKI sudah dua kali melakukan pengkhianatan dan melukai bangsa Indonesia apakah masih diberikan kesempatan untuk yang ketiga kalinya melakukan pengkhianatan kembali.

 
Pengkhianatan PKI jelas-jelas anti-demokrasi. Jadi tidak bisa berdalih hendak menegakkan demokrasi untuk menghidupkan kembali PKI. Munculnya manuver gencar pihak-pihak yang menginginkan hidupnya kembali PKI di Indonesia, lebih-lebih setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa bekas anggota PKI berhak menjadi anggota legislatif, sungguh sangat memprihatinkan di kalangan kiai, pondok pesantren, dan umat Islam, khususnya keluarga korban yang langsung merasakan kekejaman PKI di tahun 1948 dan 1965.

 
Syukur jeritan korban ini didengar PBNU yang segera memprakarsai pertemuan para korban keganasan dan kekejaman PKI 1948 dan 1965 itu di kantor PBNU pada 12 Maret 2004. (Baca Republika 15 Meret 2004). Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berkenan membuka musyawarah itu, dan penulis karena pengalaman ikut menghadapi pemberontakan PKI Madiun 1948 saat itu penulis sebagai prajurit TNI berpangkat letnan ditugaskan menyerang pasukan PKI yang telah menguasai kota Ponorogo diberi kehormatan untuk memimpin acara musyawarah tersebut.

 
Ditunjuk sebagai juru bicara adalah KH Cholil Bisri (Wakil Ketua MPR-RI) yang membuat keputusan yang berjudul Membangun Kewaspadaan Bangsa. Kejahatan kemanusiaan internasional yang dilakukan oleh partai komunis dengan ideologi Marxisme-Leninismenya di 76 negara di dunia, dengan membantai 100 juta orang lebih selama 74 tahun (1917-1991) dan kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan pemberontakan Madiun 1948, dan G30S/PKI 1965, membuktikan bahwa ideologi Marxisme-Leninisme (Komunisme) adalah antidemokrasi (24 diktator di negara komunis), pelanggar berat HAM dan penindas agama, telah mengusik hati nurani kami yang berkumpul di Gedung PBNU 12 Maret 2004, untuk menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

 
Pertama, munculnya kegiatan membangkitnya kembali PKI dan ajaran komunisme dengan keinginan untuk mencabut Tap MPRS No 25/1966 yang berisi larangan PKI dan ajaran komunisme, bisa menimbulkan kekagetan mendalam terutama bagi yang merasakan teraniaya oleh ulah PKI.
Kedua, berhasil mencabut Tap tersebut, berarti PKI dan ajarann komunisme boleh hidup berkembang bebas dan bisa mempersiapkan pengkhianatan untuk ketiga kalinya setelah tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.
Ketiga, maka kami mewakili keluarga korban keganasan PKI 1948 dan tahun 1965 yang datang dari berbagai daerah, sesudah berdiskusi bersama mendapat kehormatan untuk menggunakan kantor PBNU Jl Kramat Raya 164 Jakarta, untuk bertukar pikiran menghadapi tantangan bangsa dewasa ini.
Keempat, kami tidak bisa membiarkan orang-orang dengan dalih melaksanakan HAM, hak sipil, hak dasar, demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, dan sebagainya berusaha mencabut Tap MPRS No 25/1966.
Kelima, tekad kami, kapan pun, rekonsiliasi bangsa harus terus dikembangkan, memulihkan hak-haknya sebagai warga negara, hak sipil, hak dasar, demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, dan perlindungan dengan tetap mempertahankan Tap MPRS No 25/1966 agar PKI dan komunisme sebagai ideologi tetap terkubur di Indonesia.
Keenam, dalam hal pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia sehingga tidak diperbolehkan lagi hidup, juga terjadi di negara-negara Barat dengan melarang Nazisme dan Fasisme hidup kembali. PKI dan komunisme telah dua kali mengkhianati bangsa ini, karena itu kita mesti bertekad menolak dicabutnya Tap MPRS No 25/1966 itu. (Jakarta, 12 Maret 2004).
Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang
[Non-text portions of this message have been removed]

 
XIII
Rekonsiliasi Nasional
KABAR INDONESIATabloid Berbahasa Indonesia Pertama di EropaNomor 6 Tahun 1 Februari 2000
JALAN PULANG YANG PENUH PERINTANGAntara Kebijakan Rekonsiliasi dan Kekuatan Pro-status quo. Oleh : M.D.Kartaprawira Ph.D.

 
Kedatangan Menteri Kumdang Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra ke Nederland pertengahan Januari 2000 telah mengundang banyak harapan bagi orang-orang Indonesia Korban Orde Baru di Pengasingan (Korbasing).
Menteri Yusril datang ke Nederland jelas bukan untuk vakansi, tetapi mengemban tugas yang diberikan Presiden Gus Dur dalam rangka merealisir kebijakannya mengimbau para Korbasing ("Pejuang") untuk pulang ke tanah air dan memecahkan segala masalah yang timbul karenanya. Sejatinya memang mereka pantas disebut pejuang, sebab selama dipengasingan mereka itu, baik para ex-mahasiswa ikatan dinas oposan, maupun para ex-pejabat yang terpaksa tinggal di luar negeri, tidak lelah-lelahnya melaksanakan perjuangan dalam bentuk apa saja melawan kekuasaan diktator Orde Baru (dan Orde Buntutnya). Mereka tak henti-hentinya menggalang solidaritas internasional untuk membantu gerakan perjuangan di tanah air untuk reformasi dan demokrasi, untuk membentuk Indonesia Baru.

 
Tiga dasa warsa di pengasingan dengan segala macam resah-dukanya dan tiga dasa warsa kekuasaan Orde Baru dengan segala kekejaman dan kerakusannya telah memberi bukti kebenaran hukum sejarah bahwa keadilan selalu mengalahkan kedholiman. Dengan keluarnya imbauan Presiden Gus Dur tersebut di atas dan berlangsungnya pertemuan Den Haag 17 Januari yang lalu antara Menteri Kumdang Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dan para Korbasing, alhamdulillah tidak sia-sialah harapan yang kami nanti-nantikan dari pemerintah pasca Pemilu 1999 beberapa bulan lalu: " Seyogyanya pemerintah pasca pemilu 1999 memikirkan langkah-langkah untuk menjembatani hubungnan formal yang telah terputus selama kekuasaan Orde Baru.

 
Sungguh sangat terpuji apabila pemerintah dapat memberikan pengertian, perhatian dan kebijakan simpatik kepada mereka" (Lih. M.D.KARTAPRAWIRA, Mereka Berniat Pulang Tapi Penjara Menanti; Tabloid KABAR INDONESIA, Nomor 3 Tahun I September 1999, hal. 7-8).

 
Pertemuan Menteri Kumdang dengan para Korbasing yang dipandu oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Bp. Abdul Irsan berjalan dengan penuh saling pengertian dan suasana rekonsiliasi yang sangat mengharukan. Meskipun kebijakan Pemerintah Gus Dur tersebut baru akan berwujud pemulihan kembali kewarganegaraan, kemudahan remigrasi ke tanah air dan pengakuan hak berdomisili bagi mereka yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan situasi yang bersangkutan, hal itu sudah merupakan terobosan berani untuk melangkah kearah terobosan-terobosan selanjutnya dalam merealisir tujuan reformasi dan rekonsiliasi nasional.

 
Pertemuan yang diawali dengan nyanyi bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya dan diakhiri dengan lagu Satu Nusa Satu Bangsa merupakan suatu peristiwa bersejarah. Penulis pribadi merasa berbesar hati bisa sedikit-banyak membantu secara langsung terlaksananya pertemuan yang berjalan sukses tersebut.
Terobosan tersebut tidak lepas dari hasil pertemuan antara para aktifis dari Komite Pembebasan Tapol-Napol (Gustaf Dupe dkk.), PBHI (Rahlan Nasidik dkk.) dan Indonesian Legal Reform Working Group dari Negeri Belanda (Wiyanto) dengan Menteri Yusril Ihza Mahendra pada tanggal 6 Januari 2000 di Jakarta. Sebab dalam pertemuan tersebut Menteri Yusril akhirnya bisa memahami dan menyetujui perlunya suatu peraturan khusus (Peraturan Pemerintah) yang mengatur masalah pemulihan kewarganegaraan bagi mereka yang telah menjadi warganegara asing, bukannya peraturan yang berlaku untuk warganegara asing pada umumnya. Didapatkan pengertian juga bahwa masalah pemulihan kembali kewarganegaraan harus dipisahkan dengan masalah domisili. Masalah penentuan domisili adalah hak azasi tiap-tiap orang yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing (Lih. Surat Terbuka M.D.Kartaprawira tg. 21 Desember 1999 kepada Menlu, Menkumdang dan Menham, Indonews 22.12.1999).

 
Di samping itu, tugas-beban Menteri Yusril telah terbantu juga dengan adanya draft perjanjian bilateral Indonesia-Belanda ("Agreement Between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands on The Payment of Dutch Social Insurance Benefits in Indonesia") yang sudah lama dibuat, di mana diatur hal-hal yang menyangkut a.l. pembayaran pension dan jaminan sosial lainnya bagi para remigrant oleh pemerintah Belanda.

 
Pertemuan di Belanda antara Menteri Yusril sendiri dengan para Korbasing di mana dijelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah, merupakan suatu follow up dari imbauan Presiden Gus Dur beberapa waktu lalu. Agaknya dari hal-hal tersebut di atas tampak sesuatu pertanda bahwa reformasi mulai berjalan dan angin rekonsiliasi mulai bertiup sejuk.

 
Tapi ini baru pertanda saja, sedang realitasnya masih ditunggu. Kalau dibandingkan dengan masalah pembebasan tapol-napol (dengan amnesti dan abolisi oleh Presiden Gus Dur) tampak realisasinya bisa sangat cepat.

 
Tapi mengenai pemulihan hak-hak sipil dan politik (termasuk pemulihan kewarganegaraan) dan kepulangan para korbasing agaknya masih harus memerlukan kesabaran. Sebab semua kebijakan tersebut harus dituangkan dalam wujud peraturan perundang-undangan yang kompleks - terkait dengan beberapa instansi dari berbagai Departemen. Sedang khusus mengenai pemulihan kewarganegaraan oleh menteri Yusril diharapkan pada tanggal 15 Februari 2000 sudah dapat dilaksanakan dengan prosedur yang sederhana: mengisi formulir permohonan kewarganegaraan dan mengangkat sumpah setia kepada Negara Indonesia di KBRI di negara-negara korbasing berdomisili.

 
Di samping itu kita tidak dapat menutup mata bahwa masalah pemulihan hak-hak sipil dan politik lainnya belumlah dapat dikatakan tuntas, apabila hanya berhenti pada pemulihan kewarganegaraan dan kemudahan untuk kembali pulang ke tanah air saja. Maka dari itu perlu adanya follow up kebijakan-kebijakan ke arah realisasi rekonsiliasi nasional yang memberi rasa kedamaian, ketentraman dan kerukunan bagi semua. Untuk itu di bidang hukum haruslah bersih dari ganjalan-ganjalan yang menghalang-halangi follow up yang dimaksudkan di atas, misalnya harus dicabut TAP MPRS Nomor 25/1966 dan semua perundang-undangan produk rezim Orba yang bertentangan dengan jiwa rekonsiliasi dan reformasi.

 
Secara formal yuridis dewasa ini memang kita dihadapkan adanya kolisi antara akta kebijakan Pemerintah dengan peraturan hukum produk Rezim Orde Baru. Existensi hukum yang selalu ketinggalan dari perkembangan masyarakat yang pantha rei dengan cepatnya, jelas menguntungkan kekuatan pro-status quo untuk mempertahankan peraturan-peraturan hukum yang tidak demokratik. Terbentuknya pemerintahan Gus Dur-Mega yang tanpa bimbang melaksanakan langkah-langkah reformasi dan demokratisasi berhadapan dengan kenyataan status quo hukum-negara positif. Bahwasanya gebrakan-gebrakan presiden Gus Dur dalam masalah Korbasing mendapatkan simpati dan dukungan rakyat banyak, menandakan bahwa dia berjalan di atas rel reformasi. Tapi masalahnya Pemerintah Gus Dur tidak mempunyai kewenangan untuk mencabuti peraturan-peraturan hukum tersebut. Misalnya, TAP MPRS Nomor 25/1966 (tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme serta partai beraliran komunis di Indonesia) pencabutan dan amandemennya merupakan kewenangan MPR, meskipun TAP tersebut produk MPR-Alat Perlengkapan kekuasaan Rezim Orba. Situasi yang demikian itu bisa dimanfaatkan oleh kekuatan pro-status quo untuk mengganjal kebijakan-kebijakan Pemerintahan Gus Dur-Mega yang berkaitan dengan para Korbasing. Maka tidak mengherankan kalau belum lama ini dengan gigih TAP MPRS nomor 25/1966 digalakkan oleh beberapa tokoh partai, misalnya Hartono Marjono, Ahmad Sumargono (Partai Bulan Bintang), Agung Laksono (Partai Golkar).

 
Kalau dipandang dari sudut substansinya, TAP MPRS Nomor 25/1966 tersebut yang merupakan produk politik fasis, anti demokrasi dan bertentangan dengan arus reformasi dewasa ini, seharusnya oleh MPR dicabut atau setidak-tidaknya dilemarieskan, dengan alasan sebagai berikut.- Pertama, ajaran marxisme itu juga merupakan suatu ilmu yang dipelajari dan digunakan oleh para founding fathers kita (HOS Cokroaminoto, Soekarno, Moh.Hatta, Sjahrir dll.) untuk perjuangan melawan kolonialisme Belanda.- Kedua, di negara-negara di dunia ini Marxisme telah kehilangan daya tawarnya sehingga ditinggalkan massa (Eropah Timur) atau mengalami pembaharuan (RRC, Vietnam dll). Sehingga pernah ada beberapa negara (Polandia, Latvia) di mana kaum Marxis yang menang dalam pemilihan umum, tapi mereka tidak mau kembali kepada sistim sosialis masa lampau.- Ketiga, PKI di Indonesia telah dihancurkan baik secara fisik maupun secara moril. Meskipun demikian marxisme/komunisme terus menerus dijadikan "momok" untuk menakut-nakuti rakyat, demi mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru. Setelah terbentuknya Pemerintahan Gus Dur-Mega yang bertekad melaksanakan reformasi dan rekonsiliasi, maka pemunculan kembali "momok" komunisme-marxisme tidak bisa lain suatu usaha untuk menggoyang Pemerintah Gus Dur-Mega dan kebijakannya.- Keempat, adalah sangat primitif apabila sesuatu ideologi dilarang. Yang dilarang haruslah tindakan-tindakan manusia-manusianya yang melanggar tatanan hukum negara positif. Tidak pandang apa ideologinya (Islam, Kristen, Marxisme, dll.), kalau mereka melakukan makar atau pemberontakan harus ditindak berdasarkan hukum yang berlaku dengan tegas.- Kelima, dalam era komputerisasi dewasa ini sesungguhnya TAP tsb. sudah tidak ada gunanya lagi dipertahankan. Sebab setiap orang bisa dengan mudah membaca, mempelajari, menyebarkan, memanfaatkan untuk kepentingan tertentu literatur-literatur Marxisme yang ada di bibliotik-bibliotik luar negeri. Maka tampak betapa lemahnya suatu alasan bahwa pencabutan TAP MPRS tersebut bisa memberi peluang bagi masuknya ajaran komunis (Suara Merdeka, Rabu 26 Januari 2000).- Keenam, rasa komunistophobia sesungguhnya menunjukkan kepicikan, ketidak-berdayaan dan kelemahan diri terhadap ajaran marxisme. Kiranya para politisi di Indonesia harus keluar dari wawasan "di bawah tempurung". Mereka perlu belajar dan mengambil pengalaman negara-negara maju di Barat (Inggris, Belanda, Amerika dll.): mengapa partai komunis disana tidak mendapat dukungan rakyat. Pada hal di sana partai komunis tidak dilarang dan semua literatur marxisme/komunisme tumpah ruah di bibliotik-bibliotik dan toko buku.- Ketujuh, dalam hubungan ini kalau G30S masih diungkit-ungkit lagi, maka seharusnya dipertanyakan G30S/PKI atau G30S/Soeharto? Atau G30S/Lainnya? Sebab dewasa ini terdapat bermacam-macam versi tentang G30S.

 
Jadi penggalakan substansi TAP MPRS tersebut di atas sesungguhnya hanya merupakan usaha pembodohan dan penakut-nakutan kepada rakyat, yang sudah tidak bodoh dan tidak takut lagi terhadap manuver kuno kekuatan status quo anti reformasi dan demokrasi. Di samping itu, penggalakan substansi TAP MPRS tersebut praktis hanya untuk menentang kebijakan-kebijakan rekonsiliasi nasional Pemerintah Gus Dur-Mega berkaitan dengan masalah Korbasing. Sekali lagi, apakah hal tersebut bukan salah satu bentuk usaha-usaha untuk menggoyang Pemerintahan Gus Dur? Bukankah seharusnya TAP tersebut dicabut atau setidak-tidaknya dilemarieskan, kalau MPR dewasa ini mengaku berjiwa reformatif dan menghendaki rekonsiliasi nasional?

 
Tampaknya kekuatan status quo yang berlindung di balik topeng hukum tidak ingin mundur dalam menghadang lajunya arus reformasi dari presiden Gus Dur. Mereka ini dengan menggunakan TAP tersebut berusaha untuk melitsus para korbasing yang menginginkan pemulihan kembali kewarganegaraannya. Kalau pembebasan tapol-napol saja tidak dilitsus, mengapa untuk pemulihan hak-hak sipil dan politik korbasing harus dilitsus dulu? Apakah orang yang dicabut paspornya lebih berbahaya dari pada orang yang dijebloskan di penjara/tahanan? Jadi logikanya tidak klop. Artinya logika reformatif bertabrakan dengan logika status-quo (meskipun konstitusional sekali pun).

 
PENUTUP KATA - Para korbasing masih dihadapkan pada suatu fakta konfrontasi antara kebijakan Pemerintah Gus Dur-Mega dan oposisi politik kekuatan pro-status quo. Suatu pertanyaan besar: "Akan sukseskah kebijakan Pemerintah Gus Dur tersebut, sehingga jalan kepulangan ke tanah air tercinta bagi para Korbasing menjadi lapang dan bersih dari batu-batu penghalang?". Jawabannya tergantung pada ketegasan dan konsistensi komitmen Pemerintah Gus Dur dalam merealisir langkah-langkah reformasi dan rekonsiliasi dan kegigihan perjuangan kekuatan reformasi di dalam maupun di luar MPR untuk mengiliminir semua produk hukum dari MPR rezim Orba yang anti demokrasi. Di samping itu sangatlah diharapkan konsistensi Menteri Yusril yang dalam pertemuan tersebut di atas telah menyatakan akan mengadakan inventarisasi dan pencabutan semua peraturan-peraturan hukum peninggalan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan kebijakan reformasi di berbagai departemen. Lulusnya kebijakan Pemerintah Gus Dur-Mega dalam masalah Korbasing merupakan salah satu testing bagi jalannya reformasi, demokratisasi dan rekonsiliasi di Indonesia dewasa ini.
Peneliti bidang sosial politik Indonesia dan anggota Indonesian Legal Reform Working Group di Negeri Belanda.
----- End of forwarded message from K.Prawira -----

 
XIV
KOLOM Arwah Perwira Alengka. Tap MPRS 25 / 1966. 4 Mei 2000. Jam 02.00 WBBI.
Prolog: Memegang teguh disiplin (patuh dan taat pada pimpinan), dengan tidak membantah perintah atau putusan, adalah doktrin TDA yang sangat Arwah Perwira Alengka junjung tinggi. Keluar dari peran politik (adalah perintah Mahapatih Wid!!!) Karenanya harus dijalankan dengan sepenuh hati. Dalam konteks disiplin dan kepatuhan inilah, (Arwah Perwira Alengka menyatakan keluar dari milis ini. Untuk itu), atas semua tulisan Arwah Perwira Alengka yang telah menyinggung banyak pihak, Arwah Perwira Alengka mohon maaf. Apakah kemudian posting posting Arwah Perwira Alengka selama dua tahun ini mampu meningkatkan tataran pikir para netters, entahlah. Yang jelas, inilah posting terakhir Arwah Perwira Alengka di milis ini. Sampai bertemu dalam indentitas lain (mungkin).

 
Tadi malam, di TPI, Prof Ichlasul Amal menyatakan semua akademisi dan intelektual, baik dalam maupun luar negeri bingung terhadap manuver Gus Dur. Jika Prof Ichlasul Amal dan Jaya Suprana saja bingung---, how about me---??? Sejujurnya---, minggu kemarin, seluruh cortex cerebri, pons dan mesenchepalon Arwah Perwira Alengka sempat hang---!!!. CPU 4 giga di otak Arwah Perwira Alengka terus menggeliat---, berusaha mengikuti Gus Dur, coba memproses--, memahami--- sambil mencari harmoni darinya---, ternyata gagal---- dan hang lah otak ini beberapa detik---!!!.
Sebagai orang yang selalu bertaruh di sisi Gus Dur sejak lama sebelum beliou jadi raja---, dan biasanya taruhannya selalu berakhir dengan benar---, minggu kemarin secara psikologis, cognitive Arwah Perwira Alengka memasuki suatu fase yang paling memalukan.
Kenapa------??? Karena---, seumur umurnya---, baru pertama kalinya Arwah Perwira Alengka hampir meragukan Gus Dur---, dan untuk pertama kali dalam hidupnya Arwah Perwira Alengka hampir ( tapi belum) menyangkal Gus Dur---!!! Kok bisa---????. Yaa bisalah--!!!. Ketika emosi dan rasio mesti bertarung---, dimana rasio mengatakan Gus Dur salah---, tetapi sang emosi dengan tegas menegasinya---, mengakibatkan terjadinya konflik batin di level tertinggi---!!!! Inilah yang membuat CPU di otak Arwah Perwira Alengka sempat hang. Syukurlah, sekarang sudah normal kembali.
Memang---, ragu adalah ciri orang pintar. Tapi karena Arwah Perwira Alengka bukan orang pintar---, maka APA tidak pernah ragu---!!! Filsuf pernah berkata: "Kita yang berpikir---, tetapi tidak bisa merubah keadaan---, adalah orang yang malang. Namun---- seandainya berpikirpun kita sudah tidak mau lagi---, lebih malang lagi". Dan --- yang paling malang dari segala yang termalang bagi sejarah kaum intelektual Alengka adalah--, jika orang orang pada menghantam Gus Dur soal Tap MPRS 25 / 66---, hanya karena mereka tidak mengerti apa manuver sesungguhnya.

 
Menurut lawan lawannya---, Gus Dur telah melakukan blunder besar---!!!. Tetapi menurut Empu Supo---, justru lawan lawan Gus Dur yang telah menorehkan blunder yang lebih besar lagi--- dengan melakukan over reaksi---, yang justru diinginkan oleh Gus Dur dan Uncle Sam---!!! Apa hubungannya antara Tap MPRS 25/ 66 dengan Uncle Sam--, dan apa reasoning logisnya---, ikuti tulisan di bawah ini.

 
Memang political error terbesar---, jika Gus Dur mesti melawan kepentingan kapitalis internasional plus kelompok religis local---, hanya untuk relatifitas demokrasi---, HAM atau rekonsiliasi yang nisbi. Terlalu sederhana juga rasanya--- jika benefit akhirnya adalah menarik massa sisa ex PKI yang 4 besar di Pemilu 1955, dengan cost yang terlalu besar baginya. Ada sesuatu magna gigantika dibalik langkah Gus Dur ini---, yang akan Arwah Perwira Alengka buka. Inilah dimensi politik lain---, yang nyaris luput dari relung sonar para pengamat politik---!!!.

 
Arwah Perwira Alengka walaupun sempat juga bingung---, bukanlah termasuk kelompok me too, yang selalu following the crowd. Arwah Perwira Alengka juga bukan pengamat selebritis---, yang kerjanya cuma mejeng di TV. Jika CPU Arwah Perwira Alengka sampai hang walau cuma beberapa detik---, dan analisis terpaksa sempat meraba raba---, itu karena belum ketemu Empu Supo saja---!!! Setelah bertemu dengan Empu Supo, semuanya lancar lagi---!!! Bak baru serpis---, CPU nya tok cer----!!!

 
Menurut Empu Supo---, pikiran Empu Supo dan Gus Dur itu satu ordo lain species---, tepatnya--- mirip--!!! Dalam melaksanakan sesuatu Gus Dur selalu berpikir tentang dua hal---, yang juga merupakan pedoman APA dalam menulis posting---!!!. Jika Arwah Perwira Alengka selalu berpedoman pada dua ketakutan---, pertama--- takut pada Tuhan, sebagai ketakutan absolut---!!! Kedua--- segan pada Uncle Sam sebagai keseganan relatif---, begitu juga Gus Dur---!!! . Gus Dur sangat takut pada Tuhan dan selalu memperhitungkan Uncle Sam dalam manuver politiknya.

 
Tetapi, sepintas lihat---, tingkah laku Gus Dur akhir akhir ini memang seolah olah mau bertempur dengan Uncle Sam. Sehingga sempat terpikir oleh Arwah Perwira Alengka---, benar nggak langkah Gus Dur ini---, yang katanya takut pada Tuhan---, kok malah mengusulkan dicabutnya Tap MPRS yang anti Tuhan. Kalau Gus Dur segan pada Uncle Sam---, kok malah melakukan tindakan yang melawan kapitalisme dan kepentingan pasar dengan mengijinkan ajaran komunisme---?? Jurus apa lagi yang dimainkan Gus Dur---, dan berapa ketakutan yang dimilikinya--, tidak jelas bagi kita semua--- !!! Kayaknya Gus Dur ini tak punya takut.

 
Makanya---, apa nggak dianggap melakukan blunder besar, habis---, beberapa blunder dilakukan sekaligus secara simultan---!!! Melawan permintaan Uncle Sam untuk tidak ke Havana---, dan tetap ngotot dengan usulan Tap MPRS nya yang berarti melawan Uncle Sam--, serta pada saat yang sama--- mencopot dua mentri partai gajah yang menyokongnya---, dan bilang KKN---!!!. Ini kan blunder beneran---????. Sehingga sebagian orangpun tersorak gembira karena Gus Dur telah menggali kuburnya sendiri--- lawan politiknya---!!! Sementara sebagian lagi--- kaum opportunist terkaget kaget cemas---, menyalahkan Gus Dur atas semua tindak tanduknya yang liar---, yang ditakutkan membahayakan jiwa mereka ---!!!. Tetapi bagi Gus Dur--- ini justru blunder besar terencana yang memang di rekayasa untuk go public---!!!
Menurut empu Supo---, antara Gus Dur dengan Uncle Sam sebelumnya sudah terjadi pembicaraan awal---, dimana Gus Dur sudah menyampaikan pada US bahwa dia akan melancarkan psy war politik. Tindak lanjutnya adalah--- secondan Gus Dur sudah bertemu dengan scondannya Clinton untuk wilayah Alengka diberbagai level, yaitu Bob Gerbard, Richard Holbrooke dan Madeleine Allbright--- dan sudah ada kesepakatan untuk melakukan test voltage cq sensus terselubung untuk menyimaki sikap masyarakat alengka terhadap kekuatan latenitas PKA--!!! Artinya---, Gus Dur jelas sudah memberi tahu Oom Clinton dan sudah bicara pada Tuhan---!!!. Disinilah Gus Dur memainkan jurus dayung bajak laut cina selatan. Gus Dur mendayung diantara karang karang--- dengan harapan beberapa benua terlampaui.

 
Disatu sisi---, Gus Dur melakukan perintah Tuhan untuk menyelamatkan ajaran Nya dari bahaya Ateisme secara back work planning. Disisi lain, Gus Dur ingin melepaskan para eks keluarga PKA dari beban sejarah yang menimpanya, sekaligus rekonsiliasi nasional terhadap sejarah masa lalu---!!! Sementara diputaran lain, justru langkah Gus Dur ini merupakan menuver politik tingkat tinggi---, dengan tipuan kosong seolah olah menghantam kebijakan Uncle Sam yang anti komunis, tetapi tujuan sebenarnya justru membantu Uncle Sam mendapatkan data empirik bagaimana sebenarnya pendapat masyarakat Alengka tentang PKA.
Hasil jajag pendapat ini jelas sangat dibutuhkan Algore maupun Bush Jr (siapapun yang menang). Hasil jajak pendapat ini sangat berarti bagi NSA dan CIA, plus the Pentagon dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya di Alengka ---!!! Uncle Sam ingin mengetahui kekuatan yang sebenarnya antara yang pro dan anti komunis di Alengka---!!! Uncle Sam ingin mengetahui konkritnya peta kekuatan ini dengan biaya yang semurah murahnya---, tetapi mendapatkan hasil yang seakurat akuratnya. Dan dengan reaksi berlebihan dari lawan lawan Gus Dur, Oom Clinton pun tertawa gembira. Sekali tepuk tiga nyawa--- katanya. Mengetahui besarnya kekuatan pro-kontra komunis di Alengka---, berhasil menggalang kekuatan anti komunis secara spontan & gratis---, dan sekaligus menebus dosa nya terhadap HAM eks keluarga PKA yang sempat di rugikannya dengan membuat Tap MPR yang baru. Jika dengan Vietnam saja, dimana puluhan ribu nyawa serdadunya gugur, Uncle Sam bisa memaafkan, atau tepatnya minta maaf atas para korban senjata kimia yang pernah digunakannya---, apalagi terhadap Alengka--- yang tangan Uncle Sam putih bersih---!!!
Gus Dur yang berpikiran jauh kedepan---, menangkap signal ini--- dan memainkannya dengan sukses---!!! Sekali lagi teman teman politiknya yang over reaktif---, telah di bohongi Gus Dur---!!! Walau di dalam negeri pada dag dig dug--, Gus Dur telah berhasil menarik simpati eks keluarga PKA, berhasil menarik investasi 1,5 milyard dollar dari China, dan sekaligus berjasa secara tak langsung pada state department USA. Dan untuk menambah kepercayaan atas keseriusan lakonnya---, Gus Dur sengaja berkunjung ke Havana menghadiri pertemuan Selatan Selatan. Lalu Uncle Sam juga bereaksi mendukung peran sandiwara Gus Dur, dengan menolak mendaratnya pesawat kepresidenan di US. Berarti serius banget perseteruan itu. Sementara disisi lain Gus Dur tetap ngotot dengan usulannya--, yang sama sekali tidak berkekuatan hukum untuk mencabut Tap MPRS 25 / 66.

 
Dan inilah yang dijadikan bola api liar yang ditendang kemana mana oleh lawan politiknya. Dengan jurus ini---, kembali Gus Dur menang---, Tuhan tenang---, Uncle Sam senang---, eks keluarga PKA juga terhibur dan investasi dari mainland Cina pun masuk dengan smooth. Dan sangat yakin dengan langkahnya ini---, Gus Dur pun langsung melangkah lebih jauh lagi dalam memperkuat posisi nya--- dengan mengganti mentri mentri di lingkungan ekuin dengan orang dekatnya---!!!

 
Kemabukan jurus Gus Dur ini---, yang dibingungkan banyak orang-- adalah sisi lain dari jurus Thi Ki Ie Beng, dimana Gus Dur menyedot tenaga lawan, dan sekaligus menggunakan momentum ini sebagai suatu test kesetiaan, siapa teman dan siapa penjilat yang akan mengingkari Gus Dur. Raymond Toruan, Aristides Katopo, orang orang Kontan, termasuk CSIS dan juga Kompas---, hampir meragukan Gus Dur---, dan nyaris menyangkalnya. Sama dengan Arwah Perwira Alengka--- kok. Semoga hampir itu benar belum. Jika pun kemudian mereka menyangkal Gus Dur karena mereka ingin cari selamat sendiri sendiri---, walaupun kristen & katolik sudah dibela mati-matian oleh Gus Dur--- boleh boleh saja--!!! Tidak apa apa kok--- ( tapi kualat-- tau--!!!)

 
Injil toh juga menulis bahwa rasul Petrus pernah menyangkal Nabi Isa sebanyak tiga kali bukan---??? Jika orang orang yang sudah dibela (atau membela ??? ) Gus Dur mati matian ini---, berbalik menghianati Gus Dur---, ini juga cuma pengulangan sejarah kok---!!! Saran Arwah Perwira Alengka pada mereka cuma---, mainkanlah irama musik requem--, musik kematiannya Mozart---, kalian nanti akan ikut terkubur di dalamnya. Kiri tak dapat kanan lepas.

 
Mereka yang ragu ini saja yang sebenarnya tidak tahu bahwa Gus Dur akan melepaskan tahtanya pada Mbak Mega sebelum 2004, dengan berbagai variantnya tentu. Mengetahui hal ini---, jelas mbak Mega tidak ingin ambil resiko apapun dengan berkoalisis taktis dengan lawan lawan Gus Dur yang juga lawan lawannya. Dengan atau tanpa koalisi taktis dengan partai lainpun, Mbak Mega tahu---, dia akan jadi Alengka I---, jadi untuk apa dia mesti pecah dari Gus Dur. Justru Gus Dur lah yang saat ini, sedang mati matian menyiapkan segalanya, membuldoser jalan---, bagi pemerintahan Megawati nanti---, dengan mengorbankan dirinya sendiri--- !!!. Maka jika ada orang orang banteng bulat yang masing gremeneng sama Gus Dur, mungkin memang kapasitas tempurung kepalanya segitu aja kali---!!!

 
Makanya---, orang orang yang ketakutan melihat Mbak Mega akan meninggalkan Gus Dur---, lalu pada ingin menyelamatkan dirinya masing masing dengan menyalahkan Gus Dur---, menjadikan statement Gus Dur sebagai komoditas politik ---, dan disebar luaskan di media massa untuk menjatuhkan kredibilitas Gus Dur---!!! Jika ini berlangsung terus---, maka bisa dipastikan Soros akan membeli lebih banyak SCTV – SCTV di Alengka lagi---, at all cost!!! Mereka akan beli dan beli terus semua media untuk mendukung Gus Dur. ( Tepatnya mendukung dirinya sendiri)

 
Makanya---pelajarilah international affair. Dunia ini tidak selebar daun kelor--- booo--!!! Kok malah perwira militer rendahan yang omong begini. Kan kewalik walik. Dan sayangnya lagi--- Arwah Perwira Alengka mesti keluar dari dunia politik maya ini. Ahh---- sedih rasanya melihat tataran pikir para selebritis politik Alengka masa kini. Seandainya Arwah Perwira Alengka masih boleh berbicara politik--- tentu masih banyak topik menarik lainnya untuk di bicarakan. Tetapi tunduk pada pimpinan adalah role number one. Sekali dan harus---!!! Sekali keluar ---, tetap keluar. Salam perwira---!!!
Bagimu negeri--- jiwa raga kami---!!!!. Sekali berarti---, walau kemudian mati--- itu biasa--!!!
Arwah Perwira Alengka. Di Mayapada.
Hidup Neo Alengka. Hidup Neo TDA.
----- End of forwarded message from Arwah Perwira Alengka -----

 
XV
TAP MPRS Tentang Larangan Komunisme Dan Pembubaran PKI
[2/10/2009 06:05:00 PM 5 komentar ]
Akankah pemimpin yang baru mencabut TAP MPRS tentang larangan komunisme dan pembubaran PKI? Kalau masalah atau membicarakan komunisme adalah sesuatu yang sangat dan amat tabu untuk dibicarakan di Negara ini (Indonesia). Sepertinya benar juga ketika seorang kawan berkata seperti itu. Karena banyak orang yang sudah terprovokasi bahwa komunisme bertentangan dengan Pancasila (Apakah benar?). Akankah pemimpin yang baru kritis menanggapi hal ini sehingga mempunyai kebijakan baru mencabut TAP MPRS tentang larangan komunisme dan pembubaran PKI. Jangan sinis melihat kami, kami hanya merawang hal-hal yang mungkin saja terjadi. He.2… Sejarah September kelabu sangat mengganggu memory kolektif berbangsa. Jangankan TAP MPRS tentang komunisme, kasus soeharto yang sudah jelas di depan mata tak pernah tersentuh tangan hukum. Jika dilihat dari backgorund capres Prabowo, Sutiyoso, Wiranto adalah mantan militer yang memiliki doktrin "AWAS BAHAYA LATEN KOMUNIS". Sedangkan Megawati dan SBY sudah pernah memerintah dan tidak melakukan apa-apa (Gusdur ? ). Lagipula capres yang akan mencalonkan akan berhitung dengan wacana ini. karena bisa kontraproduktif dengan popularitas mereka Kami bukan mau menarik garis konklusi bahwa kami mendukung PKI, tapi ada sejarah yang belum tuntas yang harus diselidiki. Kami pesimis kalau ada yang berani mencabut TAP tersebut. TAP MPRS ini harus dicabut atau tidak ? 1. Karena belum terbukti benar bahwa PKI adalah dalang dari Gerakan 30 September.2. Tidak relevan dengan UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan kebebasan berpendapat dan berserikat. Intinya sebuah produk hukum kan dibuat setelah melalui penelusuran fakta yg ada. Toh TAP MPRS itu kan produk politik..so pastinya HARUS DICABUT.. tapi kalau boleh minta pendapat,siapa dalang September kelabu menurut anda ? (mencoba mebuka lembaran hitam – jas merah)…. Mungkin sekarang bagi anda, dicabut atau tidak itu bukan hal yang penting (tapi bagi saya penting, untuk menjelaskan sejarah yang sebenarnya pada waktu itu), yang penting bagaimana pemilu berjalan dengan damai yang akan bergulir sedikit lagi di Negara ini. Tentang kontes seo pemilu damai, kami setuju dengan abang kami, kontes ini sangat bagus, tapi mudah-mudahan bukan menjadi ajang kekuatan unjuk gigi bagi para blogger Indoensia, tapi menjadi doa kita semua blogger Indonesia "kampanye damai pemilu Indonesia 2009". (ada udang dibalik batu)

 
XVI
ISTIQLAL (11/5/2000)#MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966= KEMBALI KE ZAMAN JAHILIAHOleh: Alam TulusBerbagai cara telah dilakukan kaum fasis Indonesia guna menentangdicabutnya kembali Tap MPRS No XXV/1966, yang melarang berdirinya PKIdan penyebaran ajaran marxisme-leninisme-komunisme. Di antaranya adayang melalui pernyataan pada media massa, ada yang melalui demo sampai membakar bendera palu arit. Membakar bendera palu arit dalam hal ini, sesungguhnya mereka membakar bendera Gus Dur (NU) yang mengusulkan dicabutnya Tap MPRS tsb, serta bendera PKB yang mendukung pencabutan tsb.

 
Kaum fasis mengharamkan komunisme, itu sudah hal yang umum. Suhartosebagai seorang fasis, besar sekali sumbangannya bagi pengembanganideologi fasis di Indonesia. Di mulainya dengan melahirkan Tap MPRS NoXXV/1966 dan kemudian ditingkatkannya ke penggulingan Presiden Sukarno dari kekuasaannya.
Setelah kekuasaan berada di tangannya, maka siapa saja yang beraniterang-terangan mengecam akal-akalan Suharto untuk memperkaya diriserta anak-anaknya melalui KKN, akan dijebloskannya ke dalam penjara.Dengan Tap MPRS yang melarang komunisme itu, Suharto leluasa untukmenuduh setiap orang sebagai komunis, subversif bila berbeda pendapatdengan dirinya, terutama bila berani menentang perbuatannya yangtidak adil.

 
Dan orang-orang yang diuntungkan oleh Tap MPRS tsb selama 32 tahunSuharto berkuasa, berkepentingan benar untuk mempertahankan tetapberlakunya Tap MPRS teb. Kaum fasis dan pendukung fasis Suharto itulahyang kini bergerak menentang pencabutan tap MPRS tsb. Kefasisannya Tap MPRS itu diakui Sekneg melalui "buku putih "(G.30-S pemberontakanPKI), bahwa fasisme adalah ideologi otoriter yang memuja superioritasnasional! Anti komunisme dan liberalisme. Marilah kita menoleh kebelakang sejenak.TIGA DIMENSINYA SUKARNOSebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalahperbedaan ideologi politik tidaklah begitu gencar dipermasalahkan.Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama RI, yang awalnyadicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler danmenganut atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasisekaligus, yaitu:1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah materialisme, dan teori ekonomipolitik evolusisme Darwin.Dalam dimensi spritual, Bung Karno adalah mukmin, bertauhidi,mengakui Keesaan Tuhan, jadi penganut monotheimse. Sebagai insankelahiran dan putera Nusantara yang mengalami penjajahan danpenindasan kolonialisme dan imperialisme, Bung Karno berjiwanasionalisme. Untuk memerdekakan rakyat, masyarakat, bangsa Indonesiadari belenggu penjajahan dan mendirikan negara RI yang ber-Pancasila.Dalam dimensi politik ekonomi, sosial, Bung Karno memakai metodeanalisa ilmiah filsafat dialektika, yang dirintis oleh Hegel,Fauerbach (thesa, anti thesa dan synthesa). Dalam menganalisaperkembangan masyarakat (sosiologi), Bung Karno memakai metode yangdikembangkan oleh Darwin, yaitu historis materialism (dari primitifkomunisme, pemilikan budak, feodalisme, kapitalisme, imperialisme,sosialisme dan modern komunisme).

 
Ketiga-tiganya dijadikan trilogi (Nasamar-Nasionalisme, Agama danMarxisme). Teori-teori itu adalah lahir di Eropa barat, setelah eraPencerahan dan Kebangkitan (renaisance) dan pemisahan bidang antaragereja dan Negara, atau antara agama dengan politik, antara masalahukhrowi dan duniawi sehingga dipakai istilah profaan (agama) dansekuler untuk urusan keduniaan. Bila mengatur dan mempermasalahkanukhrowi memakai filsafat Theisme dan jika mempermasalahkan duniawi,memakai filsafat Non Theisme (Atheisme), tanpa mempermasalahkah urusan ilahiah.NON THEISME TIDAK ANTI TUHAN DAN AGAMADi Jawa, sebelum peresmian pemakaian istilah Santri dan Abangan olehClifford Geertz, oleh rakyat biasa dipakai folklore "Mutihan", yangberasal dari bahasa Arab "Muthii" atau man athaa'a dan qauman atauummatan/kaumatan. Sedang istilah Abangan dipakai untuk mereka yang non muthi yaitu Abaa Ya'baa, mengabaikan tidak mentaati, tidak menjalankan penuh syariah agama. Para Santri biasanya menyenangi pakaian yang berwarna putih, sehingga juga disebut kaum yang berpakaian putih.
Walaupun kaum Abangan tidak menjalankan syariah, namun mereka tetapmerasa sebagai muslim, karena ketika menginjak dewasa, dikhitan(diislamkan), atau nikah di serambi masjid, dengan menirukan pembacaansyahadatain sebagai pernyataan muslimin, berkeimanan kepada Allah danrasulullah Muhammad Saw. Mereka disebut muslim cacah jiwa (statistik).Mereka yang diindikasikan, dengan praduga-salah, sebagai terlibatG.30-S, pada umumnya percaya kepada hal-hal yang ghaib dari harikemudian (kiamat) atau yukminuuna bil ghaibi wabil akhirati humyuqginuun. Jadi, tidak benar bahwa para penganut ideologi politikmarxisme adalah didentikan dengan atheis atau penganut atheisme, hanyakarena mereka mempermasalahkan masalah politik, sosial, ekonomi,dianggap sebagai murni "kedaulatan" dan bukan masalah agama atauKetuhanan. Padahal mereka itu berpedoman kepada sabda Nabi Muhammad Saw:" Antum A'lamu biumuuri dunyakum" (Kalian lebih mengerti utusan keduniaan atau masalah sekuler). Jadi, bukan anti Tuhan dan anti agama.

 
Jika dikaji lebih mendalam teori-teori marxisme, ternyata yangdinamakan atheisme adalah paham yang memilah antar bidang agama danbukan agama, antara negara dan gereja, sehingga ada teori dua pedangatau dua kedaulatan. Yaitu kedaulatan Tuhan/Agama/Gereja dankedaulatan Negara/sekuler. Gods sovereignity dan Kings sovereignitydan teori Teocratis dan Aristocratis.Jadi huruf "A" dalam atheisme adalah tidak mengkait-kaitkan dalampemecahan masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, denganhal-hal yang berada dalam bidang keagamaan dan Ketuhanan. Tetapiadalah salah kaprah yang terjadi di ndonesia, yaitu non theisme(atheisme) dinyatakan sebagai pandangan hidup anti dan tanpa Tuhan.Bukti sejarah empirik menunjukkan titik temu (kalimatin sawaa) antaraSosialisme dan Islam:1. Buku karangan HOS Tjokroaminoto, pimpinan Pusat Partai Syarikat Islam yang berjudul "Islam dan sosialisme";2. Semaun, Darsono, Alimin dan Musso adalah mantan-mantan anggota SI dan murid HOS Tjokroaminoto, demikian pula Bung Karno, salah satu diantara founding fathers RI. Tentu dalam ajaran sekuler yang dianut para marxis dan ajaran Islam yang bermazhab kultural, yaitu persamaan,keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan politik, sosial, ekonomi dan budaya.3. Pernyataan-pernyataan almarhum pemimpin-pemimpin Masyumipada era RI Yogyakarta (1946-1948) Mr Muhammad Roem, Mr Syafruddin Prawiranegara, Mr Yusuf Wibisono bahwa Masyumi dan Islam kultural dan substansial berasaskan Sosialisme religius.Tentang Syafruddin Prawiranegara menganggap dirinya sosialisReligius, dapat diketahui dengan membaca dalam sebuah buku kecil yangberjudul "Politik dan Revolusi Kita", Yogyakarta 1948. Dalam bukuSyafruddin itu antara lain dikatakan: "Apabila unsur-unsur sosialismetidak ada, revolusi Indonesia tidak ada artinya bagi kami, karena iatidak memberikan harapan baru kepada kami. Bersama dengan parapemimpin partai-partai lain, ia menganggap pasal 33 UUD 45 sebagaipernyataan sosialisme. Karena itu mengkait-kaitkan para mantan tapol/napol G.30-S digebyah uyah sebagai atheist, anti Tuhan, anti Pancasila adalah kezaliman dan tirani mental dan character assasination.ARTI MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966Sesungguhnya mempertahankan tetap berlakunya Tap MPRS XXV/1966,adalah untuk membela lembaga MPRS yang cacat hukum, karena dikotorioleh 136 orang anggota MPRS yang diangkat Suharto dari kalangannyasendiri, tanpa hak. Ia bukan Presiden, 136 anggota MPRS yang diangkatSuharto itu, ialah untuk mengganti anggota MPRS dari PKI dan PNI yangdipecatnya. MPRS yang cacat hukum itulah yang mengeluarkan Tap MPRS No XXV/1966 itu. Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966 adalah untuk mempertahankan suatu Tap yang bertentangan dengan UUD 1945 (pasal 27 dan 28), bertentangan dengan Pancasila. Menurut pidato Bung Karno dalam "Lahirnya Pancasila", negara RI didirikan bukan untuk satu golongan, melainkan dari semua buat semua. Jadi termasuk bagi kaum komunis. Dengan kata lain Tap MPRS tsb isinya menentang UUD 45 dan Pancasila. Jadi, tidak konstitusional. Mempertahankan Tap MPRS XXV/1966 adalah dengan tujuan untuk kembali ke zaman Suharto berkuasa, yang atas nama Demokrasi Pancasila dibunuhnya demokrasi, diinjak-injaknya hak-hak asasi manusia. Lihatlah diantaranya pembantaian di Tanjung Priok, di Aceh dsb.

 
Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966, sama artinya dengan kembalikeabad pertengahan (zaman jahiliah), dimana tidak ada kebebasanpikiran, keinsyafan batin (human consience) dan hati nurani manusia.Perbedaan cara berpikir, keinsyafan batin, hati nurani, ideologi,politik semestinya memperkaya khazanah alam pikiran dan budayasprituai dan menjadi rahmat bagi bangsa dan Negara Republik. Tentusaja harus dia dakan dialog, komunikasi, rekonsialisasi atas dasarsaling memahami dan mengerti, mencari titik temu (platform) untukmenegakkan keadilan, kemerdekaan dan meniadakan penindasan,penghisapan manusia oleh manusia.

 
XVII
3NURHANA TIRTAAMIJAYATHE INSPIRATION TO BUILD THE GREAT LIFE ·
About Nurhana Tirtaamijaya Posted by: tirtaamijaya Agustus 7, 2007
BAHAYA LATENT KOMUNISME (informasi politik)
Pada tahun 1991, saya mengikuti Kursus Tenaga Inti Kewaspadaan Nasional ( Susgati Padnas) di Lembaga Ketahanan Nasional/Lemhanas Jakarta, sebagai perwakilan dari perwira TNI AD….
Semua peserta Sus Padnas adalah alumni Kursus Bahaya Laten Komunisme yang juga diselenggarakan di Lemhanas beberapa tahun sebelumnya..

 
Lulusan SusPadnas ini diberi Sertifikat oleh Pangkopkamtib untuk berhak menjadi Penatar Kewaspadaan Nasional/Bahaya Laten Komunisme di Indonesia………
Sampai sekarang Tap MPR No 25 yang melarang masyarakat mempelajari dan menyebar luaskan ajaran Marxisme dan Komunisme/Leninisme masih berlaku, tapi ironinya ,masyarakat banyak yang tidak mengerti mengapa Tap MPR tersebut tetap dipertahankan, sehingga banyak yang ingin mencabutnya…
Saya termasuk yang berpendapat bahwa Tap MPR NO. 25 tersebut harus dipertahankan…….

 
Adapun alasannya sebagai berikut……….
1. Banyak orang berpendapat bahwa karena Sovyet Uni dan beberapa Negara komunis satelitnya sudah bubar, maka bahaya laten komunisme didunia ini sudah tidak ada lagi, sehingga Tap MPR No 25 tak relevan lagi.
2. Pendapat ini sangat naïf, ibaratnya sama seperti orang berpendapat bahwa karena WHO telah berhasil menghilangkan penyakit Lepra didunia dan tingkat kesadaran kesehatan rakyat Indonesia sudah tinggi, maka penyakit Lepra di Indonesa tidak mungkin berjangkit lagi…Nyatanya sekarang masih banyak penduduk Indonesia yang menderita Lepra….
3. Bahaya latent Komunisme mirip dengan peyakit Lepra, akan tetap hidup dibawah permukaan selama kondisi kehidupan social masyarakat belum sampai kepada tingkat MASYARAKAT YANG ADIL DAN MAKMUR, GEMAH RIPAH LOH JINAWI…….
4. Perlu diketahui, Marxisme dan Leninisme itu timbul karena kesenjangan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi antara kelompok Buruh dan Petani/Penggarap Tanah dengan Kelompok Pemilik Usaha dan Pemilik Tanah yang pada saat itu….atau kelompok Proletar denga kaum Bangsawan yang didukung Gereja…
5. Karl Marx menulis sebuah buku yang membawa ajaran Marxisme yang bercita cita menciptakan suatu masyarakat baru yang adil dan makmur tanpa perbedaan kelas dimasyarakat……..
6. Karl Marx juga mengajarkan Atheisme, anti agama dan Tuhan……Karena pada saat itu di Jerman, Gereja dianggap telah meracuni rakyat untuk taat kepada aturan Gereja yang mendukung kaum bangsawan yang menindas proletar/rakyat miskin….
7. Lenin, muridnya Karl Marx yang berasal dai Rusia membuat Doktrin, Pelaksanaan Strategis, Taktis dan Teknis dari ajaran Marxisme, dimana didalamnya disamping anti Tuhan dan Agama, juga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujan Revolusinya, termasuk pembunuhan dan pembantaian manusia yang menentang Revolusinya…..
8. Ajaran Lenin ini dinamakan Leninisme, yang kemudian berkembang menjadi Komunisme, yang berhasil melakukan Revolusi Bolsweyik di Rusia, membunuh dan membantai habis seluruh keluarga Kekaisaran Rusia, Katarina Yang Agung secara keji dan kejam, merebut pemerintahan dan mendirikan pemerintahan komunis Rusia…..Lenin menjadi Diktator yang pertama di Rusia…..
9. Ternyata pemerintahan Diktator Lenin menyimpang jauh dari cita cita Karl Marx untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur tanpa perbedaan kelas…..
10. Ternyata rakyat miskin, proletar, buruh dan petani hanya dijadikan sapi perah kelompok penguasa baru yaitu kelompok elit Partai Komunis…..
11. Selama sekitar 70 tahun Rusia berada dibawah kekuasaan Diktator Komunis yang berhasil membentuk Sovyet Uni, Pusat Komunisme Internasional…
12. Pemerintahan ini sangat korup, kejam, sangat menekan kebebasan hak azasi manusia…Kalau ada yan berani bicara apalagi melawan, mereka dibuang ke Siberia atau dibunuh…..
13. Karena itu, ajaran Marxisme disebut ajaran Utopia ( Suatu ajaran yang tidak akan pernah bisa diwujudkan didunia), semacam Fatamorgana…..
14. Ajaran Karl Marx inilah yang banyak dibaca dan dibahas oleh aktivis muda sekarang in, bukan ajaran Leninisme/Komunisme yang menyimpang dari cita cita Karl Marx dan hasilnya menyengsarakan rakyat…..
15. Ajaran Utopia Marxisme yang Atheis inilah yang menarik minat para aktivis muda Indonesia sekarang ini .
16. Dalam situasi kondisi kasyarakat yang sedang menderita akibat krisis multi dimensi yang berkepanjangan, apalagi tingkat kesenjangan kesejahteraan yang sangat tinggi antara kelompok buruh/petani/nelayan dengan para pengusaha dan pejabat di Indonesia, maka ajaran Karl Marx yang seolah membela kepentingan rakyat, akan laku keras……
17. Apakah mereka betul betul akan menjadi bahaya latent komunis yang mempunyai Doktrin menimbulkan Revolusi Rakyat dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan Revolusinya, dengan cara membunuh dan membantai lawannya seperti zaman pemberontakan G 30 S PKI?…….Jawabannya bisa iya bisa juga tidak…..belum pasti, tapi kemungkinan tetap ada….
18. Kalau dulu Pemberontakan G 30 S PKI disponsori oleh Partai Komunis Sovyet Uni dan RRC, sekarang sponsor tersebut sudah tidak ada, itu bedanya……
19. Tapi Ajaran, Doktrin, Strategi, Taktik dan Teknis Partai Komunis Internasional/Leninisme, masih dikuasai oleh para kader PKI yang sekarang masih hidup dan ingin membalas dendam……terhadap kelompok Islam dan ABRI/Orde Baru…… bukan mendirikan PKI ataupun mendirikan Negara komunis yang baru……
20. Jadi kalau ada resistensi dari kelompok anti komunisme kepada yang patut diduga akan mengembalikan ajaran Komunis di Indonesia, adalah suatu yang wajar…….Walau mungkin perlu lebih bernuansa hukum..
21. Cara yang paling tepat untuk membendung bahaya latent komunisme adalah menghilangkan akar masalahnya, yaitu kesenjangan yang sangat tinggi antara the have dan the have not di Indonesia…..mutlak harus segera diatasi….kemakmuran yang berkeadilan harus segera diciptakan oleh para pemimpin…
22. Syarat utama untuk mencapai tujuan nasional, yaitu Mewujudkan Masyarakat Indonesia Adil dan Makmur, sudah jelas, tertulis di Mukadimah UUD 1945 dan didalam PANCASILA DASAR NEGARA…….
23. PANCASILA DASAR NEGARA KITA, telah terbukti menjadi alat pemersatu bangsa, sejak tahun 1945 sampai sekarang, mengapa harus mencari Dasar Negara dan Ideologi Negara yang baru?…..
24. Karena itu Persatuan Purnawirawan TNI AD / PPAD, dalam HUT nya yang ke 4 pada tanggal 6 Agustus 2007 yang lalu, dengan tegas menyatakan dan menyerukan agar seluruh bangsa Indonesia harus berjuang bersama mempertahankan NKRI yang mulai digoyang perpecahan, dengan selalu berpedoman kepada PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKWEN…!
Ditulis dalam politik
By: Raja Sirait on Agustus 8, 2007
Tanggapan:
Terima kasih atas apresiasi anda memberi komentar pada tulisan saya…..Dinegara Demokasi perbedaan pendapat adalah wajar. Demokrasi menjamin kebebasan menyatakan pendapat, asal tidak melanggar hukum positif….Tap MPR No 25 tersebut mungkin benar pernah disalah gunakan, pernah digramatisir oleh sekelompok orang untk menyudutkan/merugikan orang lain…Tapi kalau kita jujur, apa sih yang tidak disalah gunakan di Indonesia ini?… Gak usah Tap MPR, bahkan Pancasila Dasar Negarapun pernah disalah gunakan/diselewengkan oleh para penguasa negara kita ini..Tapi bukan berarti Pancasilanya yang harus diganti, tapi penyelewengnya yang harus dihukum……. Walau Orde Lama dan Orde Baru itu sangat kuat, tapi karena menyeleweng dari Pancasila, menyeleweng dari Ketuhanan YME, akhirnya hancur juga…God never sleep..Keadilan tetap akan ditegakan Tuhan…Ajaran Marxisme dan Komunisme itu adalah ajaran Atheis/ Anti Tuhan…jelas bertentangan dengan Pancasila Dasar Negara yang ber Ketuhanan YME….Dalam Doktrin perjuangannya, Komunisme menghalalkan segala cara termasuk pembunuhan dan pembantaian manusia, seperti yang mereka lakukan terhadap seluruh keluarga kaisar Rusia Katharina Yang Agung dan para korban G 30 S PKI di Idonesia… Mereka punya Doktrin Serigala berbulu Domba, Musang berbulu ayam….Mereka punya doktrin untuk mengelabui orang lain dengan pura pura membela kepentingan rakyat, membela hak azasi manusia…padahal semuanya hanya kamuflase…..Terbukti semua rakyat negara komunis sejak berdirinya Negara Komunis Rusia sampai sekarang, hidupnya sangat menderita, tidak ada kebebasan sama sekali, tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada kekuasaan mutlak seorang yaitu seorang Diktator Proletar……Marxisme dan Komunisme sepanjang hidupnya tidak pernah bisa membuktikan jargon/janji kosong mereka ,yang katanya akan menciptakan masyarakat adil makmur sejahtera tanpa perbedaan kelas…..Buktinya Sovyet Uni bubar dan menerapkan sistem politik dan ekonomi Liberal.RRC merubah sistem ekonominya menjadi liberal, menjadikan perekonomian negaranya maju pesat…Tidak ada negara yang menganut Marxisme dan Komunisme berhasil membuktian kemakmuran rakyatnya…Silahkan anda sebut kalau anda punya datanya…
Tap MPR 25 sangat diperlukan untuk melindungi rakyat Indonesia yang mayoritas masih hidup menderita dan tidak mengerti tipuan politik kader Marxisme dan Komunisme……..Sejak dari zaman dulu, sampai sekarang, proletar, kaum buruh dan petani adalah kelompok yang terpinggirkan, mereka sangat mudah dibujuk rayu dengan berbagai janji kosong/jargon yang seolah olah akan membela kepentigan mereka, padahal mereka dimanfaatkan, dikorbankan untuk kepeningan politik kekuasaan mereka yang tersembunyi……Pikirkan dan renungkan kembali pendapat anda tentang ingin mencabut Tap MPR No 25…….Thanks. Semoga Tuhan memberika npetunjuk dan hidayah kepada anda.
By: tirtaamijaya on Agustus 9, 2007 at 3:26 am

 
XVII
Alasan Gus Dur ingin menghapuskan Tap MPR itu menurut saya krn paradigma hidup bernegara sudah berubah, orang2 sekarang sdh merupakan a global citizen, so suatu negara tidak bisa membatasi gerak dan dinamis perkembangan socio cultural suatu individu, singkatnya jika memiliki kepercayaan dan keyakinan yang tangguh kenapa musti ragu…? Al Furqan merupakan pembeda, dan bukankah sudah jelas mana yang benar mana yang tidak ?

 
XVIII
Rabu, 13 Agustus 2002 00:00
Tolak Cabut Tap MPRS No.25 Bukti Tak Paham Demokrasi
Jakarta, gusdur.netKH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai tidak beraninya legislatif mencabut Tap MPRS No 25 tahun 1966 soal pelarangan paham Marxisme dan Leninisme adalah tanda ketidakpahaman terhadap hakikat demokrasi."Hakikat demokrasi adalah, kita memperlakukan semua orang sama di muka undang-undang. Saya tidak habis pikir bagaimana sebuah paham dapat dihilangkan dengan sebuah Tap MPR. Faham itu dalam hati orang bukan di lembaga, gimana cara melarangnya," tegas Gus Dur.Hal itu dikemukakan Gus Dur ketika berpidato dalam acara Deklarasi Yayasan Manusia Merdeka (YMM), pada Senin (11/3) malam di gedung Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta. Tampak hadir sebagai undangan, aktivis-aktivis prodemokrasi nonpartisan.Salah satu pilar utama dari demokratisasi adalah kebebasan pers, tetapi kerena kadang terjadi distorsi dalam pemberitan, Gus Dur mengajak para pemimpin masyarakat untuk mengadakan komunikasi langsung dengan rakyat. "Saya terus menerus berada di daerah untuk berbicara dengan rakyat langsung. Alhamdulillah beberapa mitos telah patah dan rakyat mulai mengerti tentang demokrasi. Hal itu merupakan kekuatan yang dahsyat untuk membangun demokrasi di negeri kita," tandas Gus Dur. Menurut Gus Dur agar organisasi menjadi besar, diperlukan sebuah kemandirian. "Karena tiap bentuk partisanship apapun akan menyebabkan kerdilnya organisasi kita, termasuk kemandirian finansiil," ujar Gus Dur. "Motif orang memberikan bantuan bisa macam-macam, yang terpenting kita sendiri dapat dipergunakan orang apa tidak," katanya.Soal posisi YMM yang independen dan jangan sampai dtunggangi oleh kepentingan partai politik. Gus Dur berkata "Perkumpulan atau organisasi kita ini jangan sampai dapat dipergunakan untuk kepentingan politik siapapun."Penindasan Dalam kesempatan itu Ketua YMM, Arbi Sanit menjelaskan soal tanggal 11 Maret sebagai hari Deklarasi, dia mengatakan dirinya sempat dikritik Gus Dur karena tanggal itu adalah awal Orde Baru merebut merebut kekuasaan dari tangan Soekarno. Menanggapi hal itu Arbi Sanit berargumen, "Saya membalik tanggal resmi penindasan kemerdekaan manusia Indonesia (11 Maret) oleh rejim Orba menjadi awal perjuangan organisasi ini untuk membebaskannya," kata Arbi Sanit.Arbi Sanit menyampaikan bentuk organisasi yang telah terbentuk sekarang ini masih dapat diperdebatkan lagi. "Kami sedang mempertimbangkan bentuknya, yayasan, perhimpunan atau pergerakan sebagai wadah perjuangan."

Tidak ada komentar: